17 August 2010

MENGAPA BANGSA KITA MARAH KEPADA TETANGGA ?

Oleh: Muhammad AS Hikam
President University
Jababeka, Cikarang, Jabar

Sebagai seorang warganegara RI yang baik dan beradab, saya tentu sangat tidak setuju dengan pengrusakan yang dilakukan oleh sementara kelompok pendemo terhadap properti Kedubes Malaysia di Jakarta. Apapun argumennya, merusak properti milik negara sahabat merupakan sebuah refleksi ketidak dewasaan berpolitik tetangga baik dan juga ktidak mampuan menaati aturan main antar-bangsa yang telah diakui dan dpatuhi oleh seluruh masyarakat internasional, khususnya di bidang diplomasi. Bangsa kita memiliki etika dan juga Konstitusi kita dalam Pembukaannya jelas menegaskan "ikutmelaksanakan perdamaian dunia", bukan sikap yang mengutamakan konflik dan permusuhan. Itulah sebabnya saya harus menolak sekeras-kerasnya semua perbuatan yang melanggar hukum nasional dan internasional yang dilakukan oleh pengunjuk rasa karena mereka marahakibat insiden yang melibatkan AL Diraja Malaysia dan petugas DKP RI di perairan Indonesia beberapa hari lalu.

google images
Namun demikian, sebagai warganegara Indonesia yang baik dan loyal, saya jugamerasa bahwa apa yang menjadi sebab terjadinya tindak perusakan tersebut HARUS dipahami oleh baik Pemerintah Indonesia maupun Pemerintah Malaysia. Untuk Pemerintah Indonesia, unjuk rasa yang berujung perusakan properti itu adalah ekses dari kemarahan yang bertumpuk dan terpendam dari publik yang merasa bahwa Pemerintahnya kurang cepat dan tegas dalam menghadapi prilaku agressif dan provokatif dari Malaysia yang sudah sering terjadi. Publik, terutama mereka yang memiliki pengalaman kurang baik dengan negeri jiran tersebut dalam berbagai kasus (TKI, ilegal logging, pemindahan patok perbatasan, ilegal fishing, terorisme kelompok Azahari dan Noordin M Top, kasus blok Ambalat, dsb), sangat geram dengan kelambatan reaksi pemerintah yang cenderung dikesankan sebagai takut dan tertekan. Mereka ingin melihat Pemerintah berbuat sesuatu yang selayaknya ditampilkan oleh sebuah negara berdaulat dan terhormat. Sehingga ketika insiden penangkapan karyawan DKP di perairan RI oleh polisi diraja Malaysia, tumpukan kemarahan itupun meledak dan emosipun membara menjadi sikap yang tak terkendali serta berujung dengan tindakan melanggar hukum internasional maupun nasional.
Terhadap Pemerintah Malaysia, ekspressi tersebut merupakan isyarat bahwa sebagian (mungkin mayoritas) publik Indonesia tidak menginginkan negaranya diperlakukan secara tidak terhormat kendati Malaysia merupakan negara serumpun dalam etnis dan agama mayoritas, serta bahasa. Arogansi Malaysia mesti dibatasi dan dikendalikan oleh Pemerintahnya sendiri dan juga rakyatnya, karena bagaimanapun juga ada batas yang tidak bisa ditabrak dalam etika pergaulan antar-bangsa. Bagi sebagian rakyat Indonesia, prilaku Pemerintah Malaysia dalam beberapa waktu terakhir (khususnya setelah Pak Harto tidak menjadi Presiden RI) sangatlah berubah: Malaysia tampak jelas sekali ingin merebut posisi Indonesia sebagai pemimpin ASEAN dan ummat Islam di Asia. Kejayaan ekonomi dan kemakmuran negara itu, yang pada gilirannya menjadikan jutaan warganegara RI mencari kehidupan di sana, membuat ambisi tersebut kian hari kian mencolok di permukaan dan sayangnya dicoba-laksanakan dengan prilaku yang arogan dan tak beradab.



Jika kemudian publik Indonesia marah, itu karena Pemerintah Malaysia cenderung bermain api dan tidak tulus dengan semua janji yang pernah dikeluarkan manakala ada masalah dan lemudian "diselesaikan" dengan RI. Bahkan, setelah kemenangan negara tsb dalam kasus perebutan Pulau-pulau Sipadan dan Ligitan, maka tampaknya bagi Malaysia,tidak perlu ada kekhawatiran untuk melakukan intervensi fisik sekalipun kedalam wilayah kedaulatan RI, apalagi kalau cuma melakukan pelecehan terhadap warganegara RI atau produk budayanya. Hal tersebut ditambah dengan ketidak tegasan Pemerintah RI paska Reformasi dalam menangani konflik kewilayahan, sehingga makin membuat Kualaulumpur seperti "diberi hati ingin merebut ampela sekalian."



Padahal, Pemerintah RI seharusnya bisa saja bersikap firm namun tetap dalam batas-batas yang diizinkan oleh etika diplomasi. Adalah hak Malaysia untuk memiliki ambisi menguasai ASEAN dan menjadi wakil Islam dari Asia di dunia Islam, tetapi ambisi itu pun mesti diejawantahkan secara nalar dan etika hubungan antar-bangsa yang normal. Saya tetap tidak sepakat dengan pengrusakan atau balas dendam atau pemutusanhubungan diplomatik sebagai respons terhadap pelanggaran wilayah RI oleh Malaysia dan berbagai pelecehan yang sudah dilakukannya terhadap kita. Sebab bagaimanapun juga hal itu merupakan dinamika hubungan antar-bangsa yang bukan tidak mungkin terjadi manakal sebuah negara dianggap mengalami kelemahan.



Namun saya juga tidak setuju jika Pemerintah RI cenderung memilih sikap low profileterus menerus dalam mengahadapi provokasi Malaysia. Jika hal itu diteruskan, bukan tidak mungkin ekspressi kemarahan publik akan susah dikendalikan danmalah counterproductive bagi Pemerintah sendiri. Malahan bukan tidak mungkinada pihak-pihak (dari dalam sendiri maupun dari luar) yang ingin memakai issu konflik RI-Malaysia ini sebagai entrypoint untuk memancing di air keruh.



Jababeka, 17 Agustus 2010

No comments: