by Muhammad A S Hikam
muniryusuf.com |
Lolosnya dua calon ini tentu saja tidak sepi dari kontroversi, khusunya dari para politisi Senayan. Yang paling keras menolak terpilihnya dua finalis ini adalah PKS melalui Wakil Ketua Komisi III DPR-RI, Fachri Hamzah (FH). Menurut FH, terpilihnya kedua nama terakhir itu dianggap berbau politis dan menyembunyikan agenda tertentu. Menurutnya, Pansel " bersandiwara" belaka dengan pilihan ini, dan bahkan sudah bisa ditebak siapa yang akhirnya akan muncul sebagai pemenang, yaitu BM. Menurut vokalis PKS pada Pansus Centurygate itu, kans BW diterima oleh DPR sangat kecil terutama karena latar belakangnya sebagai mantan Ketua YLBHI yang "... dianggap DPR banyak kasus, terlalu frontal dalam pengertian banyak persoalan."(http://www/. rakyatmerdeka.co.id /news.php?id=2375). PKS tampaknya gregetan karena jagoannya, JA, ternyata terpental keluar pada tahapan seleksi terakhir.
Adalah hak PKS atau parpol manapun untuk menilai, menyetujui, atau menolak hasil Pansel Ketua KPK tersebut. Tetapi yang harus juga diperhatikan oleh para penolak dan pengecam semacam FH adalah bahwa proses seleksi calon-calon Ketua KPK tersebut dapat dikatakan sangat ketat, terbuka, dan berkualitas, disamping menelan biaya yang mahal. Jika kemudian FH mengritik proses yang pada ujungnya menggagalkan jagonya, maka beban pembuktian bahwa Pansel memiliki agenda tersembunyi (hidden agenda) berada pada dirinya. Kalau ternyata FH gagal membuktikannya, patutlah kalau dia diberi julukan pembohong dan pemfitnah. Kalau dia benar, maka dia juga harus dijuluki peniup peluit (whistle blower) yang mesti mendapat pujian dari rakyat Indonesia.
Bagi saya, kedua calon tersebut layak masuk final dan secara proses pun saya berani mengatakan inilah untuk pertama kalinya pejabat publik yang strategis benar-benar dipilih melalui pengawasan publik secara luas, dan ditangani sebuah panitia seleksi yang sangat professional, independen, dan berwibawa. Bandingkanlah, misalnya, dengan sistem seleksi anggota KPU yang penuh sandiwara dan titipan serta dilakukan hanya oleh Pemerintah dan DPR yang kedua-duanya sarat kepentingan. Hasilnya adalah sebuah KPU yang korup dan merugikan reformasi dan demokrasi serta mencederai aspirasi rakyat Indonesia secara besar-besaran. Bukan itu saja, kualitas SDM KPU pun sangat buruk. Bukan saja keahlian teknis mereka minim, tetapi yang lebih parah adalah kapasitas mental mereka yang sangat tidak layak menjadi pemangku jabatan yang sangat stretegis itu. Tak heran jika kemudian ada diantara mereka yang menjadi penghuni hotel prodeo alias bui, sebagian lagi dihinggapi isu korupsi, dan sebagian lagi dipertanyakan etikanya sebagai pejabat publik!
Pertanyaan yang lebih penting dari sekedar rengekan FH dan PKS adalah, what next?. Setelah terpilih sang Ketua, lalu bagaimana KPK ke depan? Pertanyaan ini sangatlah penting karena lembaga penegak hukum dan pemberantasan korupsi ini tampaknya sedang dirundung cobaan yang dapat memperlemah keberadaan dan kapasitasnya. Setelah sang mantan Ketua, AA, menjadi penghuni penjara akibat tindak kriminal yang dilakukannya, KPK lantas diganggu dengan kasus Cicak vs Buaya yang ingin menjatuhkan dua pimpinannya melaui sebuah rekayasa dan fitnah yang dibuat oleh konspirasi antara oknum-oknum Polri, Kejagung dan intern KPK sendiri dengan koruptor kakap. Setelah kasus itu diselesaikan melalui SKPP Kejagung pun, masih juga muncul berbagai upaya menyeret Bibit dan Chandra ke pengadilan yang membuat mereka harus non aktif. Upaya pelemahan KPK yang paling anyar adalah penolakan sebagian Fraksi dan politisi Senayan thd KPK untuk bisa melakukan pemeriksaan terhadap hasil investigasi PPATK berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang yang sekarang masih terus berjalan.
Ketua baru KPK, apakah BM atau BW, punya tugas maha berat karena harapan dan tuntutan publik terhadap lembaga ini begitu besar. Republik ini seolah-olah hidup dan matinya terletak kepada KPK yang akan mampu menyapu bersih korupsi yang sudah begitu struktural sifatnya, khususnya yang dilakukan oleh para penyelenggara negara baik di pusat maupun daerah. Tugas KPK bisa disebut sebagai "a Herculian task" atau tugas yang dibebankan kepada Hercules si manusia super kuat dalam legenda Yunani kuno. Pimpinan KPK sangat diharapkan menjadi semacam manusia "super hero" yang memiliki gabungan sifat-sifat berani, tak kenal kompromi, tak kenal lelah, bermoral tinggi, dan tak dapat digoda oleh bujuk rayu para koruptor. Kadang publik lupa bahwa anggota dan pimpinan KPK adalah manusia-manusia biasa, bukan malaikat, sehingga dibebani harapan dan tuntutan yang di luar kapasitas mereka.
Saya pribadi lebih cenderung memilih BW yang track record serta integritasnya sebagai pejuang penegak keadilan telah sangat panjang semenjak ia menjadi pekerja pembela HAM di Papua, puluhan tahun lalu. Bahwa ia memiliki sikap keras dan vokal sehingga dianggap kurang mampu berpolitik, memang benar. Namun saya yakin BW akan bisa beradaptasi dan malahan bisa membawa nuansa baru ke dalam lembaga yang didominasi SDM dari Polri dan lembaga penegak hukum pemerintah itu. Saya jelas lebih mengenal sosok BW ketimbang BM yang karirnya baru saya kenal semenjak berada di Komisi Yudisial (KY) itu. Oleh sebab itu, saya tidak bisa menilai terlalu banyak walaupun yakin bahwa beliau juga merupakan sosok yang punya kapabilitas dan integritas yang sesuai dengan tugas KPK.
No comments:
Post a Comment