Muhammad A S Hikam
Sambil bertarung melawan demam dan batuk-pileg, saya coba mengikuti saga mantan Bareskrim Jendral (bintang tiga) Susno Duaji (SD). Saga adalah semacam hikayat seseorang yang penuh lika-liku yang bisa berakhir happy atau unhappy atau tragis. Kenapa kisah Pak SD menjadi menarik mirip dongeng? Ya karena memang Pak SD sedang memerankan tokoh baik setalah beberapa waktu lalu sempat dicap rame-rame sebagai dalang drama "cicak vs buaya". Dengan "asornya" kubu buaya, maka sang sutradara sekarang harus dijadikan sesajen di pelataran politik intern Polri. Namu, Pak SD tampaknya tidak tertarik untuk "just fading away in the background" alias lenyap di latar belakang, tetapi beliau maunya melakukan perlawanan. Untuk itu sekarang peran yang dimainkan oleh Pak SD bertukar: menjadi seorang tokoh super jujur yang dizolimi oleh para boss. Karenanya, kisah yang dibuat sekarang berbeda total: Dari peran buaya sekarang menjadi peran sang pendekar pembela kebenaran. Pak SD kini sedang menantang kanan kiri mencari musuh yang dulu adalah teman dan boss sendiri. Perkara orang kemudian bertanya "Kok baru sekarang?" itu tidak penting untuk beliau jawab. Yang penting adalah rawe-rawe rantas malang-malang tuntas.
Saga seperti ini biasanya berakhir tragis, karena Pak SD sama juga sedang melawan angin lesus hanya bersenjatakan sebuah payung kertas. Pertama-tama, masa lalu beliau yang kontroversial itu saja sudah membuat orang yang mau support beliau mikir-mikir. Paling-paling media yang mau cari sensasi lalu ngompori Pak SD supaya makin keras bicara dan makin kontroversi, sehingga rating dan oplag makin naik. Soal apakah kalau nanti Pak SD dibenturkan dengan kuasa lalu babak belur, saya berani taruhan TV One, Metro, dll akan "tinggal glanggang, colong playu"! Kedua, Pak SD lupa adagium dalam dunia aparat kepolisian bahwa "they protect their own" alias saling melindungi. Apalagi kalau sudah terkait dengan boss. Sebab hanya dengan l'esprit de corps yang demikianlah Polri dapat bertahan lama dari hantaman luar dan dalam. Kecuali dalam kondisi tertentu yang sudah tidak mungkin diproteksi, seperti pembunuhan atau sejenisnya, para anggota Polri wajib hukumnya melindungi korps dari nama buruk atau pencemaran. Kalau pencemaran itu dilakukan oleh anggota sendiri, hukumannya bisa lebih serius supaya hal ini tidak ditiru oleh anak buah yang lain.
Tentu anda bertanya, kalau begitu Polri melindungi kejahatan dong? Entar dulu! Polri sebagai aparat tentu punya kode etik dan SOP yang mesti dilewati sebalum tuduhan dikontarkan. Kendati Presiden, seumpamanya, mau meladeni keluhan Pak SD, belum tentu juga akan bisa terlaksana karena akan terjadi moral hazard jika hal itu dilaksanakan. Tuduhan Pak SD bahwa beberapa Jenderal Polisi berperan sebagai makelar kasusu (markus), tentu adalah perkara yang sangat serius dan secara ideal memang harus dibuka. Terlepas dari apa yang menjadi motivasi Pak SD, saya kira orang perlu memberikan "the benefit of the doubt" kepada beliau dan melakukan aksi pemeriksaan dalam batang tubuh Polri. Sayangnya hal di atas sangat sulit apalagi dalam kondisi Presiden sedang sangat tergantung pada kemampuan Polri untuk berkiprah: penanggulangan terorisme, narkoba, dsb.
Jadi saya akhirnya hanya bisa bilang "good luck Pak Susno!". Seandainya perjuangan bapak ini didukung oleh para facebookers sebagaimana waktu mereka melawan beliau dalam "cicak vs buaya", maka saga ini bakal menarik. Tapi seperti kata orang, "luck never knocks twice" (nasib baik tidak pernah mengetuk pintu dua kali). Saya hanya ingin melihat bagaimana dan berapa lama saga Pak SD ini berakhir, apakah cukup cepat atau berlama-lama. Bahwa ujungnya sudah dapat diperkirakan - yaitu dengan kekalahan Pak SD - itu tak perlu dipersoalkan lagi...
Share
No comments:
Post a Comment