19 August 2010

KEBERANIAN MORAL OBAMA DIUJI DALAM PROYEK PEMBANGUNAN MASJID DI GROUND ZERO

Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Kota Jababeka, Cikarang, Jabar

Artikel kolumnis favorit saya, Maureen Dowd, di New York Times edisi 17 Agustus 2010, sungguh mengejutkan. Presiden Obama, yang semula mendukung pembangunan Masjid di Ground Zero, Manhattan, New York, ternyata mulai dikritik karena plin plan. Kurang dari sehari setelah berpidato dalam acara "iftar" (buka bersama) di Gedung Putih, di mana Presiden Obama mendukung proyek Masjid dan Pusat kegiatan lintas-agama itu, keesokan harinya beliau telah "meralat" ucapannya. Obama mengatakan "I was not commenting, and I will not comment, on the wisdom of making the decision to put a mosque there ... I was commenting very specifically on the right people have that dates back to our founding. That's what our country is about." (Saya tidak sedang mengomentari dan tak akan mengomentari kebijaksanaan yang kemudian melahirkan keputusan untuk membangun sebuah Masjid di sana. Saya hanya mengomentari secara khusus tentang hak-hak warganegara yang dimiliki semenjak masa para pendiri bangsa. Itulah negara kita yang sebenarnya.")

Ground Zero ( irib.ir)
Obama Plin-plan? Bagi orang yang tidak memahami gaya bahasa politik di AS, sulit rasanya mencermati inkonsistensi dalam ucapan Obama tentang pembangunan Masjid di bekas lokasi pemboman Al Qaeda itu. Tetapi, bagi seorang kolumnis top seperti Dowd, seraya didukung oleh berbagai analisa komentator dan pengamat, maka dua ucapan Obama tersebut telah dianggap sebagai bertolak belakang atau setidaknya terkesan "flip flopping" alias plin plan. Dowd bahkan menganggap Obama telah mulai memakai jurus belut dan "pagi kedele sore tempe" meniru President Bill Clinton. Dowd, yang sangat terkenal dengan kronik-kronik tentang Presiden Bush I dan II serta Bill Clinton sehingga merebut hadiah Pulitzer itu, khawatir bahwa Obama ternyata tidak terlalu kuat menahan tekanan politik seputar kontroversi Masjid yang datang dari baik kelompok Republik dan Demokrat. Apalagi saat ini menghadapi pemilu sela bulan November, banyak anggota Konggres dari Demokrat mulai mengambil jarak dengan Obama. Yang terakhir, misalnya, Harry Reid, Ketua Senat AS dari Demokrat, seorang Mormon dari Nevada, menolak dengan tegas gagasan pembanguna Masjid tersebut.

Menurut Dowd, Obama dan banyak tokoh Demokrat merasa ketar-ketir bahwa kontroversi soal pembangunan masjid itu akan makin membuat lawannya dari Republik mendapat angin. Itulah sebabnya beliau meriskir akan mengorbankan berbagai gagasan besar yang menandai dirinya sebagai Presiden yang mampu melakukan pendekatan dengan ummat Islam, bukan sajadi AS tetapi di dunia. Rintisannya dalam pendekatan terhadap ummat Islam (pidato bersejarah di Mesir dan keinginannya berbaikan denganTeheran, misalnya) adalah landmark yang sangat penting. Begitu juga riwayat hidupnya yang sangat khas dan memiliki kedekatan dengan Islam (nama tengahnya, negara asal ayahnya, dan ya, masa kecilnya di Jakarta) semuanya bisa menjadi modal untuk menjadikannya Presiden AS yang lain dari yang lain, bahkan antitesis dari Presiden sebelumnya, George Bush II, yang menjalankan politik luar negeri yang sangat tidak disenangi oleh dunia Islam.

Jika analisis Dowd ada benarnya, maka akan riskan sekali bagi Obama dan Partai Demokrat untuk melanjutkan kepemimpinan di AS. Bukan saja prilaku plin-plan atau flip-flopping ini akan menjadi peluru bagi lawan-lawannya, tetapi juga AS akan kehilangan momentum bagi upaya merangkul dunia Islam demi sebuah posisi yang belum jelas. Kemenangan Al Qaeda dan Osama terhadap AS, kata Dowd, bukan disimbolkan oleh berdirinya Masjid di Ground Zero, tetapi disimbolkan oleh ketakutan moral (moral timidity) dari pemimpin AS dalam mendukung proyek tersebut. Perang melawan terorisme, begitu kata Dowd, bukanlah "perang melawan Agama Islam." Bahkan, menurutnya, "anda tidak akan mampu melakukan perang melawan terorisme secara efektif jika anda melakukan perang terhadap Islam."

Presiden Obama tentunya harus melihat bahwa tokoh-tokoh seperti Walikota New York, Michael Bloomberg dan Gubernur negara bagian New Jersey, Gov. Chris Christie, yang keduanya nota bene adalah anggota Partai Republik, sangat mendukung pembangunan Masjid itu. Demikian juga banyak tokoh Demokrat sendiri yang masih kuat komitmennya mendukung gagasan tersebut. Belum lagi tokoh-tokoh masyarakat AS dari berbagai agama dan kelompok yang sangat ingin agar simbol solidaritas dan kerukunan warganegara AS itu dapat segera diwujudkan.

Kepentingan sesaat dalam politik sering dapat membuat gagasan besar berantakan.Presiden Obama sendiri (ketika sedang kampanye dulu) sering mengritik Washington, DC sebagai kota di mana ide-ide besar dibunuh. Apakah diasekarang kena tulah dari omongannya sehingga bersikap plin-plan sepertiitu? Kita lihat saja perkembangan selanjutnya dari proyek yang sangat penting bagi rakyat Amerika dan dunia tertsebut.

No comments: