26 August 2010

MEMPERTIMBANGKAN PERGANTIAN MENLU

Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Kota Jababeka, Cikarang, Jabar

Perkembangan politik akibat krisis perbatasan dan penangkapan petugas DKP oleh AL Diraja Malaysia tampaknya telah memasuki babak baru. Menlu Marty Natalegawa (MN), sang sahibul masalah, benar-benar dipaksa melakukan pertemuan maraton Komisi I DPR pada Rabu kemarin. Sayang sekali, momen penting untuk klarifikasi tentang tindakan Pak menlu terasa antiklimaks. Jawaban-jawaban yang beliau berikan terhadap pertanyaan-pertanyaan menohok dan cenderung mengandung ketidak percayaan tampak dikemukakan dengan nada emosional dan beliau kerap kehilangan kata-kata yang runtun. Ini tentu bukan kebiasaan yang menjadi trade mark orang nomor satu di Jl. Pejambon itu. Pada pokoknya, MN masih ngotot bahwa tindakan-tindakannya selama terjadi insiden penangkapan petugas DKP dan pertukaran antara nelayan Malaysia dengan mereka, termasuk pengiriman nota protes yang dilakukan setelah usai, adalah tindakan yang tepat dan tidak merupakan sebuah keterlambatan.

gambar :deplu.go.id


Tak urung para anggota Komisi I pun rame-rame menyuarakan kekcewaannya. Dan seperti biasanya, muncul manuver politik agar MN diganti sebagai Menlu. Melihat perkembangan seperti inilah Menteri Syarif Hasan (SH), yang juga pentolan Partai Demokrat itu, sontak angkat bicara dan menolak gagasan yang dianggapnya tidak akan menyelesaikan masalah itu. Menurut Syarif, lebih baik urusan sengketa Malaysia-Indonesia itu diselesaikan lewat diplomasi tanpa harus menimbulkan pertikaian. Indonesia, lanjutnya, memerlukan hubungan bertetangga yang sudah baik dengan Malaysia, Singapura dan Australia, jangan sampai terganggu.

Tentu adalah hak penuh SH membela Menlu dengan argumen normatif seperti itu. Namun argumen SH bisa saja tenggelam karena publik telah sangat penat dan mulai hilang sabar dengan model birokratis yang dipakai oleh Menlu sehingga makin membuat suasana tidak kondusif untuk Presiden. Apalagi tampaknya Menlu masih tetap bersikukuh untuk tidak mau keluar dari zona kenyamanannya dan memandang masalah secara text book. Politik luar negeri, sama seperti politik yang lain, memerlukan imajinasi yang tinggi sehingga sebagai seorang interlocutor dari negara yang mendapat rongrongan kedaulatannya dapat membuat terobosan yang lebih baik. Jika cara MN diterus-teruskan, maka negara-negara selain Malaysia akan melihat bahwa Indonesia memang negara lembek (soft state) yang sangat rentan dengan infiltrasi dari luar,



Mengamati rapat dengar pendapat (RDP) DPR dan Menlu kemarin, saya tak habis pikir ketika melihat bahwa Menlu selalu mengatakan tidak mau mencampuri urusan kementerian lain, misalnya KKP (Kementrian Kelautan dan Perikanan). Bagi saya, adalah tugas seorang menteri untuk pro aktif melakukan koordinasi dengan kementerian lain yang memang tugasnya bersinggungan. Kalau begitu cara kerja Menlu, bagaimana mungkin Kementrian yang dipimpinnya bisa berkiprah dengan baik? Karena semua urusan luar negeri pasti akan bersinggungan dengan kementrian lain, termasuk KKP, Menakertrans, Menhan, dsb. Ini menjadi bukti lagi bahwa NM memang belum mau "gaul" dengan pihak lain dan tampaknya lebih memilih menunggu umpan dari tempat lain. Tak heran jika kemudian terjadi kelambanan dalam mengurus nota protes dan terjadi silang pendapat dengan Menkopolhukam mengenai masalah letak kapal DKP apakah di wilayah RI atau tidak.

Jika pembantu Presiden yang posisinya demikian strategis seperti Menlu ternyata tidak memiliki sensitivitas politik, rasanya susah diharapkan akan terjadi penyelesaian yang memuaskan Indonesia. Malah bukan hal yang mustahil kalau Indonesia nantinya akan mengikuti kehendak Malaysia agar perundingan perbatasan laut antara kedua negara di bawa ke Mahkamah Internasional. Malaysia merasa memiliki kans untuk memenangkan tuntutannya, sebagaimana pada kasus Pulau-pulau Sipadan dan Ligitan dahulu. Dalam kasus itu, Indonesia pada awalanya juga sangat yakin akan dapat mempertahankan pulau-pulau itu dari klaim Malaysia. Ternyata dalam perkembangan sam[ai akhir, kebalikannyalah yang terjadi. Setelah pulau-pulau itu benar-benar lepas, dibuatlah berbagai justifikasi yang pada intinya memberikan pembenaran bahwa kedua pulau itu bukan milik kita!

Saya sangat setuju dengan Menteri Syarif bahwa urusan ganti mengganti Menteri adalah hak prerogatif Presiden. Namun saya ingin mengingatkan Pak Menteri bahwa jika ibaratnya seorang pembantu yang merugikan juragannya namun tetap dibiarkan saja, maka resikonya akan sangat tinggi. Bisa saja reputasi sang juragan akan semakin menurun karena dianggap terlalu lemah dan tidak mampu memilih pembantu yang baik. Sikap berhati-hati dalam mempertimbangkan penggantian seorang Menteri Kabinet adalah mutlak diperlukan. Namun demikian perlu juga dipertimbangkan bahwa kepentingan negeri ini pun terlalu mahal untuk dikorbankan hanya karena sekedar pencitraan. Saya berharap bahwa anti klimaks yang dipertunjukkan dalam RDP tersebut adalah yang terakhir, sehingga wacana yang mulai beredar tentang Reshuffle Kabinet tidak perlu menyentuh Kementrian Luar Negeri kita.


No comments: