09 March 2010

KENANGANKU DENGAN GUS DUR (6)

by :  Muhammad A S Hikam


Mungkin sudah banyak ditulis orang kritik Gus Dur terhadap over formalisme keberagamaan sehingga melupakan substansi agama yang menurut beliau kurang diperhatikan (khususnya dalam konteks Indoneisa), yaitu bahwa beragama (apapun) mestinya membuat YANG LAIN merasa enak, aman, kalau perlu malah terlindungi. Kecenderungan formalisme agama sebetulnya juga merupakan akibat dari sebuah proses sosial yang mengakibatkan terjadinya keterasingan (alienation) bagi sebagian orang yang merasa tak tertampung. Dalam hal ini, proses modernisasi dan fenomen modernitas yang secara gegap gempita mendera masyarakat yang sedang berkembang dan dunia ketiga, pada gilrannya membawa dampak sosial berupa, antara lain, alienasi tadi. Ujung-ujungnya banyak anggota masyarakat yang mencari pelarian, tempat meneduh dan mencari kepastian baru misalnya rame-rame kembali ke msitik atau kembali ke ajaran agama. Di Barat, fenomena "born again Christians" juga menggejala di penghujung abad ke 20. Di Indonesia, fenomena formalisasi keberagamaan menjadi salah satu penampilan nyata manakala alienasi menjangkiti relung batin masyarakat yang sedang beralih menuju masyarakat modern industrial.

Sayangnya, sebagaimana yang berlaku dalam setiap hal yang berlebihan, maka formalisme beragama juga bisa berdampak negatif bagi kehidupan bermasyarakat, apalagi dalam konteks masyarakat yang plural atau majemuk seperti di negeri ini. Formalisme menampilkan wajah yang kurang ramah karena menganggap pihak yang tidak mempraktekkannya seolah "kurang": kurang Islami, kurang relijius, kurang bertakwa, dsb. Padahal yang dipakai ukuran hanyalah simbol-simbol dan penanda-penanda luar: jilbab, ikut tour umroh berkali-kali, haji berkali-kali, piara jenggot, berbaju mirip orang Timur Tengah, dll. Inilah yang lantas menciptakan akibat berikutnya: alih-alih kehidupan beragama menjadi solusi bagi alienasi, justru ia menjadi pemicu kegerahan dan keterbelahan sosial (social cleavages). Gus Dur melihat fenomen ini sebagai perkembangan kurang sehat bukan saja dalam konteks beragama, tetapi juga dalam bermasyarakat. Karenanya beliau sangat konsisten melakukan kritik tajam terhadap fenomena ini dengan segala bentuknya, termasuk satire terhadap para tokoh agama yang dianggapnya terlalu simplistik dan egois dalam beragama. Salah satu guyonan beliau adalah ini:

Di pintu surga sedang terjadi perdebatan rame dan bertele-tele anatara tiga orang pemimpin agama gara-gara Malaikat penjaga pintu tidak mengizinkan mereka masuk. Pasalnya, mereka merasa paling berhak masuk lebih dulu karena posisinya sebagai Imam, Pendeta, dan Bhiksu. Malaikat penjaga sorga tampaknya tidak mau memutuskan siapa yang boleh masuk duluan sebelum clear dan karenanya membiarkan ketiganya berdebat. Tiba-tiba menyelononglah seorang yang compang camping dan tidak terlalu gagah mendekati pintu surga untuk minta masuk. Malaikat mengecek sebentar buku daftarnya, lalu mempersilahkan orang tersebut masuk, tanpa ba atau bu. Kontan saja ke tiga pemimipin agama tadi berhenti berdebat dan menyatukan tekad untuk protes terhadap sang Malaikat. Maka ditunjuklah si Imam untuk menjadi jubir dan menanyai Malaikat:

Jubir: "Pak Malaikat, itu tadi siapa kok langsung nyelonong masuk sorga?"

Malaikat : "Itu si Hotpintor Sinaga, orang Toba."

Jubir : "Emang dia kelebihannya apa dibanding kita kok gak ditanya?"

Malaikat : "Dia sopir mikrolet jurusan Senen-Cakung."

Jubir : "Lho, lha kita bertiga pemimipn agama!"

Malaikat :" Ya tapi Hotpintor tukang mabuk."

Jubir (dan kedua temannya bingung) : "Gimana sih, Kat! Kan jelas kita lebih berhak duluan dari sopir pemabuk itu. Malahan mestinya dia masuk ke tempat lain, bukan di sini!"

Malaikat : "Ah sampeyan ini bertiga ini gimana. Justru karena si Hot tadi sering mabok waktu nyopir, para penumpang mikroletnya selalu takzim berdoa kepada Gusti Allah supaya gak kecelakaan. Sampean bertiga sebaliknya. Kalau khotbah bikin jemaat bosen dan ngantuk semua, boro-boro khidmat dan berdoa sama Gusti Allah. Sampen bertiga malah bikin jemaat makin lama makin berkurang jumlahnya... Coba sampeyan pikir mana yang lebih disukai Gusti Allah. Lihat ini ada catatan khusus: Hotpintor langsung masuk!"

Beragama bukanlah untuk pencarian keselamatan pribadi belaka, tetapi juga mesti bisa bermanfaat bagi orang lain. Beragama mestinya bukan cuma gagah-gagahan di luaran (formalisme), tetai juga membuat Tuhan tersenyum karena ummat manusia ikut bahagia. Hotpintor bukan pemuka agama, tetapi tanpa dia polas-poles, sesungguhnya cara dia beragama malah lebih "genuine."



No comments: