04 August 2010

detikNews : PPP Tolak Pengadaan Rumah Aspirasi Rp 112 M

Muhammad AS Hikam

Ada peribahasa yang mengatakan "sekali lancung keujian, seumur hidup orang
tak percaya." Ungkapan ini rasanya cocok dengan kondisi psikologis
publik menghadapi DPR dan anggota-anggotanya. Karena DPR dan sebagian
anggotanya sudah dianggap "lancung" alisa tukang bohong oleh rakyat,
maka apapun yang diwacanakan oleh pihyak
yang pertama itu, langsung sudah dianggap sebagai sesuatu yang minimal
perlu dicurigai, atau maksimal langsung ditolak. Tak perlu lagi
ditelisik apakah wacana atau gagasan DPr dan wakil rakyat itu baik dan
bemanfaat atau tidak, yang penting tolak dan curiga. Kalau sudah
demikian, kendatipun DPR dan wkil-2 rakyat terhormat itu ngotot dan
tetap melaksanakan gagasannya, hasilnya akan sangat bertentangan dengan
harapan. Jadi boro rumah aspirasi itu, misalnya, akan berfungsi dengan
baik seperti yang diinginkan, justru akan menjadi "senjata makan tuan"!
DPR
dan wakil rakyat sudah mengalami krisis kepercayaan pada tingkat atau
stadium yang akut saat ini. Satu-satunya alasan kenapa mereka masih
tetap eksis hanyalah karena kalaupun dibubarkan atau dimakzulkan, toh
hanya buang-buang energi atau biaya. Toh ujung-ujungnya rakyat sendiri
yang akan menjadi korban dan nanti harus pula memilih anggota DPR baru
yang juga belum tentu lebih baik. Jadi, rakyatpun bersikap pragmatis:
cuek bebek dan selalu menolak apapun yang menjadi gagasan dan program
DPR, tak peduli apakah itu baik atau setengah baik, apalagi buruk.
Kalau pun misalnya DPR RI saat ini menyuruh Malaikat untuk menjadi PR
mereka pun, saya ragu bahwa rakyat Indonesia akan percaya. Sedemikian
buruk kondisi tersebut, sehingga kondisi politik kita saat ini adalah
semacam "stalemate" alias buntu yang arahnya menuju sebuah pembusukan
politik.

DPR yang belum lagi berusia setahun ini, mungkin adalah
DPR yang paling buruk yang pernah dihasilkan oleh Republik ini. Hampir
seluruh ukuran atau standar kinerja yang dipakai oleh orang yang waras
telah dilabraknya: absensi, tugas-tugas pengawasan, korupsi, kemampuan
dalam melaksanakan tugas, kemampuan berwacana, dan bahkan penampilan
ketika sidang, sudah buruk semua! (contoh: banyak foto anggota DPR
tidur dalam sidang dsb). Dengan kinerja semacam ini, mana mungkin
publik akan bisa percaya, apalagi bangga dengan para wakilnya. Anehnya,
para anggota DPR pun umumnya tenang-tenang saja dengan kondisi seperti
ini dan malahan membuat gagasan-gagasan bodoh dan memalukan seperti
Dana Aspirasi alias genthong babi, dan kini Rumah Aspirasi yang bisa
kita namakan saja "kandang babi."

Di AS, urusan rumah aspirasi
bagi anggota Kongres adalah sudah lumrah dan memang dibiayai oleh
negara. Setiap Senator pasti memiliki kantor perwakilan di Washington,
DC dan di negara-negara bagian masing-masing. Mereka, anggota Konggres
itu, setiap akhir minggu wajib hukumnya untuk kembali ke konstituen dan
berbicara dengan mereka. Biayanya tentu dibebankan kepada anggaran
Kongress. Dengan adanya rumah aspirasi demikian maka para konstituen
bisa melaporkan apa yang menjadi aspirasi mereka, baik di negara-bagian
mereka atau langsung ke DC. Itulah praktik yang bagus dan mestinya
ditiru di negeri ini.

Namun rumah aspirasi yang digagas DPR saya
kira lain sama sekali, karena belum apa-apa sudah dicurigai sebagai
buang-buang biaya. Padahal, apa yang dilakukan oleh Ramadhan Pohan (PD)
dengan biaya sendiri sebetulnya sudah bagus dan bisa jadi model.
Menurut pendapat saya, untuk sementara memang harusnya anggota DPR
pribadilah yang membuat rumah aspirasi di daerah masing-2 atau
parpolnya sendiri yang membiayai. Jika tidak demikian, maka rakyat yang
sudah empet dengan DPR ini tidak akan bisa menerimanya karena mereka
sudah terlanjur tidak punya kepercayaan. Untuk mengembalikannya, maka
model yang dilakukan Ramadhan Pohan sangatlah elok untuk diikuti.

Jadi
sebelum semuanya rusak dan hubungan DPR dan rakyat makin carut marut,
saya pikir para anggota DPR harus melakukan refleksi diri dan jangan
semakin bersikap "adigang adigung adiguna". Dalam psikologi publik yang
sudah runyam begini, mendingan para anggota perwakilan rakyat itu mau
mundur dan melakukan perbaikan diri serta lembaga. Sudahi sikap-sikap
yang arogan dan sok kuasa. Hentikan pameran kebodohan yang memalukan
negara dan bangsa itu. Mulailah bekerja sebagaimana selayaknya orang
yang memang bisa bekerja. Atau kalau memang tidak punya kemampuan, ya
mundur saja dan diganti dengan yang lebih baik. Dan yang terpenting
parpol sebagai wadah mereka direformasi total sehingga tidak menjadi
semacam gerombolan mafia belaka.

No comments: