by : Muhammad A S Hikam
Seperti sudah umum diketahui, NU memiliki mitra tetapi sekaligus "pesaing" berat dalam gerakan Islam di negeri ini, yaitu Muhammadiyah. Dalam wacana keilmuan sosial dan politik semenjak lama dua ormas Islam itu selalu digambarkan dalam posisi biner (binary situation) dan dikotomis, yang satu merupakan anti-tesis dari yang lain. Untuk jangka waktu yang lama, para ahli masalah keislaman Indonesia (dalam maupun luar negeri) cenderung memandang bahwa dinamika gerakan Islam di Nusantara adalah resultante dialektis antar kedua ormas ini pada ranah-ranah teologis dan paradigma pemahaman keagamaan. Hal ini pada gilirannya memiliki implikasi luas dalam kehidupan sosial, ekonomi, hukum, dan politik ummat dan juga masyarakat Indonesia secara keseluruhan. NU kemudian diberi label sebagai pendukung tradisionalisme Islam, ortodoksi dan kemapanan, atau bahkan kemandegan, bid'ah dan kemunduran bagi para pengeritiknya. Sementara Muhammadiyah diberi julukan sebagai kaum Islam modern, pembaharu, kelompok maju, dst. Bagi kaum nahdliyyin, sebaliknya NU lah yang menjadi "standard bearer" Islam yang "murni," penjaga doktrin Ahlussunnah wal Jamaah dan khazanah peradaban Islam yang paling sah sanadnya, sementara lawannya adalh pengikut Wahabisme dan kelompok sempalan dalam Islam yang tidak memiliki otentisitas genealogis, dsb.
Walhasil, dalam sejarah perkembangan NU dan Muhammadiyah, perbedaan mazhab dan pemahaman serta praksis keberagamaan tersebut telah menciptakan berbagai dinamika dalam kehidupan ummat Islam Indonesia yang, sayangnya, tidak selalu harmonis. Apalagi jika politik telah ikut masuk ke dalam proses tersebut, seperti munculnya Masyumi dan NU sebagai dua parpol besar Islam yang bersaing pada tahun 50 an. Kendati Muhammadiyah tidak pernah menyatakan sebagai representasi Masyumi, bagi warga nahdhiyyin umumnya Masyumi sudah identik dengan kelompok Islam reformis. Karena Muhammadiyah juga reformis, maka sulit bagi awam warga NU membedakan keduanya! Upaya untuk "menjembatani" NU dan Muhamadiyah bukannya tidak dilakukan, bahkan dalam kehidupan riil, sejatinya tidak terlalu banyak terjadi konflik antara keduanya karena banyak keluarga yang isinya campur aduk, ya NU ya Muhammaiyah, alias Muhammad NU. Toh, bagi sebagian warga NU yang fanatik, sering soal Muhammadiyah ini bikin pusing dan kadang malah jadi sumber konflik.
Gus Dur pun tak lepas dari "conundrum" hubungan NU-Muhammadiyah ini. Memang pada tataran makro dan elit, urusannya tidak terlampau sulit karena pemahaman yang sudah lebih canggih. Tapi lain halnya dengan di tingkat grass-roots. Para pemimpin seperti GD harus bisa "nyrateni" dan "ngemong" ummat yang pemahamannya sederhana dan hitam-putih sambil terus menerus melakukan pencerahan, agar soliditas ummat bisa terjadi. Bagaimanapun juga jumlah warga NU dan Muhammadiyah di tingkat grassroots sangat signifikan, sehingga kalau di lapisan tersebut "ukhuwah" tidak jalan, maka percuma juga keberhasilan di tingkat atas. Permasalahan hubungan NU-Muhammadiyah di bawah inilah yang pernah GD ceritakan kepada saya. Walaupun kedengarannya lucu, tetapi dapat menjadi ilustrasi bahwa membangun ukhuwah itu ternbyata tidak segampang yang diomongkan orang!
Salah satu ikustrasi yang disampaikan GD adalah pengalamnnya ketika suatu hari datang ke salah satu kecamatan di Kab. Lamongan untuk memberi ceramah Maulid di sana. Nah begitu masuk ke kota kecil itu GD dan rombongan melihat ada spanduk ucapan selamat datang kepada KH Abdurrahman Wahid. Spanduk tersebut tertera nama Pengurus Anak Cabang Muhammadiyah di sana, dan memang Muhammadiyah merupakan ormas Islam yang kuat dan banyak pengikutnya, sebanding dengan warga NU. Malah karena fanatisme mereka, tak jarang terjadi konflik terbuka soal ibadah seperti shalat id di lapangan atau di Masjid, tarawih 23 raka'at atau 11 raka'at, dsb. Nah, karena itu GD rada kaget karena kok "tumben-tumbennya" ada spanduk selamat datang utk beliau dari warga Muhammadiyah. Maka sesampai di lokasi acara, GD bertanya kepada Ketua Panitia: "Kok ada spanduk dari Muhammadiyah menyambut saya?". Jawab si Panitia: "Wah nanti saya cari tahu Kyai.." sambil bergegas pergi..
Beberapa waktu emudian si Ketua Panitia (yang juga Ketua Banser) balik menemui GD sambil bilang:
"Lapor Kyai, sudah saya bereskan.."
"Lho.. bereskan apa?" Kata GD sambil rada kaget
"Ya itu tadi, soal spanduk selamat datang. Yang memasang sudah saya pukul dan minta menurunkannya." Kata si Ketua Banser dengan bangga.
" Sampeyan ini gimana sih. Lha kok malah main pukul segala?"
"Lho kan nggak sopan Kyai, masa Muhammadiyah memberi ucapan selamat datang kepada KH Abdurrahman Wahid. Kan Kyai ini Ketua Umum PBNU, jadi orang Muhammadiyah gak boleh ikut-ikutan menyambut!" Kata si Ketua Banser, polos.
"Masya Allah! Waduh sampeyan ini... Kan itu bentuk menghormati kita, kok malah sampeyan marah.." GD gak bisa melanjutkan kata-kata saking jengkel tapi juga merasa lucu.
"Wah gak bisa, Kyai.. " Kata sang Ketua Banser, masih ngeyel."Nanti bagaimana warga NU di sini kalau Muhammadiyah merasa ikut memiliki panjenengan? Jadi ya harus dihentikan!"
" Sudah..sudah, sampeyan saya perintahkan kembali kepada yang masang. Bilang Gus Dur minta maaf dan tolong dipasang lagi spanduk itu. Jangan mbantah lagi, ya!" akhirnya GD memutuskan.
Maka ngeloyorlah si Ketua Panitia Maulid, sambil tetap tak habis pikir kenapa GD kok malah baik sama Muhammadiyah!
Moral cerita itu adalah bahwa hubungan dua ormas Islam di tingkat grass-roots ternyata memiliki dinamika dan kerumitannya sendiri. Hubungan tersebut tidak hanya pada tataran organisasi, tetapi juga sudah masuk ke ranah teologis dan kultural sehingga ke NUan dan ke Muhammadiyahan sudah menjadi semacam identitas yang membedakan kedua warga secara kategoris. Akibatnya, perbedaan merke bukan hanya soal organisasi, tetapi juga merasuk pada urusan-urusan lebih dalam. Walhasil, hubungan NU-Muhammadiyah jadi mirip dengan hubungan antar-ummat beragama! Kalau sudah seperti ini, maka untuk membangun "ukhuwah Islamiyah" ditingkat grass roots memang menjadi pekerjaan yang tidak sederhana, dan memerlukan kehati-hatian serta ketelatenan yang besar.
Itulah sebabnya, GD mengatakan pada saya, kenapa beliau harus sering turun ke bawah dan bicara langsung kepada warga NU di bawah dengan bahasa mereka dan cara mereka, agar supaya tidak terjadi distorsi komunikasi. Hubungan NU-Muhammadiyah yang harmonis sangat penting bagi gerakan islam di negeri ini, karena mereka adalah pilar utama bagi kebesaran bangsa. Tetapi hal tersebut tidak hanya bisa diwacanakan saja, namun perlu kerja keras!
1 comment:
kerja keras dan kerja cerdas yang nyata,.tapi bagaimanakah bentuk kongkritnya?mungkin bisa ditulis artikel lanjutan mengenai langkah kongkrit untuk meminimalisir gesekan yang mustinya tidak perlu terjadi.
Post a Comment