by : Muhammad A S Hikam
Dalam sebuah nadzom (syair) dari kitab Ta'lim al Muta'allim yang jadi bacaan dan hafalan wajib santri-santri di pesantren NU ada kata-kata bijak begini: "Kalau kamu ingin tahu tentang seseorang, maka lihatlah teman-teman orang tersebut. Karena (dg melihat) teman-teman itu kamu akan tahu siapa sebenarnya dia." Kutipan syair ini selalu saya pakai pedoman untuk melakukan "penjajagan" terhadap seseorang yang saya ingin tahu lebih jauh. Apalagi kalau saya juga ingin berteman. Walaupun tidak 100% foolproof alias terjamin mutlak, saya kira apa yang diajarkan oleh kitab tentang ahlaq (moralitas) itu banyak benarnya. Dalam upaya saya memahami Gus Dur (Allah Yarham), saya juga berusaha mempelajari dengan sungguh-sungguh siapa yang menjadi teman dekat beliau, baik yang di NU atau di luar NU, baik orang Indonesia atau orang asing, baik yang masih hidup maupun yang sudah tiada.
Salah satu teman dekat GD dari luar Indonesia adalah Dr. Ali Aghar Engineer, seorang cendekiawan Muslim dari India yang juga memiliki pemikiran-pemikran terobosan (groundbreaking thoughts) dan, ya, kontroversial di negaranya sendiri dan bahkan di negara-negara Muslim seperti di Pakistan dan Timur Tengah. Mirip dengan "nasib" GD di negerinya sendiri, Dr. Asghar juga seing dihujat dan di "kafirkan" oleh para pemuka agama karena membela kebebasan berfikir di antara para cendekiawan Muslim India. Beliau berdua juga "share" beberapa prinsip perjuangan, seperti: pentingnya pembelaan demokrasi dan HAM, kebebasan melakukan pemikiran, toleransi yang luas dalam pergaulan antar-ummat beragama, mendorong dialog lintas-iman, dan, last but not the least, pandangan bahwa de-ideologisasi agama sangat penting dalam politik di negara-negara berpenduduk Muslim seperti Indonesia dan India.
Tapi persamaan antara kedua beliau yang paling menarik bagi saya adalah bahwa GD dan Ali Asghar (AA) sama-sama punya prilaku dan kebiasaan hidup yang istilah pesantrennya disebut "Khoriqul 'Adah" alias nyleneh dan nyentrik! Cuma kalau di Indonesia khususnya di sementara kalangan NU sifat GD itu dianggap sebagai pertanda "kewalian" beliau, dalam kasus AA saya tidak tahu. Tapi itu tidak penting bagi saya. Yang penting adalah karena keduanya nyentrik, lucu dan brillian. Sehingga ketika saya dikenalkan oleh GD pertama kali dengan Dr. Asghar, saya langsung "falling in love," terhadap pemikirannya dan selera humornya yang juga tinggi. Bagaimana tidak, begitu ketemu dan dikenalkan oleh GD, kami bertiga langsung "cocok" , ketawa-ketiwi dan tak pernah lupa dengan episode itu! Ceritanya begini:
Waktu itu akhir Desember 1996. Gus Dur diundang oleh salah satu lembaga milik Kementerian Luar Negeri Jepang, Japanese Institute for International Relations (JIIR) ke Tokyo untuk sebuah seminar internasional mengenai Islam. Dipelopori oleh mantan Dubes Jepang untuk AS yang sangat dihormati, Mr. Matsunaga (kalau tak salah namanya), seminar tentang Islam yang baru pertama kali dilakukan oleh Kemlu Jepang itu mengundang semua tokoh-tokoh terpenting di Jepang, termasuk kalangan politik, cendekiawan, pengusaha, budayawan, mahasiswa, dll. Selain GD, yang selain dimasukkan sebagai tokoh Islam terkemuka di Indonesia dan ASEAN, juga diundang John Esposito (AS), Takashi Shiraisi (Jepang), Dr. Asghar Ali (India),dan tokoh Ulama Syi'ah dari Iran (saya lupa nama beliau). Saya, yang baru pulang dari sekolah belum cukup setahun, diajak GD untuk ikut sekalian menimba pengalaman dan ilmu. Karena seminar ini ditujukan kepada publik Jepang yang belum tahu atau sedikit sekali mengenal Islam, maka oleh panitia dibuat rada istimewa. Tempatnya di sebuah hotel yang termasuk terbaik di Tokyo, yaitu Hotel Okura, yang lokasinya persis di sebelah Kedubes Amerika Serikat di Tokyo.
Gus Dur dan saya sampai di Hotel Okura sekitar jam 10.30 setelah dijemput dari Narita menggunakan limousine dan menempuh perjalanan sekitar 2 jam. Begitu tiba, kami berdua, terutama saya, langsung merasa rada "intimidated" dengan Hotel yang begitu wah dan pelayanan ala Jepang yang super sopan dan halus, tapi luar biasa efsien dan efektif! Lebih "seru" lagi ketika GD mau mengajak makan siang dan memeriksa buku menu room service hotel. Saya rasanya shock melihat harga yang tertera di sana, sampai GD pun tersenyum-senyum. "Mahal ya Kang, makan di Hotel mewah ini." Kata beliau. Saya bilang, "Kalau mahal itu fitnah, gus. Yang bener suuangat mahal!" dan kami berdua pun ngakak!
"Tapi Gus, sebenarnya kita ini kan ditanggung untuk makannya juga." Kata saya
"Iya, tapi sampeyan lihat kan kita ini belum masuk jam makan siang, dan ini belum dicover. Makanya kita tadi disangoni panitia untuk makan pagi dan siang kalau masih belum di atur panitia." Kata GD
"Bener Gus, tapi kok mahal begini ya, jangan-jangan sangu yang diberikan gak cukup. Lihat saja, sarapan kontinental ala Amerika aja sekian ribu Yen. Kalau makan siang lebih mengerikan lagi, Gus" Saya bilang.
"Sudah gini saja Kang. Kita jalan-jalan saja keluar Hotel, cari warung kecil khas Jepang. Mungkin nanti ada yang lebih murah. Sangunya nanti kita simpan buat beli oleh-oleh..." Kata GD.
"Oke Gus, saya ndherek saja..."
Maka jalanlah kami berdua keluar Hotel agak jauh di depan Kedubes AS. ternyata GD benar, ada sederetan restoran Jepang yang mungil-mungil yang menjajakan makanan seperti bento, ramen, shusi, yosenabe, di samping makanan dalam kotak seperti mie cup ala Jepang (ramen), dsb. Kami berdua masuk dan memesan yosenabe (sup ikan) dan beberapa potong sushi serta ocha (teh) panas. Lumayan juga bisa makan kenyang dengan harga jauh sekali di bawah menu Hotel Okura.
"Nah, Kang. Kita kan gak perlu mesen makanan di Hotel. Kita beli saja mie cup beberapa dan nati kalau lapar kita makan di kamar. Ngirit uang sangu kan..."
"Sip lah Gus, saya juga suka model mie cup ini kok." Jawab saya. Dan kami lalu membeli bebrapa biji mie cup dan dimasukkan ke tas plastik putih, terus kembali ke hotel. (Terus terang saya agak malu juga membawa tas plastik berisi mie cup karena sangat tidak pas dalam lingkungan yang demikian kontras! Tapi karena GD cuek saja, maka saya pun gak mau mikirin..)
Baru saja kami akan masuk lift, tiba-tba ada suara memanggil GD, dan ketika kami menengok ternyata ada orang berbaju India warna putih berlari kecil menghampiri GD.
"Gus Dur, wait up!..."
"Oh, Masya Allah, Dr. Ali Aghar, how've you been?" (Apa kabar Dr Ali Asghar) GD menyalami orang itu
" You just coming in or you're alreday here for several days?" Tanya Dr. Ali (Anda baru saja sampai atau sudah beberapa hari disini?)
" We're just in a couple of hours ago and came back from lunch." GD mengatakan bahwa kami baru sampai dan barusan makan siang.
"Oh, I should have been go to lunch with you, Gus. I really am starving, but couldn't eat here in the Hotel. The price's crazy!" Kata AA, yang mengatakan bhw beliau gak mungkin makan siang di hotel, karena harganya edan-edanan. (Kami pun tertawa bareng)
"Oh, by the way Doctor, this is Dr. Hikam, my colleague from Jakarta. He's just graduated from the US and work at LIPI. Of course, he's a NU too, hehehe.." Kata GD mengenalkan saya yang lalu saling bersalaman. Saya lihat GD sangat gembira bertemiu Dr. AA di sini dan langsung kumat penyakit guyonnya (saya tulis dg bahasa Indonesia saja).
"Begini Dr Ali. Kita tadi keluar Hotel juga karena harga makanan di sini gila-gilaan. Daripada uang sangu kita bayar ke hotel lebih baik kita makan di warung kecil saja. Jadi sekarang, saya dan Kang Hikam ini ikut gerombolan Abu Noodle, bukan Abu Nidal teroris... Hahahaha..." (Saya dan Dr AA juga cekakakan karena GD memelesetkan nama tokoh teroris Palestina dengan mie cup)
"Wah kalau begitu saya juga harus jadi anggota grup Abu Noodle, dong. Dimana tempatnya?"
Dr. AA menimpali dan GD lalu memberi tahu tempatnya.
Malamnya, ketika ada resepsi "mewah" yang dihadiri oleh Menlu, kami bertiga duduk di meja yang sama. Baru saja duduk, Dr. Ali Ashghar sudah menepuk bahu GD.
"Gus Dur, saya sekarang resmi jadi anggota kelompok Abu Noodle. Tadi siang saya juga beli beberapa mie cup dan saya akan makan itu saja, kecuali ada makan gratis seperti malam ini, hehehe..."
Saya benar-benar terpesona dengan keakraban beliau berdua yang dalam keadaan apapun selalu tak melupakan humor. Malam itu GD diminta memberi sambutan utama dalam resepsi disusul oleh yang lain, termasuk Dr. Ali. Beliau bilang sama saya "Indonesia sangat beruntung punya GD." Saya jawab, "India juga sangat beruntung punya anda, Dr. Ali."
Selama tiga hari saya dan GD runtang-runtung dengan Dr. Ali di Jepang. Di samping hadir dalam acara seminar, kami juga bepergian ke Kyoto. Saya belajar banyak mengenai pemikiran mereka berdua dalam kesempatan itu. GD sangat menghormati dan cocok sekali dengan pemikiran progresif Dr. Asghar sehingga sering dalam pidato dan seminar pendapatnya dikutip. Dr Asghar juga sering diundang ke Jakarta dan bahkan karya-karyanya diterjemahkan dan diterbitkan oleh para cendekiawan muda NU. GD bukan hanya merasa pas dengan pikiran Dr Ali Asghar, tapi juga pas dengan gayanya yang seadanya, eksentrik dan humoris.
Benarlah kata Kitab Ta'lim, bahwa teman bergaul adalah cerminan pribadi seseorang. Beberapa sahabat akrab GD yang saya tahu juga mirip Dr. Ali Asghar, semisal Romo Mangunwidjaya (alm), Acan Sulak Siwaraksa (cendekiawan Budhis, Thailand), dan Ibu Gedong (alm) dari Bali, untuk menyebut beberapa nama. Beliau-beliau adalah para cendekiawan paripurna yang memandang dunia dengan ringan, riang gembira dan penuh cinta.
No comments:
Post a Comment