04 August 2010

KENANGANKU DENGAN GUS DUR (24)

Muhammad AS Hikam

Sebagai salah seorang guru yang paling penting dalam kehidupan saya, Almaghfurlah Gus Dur tampaknya memang sosok dan tipe guru yang Non-konvensional. Metode yang dipakai untuk memberikan ilmu atau pemahaman kepada orang, menurut saya, memang sangat bervariasi. Saking bervariasinya, bukan tidak mungkin orang baru merasa bahwa Gus Dur memberikan "pelajaran" atau "ilmu" kepada orang tersebut setelah sekian lama berlangsung. Pengalaman ini menjadi salah satu kenangan saya dengan beliau, yaitu bagaimana cara GD melakukan transfer of experience secara intensif tetapi yang saya pahami setelah sekian lama berlangsung. Pada mulanya apa yang dilakukan oleh beliau saya pikir hanyalah sebagai suatu hal lumrah dan sekedar sebuah kebetulan belaka, sehingga saya juga tak merasakan sebagai sesuatu yang memang direncanakan beliau.

Pengalaman ini berkaitan dengan bagaimana Gus Dur dalam beberapa kesempatan dimana semestinya beliau memberikan mauidloh hasanah, alias pidato, lalu tiba-tiba tidak jadi datang dan akhirnya saya yang mesti "ketiban sampur," istilah Jawanya, alias harus menjadi ban serep beliau. Padahal acara-acara tersebut adalah perhelatan yang melibatkan puluhan ribu massa dan event yang sangat penting seperti ulang tahun wafat (Khaul) Ulama pendiri Pesantren besar atau Khaul seorang Waliyullah yang sangat dihormati masyarakat di satu atau beberapa daerah. Kalau hal ini berlangsung hanya satu atau dua kali, barangkali saya tidak akan terlalu memikirkannya, tetapi karena yang saya ingat saja sudah lebih dari lima kali terjadi, maka akhirnya saya renung-renungkan apa maknanya.

Tentu bukan Gus Dur namanya kalau tidak dengan cara yang spektakuler dan penuh kejutan. Misalnya, ketika pada suatu saat GD membatalkan kehadiran beliau dalam acara Khaul mBah Sunan Bonang di Tuban. Kalau tak salah, itu terjadi ketika beliau sudah lengser dan tentu saya juga tidak lagi menjadi menteri, tetapi salah satu Ketua partai. Sebagaimana biasanya, acara Khaul yang dari zaman dahulu sangat populer itu, menarik minat pengunjung hingga memenuhi alun-alun Tuban, mungkin jumlahnya bisa sampai sembilan puluh atau seratusan ribu orang. Karena yang akan rawuh (hadir) sebagai pembicara utama adalah Gus Dur, tentu daya tariknya makin besar lagi dan para peziarah pasti juga akan meluberi tempat acara. Dan memang benar, ketika saya sampai di lokasi, setelah "berjuang" keras menerobos massa yang berjubel, saya perkirakan memang sekitar seratusan ribu manusia memadati alun-alun dan jalan-jalan sekitarnya. Kharisma Gus Dur memang seperti magnet yang luar biasa untuk wilayah mantan Karesidenan Bojonegoro dan sekitarnya.
Ketika saya duduk bersama Kyai Cholilurrachman, pimpinan Yayasan Sunan Bonang dan sekarang Rois Syuriah NU Kab Tuban, sambil menunggu acara dimulai, saya tanya kepada beliau "Gus Dur sudah sampai mana, Kyai?". Kyai Cholil, yang juga guru saya waktu di SMP Mu'allimin, menjawab "katanya masih di jalan, tapi saya tidak bisa memastikan di mana beliau.." Menderngar itu saya sudah kebat-kebit, jangan-jangan ada sesuatu. Dan benar, setengah jam kemudian, sopirnya GD menelepon saya (dari Jakarta!), katanya GD mau bicara sama saya. Tentu segera saya bilang monggo, silahkan.

"Kang sampean sudah di Tuban sekarang?" Kata GD dari ujung telepon

"Iya Gus, kan kemarin janjiannya kita ketemu di Tuban." Saya menjawab

"Iya, tapi saya tiba-tiba sakit perut yang serius, Kang... jadi gak bisa datang."

"Lho lha terus ini gimana Gus, puluhan ribu orang menunggu panjenengan.."

"Ya sudah, sampean saja yang pamitkan saya, nanti minta maaaf saya gak bisa hadir karena sakit. Mohon doanya semoga segera sembuh." Kata GD enteng

"Lha terus saya nanti omong apa, wong gak ada persiapan.." Saya langsung cemas

"Ya ceritakan saja bagaimana perjuangan para wali. Sampean kan mengerti... Cerita soal Mas Karebet atau Joko Tingkir, misalnya, selain mBah Bonang. Yang begitu-begitulah..."

"Ya njenengan bicara sama Kyai Cholil dulu bahwa gak bisa hadir.." Kata saya sambil menyerahkan telepon kepada guru saya, Kyai Cholil.

Walhasil, akhirnya saya yang harus bicara, kendati waktu itu diundang juga Kyai Fuad Hasyim dari Buntet (almaghfurlah). Ketika saya kembali ke Jakarta, GD cuma enteng saja bertanya "Piye Kang, acara Khaul mBah Bonang?". Saya sambil rada "manyun" menjawab, "Wah Gus, saya bener-bener ngeri, gak siap. Beda waktu saya jadi meneteri dulu, pidato di tempat yang sama gak masalah karena sudah dipersiapkan." Gus Dur cuma tertawa saja, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

Yang begini ini terjadi lagi di Klaten, di Ponpes Popongan, pesantren yang usianya ratusan tahun dan salah satu pengasuhnya yang terkenal adalah Almaghfurlah mBah KH Manshur. Ayah saya alm juga pernah mengaji tasawuf ke pesantren yang punya tradisi Tasawuf Naqsyabandiah Kholidiah ini. Khaul mbah Manshur Popongan pun dihadiri puluhan ribu orang di sekitar Klaten, Boyolali, bahkan Grobogan juga. Saya kebetulan juga diajak kesana oleh Gus Dian Nafi' dari Solo yang masih keuarga ponpes itu. Sama dengan yang terjadi di Tuban, Gus Dur juga mendadak tidak jadi hadir (saya lupa alasannya) dan akhirnya saya ikut kena sampur "mewakili" beliau. Untung ada Gus War dari Lirboyo, Kediri, yang juga menjadi penceramah, sehingga pastinya para hadirin bisa mendapat siraman rohani, bukan cuma "hasutan rohani" dari saya (ini istilah GD kalau mengomentari saya). Di Jember, hal serupa terjadi juga, di Semarang, di Lumajang, dan entah beberapa lagi saya lupa. Polanya sama: last minute cancellation dengan segala macam alasan, dan saya tidak diberitahu sebelumnya, ujug-ujug (mendadak) saya jadi ban serep!

Terus terang, saya lalu mencoba mengembangkan taktik, kalau Gus Dur ceramah dan saya diundang untuk hadir, lebih baik datang bersama-sama beliau. Bukan apa-apa, cuma saya merasa tidak bisa pidato di depan massa seperti para Ustadz dan Kyai, apalagi seperti GD. Tentu saja taktik ini kadang berhasil, kadang tidak, dan akhirnya saya menyerah. Terima saja apa hasilnya. Lama saya baru mikir, bahwa mungkin saja inilah caranya GD memperkenalkan saya kepada publik massa bawah (grassroots) NU agar saya memahami dengan lebih baik bagaimana cara berbicara dengan mereka. Daripada saya diperkenalkan oleh GD lebih baik bicara saja sendiri dengan segala resikonya. Untunglah para jamaah NU berhati baik, sehingga rasanya saya belum pernah disuruh turun dari panggung sebelum "pidato" saya selesai!

Saya yakin GD juga memberi "pelajaran" dengan cara yang sama kepada beberap orang seperti saya, hanya saja belum pernah mendengar cerita mereka saja. Bagi saya, hikmahnya adalah bahwa bersama GD harus selalu siap dengan segala situasi. Saya juga belajar bicara model seminar menjadi pidato untuk massa, dengan pemakaian bahasa dan isi pesan yang sangat berbeda. Walaupun saya sampai sekarang masih tetap alergi untuk pidato di depan massa, tetapi tampaknya tidak terlalu menakutkan lagi. Dalam kampanye-kampanye Pemilu sejak 2003 sampai yang terakhir 2009, saya sudah tidak lagi demam panggung atau gagap untuk berkomunikasi dengan massa yang acak seperti itu. Gus Dur adalah guru yang sabar tetapi sekaligus juga tidak tanggung-tanggung. Kalau saja saya sejak awal diberitahu oleh beliau bahwa saya akan diajari dengan cara itu, pastilah saya sudah lari tunggang langgang.! Terimakasih Gus atas pelajaran yang diberikan kepada saya!

No comments: