Muhammad A S Hikam
(Almaghfurlah kebetulan sedang nderes (dari kata tadarrus) AlQur'an ketika siang itu saya berkunjung. Suara GD ternyata cukup merdu ketika membaca ayat-ayat suci dengan lantang, suatu hal yang saya belum pernah temui ketika beliau masih bersama. Mungkin saking khusyu'nya, sehingga beliau tidak tahu bahwa ada orang datang, sedangkan saya pun ingin ikut mendengar lantunan ayat-ayat suci dari mulut beliau. Dengan berindap-indap, saya duduk di ujung karpet bermotif bunga merah keemasan yang digelar di tepat khalwat Gus Dur. Surat yang beliau baca adalah Al -Waqi'ah, surat ke 56, yang juga kebetulan kegemaran saya sehingga saya mudah mengenalinya. Begitu sampai pada ayat terakhir, "Fasabbikh Bismi Rabbikal 'Adziim," saya lihat GD memejamkan kedua mata beliau dan air mata pun merembes keluar. Tanpa saya sadari, karena ikut terharu, saya pun memanggil nama beliau, "Gus...." Dan beliaupun menengok ke arah saya..)
"Assalamu'alaikum, Gus.." Kata saya sambil mencium tangan beliau
"Salam, Kang.. piye, waras tah... Gak tahu sampean di sini. Sudah lama tadi?"
"Lumayan Gus. Pas njenengan sampai ayat ke 75 tadi "Falaa Uqsimu bi Mawaaqi'in Nujuum" saya sampai di sini. Wah ternyata suara njenengan merdu ya Gus."
"Ah.. sampean bisa aja.. hehehe.." GD tertawa senang
"Bener kok Gus, saya kan gak pernah dengar njenengan membaca Qur'an dengan suara keras. Biasanya kan pake gaya dremimil kalau njenengan ngaos.." Saya menjelaskan
"Lha memang sekarang saya punya waktu dan suasananya di sini kan pas." Kata GD menimpali
"Saya jadi ingat Almarhum ayah dulu kalu mengaji di atas kendaraan seperti bus atau kereta. Beliau ndremimil, juga. Tahu-tahu dari Cirebon sampai Semarang, misalnya, sudah 5 Juz."
"Ya saya tahu, almaghfurlah Kyai Fatah memang punya kebiasaan para Huffadz begitu. Mereka selalu dalam kondisi nderes hapalan Qur'an dimana saja dan kapan saja. Kayak iklan Coca Cola aja.." GD menerangkan sambil tertawa.
"Tadi njenengan sempat mbrebes mili ya Gus, sesampai di ayat terakhir?" Tanya saya
"Ya saya ingat ketika masih di pondok, kalau ngaji Waqi'ahan begini, saya sama Gus Aman sukanya malah mainin santri-santri yg sedang serius. Lha wong sudah apal dan dasar anak-anak, jadi saya sama dia semaunya sendiri. Saya tadi ingat Gus Aman, Kang. Kemarin dia juga mampir." Kata GD
(Gus Amanullah dari Tambakberas, Jombang adalah paman GD, tetapi usianya sebaya, dan sahib paling akrab di antara keluarga beliau. Gus Aman sempat menjadi anggota DPR/RI, dan wafat beberapa tahun setelah beliau pensiun).
"Kalau saya Gus, asal mendengar orang ngaji Surat Waqi'ah langsung ingat almarhumah Ibu saya, karena beliau yang mengajari tiap malam Jum'at setelah Yasin, lalu Waqi'ah. Kata beliau rejeki saya nanti barokah." Kata saya
"Tradisi begitu memang sangat penting untuk dipertahankan, apapun alasannya. Karena memang Surat ini memiliki makna khas bagi para Sufi. Tapi sampean kesini kan bukan mau ngobrol soal Tasawuf, kan Kang?" Kata GD yang sudah paham apa mau saya sowan kepada beliau.
"Iya Gus, saya kok mendapat informasi yang rada musykil, tapi ini menyangkut PKB, partai di mana kita pernah membeesarkan bersama.."
"Ada apa lagi... paling ya gegeran isinya..." GD menukas
"Tapi ini gegeran dengan dimensi lain Gus. Kan setelah njenengan pergi, ternyata muncul gerakan-gerakan baru untuk merestorasi PKB milik njenengan yang dinyatakan tidak legal oleh penguasa itu."
"Walah, gitu aja kok dipikirin. Ya memang Imin kan dipakai Pemerintah untuk membuat saya tidak menguasai partai lagi. Tapi coba sampean lihat hasilnya dalam Pemilu 2009, kan berantakan, toh?! PKB menjadi ndak punya marwah, karena disetir dari luar. Pendukung PKB terutama para Kyai kampung lari semua. Lha kalau Kyai-kyai itu lari ya pengikutnya lari, Kang... Ujungnya nanti PKB hilang kok!" GD meninggi suaranya.
"Benar Gus, waktu DPR menggelar Pansus Centurygate...."
"Ya pengecut semua... ndak ada yang berani. Paling si Pendi sama Lilik saja yang berani nglawan maunya Imin.." GD memotong (Pendi adalah Effendi Choirie anggota komisi I DPR RI, Lilik adalah Ibu Lily Wahid, adik GD)
"Tapi ini yang menarik Gus. Sekarang ada gagasan mengumpulkan semua komponen yang anti-Imin, bahkan termasuk orang-orang yang sudah lepas dari PKB dan ke partai lain, mereka mau kembali membentuk semacam tandingan. Namanya PKB Gus Dur..." Saya sengaja berhenti menunggu reaksi
"Iya, terus..." Tampaknya GD rada tertarik
"Nah, saya juga dihubungi Gus, padahal saya kan sekarang sudah non partisan. Jadi komponen anti Imin ini bakal bersatu dan membuat partai alternatif. Bahkan orang yang dulu dekat Imin, seperti Lukman Edi konon juga condong ke kelompok ini. Apalagi Bu Lilik, Yenni, Ipul dan para Kyai PKNU, katanya juga sepakat membentuk sebuah partai alternatif lho Gus..." Saya mencoba menjelaskan
"Kalau cuma rasan-rasan sih ya sudah lama saya tahu. Ketidakpuasan kepada Imin dkk kan memang sudah saya bilang akan terjadi karena memang cara yang dipakai merebut kekuasaan itu ndak bener. Sudah gitu sistem hukum kita juga ndak bener karena tunduk apa kata penguasa saja. Tapi ya sudahlah, saya kan ndak ikut-ikut lagi, Kang, sudah enak di sini, kerjaannya ngaji dan mendengarkan musik dan kadang-kadang kumpul-kumpul sama para syuhada dan auliya'.."
"Tapi menurut njenengan apakah upaya begitu itu masih ada perlunya, maksud saya apakah dengan membuat PKB Gus Dur, kalau toh legal nanti, apakah bisa membuat PKB yang dulu njenengan pimpin balik lagi, Gus?" Saya coba mendesak
"Ya tergantung to Kang..." Kata beliau
"Tergantung pada apa Gus?"
"Ya pada niat dan siapa-siapa yang memegang kepemimpinan partainya. Kalau niatnya cuma kekuasaan dan yang memimpin juga sejenis Imin, cuma beda nama dan wajah, ya percuma. PKB bisa bagus dulu karena ada orang-orang yang masih jujur dan tidak mementingkan diri sendiri. Setelah Muktamar Yogya sampai Semarang itu, saya setengah mati coba menahan tekanan dari luar dan dalam, termasuk dari PBNU sendiri. Setelah pecah jadi dua, PKB dan PKNU, saya pikir sudah bisa dikontrol lagi. Ndak tahunya, ya itu tadi, kekuatan luar menggunakan orang-orang di DPP PKB untuk menjatuhkan saya, karena saya dianggap ancaman bagi penguasa. Gitu lho.." kata GD panjang lebar.
"Apakah artinya usaha menyatukan komponen lama ini ndak perlu Gus?" Kata saya minta ketegasan
"Lho ya terserah. Yang penting itu tadi lho Kang, niatnya bagaimana dan siapa yang akan menjadi pemimpinnya. Jangan-jangan kalau mereka berhasil menggantikan Imin dkk, lalu mereka gegeran dan masing-masing rebutan posisi lagi? Belum lagi gimana sikap PBNU yang baru. Kalau nanti PBNU tetap seperti sebelumnya, ya repot. Karena PBNU pasti akan mendiamkan keributan itu atau oknum-oknumnya ikut rebutan pisan...hahaha..." Saya pun ikut tertawa membayangkan hal itu.
"Rumit ya Gus?" Kata saya
"Sebenarnya ya tidak, wong gitu saja kok rumit. Yang bikin rumit itu kan ketidak mampuan kita meletakkan masalah pada tempatnya. Mana yang prioritas untuk bangsa, mana untuk partai, mana untuk diri sendiri dan kelompok. Sekarang ini kan di Indonesia campuraduk ndak karu-karuan, sampai ndak jelas mana yang urusan bangsa dan mana yang urusan rumah tangga. Akhirnya kalau ada masalah bukannya diselesaikan dengan tuntas, tapi malah mbulet dan cenderung beranak-pinak permasalahan itu. Lihat saja soal Centurygate; belum beres sudah muncul soal Susno, lalu manipulasi pajak, lalu entah apa lagi. Pokoke mbulet!" Kamipun ketawa ngakak bersama-sama..
"Inggih Gus, kalau begitu saya ya wait and see saja menyikapi perkembangan PKB, sambil ngurusi Universitas dan nulis fb." Kata saya setelah puas tertawa.
"Ya wis Kang, oh ya terimakasih ya dengan doa-doa untuk seratus hari saya. Masya Allah, di sini makin nikmat dan tenang dengan do'a-doa yang tulus itu. Saya juga terharu melihat para pendoa, bukan cuma orang NU saja tapi dari semua golongan. Alhamdulillah, para Malaikat juga memberitahu saya betapa besar ganjaran yang didapat oleh para pendoa tersebut."
"Injih Gus Insya Allah saya sampaikan, lewat fb. Pareng dulu, Gus. Assalamu'alaikum" Kata saya berpamitan dan mencium tangan GD.
"Salaam..."
No comments:
Post a Comment