Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Jababeka, Cikarang, Jabar
Panggung DPR kembali menyaksikan adegan "goro-goro" antar Fraksi besar. Kali ini Fraksi Partai Demokrat di DPR-RI (FPD) sebagai pembela kebijakan Pemerintah pada saat sidang paripurna hari ini (24 Agustus 2010) mencoba menunjukkan taringnya melawan Fraksi Partai Golkar (FPG) untuk merebut simpati publik. Diberitakan bahwa Fraksi Partai besutan SBY ini berdebat dengan Fraksi Partai Golkar (FPG) mengenai sikap Pemerintah RI terhadap pelanggaran wilayah oleh Malaysia dan penangkapan petugas DKP. FPG menganggap insiden tersebut tidak ditangani oleh pemerintah dengan baik, bahkan menurutnya telah terjadi "kegagalan diplomas Pemerintah menghadapi Malaysia." Melalui salah satu anggotanya dari Komisi I, Tantowi Yahya, FPG menyatakan bahwa insiden penangkapan tiga petugas DKP di perairan RI itu juga "sangat merendahkan martabat bangsa." Tidak terima dikritik seperti itu, melalui Hayono Isman yang juga dari Komisi I, FPD sontak menolak tuduhan tersebut. Dengan sigap FPD menyatakan bahwa Pemerintah justru sedang dan terus melakukan penyelesaian masalah dengan pendekatan kekeluargaan karena Indonesia dan Malaysia "adalah negara sahabat, negara serumpun yang harus saling menghormati."
Sebagai sebuah move politik, lankha idealis FPG boleh jadi akan mendapat lebih banyak dukungan publik ketimbang langkah realis FPD. Apalagi dalam situasi suhu emosi tinggi saat ini. Publik tentu punya kecenderungan untuk mengamini pendekatan yang lebih tegas dari Pemerintah RI dalam menghadapi apa yang dikesankan sebagai sebuah provokasi dan penghinaan terhadap martabat bangsa. FPG tampaknya ingin memainkan kartu idealis ini pada saat dirinya sedang mengalami penurunan citra sebagai akibat manuver-manuvernya akhiri-akhir ini yang kurang simpatik di mata publik. Reputasi Golkar yang kurang moncer dalam masalah Pansus Century, ide dana aspirasi dan rumah aspirasi, akan dicoba ditebus dengan mengangkat isu Malaysia dengan mengkapitalisasi simpati publik terhadap sikapnya yang tegas dan "patriotik" tersebut. Apakah FPG akan benar-benar serius dan sungguh-sungguh memperjuangkan gagasan patriotiknya sampai titik terakhir, adalah soal lain. Bagi saya sudah semestinya publik tahu bagaimana rekam jejak parpol penguasa Orba ini. Orang hanya perlu menegok ke belakang sedikit saja, misalnya, bagaimana sikap FPG yang tidak konsisten ketika memperjuangkan keputusan Pansus Century beberapa waktu yang lalu.
FPD yang menjadi partai Pemerintah tentu akan mati-matian membela apa yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah dalam menghadapi krisis dengan Malaysia ini. Sayangnya FPD juga harus tahu bahwa, setidaknya untuk sementara, Pemerintah seperti tak berdaya atau bahkan kehilangan akal menghadapi tuntutan publik. Itulah sebabnya Pemerintah lantas terkesan mendiamkan konflik merebak dan, kalau toh bekerja, ia mencoba berlindung dibalik sopan santun diplomatik (diplomatic niceties). Tak heran bila sekarang Pemerintah sedang mengembangkan adalah argumen lama bahwa RI dan Malaysia adalah serumpun dan sesama anggota ASEAN, sehingga tak elok apabila ada kesan bertengkar. Pemerintah mungkin lupa bahwa adalah Malaysia yang seringkali memakai dalih serumpun itu untuk meredakan sikap anti-Malaysia dari publik Indonesia manakala terjadi insiden-insiden. Dengan demikian Pemerintah RI malah seperti mengekor strategi diplomasi Malaysia! Akibatnya, kendati Malaysia sudah sering melakukan pelanggaran dan tidak menunjukkan sikap sebagai tetangga yang baik (a good neighbor attitude) dan malah cenderung provokatif, tetapi masih juga dicoba ditutupi. Pemerintah RI, menurut hemat saya, tampaknya sangat memikirkan implikasi yang harus dihadapi apabila sikap tegas terhadap Kualalumpur yang dipilih, karena bisa saja akan makin menampilkan sisi kelemahan Indonesia dibanding Malaysia dari segi ekonomi, militer, dan dukungan internasional.
Toh Pemerintah (dan tentu saja FPD) memilih resiko kurang populer tersebut, setidaknya untuk membeli waktu (buying time) agar sebuah solusi yang paling aman dapat ditemukan dalam menghadapi Malaysia. Namun strategi bukan tanpa resiko. Haruslah diketahui bahwa semakin hari ternyata permasalahan hubungan antara kedua negara ini bukan hanya melulu masalah teritorial. Semakin terbuka kepada publik Indonesia bahwa banyak persoalan sensitif yang selama ini tersembunyi. Contoh paling konkret adalah adanya ratusan warganegara RI di Malaysia yang sedang menunggu vonis hukuman mati oleh pengadilan negara itu karena tindak kriminal yang dilakukan oleh para pemdatang tersebut. Ironisnya, justru perkara yang sensitif dan berdampak besar ini ternyata malah belum diketahui bahkan oleh Presiden dan para Menteri yang terkait, seperti Menlu dan Menakertrans. Nah, jika masalah-masalah yang tersembunyi ini nantinya makin bermunculan ke permukaan, maka dampaknya akan semakin mempersulit pemerintah dan FPD di DPR untuk berkelit dan bersikukuh dengan pendekatan buying time tersebut.
Di bawah permukaan, perdebatan FPG dan FPD sejatinya hanyalah merupakan pertarungan kepentingan dan tawar-menawar antara kedua parpol dan elitenya. Saya tidak terlampau yakin bahwa baik FPG maupun FPD memiliki komitmen serius untuk menyelesaikan masalah ini dengan berpijak pada paradigma masing-masing. Karena itu, bagi saya yang menarik untuk ditunggu adalah apakah Partai Demokrat akan dipaksa oleh Gokar untuk memberikan konsesi politik sebagaimana ketika Golkar mendapat posisi Ketua Harian Sesgabsi setelah Pansus Century? Dalam suasana perpolitikan nasional yang sarat dengan politik transaksi seperti sekarang, bukan hal yang tak mungkin bahwa ternyata aksi patriotisme FPG vs pragmatisme FPD di DPR hari ini tak lebih hanya sebuah tawar menawar posisi politik biasa, dan rakyat yang keburu simpati akhirnya harus gigit jari seperti sebelumnya.
No comments:
Post a Comment