31 August 2010

DIRGAHAYU DPR-RI RAKYAT MEMINTA TANGGUNGJAWABMU !!!

By : Muhammad A S Hikam

Sebagai seorang alumnus DPR-RI, saya ingin menyampaikan Selamat Ultah DPR-RI yang Ke 65, usia yang sama dengan Kemerdekaan RI. Saya juga ingin menyampaikan catatan sebagai mantan anggota DPR yang hanya sempat aktif selama 3 tahun (2004-2007) dan harus meninggalkannya karena perselisihan dengan Partai politik dari mana ...saya berasal, yaitu PKB. Kendati cukup singkat, apalagi dibandingkan dengan beberapa anggota yang sudah lebih dari empat atau lima periode bercokol di Senayan, toh saya juga mempunyai berbagai kenangan dan harapan serta aspirasi yang mungkin berguna baik bagi para anggota yang sekarang bertugas maupun mereka yang akan datang.

Dengan usia yang sudah cukup "lanjut" tentu seharusnya DPR telah mampu menjadi salah satu tiang penyangga demokrasi di Indonsia dan pelaksana amanat Proklamasi sebagaimana termaktub dalam pasal-pasal UUD 1945. DPR adalah pengejawantahan kedaulatan rakyat yang dipilih melalui Pemilu, sehingga keberadaannya merupakan pelaksanaan sistem demokrasi perwakilan yang membedakannya dengan demokrasi langsung. DPR memikul tiga fungsi utama: pengawas thd eksekutif, pembentuk undang-undang, dan penentu anggaran bersama pemerintah. Sayang sekali kendati telah lebih dari enam dasawarsa lembaga ini berada dan berkiprah, namun bisa sejatinya DPR baru dapat dikatakan sebagai lembaga perwakilan rakyat yang benar-benar berfungsi dan dibentuk melalui prosedur yang demokratis, bisa dikatakan kurang dari duapuluh tahun. Angka ini saya ambil dari kurun masa Demokrasi parlementer ditambah satu dasawarsa pasca Reformasi.

Karena itulah rakyat tidak mungkin berharap terlalu banyak kepada DPR agar berkiprah secara optimal. Kendati DPR telah mendapat topangan kokoh secara konstitusional, namun pelaksanaannya tiudaklah mudah karena beberapa hal. Pertama, institusi DPR sangat tergantung dari sistem politik yang ada khususnya sistem kepartaian di mana ia berasal dan sistem Pemilu yang menjadi alat rekrutmennya. Kedua pemberdayaan DPR yang telah mengalami pembonsaian terlalu lama pada masa Orba dan Orla mengharuskan adanya kemampuan kepemimpinan yang akan dapat membangkitkan gairah dan mendorong proses tersebut bagi anggota dan rakyat. Ketiga, diperlukan pengembangan kapasitas institusi dan sumberdaya manusia yang sepadan dengan tugas pokok dan fungsi DPR yang berhadapan dengan lembaga elsekutif dan legislatif. Keempat, pemnberdayaan DPR harus pula didukung oleh perubahan kultur politik secara makro yang kondusif bagi pengembangan sistem demokrasi di mana DPR menjadi pilar utama di dalamnya.

Kenyataan yang berkembang selama lebih dari sepuluh tahun terakhir ini, DPR tidak mendapatkan dukungan dari keempat faktor tersebut secara optimal. Khususnya sistem kepartaian dan Pemilu yang berkualitas rendah telah menjadikan DPR sebagai lembaga yang tidak memiliki kapasitas, kewibawaan, dan penhejawantahan kedaulatan rakyat. Dengan demikian, rakyat masih dengan sangat jelas melihat kesinambungan DPR pasca-Reformasi dengan sebelumnya yaitu ketidak mampuan menjalankan ketiga fungsi utamanya secara nyata. Di bidang legislasi, kita semua betapa produktifitas dan kualitas perundangan yang rendah. Di bidang anggaran DPR sangat bergantung kepada usul Pemerintah, sehingga fungsi DPR dalam hal ini tidak lebih hanya sebagai makelar. Dalam bidang pengawasan thd esekutif, kinerja DPR sarat dengan perselingkuhan dan transaksi politik yang menghasilkan sumpah serapah rakyat serta ketidak percayaan mereka thd wakil-wakilnya.

Potret kinerja dan kapasitas DPR yang masih jauh panggang dari api ini, tentu harus diakui. Wakil DPR-RI dari PDIP, Pramono Anung (PA), termasuk pemimpin yang cukup gentleman mengakui kelemahan lembaganya, tidak seperti Marzuki Alie (MA), Ketua DPR, yang malah meuji DPR periode 2009-2014 yang disebutnya telah sukses dalm kinerja selama setahun belakangan. Jika sukses tersebut adalah sukses dalam mengecewakan rakyat, saya setuju. tetapi jika DPR yang hanya menghasilkan 7 UU disebut sukses, menurut saya hal itu adalah sikap yang narsis dan "ndableg". DPR hasil Pemilu 2009 adalah DPR yang paling buruk dan tdak punya kompeten sebagaimana seharusnya lembaga tinggi negara yang harus menjadi pembentuk undang-undang dan pengawas kinerja eksekutif. Kualitas para anggota DPR saat ini jelas jauh lebih rendah dari sebelumnya, belum lagi kalau disinggung tentang disiplin yang teramat rendah dan produktifitas kerja yang minim.

Harapan saya adalah DPR akan menghasilkan terobosan yang ditujukan untuk mendobrak stagnasi dan kebekuan sistem kepartaian dan Pemilu. DPR harus menciptakan aturan perundang-undangan yang bisa menuntut peningkatan kualitas parpol sehingga wakil rakyat yang direkrutnya tidak sperti sekarang. DPR juga harus membuat UU pamilu yang memungkinkan adanya KPU yang tidak koruyp, non partisan, dan punya keahlian. Demikian pula DPR harus membuat UU yang memungkinkan adanya perampingan jumlah parpol di Parleman yang ada di DPR dan DPRD. Dengan demikian lembaga perwakilan rakyat nanti benar-benar efektif, berdaya, dan bermutu yang mampu mengemban tugas yang diberikan oleh Konstitusi. Selanjutnya DPR perlu memberdayakan diri secara internal berkaitan dengan otonomi keuangan dan perekrutan SDM yang diperlukan untuk menopang aktivitasnya. hanya dengan perubahan fundamental inilah, saya kira, reformasi dan demokratisasi akan dapt berjalan secara substantif dan bukan "ethok-ethok" atau seolah-olah belaka seperti sekarang ini,

Dirgahayu DPR-RI, Rakyat Meminta Tanggungjawabmu!!

selengkapnya >>>

30 August 2010

RUMAH CORDOBA DAN KEBEBASAN BERAGAMA DI AS

Oleh Muhammad AS Hikam

President University
Kota Jababeka, Cikarang, Jabar

Artikel Doug Bandow, seorang pakar dari Cato Institute, sebuah lembaga tangki pemikir yang kondang di AS, bisa jadi merupakan sebuah potret hipokrisi sebagian tokoh dan publik Amerika berhadapan dengan Islam dan kaum Muslimin yang makin berkembang di negeri itu  www.huffingtonpost. Bandouw mengatakan, kegaduhan yang muncul akibat proyek pembangunan Rumah Cordoba atau yang dikenal dengan Masjid dan Pusat Kegiatan Lintas-agama di kawasan Manhattan bawah, dekat Ground Zero, adalah ekspressi ketidak taat-asasan terhadap Konstitusi Amerika yang menjamin kebebasan beragama. Dia mengatakan bahwa protes keras yang muncul terhadap gagasan dan pelaksanaan proyek tersebut seolah olah ingin mengatakan bahwa " Memang Amerika adalah negeri untuk orang-orang yang menghendaki kebebasan, kecuali kaum Muslimin." Kenapa begitu? Jawabnya sangat jelas: penolakan yang dilakukan secara vulgar oleh sementara tokoh politik dan publik di AS itu adalah semacam sasaran politik untuk menyudutkan Islam dan kaum Muslimin sebagai pihak yang secara kolektif bertanggungjawab dalam aksi teroris 11 September.


Padahal, secara eksplisit dan transparan, tidak ada aturan hukum yang dilanggar oleh pemrakarsa pembangunan Rumah Cordoba tersebut. Dari sisi Konstitusi negeri itu, jelas bahwa kebebasan menyatakan pendapat dan beragama, yang dikenal sebagai Amendemen Pertama (The First Amendment) tidak dapat dihalangi oleh siapapun. Mengutip ucapan Senator Orrin Hatch dari negara bagian Utah, "At the core of religious freedom is the ability for assemblies to gather and worship together." (Inti kebebasan beragama adalah kemampuan para jemaah untuk berkjumpul dan melakukan peribadatan bersama). Selain itu upaya menghalangi pembanguna tempat ibadah juga akan berhadapan dengan UU Penggunaan Lahan untuk Kepepentingan Agama dan Orang-orang yang Dipenjarakan (Religious Land Use and Institutionalized Persons Act). UU ini memang dibuat pada th 2000 khusu untuk membentengi kemungkinan pemerintah daerah melarang pembangunan tempat-tempat ibadah bagi agama atau kelompok-kelompok spiritual yang banyak bermunculan di AS dewasa ini.

Lalu kenapa penolakan terhadap pembangunan Rumah Cordoba tersebut begitu gencar dan meluas? Salah satu sebabnya adalah pandangan keliru bahwa Masjid tersebut merupakan simbol dari apa yang beberapa tahun belakangan ini dianggap sebagai "musuh Amerika" yaitu terorisme dan yang secara serampangan disamakan dengan Islam. Bahwa para pelaku teror di New York adalah orang-orang Islam, hal tersebut memang fakta yang tak bisa dimungkiri. Namun tidak bisa kemudian fakta itu digeneralisasi bahwa semua ummat Islam di AS (dan di dunia) idem ditto adalah pelaku, pendukung atau setidaknya mendiamkan aksi terorisme atas nama Islam. Jika ada kejujuran di dalam membandingkan korban-korban nyawa antar yang dilakukan oleh para teroris di Menara kembar WTC dengan jumlah korban tewas di Irak dan Afghanistan (yang adalah perang dalam rangka memberantas terorisme), maka jumlahnya sangat jauh tidak seimbang.Korban serangan di kedua negara yang melibatkan orang-orang tak berdosa mungkin sepuluh kali lebih banyak dari aksi teror Al Qaeda di New York.

Namun itu tak berarti orang harus memaafkan dan tidak mengutuk aksi teror 11 September atau semacamnya. Yang diperlukan adalah sebuah sikap adil: bahwa Islam dan ummat Islam tidak bisa digebyah uyah dengan pelaku yang mengatas namakan Islam dengan menggunakan teror. Bahkan orang Amerika seharusnya memahami kenapa terjadi serangan terhadap kepentingan AS di mana-mana di berbagai kawasan. Ia adalah perlawanan terhadap arogansi dan penindasan terhadap sebagian ummat Islam demi kepentingan AS yang dilakukan oleh orang Amerika ataupun penguasa lokal yang menjadi pengikut butanya. Semestinya Amerika dan bangsa Amerika harus menampilkan diri sebagai bangsa dan negara yang konsisten terhadap penghargaan atas Hak Asasi Manusia (HAM) jika ingin tetap mengklaim dirinya sebagai pemimpin (champion) kebebasan dan kemerdekaan serta perlindungan HAM di planet bumi ini.

Kegagalan melaksanakan proyek lintas-agama di Manhattan justru akan merugikan AS sendiri dan menjadi justifikasi bagi musuhnya untuk menggarisbawahi sikap hipokrisi dan standar ganda yang mereka ipergunakan untuk mengritik AS. Sebaliknya jika berhasil, maka AS akan semakin membuktikan bahwa demokrasi dan perlindungan HAM memang merupakan dua pilar bagi perdamaian dan kemakmuran semua bangsa. Secara tidak langsung, AS juga akan memiliki otoritas moral untuk meminta dan bahkan menekan negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim -yang selama ini sering tidak toleran terhadap kaum minoritas-, agar berkomitmen terhadap perlindungan HAM dan prinsip-prinsip demokrasi. Pilihan yang penting ini tentu tidak dipikirkan oleh para pengeritik pembangunan Rumah Cordoba di Manhattan. Sebab hati dan pikiran mereka telah dipenuhi oleh kebencian dan prasangka buruk terhadap Islam dan kaum Muslimin.

selengkapnya >>>

29 August 2010

MENUNGGU HADIAH LEBARAN TERMAHAL DARI GUBERNUR JABAR

Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Kota jababeka, Cikarang, Jabar

Siapa bilang Indonesia mengalami krisis ekonomi atau bahwa setelah reformasi berjalan selama satu dasawarsa kemiskinan tidak juga berhasil ditekan? Kalau adayang bilang begitu, dia perlu mengunjungi Provinsi Jawa Barat dan langsung ke kantor Gubernur Ahmad Heryawan (AH). Kalau bisa dalam minggu-minggu ini, karena Pak Gub akan memberi hadiah yang termahal yang pernah saya dengar di Republik ini selama 65 tagun usianya. Pak AH akan menyebar kartu lebaran yang biayanya sekitar Rp 2, 5 miliar. Heran? Tak perlu. Karena dia memang punya "kewenangan" untuk mengeluarkan biaya tersebut selaku Eksekutif di Provinsi tersebut dan tentu saja sang Gub tidak akan menya-nyiakan kesempatan emas ini. Jadi, menurut kabar (Media Indonesia, 20 Agustus 2010, hal. 4/Umum) Pemda Provinsi Jabar telah mengeluarkan 350 ribu kartu lebaran yang harganya ditotal sebesar Rp 1, 5 milar, lalu akan ditambah biaya untuk membuat perangko khusus bergambar sang Jabar I yang biayanya Rp 1 miliar?

image mediaindonesia.com
Perangko bergambar Gubvernur? Mengapa tidak?. Lupakan saja bahwa para mantan Presiden juga masih ada yang belum ada perangkonya, atau para pahlawan nasional yang juga masih menunggu restu PT Pos Indonesia untuk diavbadikan dalam perangkonya. Mungkin Pak Gub berpikir, kalau Komodo saja bisa jadi model perangko, mengapa seorang Ahmad Heryawan tidak? Maka PT Pos pun tanpa ba atau bu langsung merestui (dengan tergopoh-gopoh dan senyam senyum tentunya) untuk membuat perangko khusus edisi lebaran propinsi Jabar dengan gambar wajah sang boss. Narsis? mungkin. Tapi siapa peduli? Yang penting kan AH tidak usah repot-repot merogoh kocek sendiri. Dana sebesar itu, yang menurut akal waras bisa dipakai untuk membiayai pendidikan atau kesehatan, toh diperoleh dari sumber APBD. Bagaimana sikap DPRD Jabar? Bukankah tampang-tampang mereka tidak akan ada yang akan muncul di perangko atau di kartu lebarann itu? Jawabnya mudah: bukan cuma sekali ini DPRD Jabar disuap dan mulutnya terkunci. Ingat kasus uang kadeudeuh yang kemudian dibelikan perumahan DPRD Jabar beberapa tahun lalu?

Tingkah laku pejabat kita, bukan hanya di pusat, tetapi juga di daerah, makin menunjukkan gejala sakit mental yang akut. Mereka semakin mengalami masalah hubungan dengan realitas di sekitarnya, dan hanya memikir kebesaran diri sendiri alias megalomania. Apa yang dilakukan Gubernur Jabar ini akan menjadi salah satu bukti lagi untuk memperkuat argumen pihak-pihak yang nyinyir terhadap Reformasi dan demokratisasi, bahwa kedua proses itu telah gagal. Bukan saja para pejabat dan DPR/D semakin banyak yang harus berurusan dengan Pengadilan karena korupsi, tetapi pada saat yang sama mereka juga makin kreatif mencari lubang-lubang (loopholes) untuk melakukan penyalahgunaan keluasaan dalam segala bentuk lain. Tentu dengan hasil yang lebih besar lagi! Gubernur Jawa Barat yang mestinya paling mengerti bahwa daerahnya adalah yang per-kapita termasuk paling miskin di seantero Jawa itu, merasa tidak ada masalah dengan membuat kartu lebaran dengan biaya negara sebesar itu, karena dia dan didukung DPRD Jabar akan mampu mempertanggungjawabkan kegiatan itu sesuai prosedur. Kalau toh nanti harus berursan dengan PBK, BPKB, atau bahkan KPK, toh sudah tersedia pengacara. Paling apes, masuk bui tetapi kan juga ada remisi yang memungkinkan para koruptor melenggang lagi setelah menginap di hotel prodeo satu atau dua tahun.

Yang penting, dalam pikiran pejabat seperti AH, dia bisa menguras duit negara sebesar-besarnya untuk pencitraaan diri dan partainya. Perkara bahwa dia adalah kader PKS yang tersohor sebagai partai Islam yang mengkaim bersih, pintar, dan berkualitas, itu soal lain. Sekali lagi, pejabat seperti ini memang pada akhirnya lebih merupakan parasit ketimbang pemimpin yang memahami apa kepentingan daerah dan rakyatnya. Ketika ia ditanya, ia pun kalem saja menjawab bahwa "Tak ada motif lain kecuali keinginan kami sebagi kepala daerah untuk bersilaturrahim dengan beberapa penduduk Jabar." Silaturrahim? Beberapa penduduk? Sungguh sebuah metode manipulasi terhadap ajaran agama yang luar biasa dalam pemahaman saya, karena silaturrahim yang paling efektif justru bukan denga menyebar kartu lebaran (sms pun sudah lebih dari cukup), tetapi dengan menyantuni fakir miskin. Jumlah 350 ribu lembar kartu bukanlah hanya "beberapa", kalau AH memang pernah belajar hitung-menghitung!

Negeri ini, seperti banyak orang bilang, memang sedang sakit. Bukan saja pemimpinnya, tetapi juga rakyatnya yang tenang-tenang saja melihat kelauan pejabat seperti AH bisa melakukan praktik yang sangat memalukan itu. Saya tidak hanya mengritik prilaku Pemda Jabar, tetapi juga rakyat dan masyarakat sipil Jabar yang menganggap perbuatan mubadzir tersebut sebagai sesuatau yang wajar karena mereka membiarkan hal ini terjadi dan siapa tahu malah bergembira menerimanya. Seharusnya rakyat Jabar dan para tokoh masyarakat serta pemimpinnya, rame-rame mengumpulkan kartu lebaran bergambar AH itu di satu tempat lalu dengan disaksikan publik diberi tulisan besar-besar "INILAH WUJUD KEMUBADZIRAN PENGUASA." Dengan menunjukkan penolakan seperti itu, maka tujuan AH untuk menampilkan diri secara narsisitik kepada publik bahwa ia adalah seorang pjabat yang sukses, akan sia-sia. Namun jika rakyat dan para pemimpin Jabar diam, maka jangan salahkan kalau lebaran tahun depan akan dibuat hadiah yang spektakuler lagi. Mungkin AH akan membuat ketupat dari emas, atau apapun yang hanya bisa dilakukan oleh seorang meaglomania dan narsis. Dan pasti dengan biaya APBD!

Saya hanya bisa berharap bahwa penyalahgunaan kekuasaan seperti ini pada akhirnya akan membangkitkan kegusaran rakyat dan mereka kemudian menuntut keadilan kepada pemimpinnya. Apakah harapan saya ini hanya mimpi di siang bolong, kita serahkan saja kepada sejarah...

Jababeka, 29 Agustus, 2010

selengkapnya >>>

28 August 2010

"GOTONG-ROYONG" AS A NORMATIVE FOUNDATION OF CSR

By Muhammad AS Hikam
President University, Jababeka
Cikarang, Jabar

Excellencies,
Honorable Guests,
Ladies and Gentlemen.

First of all, allow me to express my sincerest gratitude to the organizer of this august gathering who has given an honor to me to speak before such a distinguished audience. I will begin my presentation today with some personal notes on Jogjakarta, the center of Javanese culture, once the capital of the Republic, the home of the oldest and highly venerated Higher Educational institution in the country, Gadjah Mada University, which is also my own alma mater, and one of the largest students’ cities in Southeast Asia, if not Asia. Not only was Jogjakarta the place of birth of my late father which makes me having a rather close personal affinity, but it was also, and ultimately, the place where my first encounter with cultural diversities of Indonesia took place some twenty four years ago. For a student who was born and rised in a small village in Tuban, East Java Province, whose upbringing had been within the Islamic traditional educational institution (pesantren) milieu, the cross-cultural experience in Jogjakarta during my undergraduate years was really the most critical and yet valuable one, especially when I was graduated and had to embark to the real world and has since been living in such a big city as Jakarta. Jogjakarta has equipped me with powerful and everlasting devices, namely multi-cultural experience and cultural competence, that enable me to deal with the world and transformed me into a person with more or less cosmopolitan worldview. This is in spite of Jogjakarta as the center of Javanese culture which, for some people, is characterized by its obsession toward harmony, order and tranquility, hierarchy, inward–looking worldview, and what not.

image source : polres-gresik.net
Frankly, when I was asked to share with you about my understanding of the link between culture and business, I was initially rather perplexed. For I have never been trained or even become a businessman in my entire life. The most that I could say about it is that I do have some knowledge about intercultural communications (which I learned from my grad school and am now teaching it at President University) that could be applicable in the business world and corporate practices. However, looking back to my entire career as a scholar, politician, government employee, social activist, and even now as a University lecturer, it soon becomes clear that cultural awareness and competence of managing cultural differences are always becoming essential ingredients to my own achievements. It seems to me that the business world is not too different from those mentioned activites , in the sense that culture and cultural competence would be pivotal means in determining one’s success in it. Hence I accept this task and would use my Jogjakarta-based cultural experience as its main source and reference.

Ladies and Gentlemen,
Allow me now to talk about one of the most salient heritages from the Javanese culture, namely the spirit of Gotong-royong, or mutual co-operation and, sometimes, translated into volunteerism. The importance of this notion cannot, as our fellow Indonesians would have known, be underestimated. History has told us that gotong-royong has been a central cultural icon championed by our leaders, particularly the late President Sukarno, as the key for success in managing and developing our multicultural society and nation in the future. Indeed, Bung Karno had gone so far to maintain that gotong-royong is actually the essence of our foundation as a nation. When he elaborated the meaning of Pancasila (the Five Pillars), our national ideology, BK had argued that the Five Pillars could actually be pressed into Three Pillars (Tri Sila) consisted of the belief in the Supreme Being, socio-nationalism and socio-democracy. Furthermore, the Tri Sila can still be pressed into only One Pillar (Eka Sila), namely gotong-royong (mutual co-operation). Regardless of the ensuing debates on, and the rejection of Sukarno’s particular idea, one could not fail to see how deep is gotong-royong in the nation’s psyche.


It goes without saying that the word gotong-royong was originated from the Javanese language and culture. Even though the word is now commonly used in Bahasa Indonesia’s vocabulary, it was appropriated and valorized to become a powerful cultural instrument by our leaders whose cultural background was Javanese. As a British anthropologist, Robert Hah has said “Javanese culture is stratified by social class and by level of adherence to Islam... traditional Javanese culture does not emphaize material wealth.. there is respect to the general village welfare over personal gain. And the spirit of gotong-royong.. is promoted as a cultural value.” (Hahn, 1999). Gotong-royong, in other words, has occupied a central position in the making of modern Indonesian culture as one of the core values which the nation and its people would always refer to.


This cultural value is obviosuly strengthened by all religious belief systems that exist in the country which all would enjoin and encourage their adherents to cooperate in doing good among humankind. The Holy Book of Qur’an has, for instance, stated in the 5th Chapter, Verse 2: “... Help you one another in virtue, righteousness, and piety. But do not help one another in wrongdoings and trensgressions...” Also in the same Chapter, in Verse 48: “So compete with each other in good deeds...”. In the Budhist teaching, the words of Dharma Master Cheng Yen is instructive, “We act like Buddha for the sake of helping all living creatures. We act sincerely toward others for the sake of getting things done readily.” (Still Thoughts II: 54). The Bible has had a similar view about doing good to others. In Luke 6: 38, it is said “Give and it will come back to you, good measure, pressed down and shaken together , and running over, shall men give into your bosom.” The same is true in the teachings of Hinduism, Confusianism and others. In short religious injuctions that stress the importance of helping each other in good deeds have strengthened the notion of gotong-royong as a vehicle to attain the common goals in society.

Ladies and Gentlemen,
In the business and corporate world, the notion of business etiquette and ethics has been gaining importance. Historically, in the 18th century England and France, etiquette was considered as a distinguishing manner in which one person to be alleviated from one level of social stratum to the next. Nowadays, etiquette is known as the written and unwritten rules of how to conduct business internally and externally. If you wish for your organization to improve in its performance and social standing in a certain country, region, and area, the key word is to understand the character and prevailing culture, including etiquette as its part. Gotong-royong, I would argue, is one of the key cultural values that one could use as a point of departure in developing a strategy that would strengthen and enhance his/her business and become a way of ensuring his/her investment to be more fruitful.

In this regard, I would like to recall the work of my colleague at President University, Sendy Wijaya, who is himself an expert in the field of business relations. In his recently published book, “Business Culture in Indonesia” (2010), he maintains that corporations will invest their resources to achieve on their investments. In this context, investing in relationship to the surrounding is critical to succes. Accordingly, establishing and maintaining a relationship requires investment on resources. In doing business in Indonesia, he advised, developing a genuine awareness to their surrounding community is very crucial. This is, in my view, an example of how the notion of gotong-royong could be applied in the coporate world in order to gear toward win-win solution, between the investors and the surrounding community.

Ladies and Gentlemen,
Against this backdrop of cultural values related to gotong-royong, it is possible for the business world to give more meaning and relevance to the Corporate Social Responsibility (CSR), a very popular and noble movement, in the Indonesian context at the moment. With the spirit of gotong-royong becoming a foundational values upon which the CSR is developed, it seems that both corporate and society could be mutually benefited in the long term. In pursuing this goal, the existence of higher educational institutions could be a major focal point for the movement, because the university is an excellent place not only for education and trainings, but also researches, innovations, and community services. A case in point is what has been done by President University, Jababeka. It has been active in pursuing cooperations with government (both at the centl and local level), research centers (both government and privately owned ones and industries (from both inside and outside the Jababeka area) for the past several years, and continuously expanding them both in Indonesia and foreign countries. One thing that has become the University’s underpinning philosphy is its awareness and care of the local people and communities’ needs. Here in Jogjakarta, the role of Gadjah Mada University and other similar higher educational institutions would also be significant in implementing gotong-royong based CSR programs in the region and beyond.

I will end my presentation by saying that the spirit of gotong-royong is by no means exclusive to the Javanese culture and society. In fact, I would argue that such a spirit of mutual co-operation does exist in every society though it may be in different expressions and manifestations. Therefore, in today’s globalized world, the spirit of gotong-royong could be shared universally among different peoples and nations emphasizing the spirit of sharing and benefiting to all stakeholders. The corporate world has always been stereotyped as a world without compassion and geared by greed and avarice. However, like all stereotypes, they only contain half truth because the reality is more complicated than we perceive it. For corporates also need and champion a strong commitment to goals, they value highly on loyalty, and they strife to creating a sense of happiness to its members and community. Those attributes are obviosuly a far cry from the aforementioned stereotypes. It is up to the corporate leaders to demonstrate to the public at large that they are also a stalwart of public virtue whose accomplishment will also contribute to the greatness of the community, society and the nation.

Thank you very much.

Jababeka-Jogjakarta, 25-28 August 2010.


(A speech delivered at International Seminar " Linking Business and Culture to Create Friendship and Prosperity," at Sheraton Hotel, Jogjakarta, August 28, 2010).

selengkapnya >>>

MEMILIH BOSS PEMBURU KORUPTOR

by Muhammad A S Hikam

muniryusuf.com
Rakyat dan publik di negeri ini boleh (sedikit) bernafas lega. Akhirnya, dua nama unggulan calon pengganti Antasari Azhar (AA) sebagai Ketua KPK terpilih. Busyro Mukodas (BM) dan Bambang Widjojanto (BW) berhasil menjadi dua finalis yang akan nanti akan di uji kelayakan (fit and proper test) oleh DPR. Mereka berdua, tak tanggung-tanggung, menyingkirkan pesaing-pesaingnya melalui beberapa tahap. Tahap pertama ada 287 pendaftar yang kemudian terseleksi oleh Pansel sebanyak 147 pada babak uji administratif. Namun dua orang mengundurkan diri, sehingga tinggal 145 orang. Dari 145 orang itu 12 diantaranya lolos dalam babak penulisan makalah. Dari 12 orang ini, Pansel memilih tujuh orang dan akhirnya menetapkan dua finalis calon Ketua KPK. Di babak terakhir inilah BM dan BW menggusur nama-nama besar, salah satunya adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie (JA), mantan Ketua MK dan mantan anggota Wantimpres.

Lolosnya dua calon ini tentu saja tidak sepi dari kontroversi, khusunya dari para politisi Senayan. Yang paling keras menolak terpilihnya dua finalis ini adalah PKS melalui Wakil Ketua Komisi III DPR-RI, Fachri Hamzah (FH). Menurut FH, terpilihnya kedua nama terakhir itu dianggap berbau politis dan menyembunyikan agenda tertentu. Menurutnya, Pansel " bersandiwara" belaka dengan pilihan ini, dan bahkan sudah bisa ditebak siapa yang akhirnya akan muncul sebagai pemenang, yaitu BM. Menurut vokalis PKS pada Pansus Centurygate itu, kans BW diterima oleh DPR sangat kecil terutama karena latar belakangnya sebagai mantan Ketua YLBHI yang "... dianggap DPR banyak kasus, terlalu frontal dalam pengertian banyak persoalan."(http://www/. rakyatmerdeka.co.id /news.php?id=2375). PKS tampaknya gregetan karena jagoannya, JA, ternyata terpental keluar pada tahapan seleksi terakhir.

Adalah hak PKS atau parpol manapun untuk menilai, menyetujui, atau menolak hasil Pansel Ketua KPK tersebut. Tetapi yang harus juga diperhatikan oleh para penolak dan pengecam semacam FH adalah bahwa proses seleksi calon-calon Ketua KPK tersebut dapat dikatakan sangat ketat, terbuka, dan berkualitas, disamping menelan biaya yang mahal. Jika kemudian FH mengritik proses yang pada ujungnya menggagalkan jagonya, maka beban pembuktian bahwa Pansel memiliki agenda tersembunyi (hidden agenda) berada pada dirinya. Kalau ternyata FH gagal membuktikannya, patutlah kalau dia diberi julukan pembohong dan pemfitnah. Kalau dia benar, maka dia juga harus dijuluki peniup peluit (whistle blower) yang mesti mendapat pujian dari rakyat Indonesia.

Bagi saya, kedua calon tersebut layak masuk final dan secara proses pun saya berani mengatakan inilah untuk pertama kalinya pejabat publik yang strategis benar-benar dipilih melalui pengawasan publik secara luas, dan ditangani sebuah panitia seleksi yang sangat professional, independen, dan berwibawa. Bandingkanlah, misalnya, dengan sistem seleksi anggota KPU yang penuh sandiwara dan titipan serta dilakukan hanya oleh Pemerintah dan DPR yang kedua-duanya sarat kepentingan. Hasilnya adalah sebuah KPU yang korup dan merugikan reformasi dan demokrasi serta mencederai aspirasi rakyat Indonesia secara besar-besaran. Bukan itu saja, kualitas SDM KPU pun sangat buruk. Bukan saja keahlian teknis mereka minim, tetapi yang lebih parah adalah kapasitas mental mereka yang sangat tidak layak menjadi pemangku jabatan yang sangat stretegis itu. Tak heran jika kemudian ada diantara mereka yang menjadi penghuni hotel prodeo alias bui, sebagian lagi dihinggapi isu korupsi, dan sebagian lagi dipertanyakan etikanya sebagai pejabat publik!

Pertanyaan yang lebih penting dari sekedar rengekan FH dan PKS adalah, what next?. Setelah terpilih sang Ketua, lalu bagaimana KPK ke depan? Pertanyaan ini sangatlah penting karena lembaga penegak hukum dan pemberantasan korupsi ini tampaknya sedang dirundung cobaan yang dapat memperlemah keberadaan dan kapasitasnya. Setelah sang mantan Ketua, AA, menjadi penghuni penjara akibat tindak kriminal yang dilakukannya, KPK lantas diganggu dengan kasus Cicak vs Buaya yang ingin menjatuhkan dua pimpinannya melaui sebuah rekayasa dan fitnah yang dibuat oleh konspirasi antara oknum-oknum Polri, Kejagung dan intern KPK sendiri dengan koruptor kakap. Setelah kasus itu diselesaikan melalui SKPP Kejagung pun, masih juga muncul berbagai upaya menyeret Bibit dan Chandra ke pengadilan yang membuat mereka harus non aktif. Upaya pelemahan KPK yang paling anyar adalah penolakan sebagian Fraksi dan politisi Senayan thd KPK untuk bisa melakukan pemeriksaan terhadap hasil investigasi PPATK berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang yang sekarang masih terus berjalan.

Ketua baru KPK, apakah BM atau BW, punya tugas maha berat karena harapan dan tuntutan publik terhadap lembaga ini begitu besar. Republik ini seolah-olah hidup dan matinya terletak kepada KPK yang akan mampu menyapu bersih korupsi yang sudah begitu struktural sifatnya, khususnya yang dilakukan oleh para penyelenggara negara baik di pusat maupun daerah. Tugas KPK bisa disebut sebagai "a Herculian task" atau tugas yang dibebankan kepada Hercules si manusia super kuat dalam legenda Yunani kuno. Pimpinan KPK sangat diharapkan menjadi semacam manusia "super hero" yang memiliki gabungan sifat-sifat berani, tak kenal kompromi, tak kenal lelah, bermoral tinggi, dan tak dapat digoda oleh bujuk rayu para koruptor. Kadang publik lupa bahwa anggota dan pimpinan KPK adalah manusia-manusia biasa, bukan malaikat, sehingga dibebani harapan dan tuntutan yang di luar kapasitas mereka.

Saya pribadi lebih cenderung memilih BW yang track record serta integritasnya sebagai pejuang penegak keadilan telah sangat panjang semenjak ia menjadi pekerja pembela HAM di Papua, puluhan tahun lalu. Bahwa ia memiliki sikap keras dan vokal sehingga dianggap kurang mampu berpolitik, memang benar. Namun saya yakin BW akan bisa beradaptasi dan malahan bisa membawa nuansa baru ke dalam lembaga yang didominasi SDM dari Polri dan lembaga penegak hukum pemerintah itu. Saya jelas lebih mengenal sosok BW ketimbang BM yang karirnya baru saya kenal semenjak berada di Komisi Yudisial (KY) itu. Oleh sebab itu, saya tidak bisa menilai terlalu banyak walaupun yakin bahwa beliau juga merupakan sosok yang punya kapabilitas dan integritas yang sesuai dengan tugas KPK.


selengkapnya >>>

27 August 2010

MEMBACA SIKAP PKS TENTANG KONFLIK INDONESIA-MALAYSIA

by Muhammad A S Hikam

Ketika publik di Indonesia sangat merasa tersinggung dengan insiden perbatasan laut Indonesia-Malaysia, dan para wakil rakyat di Parlemen umumnya cenderung menginginkan sikap tegas terhadap negeri jiran itu, ternyata PKS mempunyai pandangan dan sikap berbeda. Statemen Sekjen PKS, Anis Matta (http://www.detiknews.com/read/2010/08/26/162518/1428748/10/) dan Mahfud Siddik, Wakil Ketua Komisi I FPKS di DPR-RI, menunjukkan bahwa parpol Islam yang sedang naik daun ini justru meneriakkan peringatan agar Indonesia tidak mengambil sikap keras, tetapi memilih penyelesaian melalui pedekatan persahabatan. Kedua pentolan PKS ini mengkhawatirkan jika sikap keras yang diambil, Indonesia justru berpotensi menjadi pihak yang rugi. Anis dan Mahfud mengambil contoh konkret: mau dikemanakan dua jutaan TKI di Malaysia jika seandainya Indonesia memutuskan hubungan diplomatik atau pendekatan keras semacamnya?


gambar : inilah.com
PKS tampaknya sedang menerapkan sebuah manuver politik yang berbeda untuk menarik simpati publik sebagai partai yang "nuchter" dan "rasional" dalam resolusi konflik antara kedua negara. Sambil tetap menyesali dan mengritik sikap Kemenlu dan Menlu yang lamban dan kurang koordinasi dengan kementerian terkait, PKS ingin menunjukkan dirinya tidak begitu saja terseret oleh histeria publik di negeri ini. Kendati sepakat dengan Partai Demokrat (PD) yang menganggap pendekatan kultural dan persahabatan serumpun efektif untuk dipergunakan sebagai wahana peredaan ketegangan, PKS tidak serta-merta menganggap langkah yang telah dan sedang ditempuh Pemerintah sudah tepat. Justru Fraksinya di Komisi I DPR terang-terangan mengritik kelambanan Menlu dan KBRI di Kualalumpur dan kelemahan koordinasi antar-instansi terkait yang telah menciptakan silang pendapat di antara mereka.


Hemat saya, PKS ingin menunjukkan komitmennya sebagai partai yang memiliki ideologi Islam dan konstituen Muslim sehingga persaudaraan kaum Muslimin (ukhuwwah Islamiyyah) di kedua negara merupakan faktor yang sangat penting untuk dipertahankan. Manuver politik dengan mengapropriasi wacana TKI dan nasib mereka di Malaysia digunakan PKS untuk "sekali tepuk membunuh dua lalat." Artinya, bukan saja Partai Islam ini menampilkan diri sebagai pembela nasib kaum pekerja migran Indonesia (dan karenanya idem ditto menjadi pembela kepentingan rakyat), tetapi pada saat yang sama ia juga membela keutuhan solidaritas ummat Islam di Indonesia dan Malaysia.



Tentu PKS memiliki target yang lebih jauh dari sekedar kepentingan jangka pendek pulihnya hubungan Ri-Malaysia. Tujuan jangka panjang partpol ini adalah kepentingan partai menggalang kekuatan ummat Muslim di kedua negara untuk saling membantu dalam memperjuangkan cita-cita yang sama di masa depan. Hal ini tak mengherankan, sebab jika kekuatan Islam di Malaysia dapat bersinergi dengan kekuatan Islam di Indonesia akan muncul sebuah blok kekuatan politik yang mesti diperhitungkan di kawasan. PKS tampaknya melihat adanya celah (hiatus) yang belum tergarap oleh parpol Islam selama ini, dan ia ingin menjadi pemeran utama di sana. Oleh sebab itu, PKS cenderung melihat sikap anti Malaysia yang umumnya dipertunjukkan oleh kelompok nasionalis dan sebagian publik di Indonesia merupakan sebuah tantangan dan bahkan ancaman terhadap peluang terjadinya sinergi tersebut. Bisa jadi bahwa para elite PKS melihat bahwa kecenderungan untuk memperpanas konflik antara kedua negara tak lepas dari keinginan kekuatan yang tidak menginginkan adanya sinergi kekuatan Islam di Semenanjung Melayu dan Kepulauan Nusantara. Itulah sebabnya, slogan sahabat dan serumpun menjadi penting untuk diajukan dalam wacana resolusi konflik bagi PKS.



Jika strategi dan pendekatan ini berhasil dan relasi kedua negara kembali normal, maka PKS akan menangguk simpati publik bukan saja di Indonesia tetapi juga di Malaysia. PKS akan dilihat sebagai kekuatan politik Islam moderat dan rasional yang mampu memberikan solusi yang inklusif terhadap konflik antar-negara. Di dalam negeri, PKS juga akan semakin mampu menepis tudingan miring dari lawan politiknya yang meragukan nasionalisme dan kesetiaan terhadap NKRI. Jika analisis ini ada benarnya, maka kecermatan dan kemampuan PKS dalam mengelola politik dan hubungan internasional perlu diacungi jempol. Partai ini telah mengundang decak kagum di tingkat nasional ketika muncul kasus Centurygate dengan menolak tunduk kepada koalisi parpol pendukung Pemerintah. Saat itu partai ini telah menampilkan citra sebagai kekuatan politik yang berani melawan arus. Sayangnya paska Centurygate, PKS tampak terbawa arus balik dengan menjadi bagian Sesgabsi dan kurang greget dalam membela penuntasan Centurygate tersebut. Keterlibatan salah satu anggota Fraksinya dalam skandal Bank Century, semakin menyurutkan citra baik yang susah payah dibangunnya.



Kini muncul kesempatan lagi bagi PKS merebut simpati publik yang sempat terpuruk itu melalui penyikapan atas sengketa dan krisis Indonesia-Malaysia. PKS tentu siap dengan resiko bahwa jika terlalu melawan arus publik yang sedang gerah, maka bisa saja ia akan mendapat reaksi negatif dari publik. Itu sebabnya ia mengambil dua jalur: di satu pihak mengritik penanganan konflik dari Pemerintah RI, namun di pihak lain, PKS menampilkan diri sebagai pihak yang nalar dan tak terbawa emosi dengan mendukung pendekatan persahabatan. Sebuah langkah politik yang cerdas dan inovatif, serta menarik untuk terus diikuti perkembangannya di waktu-waktu mendatang.

selengkapnya >>>

26 August 2010

MEMPERTIMBANGKAN PERGANTIAN MENLU

Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Kota Jababeka, Cikarang, Jabar

Perkembangan politik akibat krisis perbatasan dan penangkapan petugas DKP oleh AL Diraja Malaysia tampaknya telah memasuki babak baru. Menlu Marty Natalegawa (MN), sang sahibul masalah, benar-benar dipaksa melakukan pertemuan maraton Komisi I DPR pada Rabu kemarin. Sayang sekali, momen penting untuk klarifikasi tentang tindakan Pak menlu terasa antiklimaks. Jawaban-jawaban yang beliau berikan terhadap pertanyaan-pertanyaan menohok dan cenderung mengandung ketidak percayaan tampak dikemukakan dengan nada emosional dan beliau kerap kehilangan kata-kata yang runtun. Ini tentu bukan kebiasaan yang menjadi trade mark orang nomor satu di Jl. Pejambon itu. Pada pokoknya, MN masih ngotot bahwa tindakan-tindakannya selama terjadi insiden penangkapan petugas DKP dan pertukaran antara nelayan Malaysia dengan mereka, termasuk pengiriman nota protes yang dilakukan setelah usai, adalah tindakan yang tepat dan tidak merupakan sebuah keterlambatan.

gambar :deplu.go.id


Tak urung para anggota Komisi I pun rame-rame menyuarakan kekcewaannya. Dan seperti biasanya, muncul manuver politik agar MN diganti sebagai Menlu. Melihat perkembangan seperti inilah Menteri Syarif Hasan (SH), yang juga pentolan Partai Demokrat itu, sontak angkat bicara dan menolak gagasan yang dianggapnya tidak akan menyelesaikan masalah itu. Menurut Syarif, lebih baik urusan sengketa Malaysia-Indonesia itu diselesaikan lewat diplomasi tanpa harus menimbulkan pertikaian. Indonesia, lanjutnya, memerlukan hubungan bertetangga yang sudah baik dengan Malaysia, Singapura dan Australia, jangan sampai terganggu.

Tentu adalah hak penuh SH membela Menlu dengan argumen normatif seperti itu. Namun argumen SH bisa saja tenggelam karena publik telah sangat penat dan mulai hilang sabar dengan model birokratis yang dipakai oleh Menlu sehingga makin membuat suasana tidak kondusif untuk Presiden. Apalagi tampaknya Menlu masih tetap bersikukuh untuk tidak mau keluar dari zona kenyamanannya dan memandang masalah secara text book. Politik luar negeri, sama seperti politik yang lain, memerlukan imajinasi yang tinggi sehingga sebagai seorang interlocutor dari negara yang mendapat rongrongan kedaulatannya dapat membuat terobosan yang lebih baik. Jika cara MN diterus-teruskan, maka negara-negara selain Malaysia akan melihat bahwa Indonesia memang negara lembek (soft state) yang sangat rentan dengan infiltrasi dari luar,



Mengamati rapat dengar pendapat (RDP) DPR dan Menlu kemarin, saya tak habis pikir ketika melihat bahwa Menlu selalu mengatakan tidak mau mencampuri urusan kementerian lain, misalnya KKP (Kementrian Kelautan dan Perikanan). Bagi saya, adalah tugas seorang menteri untuk pro aktif melakukan koordinasi dengan kementerian lain yang memang tugasnya bersinggungan. Kalau begitu cara kerja Menlu, bagaimana mungkin Kementrian yang dipimpinnya bisa berkiprah dengan baik? Karena semua urusan luar negeri pasti akan bersinggungan dengan kementrian lain, termasuk KKP, Menakertrans, Menhan, dsb. Ini menjadi bukti lagi bahwa NM memang belum mau "gaul" dengan pihak lain dan tampaknya lebih memilih menunggu umpan dari tempat lain. Tak heran jika kemudian terjadi kelambanan dalam mengurus nota protes dan terjadi silang pendapat dengan Menkopolhukam mengenai masalah letak kapal DKP apakah di wilayah RI atau tidak.

Jika pembantu Presiden yang posisinya demikian strategis seperti Menlu ternyata tidak memiliki sensitivitas politik, rasanya susah diharapkan akan terjadi penyelesaian yang memuaskan Indonesia. Malah bukan hal yang mustahil kalau Indonesia nantinya akan mengikuti kehendak Malaysia agar perundingan perbatasan laut antara kedua negara di bawa ke Mahkamah Internasional. Malaysia merasa memiliki kans untuk memenangkan tuntutannya, sebagaimana pada kasus Pulau-pulau Sipadan dan Ligitan dahulu. Dalam kasus itu, Indonesia pada awalanya juga sangat yakin akan dapat mempertahankan pulau-pulau itu dari klaim Malaysia. Ternyata dalam perkembangan sam[ai akhir, kebalikannyalah yang terjadi. Setelah pulau-pulau itu benar-benar lepas, dibuatlah berbagai justifikasi yang pada intinya memberikan pembenaran bahwa kedua pulau itu bukan milik kita!

Saya sangat setuju dengan Menteri Syarif bahwa urusan ganti mengganti Menteri adalah hak prerogatif Presiden. Namun saya ingin mengingatkan Pak Menteri bahwa jika ibaratnya seorang pembantu yang merugikan juragannya namun tetap dibiarkan saja, maka resikonya akan sangat tinggi. Bisa saja reputasi sang juragan akan semakin menurun karena dianggap terlalu lemah dan tidak mampu memilih pembantu yang baik. Sikap berhati-hati dalam mempertimbangkan penggantian seorang Menteri Kabinet adalah mutlak diperlukan. Namun demikian perlu juga dipertimbangkan bahwa kepentingan negeri ini pun terlalu mahal untuk dikorbankan hanya karena sekedar pencitraan. Saya berharap bahwa anti klimaks yang dipertunjukkan dalam RDP tersebut adalah yang terakhir, sehingga wacana yang mulai beredar tentang Reshuffle Kabinet tidak perlu menyentuh Kementrian Luar Negeri kita.


selengkapnya >>>

24 August 2010

MEMPERDEBATKAN "PEPESAN KOSONG" DI DPR

Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Jababeka, Cikarang, Jabar


Panggung DPR kembali menyaksikan adegan "goro-goro" antar Fraksi besar. Kali ini Fraksi Partai Demokrat di DPR-RI (FPD) sebagai pembela kebijakan Pemerintah pada saat sidang paripurna hari ini (24 Agustus 2010) mencoba menunjukkan taringnya melawan Fraksi Partai Golkar (FPG) untuk merebut simpati publik. Diberitakan bahwa Fraksi Partai besutan SBY ini berdebat dengan Fraksi Partai Golkar (FPG) mengenai sikap Pemerintah RI terhadap pelanggaran wilayah oleh Malaysia dan penangkapan petugas DKP. FPG menganggap insiden tersebut tidak ditangani oleh pemerintah dengan baik, bahkan menurutnya telah terjadi "kegagalan diplomas Pemerintah menghadapi Malaysia." Melalui salah satu anggotanya dari Komisi I, Tantowi Yahya, FPG menyatakan bahwa insiden penangkapan tiga petugas DKP di perairan RI itu juga "sangat merendahkan martabat bangsa." Tidak terima dikritik seperti itu, melalui Hayono Isman yang juga dari Komisi I, FPD sontak menolak tuduhan tersebut. Dengan sigap FPD menyatakan bahwa Pemerintah justru sedang dan terus melakukan penyelesaian masalah dengan pendekatan kekeluargaan karena Indonesia dan Malaysia "adalah negara sahabat, negara serumpun yang harus saling menghormati."


Saya melihat ada dua paradigma yang bertolak belakang dalam menyikapi kriris hubungan antara dua negara yang berpotensi menciptakan konflik terbuka tersebut. FPG menampilkan sebuah paradigma hubungan internasional yang bisa disebut "idealis" yang berdasarkan pada semangat dan visi ideal bahwa sebuah negara berdaulat tak bisa mentolerir pelanggaran atas wilayahnya, apalagi disertai dengan pelecehan beripa aksi penangkapan warganegaranya oleh pihak asing di wilayah sendiri. Sementara itu FPD mewakili paradigma hubungan internasional "realis" yang menekankan perimbangan kekuatan nyata atau real politics antara negara yang berkonflik. Dalam kacamata FPD -dan Pemerintah Indonesia- sikap yang diambil oleh negeri kita harus benar-benar memperhitungkan kekuatan nyata yang dimiliki jika ingin berhasil mencari solusi yang tepat menghadapi negara jiran tersebut. FPD mendukung Pemerintah yang mencoba menyelesaikan masalah itu melalui cara konvensional dengan menggunakan pola-pola penyelesaian yang diusahakan tanpa riak-riak gelombang, atau meminjam istilah Pak SBY, penyelesaian tanpa kegaduhan.

Sebagai sebuah move politik, lankha idealis FPG boleh jadi akan mendapat lebih banyak dukungan publik ketimbang langkah realis FPD. Apalagi dalam situasi suhu emosi tinggi saat ini. Publik tentu punya kecenderungan untuk mengamini pendekatan yang lebih tegas dari Pemerintah RI dalam menghadapi apa yang dikesankan sebagai sebuah provokasi dan penghinaan terhadap martabat bangsa. FPG tampaknya ingin memainkan kartu idealis ini pada saat dirinya sedang mengalami penurunan citra sebagai akibat manuver-manuvernya akhiri-akhir ini yang kurang simpatik di mata publik. Reputasi Golkar yang kurang moncer dalam masalah Pansus Century, ide dana aspirasi dan rumah aspirasi, akan dicoba ditebus dengan mengangkat isu Malaysia dengan mengkapitalisasi simpati publik terhadap sikapnya yang tegas dan "patriotik" tersebut. Apakah FPG akan benar-benar serius dan sungguh-sungguh memperjuangkan gagasan patriotiknya sampai titik terakhir, adalah soal lain. Bagi saya sudah semestinya publik tahu bagaimana rekam jejak parpol penguasa Orba ini. Orang hanya perlu menegok ke belakang sedikit saja, misalnya, bagaimana sikap FPG yang tidak konsisten ketika memperjuangkan keputusan Pansus Century beberapa waktu yang lalu.


FPD yang menjadi partai Pemerintah tentu akan mati-matian membela apa yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah dalam menghadapi krisis dengan Malaysia ini. Sayangnya FPD juga harus tahu bahwa, setidaknya untuk sementara, Pemerintah seperti tak berdaya atau bahkan kehilangan akal menghadapi tuntutan publik. Itulah sebabnya Pemerintah lantas terkesan mendiamkan konflik merebak dan, kalau toh bekerja, ia mencoba berlindung dibalik sopan santun diplomatik (diplomatic niceties). Tak heran bila sekarang Pemerintah sedang mengembangkan adalah argumen lama bahwa RI dan Malaysia adalah serumpun dan sesama anggota ASEAN, sehingga tak elok apabila ada kesan bertengkar. Pemerintah mungkin lupa bahwa adalah Malaysia yang seringkali memakai dalih serumpun itu untuk meredakan sikap anti-Malaysia dari publik Indonesia manakala terjadi insiden-insiden. Dengan demikian Pemerintah RI malah seperti mengekor strategi diplomasi Malaysia! Akibatnya, kendati Malaysia sudah sering melakukan pelanggaran dan tidak menunjukkan sikap sebagai tetangga yang baik (a good neighbor attitude) dan malah cenderung provokatif, tetapi masih juga dicoba ditutupi. Pemerintah RI, menurut hemat saya, tampaknya sangat memikirkan implikasi yang harus dihadapi apabila sikap tegas terhadap Kualalumpur yang dipilih, karena bisa saja akan makin menampilkan sisi kelemahan Indonesia dibanding Malaysia dari segi ekonomi, militer, dan dukungan internasional.

Toh Pemerintah (dan tentu saja FPD) memilih resiko kurang populer tersebut, setidaknya untuk membeli waktu (buying time) agar sebuah solusi yang paling aman dapat ditemukan dalam menghadapi Malaysia. Namun strategi bukan tanpa resiko. Haruslah diketahui bahwa semakin hari ternyata permasalahan hubungan antara kedua negara ini bukan hanya melulu masalah teritorial. Semakin terbuka kepada publik Indonesia bahwa banyak persoalan sensitif yang selama ini tersembunyi. Contoh paling konkret adalah adanya ratusan warganegara RI di Malaysia yang sedang menunggu vonis hukuman mati oleh pengadilan negara itu karena tindak kriminal yang dilakukan oleh para pemdatang tersebut. Ironisnya, justru perkara yang sensitif dan berdampak besar ini ternyata malah belum diketahui bahkan oleh Presiden dan para Menteri yang terkait, seperti Menlu dan Menakertrans. Nah, jika masalah-masalah yang tersembunyi ini nantinya makin bermunculan ke permukaan, maka dampaknya akan semakin mempersulit pemerintah dan FPD di DPR untuk berkelit dan bersikukuh dengan pendekatan buying time tersebut.

Di bawah permukaan, perdebatan FPG dan FPD sejatinya hanyalah merupakan pertarungan kepentingan dan tawar-menawar antara kedua parpol dan elitenya. Saya tidak terlampau yakin bahwa baik FPG maupun FPD memiliki komitmen serius untuk menyelesaikan masalah ini dengan berpijak pada paradigma masing-masing. Karena itu, bagi saya yang menarik untuk ditunggu adalah apakah Partai Demokrat akan dipaksa oleh Gokar untuk memberikan konsesi politik sebagaimana ketika Golkar mendapat posisi Ketua Harian Sesgabsi setelah Pansus Century? Dalam suasana perpolitikan nasional yang sarat dengan politik transaksi seperti sekarang, bukan hal yang tak mungkin bahwa ternyata aksi patriotisme FPG vs pragmatisme FPD di DPR hari ini tak lebih hanya sebuah tawar menawar posisi politik biasa, dan rakyat yang keburu simpati akhirnya harus gigit jari seperti sebelumnya.

selengkapnya >>>

detikNews : PD-Golkar Debat Soal Malaysia di Rapat Paripurna DPR

Baca beritanya disini

by Muhammad A S Hikam

Fraksi Partai demokrat di DPR-RI (FPD) kembali menampilkan kapasitas yang sebenarnya pada saat sidang paripurna hari ini. FPD diberitakan berdebat dengan Fraksi Partai Golkar (FPG) mengenai sikap pemerintah terhadap pelanggaran wilayah oleh Malaysia dan penangkapan petugas DKP. FPG menganggap terjadi "kegagalan diplomasi Pemerintah menghadapi Malaysia." melalui salah satu anggotanya dari Komisi I, Tantowi Yahya, FPG menyatakan bahwa penangkapan tiga petugas DKP itu juga tersebut telah "sangat merendahkan
martabat bangsa." FPD, melalui anggotanya yang juga dari Komisi I, menolak kritik tersebut dengan menyatakan bahwa Pemerintah sedang melakukan penyelesaian masalah secara kekeluargaan karena "Malaysia adalah negara sahabat, negara serumpun yang
harus saling menghormati."

google images

Saya melihat ada dua pandangan yang mencerminkan dua paradigma yang bertolak belakang dalam menghadapi ancaman kedaulatan negara. FPG menampilkan pandangan yang berdasarkan pada semangat dan visi ideal bahwa sebagai negara yang menjadi sasaran pelanggaran wilayah dan juga mendapat pelecehan dengan aksi penangkapan warganegara di perairan sendiri. FPD mewakili paradigma real politics dalm hubungan innternasional yang melihat masalah ini dengan kacamata pragmatik, yaitu bahwa Indonesia harus memperhitungkan kekuatan sendiri jika ingin bersikap keras terhadap negara jiran tersebut. FPD mencoba menyelesaikan masalah dengan cara konvensional dengan menggunakan pola-pola penyelesaian yang tanpa riak, atau meminjam istilah Pak SBY, tanpa kegaduhan.

Sebagai sebuah move politik, apa yang dibawakan oleh FPG jelas akan mendapat lebih banyak dukungan publik, apalagi dalam situasi emosional saat ini. Publik tentu punya kecenderungan untuk mengamini pendekatan yang lebih tegas dari Pemnerintah RI dalam menghadapi apa yang dikesankan sebagai sebuah provokasi dan penghinaan terhadap martabat bangsa. FPG yang sedang mengalami penurunan citra sebagai akibat manuver-manuvernya akhiri-akhir ini yang kurang simpatik, seperti masalah dana aspirasi dan sekgabsi serta rumah aspirasi, akan mencoba mengkapitalisasi simpati publik terhahadap sikapnya yang tegas dan "patriotik" tersebut. Apakah FPK akan memperjuangkan sampai titik terakhir, semua orang pasti sudah tahu dari pengalaman parpol Orba ini. Sejauhmana FPG, misalnya, memperjuangkan keputusan Pansus Century, publik sudah tahu rekam jejaknya.


FPD yang menjadi partai Pemerintah tentu lebih memilih mendukung apa yang sedang dan telah dilakukan oleh pemerintah dalam menghadapi krisis dengan Malaysia. Untuk sementara, Pemerintah seperti tak berdaya atau bahkan kehilangan akal menghadapi tuntutan publik, sehingga memilih untuk diam dan mencoba berlindung dibalik sopan santun diplomatik (diplomatic nicety). Salah satunya adalah dengan memakai argumen lama bahwa RI dan Malaysia adalah serumpun dan sesama anggota ASEAN, sehingga tak elok apabila ada kesan bertengkar. Kendati Malaysia sudah sering melakukan pelanggaran dan tidak menunjukkan sikap sebagai tetangga yang baik (a good neighborly attitude) serta provokatif, tetapi dicoba diabaikan dalam rangka mencari solusi. Pemerintah tampaknya sangat memikirkan implikasi yang muncul apabila sikap tegas dipakai terhadap Kualalumpur, yang bisa saja akan makin menampilkan betapa Indonesia ternyata memiliki posisi yang lebih lemah secara ekonomi, militer, dan dukungan internasional.

FPD dan Pemerintah harus memilih resiko kurang populer tersebut untuk membeli waktu mencari solusi yang paling aman dalam menghadapi Malaysia. Sayangnya, semakin hari ternyata permasalahan hubungan natara kedua negara ini makin meruyak dan menunjukkan betapa banyak persoalan sensitif yang tyersembunyi. Contoh paling konkret adalah adanya ratusan warganegara RI di Malaysia yang sedang menunggu vonis hukuman mati oleh pengadilan negara itu karena tindak kriminal yang dilakukan. Anehnya, perkara yang sebesar ini ternyata belum diketahui bahkan oleh Presiden RI dan para Menteri yang terkait, seperti Menlu dan Menakrtrans. Jika masalah-masalah yang tersembunyi ini bermunculan ke permukaan, maka dampaknya akan semakin mempersulit pemerintah dan FPD di DPR untuk berkelit dan bersikukuh dengan pendekatan realisme politik tersebut.

Perdebatan FPG dan FPD barangkali merupakan potret pertarungan dua parpol dan elite keduanya. Akankah Partai Demokrat dipaksa kembali oleh Gokar memberikan konsesi politik sebagaimana ketika Golkar mendapat posisi Ketua Harian Sesgabsi setelah Pansus Century? Bukan hal yang tak mungkin bahwa ternyata aksi patriotisme FPG di DPR hari ini tak lebih hanya sebuah tawar menawar posisi politik biasa, dan rakyat yang keburu simpati akhirnya harus gigit jari seperti sebelumnya.

selengkapnya >>>

23 August 2010

TERNYATA PRESIDEN BELUM TAHU

 baca beritanya disini

by Muhammad A S Hikam

Sungguh semakin menyedihkan mengikuti kabar dari negeri jiran kita, Malaysia. Lebih dari 400 orang WNI terancam hukuman mati karena berbagai tindak kriminal yang dituduhkan kepada mereka. Bahkan sampai kini telah terjadi eksekusi sekitar delapan orang diantar mereka, yang terakhir pada 18 Agustus 2010 yang lalu. Sebuah... hadiah ultah RI yang sangat memalukan untuk kita terima. Warganegara RI tampaknya semakin menjadi bagian dari masalah di negeri orang yang telah memberi mereka pekerjaan dan makan serta kesempatan untuk berkarir. Bukan saja jumlah mereka yang masih mengalami kesulitan di tanah air belum juga teratasi dengan baik, bahkan tetapi bahkan yang sudah berada di luar dan memiliki kesempatan lebih baik pun ternyata menciptakan masalah.

Rombongan TKI   / www1.kompas.com

Tetapi yang jauh lebih menyedihkan dari kabar di atas adalah kabar bahwa para penyelenggara negara kita pun ternyata tidak tahu bahwa rakyat dan warganegara Indonesia di Malaysia sedang terancam hukuman mati. Dan dalam jumlah ratusan! Diperlukan organisasi masyarakat sipil semacam LSM Migrant Care untuk membuat para petinggi negeri kita "ngeh" bahwa situasi rakyat dan warganegaranya begitu parah. Tentu orang yang sedikit cerdas akan bertanya: "Lho, apa dong fungsi KBRI dan Konsulat Jenderal dan segala petugasnya di Malaysia?" Orang yang jujur tentu menjawab:"Yah, itulah kelemahan kita dan marilah diperbaiki. Trims Migrant Care, mari kita selesaikan masalah ini dengan kerja bareng, demi rakyat dan negara."

Sayangnya, yang terjadi bukan begitu. Jubir Presiden malah dengan tenang mengatakan Presiden belum tahu, dia sendiri belum tahu dan baru akan mengecek informasi tersebut. Saya khawatir, kalau Pak Presiden saja belum tahu, apalagi Menteri Tenagakerja nya? Jangan-jangan dia juga menunggu dilapori sebelum nanti mengatakan bahwa dia juga belum tahu. Padahal, birokrat mana ada yang mau memberi laporan yang kurang sedap kepada bossnya? Hampir tidak mungkin ada bawahan yang semenjak pagi-pagi melaporkan ada empatratus orang Indonesia di Malaysia yang menunggu digantung. Formula yang paling enak dipakai adalah jurus menolak (deniability) dan menyalahkan bawahan atau saling melempar kesalahan kepada instansi lain!

Kasus pelanggaran hukum warganegara RI di Malaysia sejatinya sudah diberitakan hampir setiap hari di media, baik di Republik ini maupun di luar. Yang diperlukan oleh para pejabat terkait adalah kemauan untuk bersikap empati kepada sesama warganegara dan kemudian berusaha melakukan penyikapan yang paling tepat. Prinsip hukum harus dipatuhi dan penegakan hukum di negeri orang pun harus ditaati. Kalau memang terbukti sebagai pelaku kriminal, tentu harus siap dijatuhi hukuman sesuai aturan pidana yang berlaku di sana. Masalahnya menjadi musykil ketika ada indikasi proses hukum yang terjadi di negeri itu tidak transparan, sementara para pejabat yang mewakili RI tidak memiliki cukup perhatian dengan warganegara yang sdang bermasalah. Malah seperti yang diucapkan Ketua DPR Marzuki Alie, justru yang disalahkan adalah mereka yang menjadi sang terhukum!

Konstitusi kita menwajibkan penyelenggara negara untuk melindungi warganegaranya. Disana tidak ada ketentuan bahwa yang bersalah dan terpidana tidak usah dilindungi. Hal itu berarti bahwa ada kewajiban para penyelenggara negara untuk setidak-tidaknya berupaya memberikan perlindungan hukum kepada mereka. Namun hal ini tidak akan terjadi manakala tidak ada empati dari penyelenggara negara tersebut kepada warganegaranya. Yang justru akan muncul adalah sikap tidak mau tahu dan tidak peduli terhadap kondisi riil mereka. Jangankan kepada mereka yang sedang berada di luar negeri, sedangkan yang nyata-nyata di depan mata mereka pun sepertinya tak tampak!

selengkapnya >>>

"NO MORE MR. NICE GUY" DALAM DIPLOMASI DENGAN MALAYSIA, PAK MENLU!

Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Jababeka, Cikarang, Jabar


Saya termasuk yang setuju agar Menlu kita dievaluasi kinerjanya, setelah kegagalannya dalam menangani pelanggaran perbatasan laut dan penahanan pegawai DKP oleh Pemerintah Malaysia. Menlu Marty Natalegawa bisa saja membela diri dengan mengatakan bahwa nota protes yang dilayangkannya beberapa hari lalu merupakan sebuah langkah protes paling keras, sebagaimana saya baca kutipannya di media. Namun buat saya, nota protes itu bukan saja tidak cukup keras, tetapi juga dilakukan secara sangat terlambat sehingga semakin menciptakan kesan bahwa Pemerintah RI tidak memiliki cukup dignity dan kemampuan menghadapi ulah negara jiran yang, menurut menlu sendiri, telah sembilan kali melakukan berbagai tindakan yang dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional terhadap RI.


Seorang sahabat yang juga diplomat senior mengatakan kepada saya bahwa nota protes seperti yang dilakukan Menlu bukanlah tindakan diplomatik yang paling keras yang bisa dilakukan oleh pemerintah RI. Sahabat ini mengatakan bahwa seharusnya Menlu memanggil Dubes Malaysia dan menyerahkan surat protes Pemerintah RI yang harus dibawa pulang ke KL, dan tidak usah kembali lebih dahulu ke Jakarta sebelum ada jawaban yang diminta Indonesia. Hal itu merupakan tindakan diplomatik yang tegas dan paling keras yang bisa dilakukan oleh Menlu sepadan dengan tindakan pelanggaran wilayah dan penangkapan petugas DKP di perairan Indonesia itu. Tindakan melayangkansurat protes yang dilakukan menlu ternyata tidak ditanggapi serius dengan cara didiamkan. Menlu mengatakan bahwa sikap diam Pemerintah Malaysia adalh berarti mengakui kebenaran protes tersebut. Bagi saya, sikap diam itu justru merupakan petunjuk bahwa Indonesia dicuekiin oleh Malaysia.

france25.com

Apa yang disampaikan sahabat saya bisa benar dan bisa saja tidak, tetapi yang penting bagi saya adalah bahwa pendapat Menlubahwa nota protes itu sudah merupakan tindakan diplomatik paling keras, ternyata masih bisa diperdebatkan. Apalagi interpretasi Menlu bahwa Pemerintah Malaysia telah mengakui kesalahan karena sampai sekarang belum menjawab nota tersebut. Bagi saya Menlu hanya ingin menutup-nutupi kesalahan dan ketidak mampuannya menghandel masalah menggunakan jargon diplomasi yang bagi publik yang awam tentu sulit untuk dibantah. Yang jelas adalah, apa yang dilakukan oleh Kemenlu dalam kasus ini sama sekali tidak membuat publik dan rakyat Indonesia pada umumnya merasa puas terhadap kinerja diplomat Indonesia sehingga turut meningkatkan suhu panas yang muncul dari emosi publik sebagai akibatnya.

Lebih jauh, upaya diplomasi yang dilakukan Menlu Martu bagi saya sangat terlambat dilakukan. Mungkin Pak menlu berargumen bahwa ia perlu waktu untuk melakukan penelitian apakah pelanggaran itu terjadi di perairan RI atau tidak, dan sebagainya. Bagi saya, sikap ini hanya menunjukkan rendahnya sensitivitas politik Menlu dan kecenderungannya untuk mencari jalan yang paling tidak beresiko. Dengan langkah yang dianggap berhati-hati seperti itu, maka Menlu meriskir munculnya persepsi sangat negatif dari publik di tanah air bahwa Pemerintah sama sekali berada dalam posisi "tak berdaya" berhadapan dengan provokasi Malaysia yang, diakuinya sendiri, telah berkali- kali dilakukan dalam beberapa tahun terakhir ini.

Gabungan antara kegagalan langkah diplomasi yang tepat dan keterlambatan memberikan reaksi yang tepat kepada Malaysia itu, merupakan sebuah flaw (kelemahan) yang sangat parah dalam kinerja Kemenlu dan kemampuan Menlu menghadapi krisis. Pendekatan birokratis dan kecenderungan untuk senantiasa berada di zona kenyamanan (comfort zone) menyebabkan Menlu memperkuat citra bahwa Indonesia memang tidak memiliki kekuatan seimbang (power parity), baik dari segi kekuatan keras (hard power) maupun kekuatan lunak (soft power) vis-a-vis Malaysia. Hal ini akan sangat membahyakan posisi Indonesia yang juga sedang mengalami berbagai persoalan di dalam negeri manakala ketidak mampuan menangkal ancaman dari luar semakin hari semakin tampak kasat mata. Indonesia tentu tidak ingin menjadi negara yang bertemperamen tinggi dalam hubungan antar-bangsa, karena hal itu tidak sesuai dengan filosofi bangsa dan doktrin polugri kita. Tetapi sebagai bangsa yang "cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan", seharusnya Menlu harus mampu menerjemahkannya secara tepat dan berani bersikap di luar kotak (out of the box) dan di luar zona kenyamanan.

Presiden SBY selaku Chief Executive jelas memiliki hak prerogatif untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja Kemenlu dan Menlu saat ini, agar dignity atau martabat bangsa dan negara ini dapat dijaga. Apa yang telah dilakukan oleh Menlu Marty Natalegawa (MN) adalah sebuah "wake up call" bahwa diplomasi kita sedang mengalami problem baik pada tataran visi maupun policy-making. Ketika bangsa ini sedang menghadapi berbagai ujian dan cobaan setelah melakukan reformasi, maka yang diperlukan adalah sebuah visi polugri yang mampu menampilkan bangsa dan negara yang solid dan kokoh, terutama dalam melindungi wilayah dan warganegaranya. Visi tersebut kemudiandiwujudkan, antara lain, dalam langkah-langkah diplomasi yang proaktif dan mampu membuat RI semakin dipercaya sebagai kekuatan penting di ASEAN dan Asia serta di dunia Islam. Sayangnya justru yang sedang kita saksikan adalah sebuah kinerja diplomasi yang hanya berkutat dengan penciptaan citra sebagai "good guy" (anak baik) namun tanpa isi dan kreativitas.

Kita tunggu saja bagaimana langkah Presiden SBY memberdayakan Kemenlu saat ini dan di masa datang. Saya kira, sudah waktunya kita berani menyatakan "No more Mr. Nice Guy" menghadapi ancaman kedaulatan dan kepentingan nasional kita.

selengkapnya >>>

22 August 2010

Analisa Berita : Kemhan: Tak Mungkin Senjata TNI Dipakai Merampok

berita lengkapnya disini

by Muhammad A S Hikam

Ucapan Karo Human Kemenhan. I Wayan Widhio (IWW), bahwa tidak mungkin senjata TNI dipakai oleh para perampok bersenjata api (senpi) yang akhir-akhir ini meresahkan masyarakat, seharusnya memberi rasa tenang dan aman kepada kita. Saya sengaja menggunakan kata "seharusnya", karena publik pada umumnya masih skeptis terhadap bantahan-bant...ahan yang terlalu cepat keluar dari para pejabat. Biasanya, kalau ternyata nanti ada bukti bahwa senjata-senjata itu memang pernah dimiliki oleh institusi seperti TNI, Polri, dll, maka akan dijawab itu sebagai "oknum", "salah prosedur", dan lain jawaban yang bernuansa mencari selamat. Sebab bukan sekali atau dua saja kasus seperti itu pernah terjadi yang menunjukkan bahwa kemungkinan adanya senjata-senjata milik institusi militer dan polisi bisa saja "pindah tangan" dan dipergunakan dalam aksi kejahatan.

primaironline.com
Saya tidak meragukan ucapan IWW dan berharap memang demikianlah adanya, yaitu bahwa senpi yang dipergunakan para perqmpok itu berasal dari sumber lain seperti para mantan pemberontak Aceh atau selundupan dari luar Indonesia, dsb. Sebab jika sampai ada bukti bahwa senpi milik TNI ikut-ikutan dalam tindak kriminal, maka bukan saja lembaga yang merupakan kompoken utama pertahanan negara itu akan tercemar dan tergerus kredibilitasnya, tetapi juga rasa aman publik akan semakin terganggu karena senpi milik TNI jelas merupakan senjata tempur yang berkemampuan membunuh sangat tinggi. Hal ityu juga akan menjadi indikator bahwa disiplin dalam organisasi militer yang sangat diandalkan dan diunggulkan selama ini telah mengalami penurunan, sesuatu yang tak terbayangkan konsekuensinya!


Publik masih ingat benar ketika terjadi kasus penyimpanan senjata api di rumah seorang purnawirawan Jendral yang baru ketahuan setelah yang bersangkutan meninggal dunia. Ketika itu saya masih di DPR RI, Komisi I yang membidangi antara lain masalah pertahanan negara. Kasus yang terhitung sangat menghebohkan itu pada akhirnya tidak sampai kemana-mana dan dianggap selesai setelah TNI dan Menhan menyatakan bahwa penyimpanan ratusan senjata itu dapat dijustifikasikan karena hanya merupakan hobby dari mendiang sang Jenderal yang merupakan kolektor senpi. Namun, pada saat itu publik pada umumnya tidak puas dengan penjelasan itu dan bahkan rumor pun merebak yang antara lain mengaitkan pemilikan senpi ilegal itu terkait dengan berbagai kasus konflik di daerah-daerah. Namanya saja rumor, tingkat kebenaran dan kesalahannya sulit untuk diukur. Toh, ada sebuah pelajaran penting yang saya petik dari kasus tersebut yaitu bahwa terjadinya ketidak disiplinan di batang tubuh TNI, kendati pada level yang tinggi, bukanlah sesuat yang tak mungkin terjadi.

Kasus-kasus perampokan berdarah yang teroganisasi rapi dan melibatkan pelaku berjumlah banyak dengan senpi yang canggih, bukanlah suatu tindak kriminal perampokan biasa. Apalagi jika sasaran utamanya adalah Bank dengan jumlah uang yang dirampok sangat besar. Saya tidak akan menutup kemungkinan bahwa kejadian semacam ini merupakan salah satu modus operandi (MO) dari sebuah operasi yang lebih besar, yaitu terorisme. Setelah kaum teroris mengalami pukulan telak bertubi-tubi dari Densus 88 Polri beberapa tahun terakhir yang tentu telah membuat kelompok teroris tersebut mengalami kesulitan dalam pengumpulan dana. Apalagi pengetatan pengawasan lalulintas keuangan melalui jejaring elektronik semakin kuat, maka satu-satunya yang masih diandalkan adalah menggunakan manusia sebagai keledai (mule) yang mengirim dana. Jalur ini pun saat ini makin sulit dengan dibuatnya kerjasama internasional yang mengawasi dengan sangat ketat orang-orang dan kelompok-kelompok serta yayasan yang memiliki potensi dipakai sebagai perantara. Cara klasik yang kemudian dipakai adalah penggunakan kekerasan untuk memperoleh dana cash, termasuk aksi perampokan Bank.

Jika hal ini ada sedikit kebenarannya, maka kecanggihan para pelaku akan merupakan tuntutan pertama, karena mereka pasti menargetkan perolehan yang sangat besar dengan efek teror yang juga serius. Maka penggunaan senpi yang canggihpun menjadi sangat penting agar aksi berjalan cepat, efektif, dan memiliki daya serang yang tinggi. Mereka bukan hanya menginginkan uang untuk liburan atau lebaran, tetapi untuk sebuah operasi besar, sehingga profesionalisme sangat penting. Senpi yang dipilih tentu juga tidak main-main dan karenanya bukan hal yang mustahil kalau mereka pun melakukan "belanja" senpi dari sumber-sumber yang memiliki persediaan yang berkualitas. Itulah sebabnya, penting untuk mengetahui tipe-tipe senjata apa yang dipergunakan mereka dalam aksi perampokan sehingga penelusuran terhadap asal-usul senpi dapat dilakukan dengan cermat dan tepat serta tidak mengundang spekulasi yang hanya berdampak buruk kepada publik.

Polri sebagai "leading sector" dalam keamanan dan ketertiban umum harus secepatnya membongkar dan menghentikan aksi-aksi perampokan yang meresahkan publik dan menghancurkan kredibilitas aparat penega hukum itu. Saya memiliki keyakinan tinggi bahwa kemampuan intelijen Polri cukup baik dan efektif, tak kalah dengan kemampuan Densus 88 dalam menangani terorisme di dalam negeri. Semakin cepat Polri dapat membuat terang mengenai asal-usul senpi-senpi yang dipakai para perampok ini, akan semakin baik dan mampu meredam ketakutan dan kepanikan publik. Kalau perlu Polri pun harus mengajak TNI dan badan intelijen untuk melakukan operasi bersama menanggulangi maraknya aksi kriminal yang sangat mengancam stabilitas keamanan publik tersebut.

selengkapnya >>>

21 August 2010

KENANGANKU DENGAN GUS DUR (25)

by Muhammad A S Hikam

Ramadhan ini, khususnya pada 1 Syawal 1430H nanti, saya tidak lagi bisa sungkeman kepada Gus Dur di ndalem Ciganjur seperti biasa. Rasanya mau menangis saja mengingat dan mengantisipasi kebiasaan yang harus terputus. Tapi segera saya hibur diri saya dengan kenyataan bahwa mBak Nuriah toh masih ada di Ciganjur. Bukankah kalau sungkeman dan Halal bi Halal ke sana selain dengan Almaghfurlah juga selalu anda mBak Nuriah? Insya Allah jika beliau nanti ada di ndalem, saya tetap akan hadir. Seperti tahun-tahun sebelumnya, sungkeman dan Halal bi Halal ke Ciganjur selalu yang pertama saya lakukan setelah menerima tamu Halal bi Halal di kampung.



Bagi saya pribadi, almaghfurlah sudah saya anggap sebagai pengganti almarhum ayah saya ketika beliau masih sugeng, sehingga setiap Idul Fitri selalu menjadi kewajiban untuk sungkem dan memohon maaf kepada beliau. Jarang saya dan isteri saya sampai kesiangan untuk mencapai Ciganjur, kecuali kalau jalanan sudah macet begitu memasuki daerah Jagakarsa. Karena itu, biasanya di rumah masih belum banyak wartawan yang hadir atau para tamu "penting" yang bergantian tak putus-putusnya. Sebelum Pak Harto wafat, Gus Dur yang selalu menyempatkan diri berhalal bihalal ke Cendana dan biasanya dilakukan ketika masih cukup pagi. Toh saya selalu datang sebelum Al-maghfurlah berangkat ke Cendana. Menyempatkan diri sungkem pada waktu masih belum banyak orang bagi saya penting karena kadang-kadang masih sempat ngobrol karena tamu-tamu belum terlalu antre. Disamping juga, makanan masih lengkap, hehehe...

sumber foto : the jakarta post

Tapi seperti kata pepatah "manusia berusaha, Tuhan yang menentukan." Saya pernah juga kesiangan sampai ke Ciganjur untuk sungkeman 1 Syawal. Kalau saya tak keliru, hal itu terjadi pada 2008. Seingat saya keterlambatan itu sudah diawali dengan mbludagnya tamu-tamu orang kampung yang datang ke rumah setelah sholat Ied. Tidak seperti tahun sebelumnya, pada waktu itu tetangga dan tamu lain sangat banyak dan silih berganti. Padahal cara kampung saya, yang sangat Betawi itu, tergolong unik. Tidak seperti di Tuban, para tamu di Pamulang hanya salaman dan saling bermaaf-maafan lalu pergi. Kalau di Tuban, tamu-tamu duduk dulu, makan makanan kecil dan minum sebelum pergi ke tempat lain. Jadi biasanya hanya perlu waktu satu jam saya sudah selesai berhalal bihalal di rumah dan langsung pergi ke Ciganjur. Nah, pada 2008 itu ternyata saya baru bisa keluar rumah jam 10.00 dan jalanan luar biasa macet! Karena sudah terlanjur siang, saya usul kepada istri untuk tidak ke Ciganjur dulu, toh Gus Dur pasti super sibuk jam seperti itu. lebih baih agak siang setelah dzuhur sekalian. Makanya saya lalu ke Bambu Apus (rumah pak Wiranto) lebih dahulu sekalian jalan tol cuma searah dari Pamulang.


Jam 12.00 saya sampai di rumah Ciganjur dan memang benar, tamu-tamu sudah bisa dibilang mereda. Kebetulan yang sedang ngeriung dengan Gus Dur waktu saya datang adalah Pak Akbar Tnjung, Pak Menteri ESDM Purnomo Yusgiantor, dan K H. Manarul Hidayat. Selesai sungkem saya ikut gabung dan mengobrol ngalor ngidul. Entah bagaimana obrolan sampai pada masalah perbedaan pendapat yang selalumuncul di kalangan ummat Islam jika bulan Ramadhan dan Syawal datang. pasti ada kabar kelompok A mengawali puasa tanggal X sedang kelompok B tanggal Y. Pak Purnomo, yang Katholik tetapi sangat paham dengan tradisi Islam, bertanya kepada Al Maghfurlah:



"Apa gak bisa di cari solusi supaya sama harinya ya Gus?"



"Ya Gus, masa tiap bulan Ramadhan kok pasti ada perselisihan pendapat soal awal puasa dan awal lebaran" Kata Pak Akbar menimpali



"Ya biar saja pak, wong memang kedua-dua pendapat (antara rukyah dan hisab) itu punya dalil sendiri-sendiri. Lha malah ada yang tidak menggunakan dua-duanya lalu mengawali puasa sendiri dan kelompoknya. Seperti kelompok yang di Sulsel itu.." Kata Gus Dur, enteng.



"Tapi kan membuat kita ini seolah-olah tidak punya pegangan, Gus. Masak sih tidak bisa ditentukan bersma-sama.." Pak Akbar keukeuh.



"Yang penting tidak menjadi alat memaksakan kehendak saja pak, kalau mau mencari persamaan kayaknya susuah. Toh kadang-kadang juga sering bareng-bareng..." Kata Kyai Manarul.



"Nah belum lagi, itu Gus, soal sholat Taraweh yang beda berapa rakaatnya. Ada yang sebelas ada yang duapuluh tiga rekaat. Itu yang benar yang mana, Gus?" Tanya Pak Akbar, dan sambil melihat saya menanya: "Gimana Pak Hikam, menurut anda?"



"Pak, kalau saya sigh gak repot-repot kalau soal beda rekaat sholat Taraweh itu." Kata saya sambil tertawa



"Kenapa Pak Hikam?" Pak Purnomo bertanya



"Lha wong tidak sholat taraweh juga gak berdosa kok Pak, itu kan sholat sunnah, kenapa ribut mana yang paling bener hanya soal bilangan raka'at saja?" Kata saya menjelaskan.



Gus Dur dan K Manarul tertawa terbahak-bahak.. "bener, Kang, bener..." Kata Gus Dur dan Kyai Manarul berbareng. Pak Akbar dan Pak Pur akhirnya ikut tertawa juga...



"Kalau menurut saya, Pak Akbar, yang sebelas rakaat itu dapat diskon 60%" Kata Gus Dur



""Lho.. kok..?" Pak Pur dan Pak Akbar sudah mulai senyum-senyum



"Lha iya kan, kalau yang taraweh duapuluh tiga itu dipotong 60% kan tinggal sebelas rakaat, hehehe.." GD tertawa..



"Bener.. bener... bisa saja Gus..." Kata Pak Pur sambil tertawa..



Dan obrolan pun berjalan sampai jam 14.00 ketika saya dan isteri pamit. Itulah kenangan sungkeman 2008 yang saya miliki, walaupun saya datangnya sangat terlambat tidak seperti biasanya...



Di manapun dan dalam kondisi apapun, Gus Dur selalu menjadi tumpuan pertanyaan baik dari khalayak ramai maupun dari kalangan elit. Bahkan mereka yang non Muslim tetapi punya perhatian kepada ummat Islam, seperti pak Purnomo (yang sekarang Menhan itu) pun bertanya kepada Gus Dur tentang masalah keislaman. Mungkin saja Pak Pur merasa tidak canggung karena beliau tahu Gus Dur selalu terbuka terhadap pertanyaan siapapun. Dan Gus Dur pun selalu menjawab pertanyaan dengan pendekatan yang manusiawi dan sebisa-bisa dengan cara yang ringan dan humor. Soal perbedaan awal ramadhan dan 1 Syawal yang bagi banyak orang dianggap sangat pelik, dalam pandangan beliau dianggap sebagai salah satu kekayaan Islam yang tak perlu dipersengketakan. Jika masyarakat telah menjadi dewasa, maka mereka akan memilih sendiri mana yang paling tepat. Hukum Islam selalu adaptif terhadap perkembangan zaman dan memberi pintu bagi berbagai perbedaan. Tinggal bagaimana pemimpin ummat dapat menyikapi perbedaan pendapat secara produktif dan win-win.



Saya akan kehilangan acara tradisi sungkeman dengan Almaghfurlah mulai tahun ini. Tetapi kenangan sungkeman 2008 akan tetap menjadi pengingat akan kebesaran jiwa beliau dalam menghadapi kehidupan dan permasalahannya.

selengkapnya >>>

20 August 2010

KRITIK ATAS GAGASAN MALIK MADANI TIDAK MENYOLATI JANAZAH KORUPTOR

by Muhammad A S Hikam
President University
Jababeka, Cikarang, Jabar


Gagasan Katib Syuriah PBNU, Prof. Dr. Malik Madani, MA, (MM) untuk tidak menyolati jenazah koruptor ternyata tidak semulus yang dia pikir akan diterima oleh publik umumnya dan bahkan para Ulama Nu sendiri, termasuk mantan Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi (http://www.detiknews.com/read/2010/08/20/150739/1424387/10/hasyim-muzadi-batasan-seorang-koruptor-tak-jelas). Sama dengan mayoritas rakyat di negeri ini, MM sudah begitu jengkel dan marah terhadap korupsi dan para koruptor di negeri ini, yang memang menjadi salah satu penyakit terbesar dan paling berbahaya sehingga adapat menghancurkan keberadaan Republik. MM mungkin juga sudah sangat marah melihat ketidak efektifan sistem dan lembaga serta penyelenggara hukum kita dalam memberantas korupsi dan menindak para koruptor, khususnya yang kaliber kakap. MM barangkali juga sudah capek dengan janji-janji para elite di negeri ini yang bisanya hanya berjanji dan ber"kalam kaspo" alias beretorika kosong akan memberantas korupsi, namun ternyata dalam kenyataan hanya kulit-kulitnya saja yang tersentuh.


Maka MM pun mencoba menawarkan alternatif, bagaimana kalau sanksi moral dan agama dipakai untuk menjerakan para koruptor dan mengerem pupolasinya di Indonesia. Sudah barang tentu, sebagai seorang pakar dan alim dalam Fiqih, MM memiliki argumen kuat untuk mendukung gagasan yang spektakuler itu: tidak perlu menyolati jenazah koruptor. Dalam pikiran MM, mungkin kalau gagasan ini duerapkan di dalam organisasi sebesar NU, maka akan ada efek positif yang akan membuat orang-orang Islam menjadi jera untuk korupsi. Siapa yang mau mengalami boikot sholat janazah? Alangkah malunya si keluarga almarhum/almarhumah kalau sampai hal itu mengenai diri mereka? Apalagi hal itu tentu akan tersebar luas di masyarakat dan diberitakan media massa bahwa jenazah si A atau si B tidak di sholati karena korupsi. Kalau jenazah itu tak disholati, mungkin implikasinya juga tak dibacakan Yasin, tahlil, talqin, dan malah juga tak usah ditakziahi sekalian!

Luar biasa sanksi moral dan agama yang digagas MM dan seandainya dilaksanakan, maka akan sangat menghebohkan. Apakah dengan demikian korupsi dan koruptor (Muslim) akan jera dan lembaga penegak hukum akan tinggal kipas-kipas, serta KPK dibubarkan? Saya tidak tahu jawabnya. Tetapi saya ingin mengatakan bahwa kendati gagasan MM itu cukup spektakuler dan punya daya shock therapy yang dahsyat, khususnya di kalangan Muslim dan NU, tetapi menurut saya berlebih-lebihan dan cenderung melanggar etika pergaulan masyarakat. Padahal dua hal ini adalah core values (nilai-nilai inti) dari NU dan faham Aswaja yang dimpakai kaum nahdliyyin. NU mengutamakan prinsip "tawazun" dan "tasamuh" serta "al-'adalah" (seimbang, toleran, dan adil). NU, dalam etika sosialnya sangat dikenal dengan sikap tidak berlebih-lebihan, karena Al-Qur'an sendiri mengatakan bahwa "Allah swt tidak menykai orang-orangyang berlebih-lebihan."



Gagasan tang tampaknya spektakuler dan populer itu akan sangat sulit diterapkan karena beberapahal. Misalnya 1) siapakah yang disebut koruptor dan berapakah ukuran korupsinya sehingga tidak perlu disholati jenazahnya; 2) kalau seorang koruptor ternyata sudah menjalani hukuman penjara, apakah masih disebut koruptor dan/atau mantan koruptor? Bagaimanakah status ontologis mereka di mata hukum Islam?: 3) Kalau seorang koruptor dihukum lebih ringan menurut publik, apakah dia juga masih dianggap koruptor sehingga tidak boleh disholati jenazahnya?; dan 4) apakah pandangan terhadap seseorang yang korup itu sama antara di mata negara dan di mata publik? Bagaimana caranya memastikan bahwa seorang yang korup itu baik dan yang lain buruk?

Adalagi masalah yang lebih musykil ditinjau dari segi Tasauf. Sikap ingin memberantas kejahatan sampai tuntas (an nahyu 'anil munkar) adalah terpuji dan diharuskan agama, tetapi Allah swt juga menyatakan bahwa yang namanya kejahatan akan selalu ada di muka bumi sebagai suatu cobaan dan ujian terhadap makhuqNya yang bernama manusia. Jika kemudian orang berpretensi dapat memberantas kejahatan sampai keakar-akarnya dengan menggunakan alat yang dahsyat seperti gagasan MM tersebut, apakah hal tersebut tidak berarti memaksakan kehendak dan bertentangan dengan sunnatullah, yaitu bahwa kebaikan dan kejahatan memang diciptakan untuk menguji siapa yang paling bertakwa kepada Allah. Implikasinya, upaya-upaya melakukan "amar ma'ruf, nahi munkar" hendaknya juga dilaksanakan dengan sikap etis yang tidak berlebihan sehingga malah menciptakan problem-problem baru yang tidak dipikirkan sebelumnya.

Dari gabungan kedua prinsip Aswaja di atas yaitu pelaksanaan huum fiqih dan perhatian terhadap etika dan hikmah kebijaksanaan Ilahiah, maka gagasan MM bagi saya hanya merupakan ekspressi sebuah kemarahan terpendam yang suci (holy anger) namun tidak memberikan solusi yang prkatis dan dapat menyelesaikan masalah besar yang bernama korupsi. Gagasan MM justru akan memperkuat kecenderungan tindakan-tindakan kekerasan yang sudah sangat banyak dilakukan atas nama agama oleh kelompok kelompok garis keras. Inilah yang menjelaskan kenapa Amidhan, salah satu Ketua MUI yang sudah dikenal sebagai penganut aliran keras itu, paling duluan menyetujui gagasan MM.

Adalah sebuah ironi bagi Nahdlatul Ulama saat ini, bahwa seorang tokoh terasnya ternyata bukannya mengaplikasikan norma-norma dasar Aswaja yang sangat dipegang oleh para Ulama NU dan menjadi ciri khasnya, tetapi malah menjadi bagian dari gerakan Islam garis keras yang justru ditentang oleh NU selama ini. Wallahu a'lam bis shawab..

Jababeka, 20 Agustus 2010

selengkapnya >>>

19 August 2010

KEBERANIAN MORAL OBAMA DIUJI DALAM PROYEK PEMBANGUNAN MASJID DI GROUND ZERO

Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Kota Jababeka, Cikarang, Jabar

Artikel kolumnis favorit saya, Maureen Dowd, di New York Times edisi 17 Agustus 2010, sungguh mengejutkan. Presiden Obama, yang semula mendukung pembangunan Masjid di Ground Zero, Manhattan, New York, ternyata mulai dikritik karena plin plan. Kurang dari sehari setelah berpidato dalam acara "iftar" (buka bersama) di Gedung Putih, di mana Presiden Obama mendukung proyek Masjid dan Pusat kegiatan lintas-agama itu, keesokan harinya beliau telah "meralat" ucapannya. Obama mengatakan "I was not commenting, and I will not comment, on the wisdom of making the decision to put a mosque there ... I was commenting very specifically on the right people have that dates back to our founding. That's what our country is about." (Saya tidak sedang mengomentari dan tak akan mengomentari kebijaksanaan yang kemudian melahirkan keputusan untuk membangun sebuah Masjid di sana. Saya hanya mengomentari secara khusus tentang hak-hak warganegara yang dimiliki semenjak masa para pendiri bangsa. Itulah negara kita yang sebenarnya.")

Ground Zero ( irib.ir)
Obama Plin-plan? Bagi orang yang tidak memahami gaya bahasa politik di AS, sulit rasanya mencermati inkonsistensi dalam ucapan Obama tentang pembangunan Masjid di bekas lokasi pemboman Al Qaeda itu. Tetapi, bagi seorang kolumnis top seperti Dowd, seraya didukung oleh berbagai analisa komentator dan pengamat, maka dua ucapan Obama tersebut telah dianggap sebagai bertolak belakang atau setidaknya terkesan "flip flopping" alias plin plan. Dowd bahkan menganggap Obama telah mulai memakai jurus belut dan "pagi kedele sore tempe" meniru President Bill Clinton. Dowd, yang sangat terkenal dengan kronik-kronik tentang Presiden Bush I dan II serta Bill Clinton sehingga merebut hadiah Pulitzer itu, khawatir bahwa Obama ternyata tidak terlalu kuat menahan tekanan politik seputar kontroversi Masjid yang datang dari baik kelompok Republik dan Demokrat. Apalagi saat ini menghadapi pemilu sela bulan November, banyak anggota Konggres dari Demokrat mulai mengambil jarak dengan Obama. Yang terakhir, misalnya, Harry Reid, Ketua Senat AS dari Demokrat, seorang Mormon dari Nevada, menolak dengan tegas gagasan pembanguna Masjid tersebut.

Menurut Dowd, Obama dan banyak tokoh Demokrat merasa ketar-ketir bahwa kontroversi soal pembangunan masjid itu akan makin membuat lawannya dari Republik mendapat angin. Itulah sebabnya beliau meriskir akan mengorbankan berbagai gagasan besar yang menandai dirinya sebagai Presiden yang mampu melakukan pendekatan dengan ummat Islam, bukan sajadi AS tetapi di dunia. Rintisannya dalam pendekatan terhadap ummat Islam (pidato bersejarah di Mesir dan keinginannya berbaikan denganTeheran, misalnya) adalah landmark yang sangat penting. Begitu juga riwayat hidupnya yang sangat khas dan memiliki kedekatan dengan Islam (nama tengahnya, negara asal ayahnya, dan ya, masa kecilnya di Jakarta) semuanya bisa menjadi modal untuk menjadikannya Presiden AS yang lain dari yang lain, bahkan antitesis dari Presiden sebelumnya, George Bush II, yang menjalankan politik luar negeri yang sangat tidak disenangi oleh dunia Islam.

Jika analisis Dowd ada benarnya, maka akan riskan sekali bagi Obama dan Partai Demokrat untuk melanjutkan kepemimpinan di AS. Bukan saja prilaku plin-plan atau flip-flopping ini akan menjadi peluru bagi lawan-lawannya, tetapi juga AS akan kehilangan momentum bagi upaya merangkul dunia Islam demi sebuah posisi yang belum jelas. Kemenangan Al Qaeda dan Osama terhadap AS, kata Dowd, bukan disimbolkan oleh berdirinya Masjid di Ground Zero, tetapi disimbolkan oleh ketakutan moral (moral timidity) dari pemimpin AS dalam mendukung proyek tersebut. Perang melawan terorisme, begitu kata Dowd, bukanlah "perang melawan Agama Islam." Bahkan, menurutnya, "anda tidak akan mampu melakukan perang melawan terorisme secara efektif jika anda melakukan perang terhadap Islam."

Presiden Obama tentunya harus melihat bahwa tokoh-tokoh seperti Walikota New York, Michael Bloomberg dan Gubernur negara bagian New Jersey, Gov. Chris Christie, yang keduanya nota bene adalah anggota Partai Republik, sangat mendukung pembangunan Masjid itu. Demikian juga banyak tokoh Demokrat sendiri yang masih kuat komitmennya mendukung gagasan tersebut. Belum lagi tokoh-tokoh masyarakat AS dari berbagai agama dan kelompok yang sangat ingin agar simbol solidaritas dan kerukunan warganegara AS itu dapat segera diwujudkan.

Kepentingan sesaat dalam politik sering dapat membuat gagasan besar berantakan.Presiden Obama sendiri (ketika sedang kampanye dulu) sering mengritik Washington, DC sebagai kota di mana ide-ide besar dibunuh. Apakah diasekarang kena tulah dari omongannya sehingga bersikap plin-plan sepertiitu? Kita lihat saja perkembangan selanjutnya dari proyek yang sangat penting bagi rakyat Amerika dan dunia tertsebut.

selengkapnya >>>