Sumber : Djoko Suud Sukahar - detikNews
'Jamaah sarungan' menggelar muktamar. Agendanya memilih pengurus. Namun sikap ceplas-ceplos warga nadliyin di antara setumpuk persoalan internal dan eksternal menjamin muktamar di Makassar seru. Bisa saja rekomendasi yang dihasilkan bakal mengubah peta politik negeri ini.
Persoalan pertama yang bakal mengundang komentar adalah sikap Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam kasus Bank Century. 'Kepatuhan' partai bentukan Nahdlatul Ulama (NU) itu dianggap aib, karena 'dikonversikan' dengan jabatan Ketum PKB, Muhaimin Iskandar. Ini yang akan memancing polemik.
Para kiai akan keras bersikap. Mungkin 'meminta' Muhaimin Iskandar untuk lengser. Atau bisa saja terjadi 'kudeta', para kiai pendiri PKB 'memaksa' Sang Ketum 'mengembalikan' partai itu ke tangan para kiai untuk diformat ulang sesuai dengan 'gaya nadliyin'.
Ditambah pasca meninggalnya Gus Dur serta 'surat tugas' terakhir 'Sang Wali' pada Muamir Mu'in Syam, maka rasanya perdebatan ini akan berjalan alot dan keras. Dalam kaitan itu, kedatangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di muktamar yang ke-32 ini ibarat 'dewa penolong' bagi Muhaimin. Itu sedikit meredam 'amarah' para kiai.
Di area ini berlapis-lapis persoalan melejit ke permukaan. Kelompok kultural dan struktural tidak terhindari, head to head berhadapan. Mereka teragitasi untuk berebut posisi. Hanya, semua itu akan bias, karena di balik itu rekam jejak Gus Dur tanpa disadari tampil sebagai patokan. Sebagai ukuran untuk menilai 'baik-buruk' yang kultural maupun struktural.
Untuk urusan ini ditaksir akan berjalan panjang. Tidak hanya diperdebatkan dalam muktamar, tetapi terus berkembang hingga muktamar bubar. Sebab ‘tiga kelompok’ dalam tubuh PKB itu sulit dipertemukan untuk dipersatukan. Dan dalam kasus ini fatwa kiai pun punya kans diulur-ulur melalui negosiasi silaturahmi.
Agenda utama tentunya pemilihan pengurus baru NU. Untuk tanfidz hampir pasti akan dipegang Aqil Siraj. Tokoh ini dianggap sebagai figur yang pas menduduki jabatan itu. Dia tidak se-liberal Gus Sholah adik Gus Dur, tidak se-elitis Ali Maschan Moesa, dan tidak se-ekstrim Ulil Absar Abdala. Aqil tipe 'jamaah sarungan' yang memiliki kecerdasan dan human relation yang baik. Dia representasi tradisionalisme yang modern dan modernisme yang salaf.
Sedang untuk jabatan Syuriah, KH Sahal Mahfud diidolakan. Kiai yang brillian dan 'kultural' itu diasumsikan sebagai penjaga garda terdepan organisasi nadliyin ini dari 'politisasi' pengurus NU. Tidak berlebihan jika masuknya Kiai Sahal ini dianggap sebagai strategi untuk mengganjal langkah Hasyim Muzadi dan simbolisasi kembalinya ‘Gus Dur-isme’ dalam NU.
Perang kepentingan itu yang bakal mendominasi muktamar kali ini. Sebab kendati ketika Gus Dur masih hidup banyak yang kontra, tetapi terjadi perubahan drastis saat tiada. Gerakan mengakomodasi ide dan gagasannya mengental. Dan ekspresi dari gerakan itu adalah dengan 'memperkecil' pihak-pihak yang pernah berseberangan dan menentang Gus Dur masuk dalam kepengurusan NU periode ke depan. Ini arus besar yang berkembang dalam muktamar kali ini.
Agenda-agenda 'rawan' itu tidak tertutup kemungkinan berganti sensitif. Itu karena sikap terbuka dan 'demokratisasi gaya' warga nadliyin. Siapa saja berhak omong dan berkomentar. Ceplas-ceplos itu yang akan mempertajam isu di muktamar, serta menjadi bola liar yang bisa digojek suka-suka oleh para wartawan.
Kelompok manakah yang bakal menang dan kalah dalam pertarungan di wadah 'jamaah sarungan' yang telah jarang pakai sarung itu? Rasa-rasanya, setelah lama menjalani 'profanisme', kerinduan masalalu adalah pilihan.
*Djoko Suud Sukahar: pemerhati budaya, tinggal di Jakarta
(iy/iy)
No comments:
Post a Comment