by Muhammad A S Hikam
President University
Jababeka, Cikarang, Jabar
Gagasan Katib Syuriah PBNU, Prof. Dr. Malik Madani, MA, (MM) untuk tidak menyolati jenazah koruptor ternyata tidak semulus yang dia pikir akan diterima oleh publik umumnya dan bahkan para Ulama Nu sendiri, termasuk mantan Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi (http://www.detiknews.com/read/2010/08/20/150739/1424387/10/hasyim-muzadi-batasan-seorang-koruptor-tak-jelas). Sama dengan mayoritas rakyat di negeri ini, MM sudah begitu jengkel dan marah terhadap korupsi dan para koruptor di negeri ini, yang memang menjadi salah satu penyakit terbesar dan paling berbahaya sehingga adapat menghancurkan keberadaan Republik. MM mungkin juga sudah sangat marah melihat ketidak efektifan sistem dan lembaga serta penyelenggara hukum kita dalam memberantas korupsi dan menindak para koruptor, khususnya yang kaliber kakap. MM barangkali juga sudah capek dengan janji-janji para elite di negeri ini yang bisanya hanya berjanji dan ber"kalam kaspo" alias beretorika kosong akan memberantas korupsi, namun ternyata dalam kenyataan hanya kulit-kulitnya saja yang tersentuh.
Maka MM pun mencoba menawarkan alternatif, bagaimana kalau sanksi moral dan agama dipakai untuk menjerakan para koruptor dan mengerem pupolasinya di Indonesia. Sudah barang tentu, sebagai seorang pakar dan alim dalam Fiqih, MM memiliki argumen kuat untuk mendukung gagasan yang spektakuler itu: tidak perlu menyolati jenazah koruptor. Dalam pikiran MM, mungkin kalau gagasan ini duerapkan di dalam organisasi sebesar NU, maka akan ada efek positif yang akan membuat orang-orang Islam menjadi jera untuk korupsi. Siapa yang mau mengalami boikot sholat janazah? Alangkah malunya si keluarga almarhum/almarhumah kalau sampai hal itu mengenai diri mereka? Apalagi hal itu tentu akan tersebar luas di masyarakat dan diberitakan media massa bahwa jenazah si A atau si B tidak di sholati karena korupsi. Kalau jenazah itu tak disholati, mungkin implikasinya juga tak dibacakan Yasin, tahlil, talqin, dan malah juga tak usah ditakziahi sekalian!
Luar biasa sanksi moral dan agama yang digagas MM dan seandainya dilaksanakan, maka akan sangat menghebohkan. Apakah dengan demikian korupsi dan koruptor (Muslim) akan jera dan lembaga penegak hukum akan tinggal kipas-kipas, serta KPK dibubarkan? Saya tidak tahu jawabnya. Tetapi saya ingin mengatakan bahwa kendati gagasan MM itu cukup spektakuler dan punya daya shock therapy yang dahsyat, khususnya di kalangan Muslim dan NU, tetapi menurut saya berlebih-lebihan dan cenderung melanggar etika pergaulan masyarakat. Padahal dua hal ini adalah core values (nilai-nilai inti) dari NU dan faham Aswaja yang dimpakai kaum nahdliyyin. NU mengutamakan prinsip "tawazun" dan "tasamuh" serta "al-'adalah" (seimbang, toleran, dan adil). NU, dalam etika sosialnya sangat dikenal dengan sikap tidak berlebih-lebihan, karena Al-Qur'an sendiri mengatakan bahwa "Allah swt tidak menykai orang-orangyang berlebih-lebihan."
Gagasan tang tampaknya spektakuler dan populer itu akan sangat sulit diterapkan karena beberapahal. Misalnya 1) siapakah yang disebut koruptor dan berapakah ukuran korupsinya sehingga tidak perlu disholati jenazahnya; 2) kalau seorang koruptor ternyata sudah menjalani hukuman penjara, apakah masih disebut koruptor dan/atau mantan koruptor? Bagaimanakah status ontologis mereka di mata hukum Islam?: 3) Kalau seorang koruptor dihukum lebih ringan menurut publik, apakah dia juga masih dianggap koruptor sehingga tidak boleh disholati jenazahnya?; dan 4) apakah pandangan terhadap seseorang yang korup itu sama antara di mata negara dan di mata publik? Bagaimana caranya memastikan bahwa seorang yang korup itu baik dan yang lain buruk?
Adalagi masalah yang lebih musykil ditinjau dari segi Tasauf. Sikap ingin memberantas kejahatan sampai tuntas (an nahyu 'anil munkar) adalah terpuji dan diharuskan agama, tetapi Allah swt juga menyatakan bahwa yang namanya kejahatan akan selalu ada di muka bumi sebagai suatu cobaan dan ujian terhadap makhuqNya yang bernama manusia. Jika kemudian orang berpretensi dapat memberantas kejahatan sampai keakar-akarnya dengan menggunakan alat yang dahsyat seperti gagasan MM tersebut, apakah hal tersebut tidak berarti memaksakan kehendak dan bertentangan dengan sunnatullah, yaitu bahwa kebaikan dan kejahatan memang diciptakan untuk menguji siapa yang paling bertakwa kepada Allah. Implikasinya, upaya-upaya melakukan "amar ma'ruf, nahi munkar" hendaknya juga dilaksanakan dengan sikap etis yang tidak berlebihan sehingga malah menciptakan problem-problem baru yang tidak dipikirkan sebelumnya.
Dari gabungan kedua prinsip Aswaja di atas yaitu pelaksanaan huum fiqih dan perhatian terhadap etika dan hikmah kebijaksanaan Ilahiah, maka gagasan MM bagi saya hanya merupakan ekspressi sebuah kemarahan terpendam yang suci (holy anger) namun tidak memberikan solusi yang prkatis dan dapat menyelesaikan masalah besar yang bernama korupsi. Gagasan MM justru akan memperkuat kecenderungan tindakan-tindakan kekerasan yang sudah sangat banyak dilakukan atas nama agama oleh kelompok kelompok garis keras. Inilah yang menjelaskan kenapa Amidhan, salah satu Ketua MUI yang sudah dikenal sebagai penganut aliran keras itu, paling duluan menyetujui gagasan MM.
Adalah sebuah ironi bagi Nahdlatul Ulama saat ini, bahwa seorang tokoh terasnya ternyata bukannya mengaplikasikan norma-norma dasar Aswaja yang sangat dipegang oleh para Ulama NU dan menjadi ciri khasnya, tetapi malah menjadi bagian dari gerakan Islam garis keras yang justru ditentang oleh NU selama ini. Wallahu a'lam bis shawab..
Jababeka, 20 Agustus 2010
1 comment:
Udah tepat yg dibilang MM itu!!!
Anda yg mestinya belajar sama beliau.
Post a Comment