by : Muhammad A S Hikam
Salah satu hobby Gus Dur yang saya share, tapi tak banyak orang yang bisa ikutan, adalah cerita silat (cersil) Cina. Yang dimaksud buku cersil Cina ini bukan hanya yang dikarang oleh penulis Indonesia seperti alm. Khoo Ping Ho misalnya, tapi juga, dan justru lebih banyak, saduran- saduran dari para novelis cersil dari Cina, seperti Chin Yung, Liang Ie Shen, atau Khu Lung. Gus Dur dan saya menyukai para penyadur silat Cina dari negeri kita seperti Gan KL, OKT, SD Liong, Tjan ID, dan Boe Beng Tjoe. Pengarang cerita silat yang disebut terakhir, sebenarnya adalah pseudoname OKT, adalah yang karya-karyanya paling sering kami pakai sebagai rujukan, khususnya cersil yang berjudul "Kisah Membunuh Naga" (Ie Thian To Liong, KMN). Buku lain dari Boe Beng Tjoe yang merupakan "rujukan" penting adalah "Rajawali Sakti dan Pasangan Pendekar" (Sia Tiauw Enghiong, RSPP) dan "Memanah Burung Rajawali" (Sin Tiauw Hiap Lu, MBR). Sudah barang tentu GD dan saya juga membaca karya-karya Chin Yung yang lain, seperti "Pendekar dari Negeri Tayli" (Thian Liong Pat Poh) serta serial pendekar-pendekar dari Thian San karya Liang Ie Shen, seperti "Pedang Inti Es" (Peng Pok Han Kong Kiam), "Perjodohan Busur Kemala," dll. Bedanya antara GD dan saya dalm soal hobby cersil Cina ini adalah, GD berhenti membaca setelah penglihatan beliau terganggu, sedang saya masih aktif sampai sekarang, apalagi dengan penerbitan ulang cersil-cersil tersebut (saat ini saya sedang asyik membaca cersil "Pendekar Gembel" saduran Gan KL, edisi baru). Cersil Cina memang sangat adiktif bagi penggemarnya!
Bagi para penggemar cersil Cina, kisah atau cerita silat bukan hanya sekedar cerita tentang dunia persilatan (kangouw) di mana para pendekar berkelahi dengan penjahat, balas dendam dan pertikaian abadi antara kaum aliran putih (pek-to) vs kaum aliran hitam (hek-to), antara para pendekar budiman (hiap kek) vs kaum durjana dari rimba hijau (liok lim). Cersil adalah certa tentang kepahlawanan, tentang budi, tetang moral, tentang filsafat hidup, dan yang paling penting (setidaknya buat GD dan saya) tentang politik dan masalah kenegaraan. Kalau anda pembaca cersil Cina, pasti tahu tema sentral setiap cerita yang hampir sama, yaitu konflik antara kebaikan dan kejahatan dalam sebuah konteks politik perjuangan melawan penjajah. Cersil serial karya-karya Chin Yung tadi, seluruhnya menceritakan kisah pendekar-pendekar yang sekaligus pecinta negeri dan pejuang penentang penjajahan, Kwee Ceng dan Oey Yong (dalam RSPP) mempertahankan Dinasti Song, Yo Ko dan Siauw Liong Lie (dalam MBR) mempertahankan Ahala Song Selatan, sedang Boe Kie dan Tio Beng (dalam KMN) menggulingkan Dinasti Yuan (Mongol) dan meretas jalan bagi munculnya Dinasti Beng (Ming).
Sama seperti GD, saya mulai membaca cersil Cina sejak mulai kenal buku bacaan di kampung, waktu kelas 4 SD. Cersil, dalam lingkungan keluarga saya di Pesantren, dibaca sama antusiasnya dengan cerita-cerita tentang para Rasul, cerita pewayangan Mahabharata dan Ramayana, serta cerita tentang cowboy dan detektif ala Barat. Dan tampaknya banyak juga keluarga seperti keluarga saya di pesantren lain seperti GD yang share pengalaman seperti ini! Belakangan, setelah agak dewasa dan belajar, saya jadi paham kenapa banyak orang yang berlatar belakang santri ndeso memiliki pandangan dunia yang lebih kosmopolit dan universal dibanding yang mereka yang dari kota atau bahkan yang didikan sekolahan sekalipun! Soalnya ya itu tadi, sudah biasa dengan cerita-cerita dari berbagai latar budaya, sehingga multikulturalisme dan pluralisme sudah jadi makanan sejak bayi!
Kembali ke soal cersil Cina. Sering sambil ngobrol ngalor ngidul di kantor PBNU (lama) atau jalan dengan mobil bersama GD, saya tukar pengalaman membaca cersil Cina dan saling mengingat berbagai ilmu dan jurus-jurus sakti yang menjadi simpanan para pendekar. Ilmu-ilmu sakti seperti "Hang Liong Sip Pat Ciang" (Delapanbelas Pukulan Menaklukkan Naga) milik Ang Cit Kong si pengemis berjari sembilan (dalam RSPP dan MBR) yang diwariskan kepada Kwee Ceng dan Yo Ko, juga Kioe Yang Sin Kang, Thay Kek Koen, dan Kian Koen Tay Loe Ie Sin Kang yang dimiliki oleh Thio Boe Kie (dalam KMN) sering kami rujuk. Tentu saja GD juga menyukai ilmu dan jurus sakti "Tjioe Pat Sian" alias delapan dewa mabuk yang dipergunakan tokoh-tokoh seperti Kim Sie Ie dan anaknya Kim Tiok Liu (dalam kisah-kisah pendekar serial Thian San). Kalau orang sering mengatakan gaya GD dalam bertindak seperti "delapan dewa mabuk", mungkin karena beliau sering menggunakan istilah itu ketika bicara dengan publik.
Kalau sudah asyik ngobrol soal cersil begitu, biasanya cuma saya dan Gus Iim (adik bungsu GD) serta Pak Ghofar Rahman yang bisa "nyambung," karena memang sama-sama pecandu cersil Cina. Saya lantas paham bahwa GD bukan hanya sekadar menggemari cersil tetapi juga menjadikannya sebagai salah satu sumber inspirasi dalam pengalaman riil bergaul dengan masyarakat, termasuk dalam wacana dan kiprah berpolitik!. GD bukan saja menggunakan hobbynya itu untuk bisa berkomunikasi dengan kalangan Tionghoa sehingga mendapat simpati mereka, tetapi juga secara kreatif dan inovatif mengapropriasinya untuk kiprah perjuangan beliau. Selain menggunakan jurus "delapan dewa mabuk" sebagai metafora untuk taktik manuver yang canggih dan tak dapat dipahami oleh lawan (malah kawan juga), GD juga mendapat inspirasi dari ilmu sakti Pendekar Besar Thio Boe Kie, yaitu ilmu Kian Koen Tay Loe Ie Sin Kang (dalam KMN). Ilmu ini sangat ampuh dan merupakan ilmu rahasia yang hanya dimiliki oleh seorang ketua agama (Kauwcu) Beng Kauw. Dengan ilmu yang merupakan kombinasi ilmu silat Persia dan Cina itulah Boe Kie malang melintang di dunia Kangow. Melalui ilmu ini, Boe Kie mampu mengalahkan lawan dengan cara memindahkan tenaga lawan untuk memukul lawan itu sendiri. Inilah yang disebut prinsip "meminjam tenaga, memukul tenaga!". Di ceritakan dalam KMN, dengan ilmu inilah Thio Boe Kie mengalahkan seluruh tokoh persilatan dari 9 partai besar yang sedianya akan membasmi Beng Kauw dalam serangan di Kong Beng Teng di wilayah gunung Kun Lun San. Bukan saja serangan itu berhasil digagalkan, Boe Kie malah diangkat sebagai Ketua Agama (Kauwcu) Beng Kauw, padahal ia masih muda usia dan baru turun gunung!
Kisah GD ada mirip-miripnya dengan kisah perjuangan Thio Boe Kie, Kauwcu dari Beng Kauw, putra dari pasangan Pendekar Thio Cui San dari Bu Tong Pay dan In So So puteri Ketua agama (Kauwcu) Peh Bie Kauw yang bernama In Thian Ceng. GD adalah keturunan ulama-ulama besar, mirip dengan Boe Kie yang juga keturunan para pendekar besar dan bahkan cucu murid dari Ketua dan pendiri partai (Thayciangboen Sucow) Boe Tong Pay, Thio Sam Hong! Mirip Boe Kie, yang Ketua Agama Terang (Beng Kauw), GD juga berjuang melalui Ormas keagamaan NU. Kalau Boe Kie menjalankan reformasi internal di Beng Kauw dengan memerintahkan anggotanya untuk meninggalkan praktik-praktik sesat dan permusuhan dengan pihak organisasi lain dalam rimba persilatan, GD melakukan reformasi internal NU agar kembali ke Khittah dan melepaskan diri dari politik praktis. Thio Boe Kie berhasil merubah reputasi Beng Kauw yang semula tidak disukai, bahkan dijuluki Mo Kauw (agama iblis), di kalangan Kangouw, menjhadi sebuah kekuatan persilatan terkemuka dan pelopor melawan Dinasti Yuan. GD berhasil mengangkat NU sebagi ormas keagamaan Islam di negeri ini menjadi kekuatan masyarakat sipil (civil society) dan pelopor gerakan reformasi melawan Orde Baru. Thio Boe Kie berhasil mengusir penjajah Mongol, dan salah satu panglimanya, Coe Goan Ciang, kemudian mendirikan Dinasti Beng (Ming). GD berhasil menjadi Presiden pertama ere reformasi, walaupun sangat singkat, dan berhasil mereformasi peran TNI yang merupakan salah satu fondasi bagi kelanjutan demokratisasi di Indonesia!
Masih ada kemiripan GD dengan Thio Boe Kie yang paling menarik bagi saya. GD sering mengatakan kepada saya pada saat ngobrol soal cersil Cina dan politik, bahwa taktiknya melawan Pak Harto antara lain adalah menggunakan inti ilmu "meminjam tenaga dan memukul tenaga" ala Thio Boe Kie. Mengapa? Karena seperti juga lawan-lawan Boe Kie yang sangat dahsyat dan kuat, Orba pun pada masa jayanya terlalu kuat untuk dilawan oleh GD dan masyarakat sipil, termasuk NU, dan parpol baik PDI maupun PPP (yang saat itu identik dengan NU). Tak pelak, GD harus memakai tenaga Pak Harto dan Orba untuk melawan dominasi kekuasaan mereka sendiri. "Makanya, Kang, sampeyan gak usah ikut-ikut heran dan bingung, kalau kadang-kadang saya harus bermanuver menggandeng mBak Tutut dan lain sebagainya. Sampean harus bisa membedakan mana yang prinsip, strategi dan taktik saya." Walaupun kadang-kadang saya tetap tidak bisa memahami sebagian dari "manuver" beliau, tetapi saya paham dengan metafor "jurus sakti" ini, selain jurus delapan dewa mabuk tadi!. Kalau banyak orang (termasuk kawan sendiri) yang bingung dengan jurus manuver politik GD (berhadapan dengan rezim Orba), barangkali karena mereka tidak terlalu paham dengan hobby cersil Cina ini!
GD adalah seorang pelajar budaya yang sangat brillian, kreatif, dan inovatif. beliau bisa mengambil manfaat dari semua aliran, paham, pikiran yang dihasilkan oelh budaya dan peradaban yang ada, tanpa kehilangan jati dirinya. Kegemaran membaca cersil, tidak hanya karena untuk hiburan semata, tetapi juga semacam musafir budaya (cultural journey) yang dapat memperbesar kearifan dan pemahaman tentang manusia dan karyanya, tentang pengalaman-pegalaman mereka, sejarah mereka. Dari san beliau membawa pulang untuk dipersembahkan kepada negeri yang dicintainya, Indonesia. Tak semua orang bisa menerima bahkan mengerti dan memahami GD. Tapi di situlah dimensi kemanusaain GD, dan justru yang menjadikannya tokoh besar dalam sejarah bangsa. Yaitu, bahwa apa yang dipikirkan dan dilakukan GD masih terus akan dibicarakan, dianalisa, diperdebatkan oleh anak bangsa. Sepanjang masa.
No comments:
Post a Comment