Klik disini untuk mengetahui beritanya
Muhammad AS Hikam
Bak "singa ikut menggembala domba", barangkali tepat untuk mengumpamakan
kebijakan absurd Pemprov DKI Jaya menggandeng ormas-ormas yang selama
ini dikenal akrab dengan kekerasan atas nama membela agama, dalam rangka
menjaga ketertiban masyarakat selama Ramadhan. Tampaknya, salah satu
ciri khas Pemda DKI di bawah pimpinan
Fauzi Bowo (FB) adalah mengulangi kesalahan yang sudah terbukti secara
empiris. Selain itu, Pemerintah DKI juga mempunyai kegemaran untuk
memilih cara kekerasan sebagai alat resolusi konflik, ketimbang
menggunakan cara-cara yang lebih layak dipakai dalam sebuah masyarakat
yang modern, maju, dan beradab. Hal ini sangatlah disayangkan, karena
mengelola sebuah kota yang menjadi ibukota Republik bukan hanya terkait
dengan bagaimana menertibkan warganya secara fisik, tetapi juga terkait
dengan cara-cara atau pendekatan apa yang dipakai, serta siapa yang
melakukan dan bertanggungjawab di dalamnya. Jakarta jelas tidak
sama atau disejajarkan dengan Jayapura, Surabaya, Samarinda, dan
kota-kota provinsi lain di negeri ini. Kendati ibukota-2 provinsi
tersebut juga sangat penting tetapi mereka tidak menjadi lokasi
perwakilan negara-negara sahabat setingkat Kedutaan yang secara konstan
akan menggantungkan keberadaan mereka dengan keamanan dan ketertiban
publik ibukota. Jakarta, sudah semestinya, memiliki perbedaan dan
kelebihan dalam hal pengaturan ketertiban publik dan penjagaan keamanan
warganya yang setara dengan ibu kota negara-negara lain yang modern,
maju dan beradab. Saya belum pernah mendengar ada sebuah pemda ibukota
negara maju yang secara terang-terangan mengajak kerjasama dengan
ormas-ormas setengah preman yang sudah dikenal luas sebagai pihak yang
paling sering melanggar hukum, HAM, dan keadaban publik (public
civility). Justru sebaliknya, biasanya pemda-2 ibukota negara maju akan
berusaha keras mengenyahkan ormas-ormas ini, berikut kegiatannya, dari
pemandangan publik sehar-hari. Karena selain mengganggu dan berpotensi
ancaman keamanan, juga sama sekali tidak layak untuk dilihat dan
dipamerkan ke dunia internasional!
Kebijakan FB ini sudah jelas
harus ditolak oleh akal waras dan seluruh rakyat Indoinesia yang
menginginkan ibu kota RI tidak menjadi percontohan antara penguasa dan
kekuatan anti demokrasi dan keadaban publik. FB dkk harus ingat bahwa
DKI bukanlah milik dirinya dan m,ilik warga DKI semata, tetapi milik
nasional. Apa jadinya kalau CNN, Al-Jazeera, BBC, dan jejaring media
elektronik di Asia Pasifik menayangkan sweeping setiap malam di bulan
suci Ramadhan di Jakarta yang (bisa jadi) berdarah-darah dan tidak
berperi kemanusiaan seperti kasus Tanjung Priok? Padahal dalam kasus
Priok itu pun, yang menjadi pelaku adalah Satpol PP, sebuah institusi
legitimate. Bagaimana kalau pelaku sweeping Ramadhan adalah ormas-ormas
setengah preman yang tidak mempunyai kemampuan dan landasan hukum? Saya
yakin, Jakarta akan mirip sebuah zona perang (war zone) di mana hukum
tidak berlaku dan kesewenang-wenangan merajalela? Malam bulan Ramadhan
akan menjadi malam mimpi buruk bagi ummat Islam di Indonesia.
Itukah
yang ada di benak FB dan para jajaran Pemda DKI termasuk DPRDnya?
Apakah mereka sudah dirasuki oleh suatu paranoia kolektif sehingga
mereka membuat kebijakan publik yang mengerikan itu? Saya tidak tahu,
tetapi semoga saja tidak. Semoga saja tekanan publik yang waras masih
bisa mementahkan gagasan absurd sehingga bulan suci Ramadhan di Jakarta
bisa berlangsung dengan aman, tenang, khusyu' dan, yang tak kalah
penting juga, beradab. Pertanyaan saya setiap bulan suci ini datang
adalah, kenapa ada semacam kebutuhan nyaris ritualistik untuk melakukan
sweeping terhadap apa yang disebut kemaksiatan? Saya sering melihat hal
ini hanya sebagai sebuah skim untuk memberi kesempatan bagi sekelompok
ormas dan pihak tertentu untuk menampilkan citra kesalehan sambil
mencari sasaran pengumpulan dana saja. Sebab kalau tidak begitu, kenapa
hal ini berlaku hanya pada waktu yang ditentukan dan bukan sebuah
tindakan penegakan hukum yang sistematik, terkoordinasi, dan ada awal
dan akhirnya?
Jakarta sebagai kota rujukan seluruh kota di
Republik ini, harus menjadi sebuah contoh kota yang baik (al madiinatul
fadhilah). Artinya, Pemda DKI harus memiliki kemampuan manajerial yang
selevel dengan pemda-pemda ibukota negara-negara yang modern, maju dan
beradab. Bukan justru menjadikan Jakarta sebagai ikon ketidak teraturan
publik dan percontohan sebuah kolaborasi antara penguasa yang korup
dengan kelompok dan organisasi massa yang mempunyai catatan hitam.
Marhaban Ya Ramadhan di Jakarta, semoga kesucianmu tidak tercoreng ulah
para elite penguasa yang tidak lagi diterangi oleh Nur Ilahi.. Amin
No comments:
Post a Comment