21 August 2010

KENANGANKU DENGAN GUS DUR (25)

by Muhammad A S Hikam

Ramadhan ini, khususnya pada 1 Syawal 1430H nanti, saya tidak lagi bisa sungkeman kepada Gus Dur di ndalem Ciganjur seperti biasa. Rasanya mau menangis saja mengingat dan mengantisipasi kebiasaan yang harus terputus. Tapi segera saya hibur diri saya dengan kenyataan bahwa mBak Nuriah toh masih ada di Ciganjur. Bukankah kalau sungkeman dan Halal bi Halal ke sana selain dengan Almaghfurlah juga selalu anda mBak Nuriah? Insya Allah jika beliau nanti ada di ndalem, saya tetap akan hadir. Seperti tahun-tahun sebelumnya, sungkeman dan Halal bi Halal ke Ciganjur selalu yang pertama saya lakukan setelah menerima tamu Halal bi Halal di kampung.



Bagi saya pribadi, almaghfurlah sudah saya anggap sebagai pengganti almarhum ayah saya ketika beliau masih sugeng, sehingga setiap Idul Fitri selalu menjadi kewajiban untuk sungkem dan memohon maaf kepada beliau. Jarang saya dan isteri saya sampai kesiangan untuk mencapai Ciganjur, kecuali kalau jalanan sudah macet begitu memasuki daerah Jagakarsa. Karena itu, biasanya di rumah masih belum banyak wartawan yang hadir atau para tamu "penting" yang bergantian tak putus-putusnya. Sebelum Pak Harto wafat, Gus Dur yang selalu menyempatkan diri berhalal bihalal ke Cendana dan biasanya dilakukan ketika masih cukup pagi. Toh saya selalu datang sebelum Al-maghfurlah berangkat ke Cendana. Menyempatkan diri sungkem pada waktu masih belum banyak orang bagi saya penting karena kadang-kadang masih sempat ngobrol karena tamu-tamu belum terlalu antre. Disamping juga, makanan masih lengkap, hehehe...

sumber foto : the jakarta post

Tapi seperti kata pepatah "manusia berusaha, Tuhan yang menentukan." Saya pernah juga kesiangan sampai ke Ciganjur untuk sungkeman 1 Syawal. Kalau saya tak keliru, hal itu terjadi pada 2008. Seingat saya keterlambatan itu sudah diawali dengan mbludagnya tamu-tamu orang kampung yang datang ke rumah setelah sholat Ied. Tidak seperti tahun sebelumnya, pada waktu itu tetangga dan tamu lain sangat banyak dan silih berganti. Padahal cara kampung saya, yang sangat Betawi itu, tergolong unik. Tidak seperti di Tuban, para tamu di Pamulang hanya salaman dan saling bermaaf-maafan lalu pergi. Kalau di Tuban, tamu-tamu duduk dulu, makan makanan kecil dan minum sebelum pergi ke tempat lain. Jadi biasanya hanya perlu waktu satu jam saya sudah selesai berhalal bihalal di rumah dan langsung pergi ke Ciganjur. Nah, pada 2008 itu ternyata saya baru bisa keluar rumah jam 10.00 dan jalanan luar biasa macet! Karena sudah terlanjur siang, saya usul kepada istri untuk tidak ke Ciganjur dulu, toh Gus Dur pasti super sibuk jam seperti itu. lebih baih agak siang setelah dzuhur sekalian. Makanya saya lalu ke Bambu Apus (rumah pak Wiranto) lebih dahulu sekalian jalan tol cuma searah dari Pamulang.


Jam 12.00 saya sampai di rumah Ciganjur dan memang benar, tamu-tamu sudah bisa dibilang mereda. Kebetulan yang sedang ngeriung dengan Gus Dur waktu saya datang adalah Pak Akbar Tnjung, Pak Menteri ESDM Purnomo Yusgiantor, dan K H. Manarul Hidayat. Selesai sungkem saya ikut gabung dan mengobrol ngalor ngidul. Entah bagaimana obrolan sampai pada masalah perbedaan pendapat yang selalumuncul di kalangan ummat Islam jika bulan Ramadhan dan Syawal datang. pasti ada kabar kelompok A mengawali puasa tanggal X sedang kelompok B tanggal Y. Pak Purnomo, yang Katholik tetapi sangat paham dengan tradisi Islam, bertanya kepada Al Maghfurlah:



"Apa gak bisa di cari solusi supaya sama harinya ya Gus?"



"Ya Gus, masa tiap bulan Ramadhan kok pasti ada perselisihan pendapat soal awal puasa dan awal lebaran" Kata Pak Akbar menimpali



"Ya biar saja pak, wong memang kedua-dua pendapat (antara rukyah dan hisab) itu punya dalil sendiri-sendiri. Lha malah ada yang tidak menggunakan dua-duanya lalu mengawali puasa sendiri dan kelompoknya. Seperti kelompok yang di Sulsel itu.." Kata Gus Dur, enteng.



"Tapi kan membuat kita ini seolah-olah tidak punya pegangan, Gus. Masak sih tidak bisa ditentukan bersma-sama.." Pak Akbar keukeuh.



"Yang penting tidak menjadi alat memaksakan kehendak saja pak, kalau mau mencari persamaan kayaknya susuah. Toh kadang-kadang juga sering bareng-bareng..." Kata Kyai Manarul.



"Nah belum lagi, itu Gus, soal sholat Taraweh yang beda berapa rakaatnya. Ada yang sebelas ada yang duapuluh tiga rekaat. Itu yang benar yang mana, Gus?" Tanya Pak Akbar, dan sambil melihat saya menanya: "Gimana Pak Hikam, menurut anda?"



"Pak, kalau saya sigh gak repot-repot kalau soal beda rekaat sholat Taraweh itu." Kata saya sambil tertawa



"Kenapa Pak Hikam?" Pak Purnomo bertanya



"Lha wong tidak sholat taraweh juga gak berdosa kok Pak, itu kan sholat sunnah, kenapa ribut mana yang paling bener hanya soal bilangan raka'at saja?" Kata saya menjelaskan.



Gus Dur dan K Manarul tertawa terbahak-bahak.. "bener, Kang, bener..." Kata Gus Dur dan Kyai Manarul berbareng. Pak Akbar dan Pak Pur akhirnya ikut tertawa juga...



"Kalau menurut saya, Pak Akbar, yang sebelas rakaat itu dapat diskon 60%" Kata Gus Dur



""Lho.. kok..?" Pak Pur dan Pak Akbar sudah mulai senyum-senyum



"Lha iya kan, kalau yang taraweh duapuluh tiga itu dipotong 60% kan tinggal sebelas rakaat, hehehe.." GD tertawa..



"Bener.. bener... bisa saja Gus..." Kata Pak Pur sambil tertawa..



Dan obrolan pun berjalan sampai jam 14.00 ketika saya dan isteri pamit. Itulah kenangan sungkeman 2008 yang saya miliki, walaupun saya datangnya sangat terlambat tidak seperti biasanya...



Di manapun dan dalam kondisi apapun, Gus Dur selalu menjadi tumpuan pertanyaan baik dari khalayak ramai maupun dari kalangan elit. Bahkan mereka yang non Muslim tetapi punya perhatian kepada ummat Islam, seperti pak Purnomo (yang sekarang Menhan itu) pun bertanya kepada Gus Dur tentang masalah keislaman. Mungkin saja Pak Pur merasa tidak canggung karena beliau tahu Gus Dur selalu terbuka terhadap pertanyaan siapapun. Dan Gus Dur pun selalu menjawab pertanyaan dengan pendekatan yang manusiawi dan sebisa-bisa dengan cara yang ringan dan humor. Soal perbedaan awal ramadhan dan 1 Syawal yang bagi banyak orang dianggap sangat pelik, dalam pandangan beliau dianggap sebagai salah satu kekayaan Islam yang tak perlu dipersengketakan. Jika masyarakat telah menjadi dewasa, maka mereka akan memilih sendiri mana yang paling tepat. Hukum Islam selalu adaptif terhadap perkembangan zaman dan memberi pintu bagi berbagai perbedaan. Tinggal bagaimana pemimpin ummat dapat menyikapi perbedaan pendapat secara produktif dan win-win.



Saya akan kehilangan acara tradisi sungkeman dengan Almaghfurlah mulai tahun ini. Tetapi kenangan sungkeman 2008 akan tetap menjadi pengingat akan kebesaran jiwa beliau dalam menghadapi kehidupan dan permasalahannya.

No comments: