07 August 2010

rakyatmerdeka.co.id - Marzuki Alie: Kritik Mega Terlalu Dibesar-besarkan

Muhammad AS Hikam

Saya tidak menyalahkan kalau ada beberapa sahabat fbers yang menganggap elite politik kita setelah reformasi telah semakin berkurang bobot, mutu, dan/atau kapasitas kepemimpinannya. Coba kita lihat bagaimana kritik yang dilontarkan oleh mantan Presiden RI ke V, Megawati Soekarnoputri (MS) terhadap Pemerintahan SBY, dan bagaimana respon yang diberikan oleh para pendukung Pemerintah SBY terhadap kritik tersebut. Bagi saya, yang terus terang hanya mengikuti dari media massa, baik kritik maupun balasannya sama-sama tidak mencerminkan sebuah kapasitas yang tinggi dari kelompok elite sebuah negara besar seperti Indonesia. Oleh sebab itu, hasil akhir dari perdebatan dan kritik tersebut bukanlah sebuah pengayaan bagi kehidupan demokrasi bagi rakyat, tetapi nyaris seperti sebuah adegan "bengkerengan" anak-anak yang sedang rebutan mencari perhatian.

                                   source google images
Mbak Mega, sebagai seorang Ketum Partai besar yang berdiri di luar pemerintahan dan juga sebagai mantan Presiden jelas berhak penuh untuk memberikan kritik kepada Pemerintah SBY. Kritik tersebut tidak harus selalu disertai dengan masukan dan solusi kepada yang dikritik (Pemerintahan SBY), karena tentu kalau solusi dan masukan diminta, itu berarti mBak Mega juga menjadi bagian dari yang dikritik. Beda kalau misalnya pimpinan parpol yang berada dalam Sekgabsi yang mengritik
Pemerintahan SBY. Mereka justru berkewajiban memberi masukan dan tidak sekedar mengritik, apalagi lalu bertindak layaknya oposisi!. Jadi, ketika dalam pidato Rakor PDIP mBak Mega melontarkan kritik (atau bahkan kecaman pun), hal itu sah-sah saja dan harus diterima oleh pihak yang dikritik sebagai sebuah tantangan yang mesti dijawab.
Sayangnya, substansi kritik mBak Mega memang tidak terlalu menukik pada masalah yang sejatinya beliau sendiri telah buka: manajemen pemerintahan yang kacau balau. Beliau menggunakan masalah redenominasi mata uang sebagai indikator bahwa pemerintah di bawah pak SBY tidak mampu memberikan solusi terhadap masalah bangsa dan malah membingungkan rakyat. Harus diakui bahwa mBak mega membawakan kritik beliau dengan sangat elegan dan humoristik, tetapi bagi saya terlalu sumir. Mengapa tidak menyinggung persoalan yang lebih substantif seperti penanganan korupsi di kalangan lembaga penegak hukum, atau penanganan masalah kemiskinan, atau penyelesaian masalah ekonomi dan kesejahteraan rakyat yang dipergunakan sebagai topik? Karena mBak Mega hanya mengomentari masalah yang sedang populer, maka kritik beliau pun terasa tidak fokus dan dengan mudah dapat ditepis oleh pendukung Pemerintah.



Kendati memang cukup sensasional, soal redenominasi mata uang rupiah sejatinya tidak bisa dianggap sebagai kebijakan Pemerintah SBY, karena itu domain Bank Sentral yang nota bene adalah lembaga independen. Apalagi, gagasan itu juga masih sangat mentah dan belum tentu akan bisa dengan cepat terlaksana. Kalau pun ada aspek yang mengkhawatirkan (seperti membingungkan rakyat kecil), hal tersebut pun bukan merupakan sesuatu yang sulit untuk disosialisasikan. mBak mega, saya rasa, masih dalam mood "perang citra" dan terobsesi dengan hasrat mengalahkan Pak SBY dalam soal pencitraan. Saya tidak yakin hal ini bisa dimenangkan oleh beliau, sebagaimana ketika pada musim kampanye Pemilu Legislatif dan Presiden 2009 beliau mencoba menyodok SBY dengan isu BLT, raskin, dll. Bukan saja taktik itu tak berhasil, tetapi justru menjadi boomerang pagi PDIP sebab ujung-ujungnya partai itu ternyata juga menyetujui kebijakan Pemerintah tersebut!



Tapi di pihak pendukung Pemerintah, jawaban atas kritik mBak Mega juga absurd, tidak tepat sasaran, dan memelas (pathetic). Menteri KUKM, Syarief Hasan (SH) dan Jubir Partai Demokrat, Ruhut Sitompul (RH), serta Marzuki Alie (MA), Ketua DPR-RI, semuanya mencoba memberikan counter namun tanpa substansi yang menunjukkan bahwa Pemerintah SBY telah benar-benar berhasil mengelola pemerintahan selam periode 6 tahun ini. SH misalnya mengembalikan kritik mBak Mega dengan membandingkan capaian pembanguan ekjonomi antara Pemerintahan Pak SBY dan mBak Mega. RH malah hanya menyepelekan kritik tsb dengan mengatakan sebagai "hiburan lepas senja", tanpa mencoba memberikan substansi bantahan. Yang lebih memelas lagi, mereka berdua malah minta mBak Mega memberi masukan dan solusi kepada Pemerintah bagaimana memperbaiki kinerjanya! Sementara itu, MA hanya bisa menyesalkan kritik mBak Mega sebagai hal yang terlalu dibesar-besarkan.



Kendati demokrasi telah memberikan peluang kepada elite politik kita tampil di depan rakyat untuk memperdebatkan kebijakan pemerintahan dan memberikan jawaban bagi permasalahan yang dihadapi rakyat (kemiskinan, pengangguran, korupsi, pelanggaran hukum), nyatanya masih jauh dari memuaskan. Publik mungkin ada yang senang dengan humor mBak Mega, tetapi setelah itu apa yang akan mereka dapatkan dari PDIP untuk mengatasi masalah-masalah mendasar di atas? Apalagi mendengar jawaban para pendukung Pemerintah yang lebih tidak meyakinkan, apologetik, dan cenderung self-congratulatory (bangga dengan diri sendiri) itu! Kualitas para elite politik kita untuk menjadi pelopor dalam era demokrasi, menurut hemat saya, masih jauh panggang dari api. mereka bisa saja merupakan "solidarity makers", tetapi masih belum mampu menjadi "solution providers."



Kiranya makin mendesak kebutuhan meningkatkan kualitas elite negeri ini di masa datang, karena tantangan yang dihadapi bangsa dan negeri ini kian berat. Elite kita bukan saja dituntut mampu berwacana secara substantif-visioner, tetapi juga mengejawantahkan gagasan mereka dalam bentuk solusi-solusi yang tepat. Nah, kalau dalam tataran berwacana saja para elite kita masih membuat publik tidak dapat menangkap substansi dan visinya, bagaimana pula jika dituntut realisasinya?


No comments: