03 April 2010

KENANGANKU DENGAN GUS DUR (22)

Muhammad A S Hikam

Gus Dur Almaghfurlah sering mengingatkan saya akan pentingnya perubahan atau transformasi masyarakat yang memiliki acuan serta landasan yang kokoh, sehingga hasil dari perubahan tersebut bukannya malah mengasingkan diri kita (self-alienating). Dalam hal ini, saya menganggap GD memiliki cara pandang yang sama dengan para kritikus dari Madzhab Kritis Frankfurt (Frankfurt Critical School) semacam Mark Horkheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse, Walter Benjamin, dan tentu saja Juergen Habermas. Mungkin karena masa pertumbuhan intelektual GD pada tahun enampuluhan dan tujuhpuluhan sangat sarat dengan membanjirnya pemikiran kritis (critical theory) terhadap modernisasi yang memberikan pandangan-pandangan kritis terhadap modernitas dan modernisasi. Seperti kita ketahui, Madzhab Kritis Frankfurt memandang modernitas dan modernisasi sangat diwarnai oleh pemikiran postivisme dan mengutamakan apa yang disebut nalar instrumental (instrumental reasoning), sehingga menghasilkan proses perubahan yang mendalam dalam kehidupan manusia, termasuk menghasilkan peradaban modern, namun mengasingkan manusia dari dirinya sendiri. Kritik tajam mereka tertuang dalam karya-karya seperti Dialectics of Enlightenment (kerja bareng Adorno dan Horkheimer), One Dimensional Man (Marcuse), dan Knowledge and Human Interest (Habermas) yang, saya yakin, sudah dilalap habis oleh Gus Dur ketika masih berada di perantauan.


GD sebagai seorang cendekiawan sekaligus pekerja sosial yang aktif dalam wacana "pembangunanisme" (developmentalism) di masa Orba, tentu sangat paham mengenai permasalahan eksistensial modernisasi yang sedang berlangsung di negeri ini. Sebagai orang yang lahir, tumbuh dan dibesarkan dalam komunitas tradisional, tentu saja beliau menjadi bagian paling depan dari apa yang disebut target transformasi yang dilancarkan oleh pemerintah. Komunitas Islam, Pesantren dan NU, tentu dianggap (mula-mula) sebagai agama dan institusi-institusi yang berada di garda depan dalam menolak transformasi tersebut dan menjadi benteng bagi kekolotan dan konservatisme. Dengan konteks seperti ini, bisa dipahami bila kiprah GD dan pemikirannya selalu bergulat dengan problematika modernitas dan proses modernisasi serta eksistensi "life world", meminjam istilah Juergen Habermas, bernama dunia pesantren dan NU! Tak pelak jika literatur-literatur kritis dari kelompok kritis Frankfurt School dan intelektual lain seperti Paolo Freire, Albert Camus menjadi rujukan dalam menjawab tantangan tersebut. Bersama-sama para aktivis seperti Romo Mangun, Ibu Gedong, mas Johan Efendi, Cak Nur, Dawam Rahardjo, untuk menyebut beberapa nama, Al Maghfurlah sangat inten melakoni wacana dan praksis modernisasi. Hasilnya sangat spektakuler:bukan saja NU menampilkan diri sebagai institusi tradisional yang tetap memiliki relevansi dalam proses modernisasi, tetapi juga tampil sebagai salah satu leading sectors dalam perubahan.

Program Keluarga Berencana (KB), misalnya, tak mungkin akan sukses dan membuat Indonesia menjadi contoh lkeberhasilan dunia, tanpa dukungan NU dan para ulamanya. Di sektor politik, kreatifitas para Kyailah yang menemukan kompromi antara azas tunggal Pancasila dan akidah Islam sehingga dapat dihindarkan konflik ideologis yang pasti berdampak sangat sistemik. Di sektor ekonomi, NU dan lembaga-lembaga sosial ekonominya (mabarrod) aktof dalam melakukan berbagai kegiatan advokasi dan pemberdayaan masyarakat, termasuk yang dirintis mBah Kyai Sahal Mahfudz melalui LSM-LSM yg beliau dirikan. Bhakan NU melalui organisasi perempuannya seperti Muslimat, Fatayat dan IPPNU termasuk paling awal dalam perjuangan persamaan gender di negeri ini. Walhasil, NU berhasil menjawab tantangan modernitas dan modernisasi tanpa harus kehilangan "identitas" atau jati diri, apalagi keterasingan diri dari lingkungannya. Kekhawatiran Horkheimer dkk dapat ditepis melalui interpretasi ulang yang kreatif oleh GD dan Kyai-kyai NU terhadap khazanah yang dimiliki NU. Misalnya, untuk mengompromikan masuknya keharusan perubahan dan tradisi, GD selalu mengulang kaidah "Al Muhafadzotu 'alal Qodiimis Sholih, wal Akhdzu 'alal Jadiidil Ashlah," (mempertahankan yang lama yang masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik lagi). Dari kaidah ini, modrnitas dan modernisasi kemudian di;ihat sebagai sesuatu yang baru yang harus dikaji dan dipertimbangkan, apakah ia memiliki nilai tambah (added values) atau tidak. Dengan metode ini fleksibilitas dan kelenturan NU dapat mengawal perubahan dengan meminimalisasi ekses negatif.

Tapi GD juga mengingatkan bahwa sering kali saking ingin berubah cepat, maka orang-orang di dalam NU suka salah paham sehingga membuat orang lain bingung. Contohnya, kata GD, suatu hari beliau didatangi tamu dari salah satu kecamatan di bagian timur Jawa Timur. Sang tamu, konon, adalah Rois Syuriah MWC NU yang ingin lapor kemajuan NU di kecamatannya:

"Alhamdulillah Gus, sekarang MWC NU di tempat saya sudah punya kantor sendiri." Kata sang tamu

"Wah, Alhamdulillah, Yai.." Sambut GD dengan gembira

"Tapi ini masih ada masalah, Gus." Kata Pak kyai dengan logat Madura Pedalungan yang kental

"Lho, masih ada soal apa lagi, Yai?" Tanya GD

"Ya itu soal pembayaran eternitnya. Mahal Gus. Kalau Kantor cuma nyewa sejuta setahun, lha ini eternitnya sampai seratus ribu sebulan." Kata sang tamu

"Kok bisa ya Kyai. Eternit kan termasuk rumah, masak pakai mbayar sendiri." Kata GD bingung

"Itu lho Gus, yang dipakai cari informasi di komputer itu, kan eternit yang sewanya mahal.." Kata Pak Kyai

"Ooo, Masya Allah, maksud panjenengan Internet toh..." Kata GD sambil ngakak

Jadi karena saking cepetnya ingin berubah dan maju, kadang-kadang orang NU juga suka membuat kesalahan yang aneh-aneh. Sehingga hal-hal yang begini membuat orang menjadi kurang respek karena seolah-olah orang NU kurang memahami permasalahan. Padahal semangat perubahan itu memang sudah ada dan malah ingin cepat, tetapi karena kurang perhatian masalah detil jadinya malah salah paham. GD mengajarkan pada saya bahwa modernitas dan perubahan adalah suatu hal yang pasti di dunia, sehingga menolak perubahan adalah sama dengan menolak Sunnatullah. tetapi bagaimana mengembangkan strategi mengelola perubahan itulah kunci bagi keberhasilan kita. Modernitas dan modernisasi tak perlu dikutuk seperti yang dilakukan oleh Adorno dkk, yang perlu adalah dikelola dan dijawab sebagaimana mestinya.

No comments: