www.detiknews.com
Dalam beberapa operasinya, Polri terpaksa menembak mati para tersangka teroris. Hal ini ditentang keras oleh seorang mantan teroris, seharusnya teroris tersebut ditangkap dalam keadaan hidup
Barangkali pandangan saya termasuk yang minoritas dalam perdebatan (yang bagi saya saya tidak penting ini) soal apakah teroris itu harus ditangkap hidup-hidup atau ditembak mati dalam Operasi Polri. Bagi saya adalah terang benderang bahwa semua aparat keamanan prinsipnya akan lebih senang kalau para teroris bisa tertangkap hidup. Perintah "hidup atau mati" pun akan mendahulukan "hidup" kalau memang dimungkinkan. Mendapatkan gembong teroris yang hidup tentu akan memberi kesempatan untuk melakukan penyelidikan yang lebih luas dan mendalam, karena ia adalah "tambang emas" informasi. Kalau dia mati, kan sudah selesai atau paling-paling cuma menghentikan terorisme sebentar, karena akan ada yang lanjutkan.
Muhammad A S Hikam :
Barangkali pandangan saya termasuk yang minoritas dalam perdebatan (yang bagi saya saya tidak penting ini) soal apakah teroris itu harus ditangkap hidup-hidup atau ditembak mati dalam Operasi Polri. Bagi saya adalah terang benderang bahwa semua aparat keamanan prinsipnya akan lebih senang kalau para teroris bisa tertangkap hidup. Perintah "hidup atau mati" pun akan mendahulukan "hidup" kalau memang dimungkinkan. Mendapatkan gembong teroris yang hidup tentu akan memberi kesempatan untuk melakukan penyelidikan yang lebih luas dan mendalam, karena ia adalah "tambang emas" informasi. Kalau dia mati, kan sudah selesai atau paling-paling cuma menghentikan terorisme sebentar, karena akan ada yang lanjutkan.
Sayangnya, wacana yang sekarang marak adalah anggapan bahwa Polri cenderung memilih jalan pertama, bunuh dulu tanya belakangan, ketimbang menangkap hidup-hidup para tersangka teroris. Sederet "bukti" pun di berikan, mulai dari penggerebekan yang menghasilkan terbunuhnya Dr (Bom) Azahari di Batu, Malang, sampai yang terakhir, penggerebekan yang mengakhiri petualangan teroris Dulmatin di Pamulang. Para pengamat, pecinta demokrasi, pemerhati HAM dan bahkan mantan teroris memberi semacam dukungan argumentasi bahwa Polri cenderung memakai pendekatan "shoot to kill". Menurut seorang mantan teroris yang dikutip oleh Detik.com, "nafsu membunuh Polri jangan ditunjukkan. Teroris harus ditangkap hidup-hidup." Si mantan teroris itu, Umar Abduh, selanjutnya mengatakan bahwa bagi teroris "kalau ada yang meninggal mereka bangga dan siap menggantikan. Itu sudah ideologi." Jadi, menurutnya, kalau Polri tidak melakukan penangkapan hidup-hidup artinya "Polri tidak serius."
Kalau kita mengikuti logika ini secara tuntas, maka terlihat bahwa Polri memang sudah distigmatisasi terlebih dahulu sebelum argumen diberikan. Fakta tentang terbunuhnya para gembong teroris dan pengikutnya dilihat sebagai sebuah kebijakan strategis dan bukan sebagai hasil sebuah proses panjang yang memiliki konteks. Fakta bahwa banyak juga para teroris yang tertangkap hidup, dan mungkin jumlahnya lebih banyak dari yang terbunuh, tetapi tidak terpublikasi, tampaknya dikesampingkan. Bahwa yang akhirnya tertembak kebanykan adalah "the top leaders" yang menjadi aktor intelektual dan/atau pelaku aksi kejahatan terhadap kemanusiaan, juga dilewatkan. Yang penting adalah asumsi dasar bahwa dalam operasinya Polri memiliki pilihan yang jelas untuk membunuh atau menangkap hidup, dan yang dipilih adalah yang pertama.
Saya meragukan asumsi dan argumen yang a-priori tersebut. Bahwa Polri harus melakukan penembakan, saya yakin karena situasi lapangan tidak lagi memberikan opsi tersebut. Sulit bagi saya menerima argumen bahwa dalam penggerebekan di Batu, Mojosongo, Temanggung, dan Pamulang, anggota Densus 88 punya kemewahan memilih selain melakukan serangan taktis. Fakta bahwa para teroris juga membalas tembakan, bahkan dalam beberapa kasus melemparkan bom ke arah Polisi, menunjukkan bahwa para teroris itu tidak ada niat menyerah, tetapi "membunuh atau dibunuh." Jika dikaitkan dengan statemen Abduh, sudah jelas yang ada dalam benak teroris adalah membunuh atau terbunuh, karena kalau pun mati mereka "bangga." Jadi tidak ada jaminan sedikitpun bahwa kalau si teroris hidup, ia akan menyanyi dan membeberkan informasi kepada penegak hukum. Yang mungkin melakukan itu adalah calon-calon teroris yang masih belum menjadi penebar bom atau belum menjadi "die hard". Mereka ini masih mungkin bisa diajak bicara dan dialog serta disadarkan bahwa jalan teror bukan jalan perjuangan yang tepat.
Saya lihat wacana ini tidak penting karena telah didahului dengan wasangka dan stigmatisasi terjadap aparat keamanan, khususnya Polri. Ketimbang mengembangkan wacana seperti ini lebih baik kita mendukung upaya pemberantasan terorisme dari sisi lain yang akhirnya mengurangi pendekatan keamanan dan taktis. Kita perlu memperluas dan menyosialisasikan wacana deradikalisasi dengan membuat forum-2 publik mengenai bahaya ideologi radikal dan penanggulangan terorisme oleh anggota masyarakat. Kritik dan saran kepada pihak aparat keamanan memang harus terus ada, tetapi bukan stigmatisasi yang dibungkus dengan argumentasi a priori. Tanpa kita sadari, justru kita sendiri yang memberi peluang bagi semakin maraknya ancaman radikalisme dan teror karena membuat aparat ragu dalam melaksanakan tugas...
-----------------
No comments:
Post a Comment