16 March 2010

Penyampaian Visi Misi Calon Rektor UIN Sunan Kalijaga Ricuh

detikNews : Penyampaian Visi Misi Calon Rektor UIN Sunan Kalijaga Ricuh
www.detiknews.com
Kericuhan mewarnai penyampaian visi dan misi calon rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penyebabnya, mahasiswa menuntut agar empat calon rektor periode 2010-2014 bersedia melakukan kontrak politik dengan mahasiswa.
Muhammad A S Hikam :
Entah apa yang merasuki para mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, sehingga mereka melakukan amuk dalam forum pemaparan visi dan missi calon Rektormya? Yanbg jelas, kalau menyimak dari berita di bawah ini, para mahasiswa tersebut tidak puas dengan jalannya pemilihan kandidat Rektor yang, konon, tidak melibatkan mereka atau mahasiswa. mereka pun seger menuntut agar para Kandidat membuat "kontrak politik" dengan para mahasiswa tersebut dan, karena ditegur oleh moderator, mereka pun mengamuk!

Apakah memang ada SOP yang mengatakan bahwa dalam pemilihan Rektor di negeri ini, mahasiswa menjadi bagian yang harus selalu dilibatkan? Saya tidak tahu. Tetapi bagi saya adalah absurd apabila mahasiswa menuntut "persamaan hak" dengan cara membuat kontrak politik. Apakah hubungan rektor-mahasiswa adalah hubungan kuasa? barangkali memang ada unsur itu, karena memang Rektor adalah pemegang otoritas eksekutif tertinggi dalam sebuah PT. Toh, saya tidak pernah memahami bahwa reasi kuasa tersebut mirip rakyat-pemerintah, di mand pihak ke dua dipilih oleh yang pertama. Dalam aturan main PT di negeri ini, Rektor dipilih oleh Majelis Senat Universitas yang diserahi melaksanakan tugas sebagai CEO. Rektor, jelas bukan dipilih oleh mahasiswa dan menjadi wakil mahasiswa.

Bagi saya, kasusu keributan mahasiwa UIN ini adalah contoh paling gablang dari proses pendangkalan pemahaman tentang demokrasi dan sekaligus semakin lemahnya sistem pendidikan tinggi (higher education system) di negeri ini. Pendangkalan, karena mahasiswa dengan serampangan dan ngawur menerapkan gagasan relasi kekuasaan dalam konteks yang samasekali keliru, sehingga hasilnya pun menjadi karikatural, untuk mengatakan yang paling minim. Kekacauan berpikir plus arogansi karena menganggap diri sebagai kekuatan moral dan agen prerubahan (konsep yang makin kehilangan arti dan relevansi itu) tlah membuat mahasiswa kehilangan kemampuan nalar dan kapasitas untuk berpikir kontekstual. Oleh sebab itu ketika mereka "ditegur" yang muncul bukanlah sebuah respons untuk berdialog, tetapi amuk massa!

Tetapi yang lebih penting adalah, bahwa kasus ini menampilkan sisi buruk sistem PT di Indonesia yang selalu menghadapi krisis legitimasi dalam hal kepemimpinannya. Hal ini disebabkan PT telah berubah fungsi menjadi semacam "business entity" yang mengejar "profit" dan bukan lagi lembaga pendidikan yang menghasilkan manusia yang produktif, cerdas, dan tercerahkan. Produk PT bukan barisan penunggu kerja yang sangat tergantung pada permintaan pasar. PT bukanlah sekedar "pabrikan" manusia pinter yang akan menjadi sekrup mesin berjalan. Produk PT adalah para manusia tercerahkan dan mampu mandiri dan mneghadapi tantangan zamannya. Ini jelas membutuhkan kepemimpinan (Rektor dst) yang visioner dan menajemen yang mampu mengatasi tantangan perubahan. Kalau pemilihan Rektor hanya sekedar mengisi jabatan lowong dengan kriteria Professor Doktor Master dll., maka seperti sekaranglah hasilnya. Namanya Rektor yang adalah seorang CEO dan figur teladan, tetapi karena sistem manajemen yang jadul, yang diperoleh adalah cuma figur robot.

Namun demikian saya tetap menolak cara yg dipakai sementara mahasiswa UIN yang menggunakan kekerasan dan memaksakan kehendak. Mungkn aspirasi mereka cukup legitimate. Hanya saja mereka telah melupakan prosedur yang ada dan menampilkan prilaku adigang, adigung, adiguna. Kita tak mengharap calon-calon emimpin bangsa yang demikian, bukan?

No comments: