15 March 2010

Meski Ditolak, Pemerintah Tetap Ngotot Naikkan TDL

Muhammad A S Hikam :

Saya tidak tahu, apakah Pemerintah semakin pede atau semakin "out of touch" dengan realitas yang dihadapinya. Belum lagi urusan Bank Century kelihatan ujungnya, apakah damai atau kacau, kini sudah ancang-ancang dengan dua front: urusan APBN dan TDL. Bisa saja Pemerintah merasa sangat pede. Pasalnya, soal TDL ini kendati sudah ditolak oleh para korporat, apalagi rakyat kecil, toh Pemerintah tetap bergeming. Alasan yang dipaki Menteri ESDM lagi-lagi "no brainer" alias tidak bermutu, yaitu bahwa "TDL yang diterapkan sekarang terlampau rendah dan jauh dari harga keekonomian." Sang Menteri saya kira belum memahami benar kedudukannya : apakah sebagai pelayan masyarakat atau sebagai pedagang sehingga yang dijadikan alasan adalah faktor"keekonomian" saja. Bahkan, menurut Menteri yang namanya susah diapalkan ini, Darwin Zahedy Saleh (DZS), "rencana kenaikan TDL 15 persen pada bulan Juli bukan semata-mata karena subsidi yang kurang." Nah, belum apa-apa sudah tabrakan dengan Dirut PLN, Dahlan Iskan (DI), yang bilang bahwa alasan TDL naik adalah mengurangi subsidi!

Bagaimana sebuah negara yang begini besar diatur oleh para penyelenggara yang dalam sehari saja sudah berbeda pendapat dalam masalah strategik. Kalau dilihat dari hierarki wewenang, mestinyta DZS lebih "powerful" ketimbang DI. Tapi dari sisi pelaksana kebijakan, tentu DI lah yang akan langsung berhadapan dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) dan konsumen listrik pada umumnya. kalau kedua orang yang membawahi dua institusi strategik ini saja sudah "belepotan" dalam memberi alasan, bagaimana nanti dalam pelaksanaan riilnya? Menteri ESDM, tanpa malu-malu bicara soal jual-beli listrik. Dia bilang, "kita harus melihat kenaikan TDL ini secara profesional. Saat ini kita naikkan TDL agar suatu saat nanti harga jual listrik sampai pada keekonomian.” Jadi dalam benak sang Meneteri, peduli amat soal pelayanan, soal byar pet, soal masyarakat di Luar jawa tiap hari mati lampu. Peduli amat bahwa PLN sekarang, konon, adalah singkatan dari "Perusahaan Lilin Negara." Peduli amat bahwa yang sekarang terjadi di Republik ini bukan "pemadaman" listrik berkala, tapi "penerangan" listrik berkala. Peduli amat! Yang menjadi obsesi DZS adalah apakah listrik ini secara ekonomis dapat diperjual belikan. Dan siapa yang jadi pikiran beliau? Rakyat? Tebak sekali lagi! Investor luar!

Coba anda simak alasan Pak Menteri. Kalau keekonomian (the economy of scale )terpenuhi maka, katanya, "para investor akan tertarik berinvestasi di sektor listrik. Tidak seperti saat ini, banyak investor yang tidak mau menanamkan modalnya dengan alasan bisnis listrik kurang menguntungkan." Skakmat! Dalam pikiran beliau tidak ada urusan sama sekali dengan masalah kemiskinan, ketertinggalan, pelayanan yang amburadul, dst. dsb. yang ada adalah "laba atau rugi". Maka, kalau kemudian pemerintah Pak SBY dituduh banyak pihak sebagai Pemerintahan Neo-lib yang abai terhadap kepentingan rakyat kecil dan memihak investor asing, jangan pula merasa dilecehkan. Lha wong Kementerian yang mestinya tahu betapa vitalnya energi listrik bagi kehidupan rakyat banyak saja begini cara berpikirnya, apalagi Dirut PLN nya yang jelas-jelas punya kaitan dengan bisnis power plant.

Pemerintahan yang makin jauh dengan kepentingan dari rakyat yang mestinya dilayani, pasti akhirnya juga akan ditinggalkan. Saya hanya berdoa, semoga saja ketika rakyat nanti meninggalkan si pemerintah, perpisahan tersebut berlangsung dengan baik-baik saja, dengan mulus dan rapi. Kalau perpisahan itu tak mulus, apalagi rusuh, maka rakyat juga yang akan jadi korbannya. Sebelum itu terjadi, Pak Menteri ESDM, sadarlah...!


No comments: