30 July 2010

PAPUA DAN GUS DUR: KENISCAYAAN DEKONSTRUKSI WACANA POLITIK

Muhammad AS Hikam


Salah satu persoalan paling strategis di negeri ini adalah pembangunan dan pemberdayaan Papua serta rakyat Papua. Semenjak pulau terbesar di Indonesia ini resmi bergabung sebagai bagian NKRI, cerita yang paling sering terdengar mengenai Tanah dan rakyat Papua lebih banyak menggambarkan penderitaan dan keterbelakangan ketimbang cerita sukses pemberdayaan dan pembangunan. Kalau pun muncul dalam wacana yang positif, umumnya berkisar kekayaan alam, eksotisitas flora dan fauna, serta penduduk dan budaya aslinya. Sedikit sekali warta gembira tentang perkembangan tanah Papua dan rakyatnya sebagai bagian tak terpisahkan dari Republik Indonesia Raya, paling-paling menjadi bagian dari cerita sukses eksplorasi bangsa asing berupa tambang tembaga dan emas Freeport di kawasan Timika.

Dalam wacana dominan mengenai Papua, selalu ditarik bifurkasi atau posisi biner pemerintah pusat dan rakyat Papua yang seolah-olah tak terjembatani karena jarak fisik, jarak politik, dan jarak kultural yang maha jauh. Pusat, dalam wacana ini, adalah apa yang tidak diinginkan oleh Papua dan rakyat Papua (khususnya penduduk asli): dominasi kekuasaan, keserakahan mengeksploitasi kekayaan alam, ketidakpedulian terhadap rakyat yang masih bodoh, miskin, dan terbelakang, serta tidak adanya kemauan politik untuk meyetarakan Papua dan penduduknya dengan penduduk lain di tanah air RI. Daerah, dalam wacana ini, sering muncul dalam gambaran yang tidak nyaman, ramah, dan akrab: separatisme, ketidakmauan untuk maju dari penduduk asli, sikap keras kepala dan tak mau berterimakasih, serta ketergantungan elite Papua dengan pihak-pihak asing yang sejatinya memanfaatkan mereka.

Dengan wacana dominan seperti itu, nyaris mustahil untuk mencari titik temu yang pada ujungnya akan memperkokoh keberadaan Papua dalam bingkai NKRI serta kesadaran akan nasib sebangsa dengan "the rest of us" di bagian-bagian lain negeri ini. Wacana demikian akan terus memperdalam kecurigaan (suspicion) dan melunturkan kepercayaan (trust) atau yang masih tersisa darinya selama lebih dari empatpuluh tahun belakangan yang ada dalam mind set rakyat Papua. SAementara itu, wacana dominan tersebut juga menciptakan sikap rigid dan stereotipikal dari penguasa, khususnya di pusat, yang kemudian di share oleh sebagian rakyat Indonesia yang sejauh ini belum benar-benar memahami dan menganggap Papua sebagai bagian dari tubuh dan nyawa Republik!

Itulah sebabnya, bahkan seorang Rektor Universitas Cendrawasih, Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, pun sengaja atau tidak, sadar atau tidak masih belum mampu bneranjak dari dominasi wacana yang saya kira tidak produktif dan kreatif tersebut. Beliau mengatakan bahwa "jujur, sampai saat ini pemerintah kita di Jakarta masih mencurigai Papua, banyak tidak percayanya pada Papua." (http://www/. rakyatmerdeka.co.id/news/2010/07/29/99698/INDONESIA-DARI-PAPUA). Apakah kriteria yang beliau pakai untuk membuat statemen putatif semacam itu? Apakah penguasa daerah Papua masih di dominasi orang-orang bukan asli Papua? Apakah dana otsus Papua tidak dicairkan selama sepulih tahun terakhir? Apakah lembaga-lembaga adat, agama, dan kaum perempuan tidak masuk dalam Majelis Rakyat Papua? Apakah DPR Papua masih belum terbentuk? Apakah pemekaran provinsi dan kabubaten di papua tidak terjadi? Apakah kerukunan umat beragama dan hubungan antar-etnis sangat buruk selama beberapa tahun terakhir?

Saya berani mengatakan, kalau kriteria itu yang dipakai untuk soal kepercayaan Pusat kepada Papua, saya kira jawabnya tidak benar. Prof Kambuaya, seperti halnya banyak elite Papua termasuk yang berada dalam masyarakat sipilnya, hanya menggunakan wacana dominan itu sebagai mantra yang kalau diulang-ulang dianggap kemudian menjadi kenyataan atau paling tidak menciptakan tenaga "magis." Dengan menyatakan bahwa Pusat masih curiga tersebut, sang Prof telah menghapus dan meniadakan seluruh fakta-fakta yang telah berubah di Papua yang kesemuanya berpotensi memberdayankan tanah Papua dan rakyatnya. Dengan kata lain, elite Papua juga sedang berpartisipasi dalam menciptakan wacana tidak mempercayai (discourse of distrust) apa yang telah dan sedang berproses. Bahwa proses tersebut masih belum memuaskan, semua orang tahu, tetapi menganggap semuanya tidak berarti karena masih ada kecurigaan, saya kira hal itu sangat tidak fair.

Demikian juga jika Pusat masih tetap menganggap Papua sebagai "terra incognita" (ranah tak dapat dipahami) yang selalu harus ditutup dari mata publik, selalu dianggap rawan dan berbahaya (tetapi dibiarkan dieksploitasi sumber alamnya ioleh asing!), senantiasa diselimuti bahaya separatis dan OPM (dalam jenis yang berganti-ganti), dan senantiasa dianggap tidak mampu mengikuti perkembangan yang terjadi di daerah Indonesia yang lain, maka Pusat pun sebenarnya sedang menjalankan missi penghancuran dari dalam. Papua, cepat atau lambat akan mengalami pengasingan eksistensi, alienasi dari batang tubuh RI, dan membeku dalam stagnasi sosial-budaya, politik, dan ekonomi. Pusat dan "the rest of us" harus bertanggungjawab jika kemudian RI teramputasi salah satu oragnnya yang terpenting, karena telah terjebak dan merasa enak dalam wacana dan praksis yang sangat menyesatkan itu.

Sudah saatnya dilakukan dekonstruksi wacana dan praksis mengenai Papua dan rakyat Papua, dan menggantinya dengan wacana dan praksis baru yang lebih produktif, humanis, dan membebaskan atau emansipatoris. Papua sebagai bagian integral NKRI adalah fakta yang tak bisa diubah selama Republik masih ada dan karenanya pemberdayaan kawasan dan rakyat Papua adalah sine qua non atau kemutlakan: infrastruktur, ekonomi, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang terjadi di daerah Indonesia yang lain. Bahkan sebuah Marshall Plan ala Indonesia utk Papua semestinya dibuat semenjak lama untuk membebaskan wilayah itu dari isolasi yang disengaja atau tidak, baik oleh elite Pusat dan Daerah. Pusat tidak boleh hanya memberikan ikan yang kemudian membusuk karena dikorupsi oleh elite Daerah, dan elite Daerah tidak hanya membodohi rakyat dengan mengeksploitasi ketidaktahuan mereka serta ketiadaan akses kepada kekuasaan.

Salah satu pelopor dekosntruksi wacana dan praksis tentang Papua adalah Almaghfurlah Gus Dur. Bagi beliau, Papua terlalu besar dan terlalu kaya serta terlalu penting untuk hanya diserahkan kepada elite Papua dan Pusat belaka. Papua harus tetap menjadi milik bangsa Indonesia yang bermanfaat bagi bangsa dan menjadi pelopor bagi kejayaan bangsa di masa datang. Itulah sebabnya, wacana bifurkatif yang hanya menguntungkan para elite harus dibongkar dan deganti dengan wacana dan kiprah pemberdayaan yang bermanfaat bagi semua. Gus Dur memulai dengan pembongkaran nama yang dianggap tidak memiliki landasan kultural, yaitu Irian Jaya, menjadi Papua. Beliau juga mengakui hak-hak budaya termasuk lambang bintang kejora sebagai identitas lokal, bukan sebagai lambang sebuah entitas negara baru. Beliau pun mempelopori otonomi khusus untuk Papua, kendati tidak sempat mengikuti sampai terwujud hingga saat ini. Itulah sebabnya bagi Papua dan rakyat Papua, Gus Dur adalah pahlawan sejati mereka yang akan menjadi inspirasi dan simbol pemersatu bangsa yang menghargai dan menghormati hak-hak dasar semua warganegara, termasuk Papua.

Jakarta 31 Juli 2010

No comments: