14 March 2010

Rencana kenaikan TDL


Muhammad A S Hikam :


Pagi ini, tak seperti biasanya, saya ngantor sambil ngomel di mobil lebih dari setengah jam. Biasanya walaupun macet di tol Cikampek, saya bisa dengan tenang menghadapinya sambil mendengarkan Radio Elshinta. Tapi pagi tadi, saya tidak dapat menahan jengkel gara-gara wawancara radio itu dengan Dirut PLN Dahlan Iskan (DI) mengenai rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 15% bulan Juli yad. Saya betul-betul jengkel, karena merasa "dikibuli" oleh pemilik Jawa Pos Grup. Soalnya saya agak terkesan ketika mendengar dari kawan-kawan betapa hebatnya DI selam berkiprah sebagai CEO dimana-mana. Bukan saja bertangan dingin dan stylenya terbuka, tetapi konon dia juga tidak mau dibayar oleh BUMN kelistrikan itu. Jadi saya sudah berharap cukup banyak bahwa di tangan orang non pemerintah dan non PLN itu, urusan listrik yang merupakan masalah dasar manusia akan menjadi lebih baik, tidak byar pet, dan konsumen tidak harus menanggung biaya terus menerus.

Tidak tahunya, harapan saya buyar. Bukan saja TDL akan naik lagi (padahal Pemerintah janji sendiri tdk akan ada kenaikan TDL beberapa waktu lalu), tapi cara berargumen DI tidak ada bedanya dengan pendahulunya: janji akan memberikan pelayanan lebih baik, alasan karena harus melakukan perbaikan infrastruktur, perubahan dari BBM ke Gas, dll. Yang bikin saya jengkel dan tdk bisa memahami adalah, DI baru sekitar sebulan duduk di kursi BUMN tersebut, dan keputusannya yang paling awal adalah ini. Wah, saya ngomel: "Lha kalau jadi Dirut PLN cuma bisanya menaikkan TDL, ganti saja sama kucing saya." Insya Allah kucing saya juga akan bisa melakukan itu, apalagi kalau argumentasinya juga cuma "carbon copy" argumen jadul sebelumnya!

Jadi saya punya postulat sementara, bahwa salah satu syarat jadi Dirut BUMN Listrik adalah harus bisa membohongi publik, lebih cepat lebih baik! DI saya kira sudah bisa dianggap sebagai Dirut PLN yang layak mendapat award paling cepat membuat pengumuman kenaikan TDL. Bayangkan, belum sebulan dan tanpa merasa malu, mengatakan bahw "ada tidaknya kenaikan tarif listrik tidak berpengaruh bagi PLN, karena
biaya operasi dapat dicukupi sebagian dari pelanggan dan sebagian dari
pemerintah." Tapi kalau begitu, ngapain dia mau saja TDL naik?. Jawabnya "Kalau dari pelanggan tidak naik maka pemerintah yang harus mencukupi.
Kalau dari pelanggan bisa naik dari kenaikan harga listrik itu maka
tambahan dari pemerintah dikurangi." Jadi, walhasil, niat menaikkan TDL adalah agar Pemerintah tidak harus tambah subsidi.

Lho, bukankah pemerintah sendiri yang sudah janji akan menaikkan subsidi itu? Bukankah secara teori ekonomi yang paling liberalpun, adalah urusan pemerintah untuk memback-up infrastruktur dasar seperti listrik. Belum lagi kenyataan bahwa TDL untuk industri masih rendah, kenapa yang diubek-ubek hanya konsumen dan rakyat biasa yang tak punya daya tawar itu? Tetapi yang bikin saya "judheg" adalah sikap DI yang seolah-olah PLN tidak punya kepentingan dengan keinginan Pemerintah. Saya kira DI sangat tidak fair. Jelas PLN mempunyai kepentingan agar ia bisa mendapat dana segar untuk pembangunan infrastrukturnya, dan karena itu setuju dengan usul kenaikan TDL. Kalau memang tidak ada pengaruhnya, mestinya DI meminta jangan naik dulu, karena rakyat masih ruwet dengan ekonomi amburadul saat ini. Mestinya, sebagai Dirut yang bukan dari PLN, dia tahu apa yang menjadi harapan rakyat.

Tapi memang DI juga punya kepentingan pribadi. Saya tidak tahu apakah sekarang ia sudah lepas dari kepemilikan sebuah power plant cukup besar di Kaltim, tetapi dengan kenaikan TDL pastilah ada rebvenue yang akan diperoleh dari perusahaan tersebut. Kalau toh DI sudah lepas dari kepemilikan, pasti masih ada hubungan tertentu yang bisa menguntungkan. Jadi posisi DI sebagai Dirut PLN sangat berbau konflik kepentingan dan salah satu dampaknya adalah bias dalam pengambilan keputusan yang merugikan konsumen kecil dan rakyat umumnya. Inilah bukti bahwa soal memilih kepemimpinan bukanlah soal remeh. Tidak ada jaminan bahwa seorang yang punya kehebatan di sektor swasta, ketika masuk ke sektor publik pasti bisa menjalankan kemudi dengan lebih bagus atau sama bagus. DI hanya memikirkan neraca perolehan revenue yang akan diperoleh PLN dan akan kelihatan bagus di mata Pemerintah. Tapi bagaimana dengan pelayanan PLN yang super amburadul itu? Bagaimana dengan cadangan listrik yang makin mengkhawatirkan itu? Jawab DI, sama dengan Dirut-dirut sebelumnya: akan diperbaiki, akan ditingkatkan, akan diperbaharui, akan, akan, akan...

Saya sangat tidak percaya kepada kemampuan DI mengurusi hajat hidup orang banyak setelah mendengar argumentasinya di Elshinta yang "mbulet" itu. Saya harap publik dan organisasi pembela konsumen menolak rencana kenaikan TDL bulan Juli nanti. Akan lebih bagus lagi kalau bersamaan dengan itu Dahlan iskan diminta kembali mengurus Jawa Pos Grup saja. Lebih cepat, lebih baik.



___________________

No comments: