04 April 2010

WAWANCARA IMAJINER DENGAN GUS DUR (4)

Muhammad A S Hikam

( Di tempat Gus Dur tinggal sekarang, ternyata beliau sehat dan bahkan panca inderanya semua bekerja dengan baik termasuk kedua pasang penglihatannya. Makanya ketika saya sowan, beliau sedang asyik membaca sebuah Kitab Kuning, tanpa kacamata. Malah saking asyiknya beliau tidak tahu saya sudah ada di dekatnya. Terpaksa saya towel dan beliau baru menengok. Setelah salaman dan cium tangan, saya pun duduk di depan beliau )

"Pagi Gus, wah asyik banget ya..." Saya mulai obrolan

"Iya Kang, piye.. waras, tah?" GD menjawab sambil menutup Kitabnya setelah memberi tanda dengan secarik kertas

"Alhamdulillah Gus, baik-baik saja. Kitab apa Gus kok kelihatannya njenengan asyik banget?"

"Hehehe..udah lamaa banget gak membaca kembali Nashoikhul 'Ibad, Kang.. kuwatir lupa..."

"Apa masih relevan to Gus, kan njenengan sudah gak perlu..." Saya mencoba menyela.

"Ya masih selalu relevan, Kang. dalam tradisi kita kan membaca Kitab itu ada pahalanya sendiri. Gak seperti tradisi sekolah sekuler. Sampean baca bukunya Hegel atau Weber yang tebel-tebel itu gak ada pahalanya...hehehehe..." Kata GD sambil tertawa, dan saya juga ikut mengiringi.

"Iya ya Gus, emangnya kalau bukunya bukan Kitab Kuning gak dapat pahala ya. Kan sama-sama tholabul 'ilmi Gus?." Saya mulai berargumen.

"Ah wong gitu saja kok sampean ikut repot. Ya namanya tradisi kan harus begitu, membuat ikatan menjadi kuat, dengan insentif pahala. Prinsipnya ya mencari ilmu apa saja dapat pahala. Tapi itulah indahnya tradisi pesantren. Baca Kitab saja ada dapat pahala.. Apalagi melakukan telaah dan halaqoh.. dan ini yang membuat tradisi mnembaca sangat kuat di kalangan pesantren."



"Sampai sekarang, Gus?"

"Mestinya begitu. Coba sampean lihat, orang NU kan paling rajin baca koran. Cuma kalau disuruh membeli koran susah...Hahahaha..." Dan ketawalah kami berdua.

"Sampean tahu, gimana orang di Madura sana kalau mau baca atau beli koran?" Tanya GD

"Gimana , Gus...?" Tanya saya sambil siap-siap mendengar guyonan beliau.

"Jadi kalau ada tukang koran, orang Madura nanya dulu 'Saya mau beli Jawa Pos', kata Jawa Pos itu artinya koran Kang, semua koran namanya Jawa Pos menurut mereka. Begitu dikasi koran, dia nanya lagi sebelum di baca 'Ada Gus Durnya, gak?' Kalau di koran itu gak ada Gus Dur, gak bakalan si Madura membeli. Dia akan pergi dan nggrundel 'Jawa Pos kok gak ada Gus Dur', maksudnya kalau gak ada kabar tentang saya, sama dengan gak ada berita." Kata Gus Dur yang lalu disusul dengan tertawa...

"Kok pagi-pagi ke sini ada apa, Kang. Sudah sarapan tah sampean?"

"Sudah Gus, ini Gus saya mau tabayyun saja. Kemarin kan saya kebetulan baca berita di Kompas, soal pertemuan antara Gus Aqil dengan beberapa orang tokoh di Kantor GP Ansor. Di sana Ipul menyatakan dirinya sebagai Tim Suksesnya Gus Aqil dan tampaknya memang merapatkan barisan untuk menyusun Kabinet PBNU 2010-2015.." Kata saya.

"Lah sampean ini, jadi orang kok kagetan. Ya memang Saifullah Yusuf dan kawan-kawan seperti Chatibul Umam, Yahya Tsaquf dll. itu mau masuk ke PBNU dan menjadikan Nu kendaraan politik mereka. dari dulu ya begitu itu. Kang Said (Aqil) kan memang deket dengan orang-orang itu, jadi kalau sekarang dia ditekan untuk menjadikan Saiful sebagai Sekjen PBNU ya namanya konsekuensi saja Kang.." Tukas GD sebelum saya selesai bercerita.

"Tapi Gus, kan lalu PBNU gak jadi meninggalkan politik praktis kalau skenarionya begitu?"

"Ya itu salahnya yang percaya saja sama kampanye calon-calon ketua PBNU kemarin. Namanya Saiful kan punya agenda politik sendiri, misalnya jadi Gubernur Jatim 2014 nanti. Kalau Kng Said tidak bisa bertahan dan bener-bener menjadikan dia Sekjen PBNU, ya sudah pasti NU akan sangat politis. Malah lebih dari sebelumnya di bawah Hasyim Muzadi."

"Apalagi Gus sekarang ada posisi Wakil Ketua Umum di PBNU." Kata saya melanjutkan

"Lha iya, gitu itu lho buat apa, kayak parpol pake Waketum segala. Itu hanya akan membuat Kang Said kerepotan, apalagi kalau nanti Waketumnya tidak bisa kerjasama karena disetir oleh kelompok lain. Kan PBNU isinya juga kelompok-kelompokan to Kang?"

"Kasihan mBah Sahal ya Gus, padahal beliau kan sangat serius mau membuat PBNU dan NU tidak ikut-ikut politik praktis." Saya menyambung lagi

"Memang. Tapi ya gimana, wong Kyai Sahal sendiri sering gak tegas. Apalagi nanti di Syuriah PBNU isinya macem-macem dan tidak bisa dikontrol beliau. Sekarang ya bebannya di Kang Said apakah dia bisa tegar atau tidak membentengi pengaruh Saiful dkk. Ingat, Saiful juga didukung banyak Kyai dari Jatim dan Jateng, lho. Kyai-kyai Lirboyo, Situbondo, Probolinggo, Rembang dll. pasti akan ngobyongi apa maunya Saiful."

"Kalau Gus Aqil minta bantuan mBah Faqih Langitan, gimana Gus?" Tanya saya

"Susah, Kang. Pengaruhnya Kyai Faqih juga menurun sekarang gara-gara ikut-ikutan PKNU segala. Kalau Kang Said bisa menmpatkan orang-orang netral seperti Bagdja dan Masdar sebagai Waketum atau Sekjen ya masih mending. Berarti Kyai Sahal juga akan terbantu membersihkan NU dari politik praktis."

"Kayaknya paska Muktamar Makassar belum tentu NU bisa lebih netral politik, ya Gus?"

"Ya semoga saja, tapi kalau dengar dari cerita sampean, NU masih akan dipakai untuk menopang agenda politik pribadi-pribadi itu. Belum lagi agenda pemerintah, sudah pasti akan menjadikan NU sebagai target politisasi. Jadi ya wis klop lah."

"Iya Gus, dalam pertemuan itu Imin dan Andi Mallarangeng juga ada."

"Nah kan..."

"Panjenengan kok masih kedengaran pesimis saja Gus soal PBNU." Kata saya

"Bukan pesimis, kalau saya dengan PBNU memang kritis. Tapi saya percaya pada Kyai-kyai kampung dan warga nahdliyyin di bawah sana, yang kecil-kecil seperti orang Madura tadi, semua masih konsisten kok Kang. PBNU mau gimana-gimana, terserah saja. Bagi mereka yang penting amalan tradisi seperti istighotsah, tahlilan, manakiban, ziarah, Khaul, dll tetap jalan ya sudah, peduli amat yang gontok-gontokan di atas. Kalau yang di bawah yang terganggu, nah, saya akan khawatir Kang.."

"Begitu ya Gus.."

"Kan sampeyan paling rajin baca buku Juergen Habermas. Dia kan bilang ada yang disebut 'lifeworld' yang merupakan dunia makna suatu komunitas. Nah 'lifeworld' NU ya itu tadi, tradisi, khazanah keilmuan agama yang ribuan tahun, dan amalan-amalan yang diwariskan dan dijaga serta diamalkan oleh pesantren dan warga nahdliyyin. Kalau ini hancur, ya sudah gak ada artinya NU. Makanya saya dulu sering ke bawah dan silaturrahim kepada para Kyai di kampung-kampung, bukan untuk cari opularitas atau dukungan politik, tapi memelihara dan memperkuat 'lifeworld' NU itu. Nah, sekarang tergantung Kang Said, apakah PBNU dipakai untuk keperluan politik atau menjag dan melestarikan lifeworld NU yang makin terancam dengan modernitas, ekonomi pasar dan globalisasi itu?" Kata GD dengan sangat bersemangat

"Berat ya Gus tantangan memelihara dan melestarikan lifeworld NU ke depan?"

"Ya sama beratnya dengan yang dialami oleh tradisi dan komunitas agama-agama lain yang sedang menghadapi gempuran modernitas. Di kalangan Katolik, Protestan, Budhis, Hindu dan kelompok agama dan tradisi lokal, semuanya merasakan beban yang sma. Makanya dialog lintas peradaban dan agama sangat penting agar tidak terjebak pada politisasi terhadap "lifeworld'. Ujung-ujungnya nanti memakai kekerasan dalam menyikapi perubahan. NU harus mampu menjadi pemimpin dalam dialog ini di Indonesia karena sudah jadi mayoritas dan melakukan terobosan ke sana lebih dulu. Kalu ini berhenti, bukan cuma NU saja yang rugi, tetapi bangsa dan masyarakat Internasional juga..."

"Wah, ternyata jangkauan NU sampai ke wilayah global ya Gus.. seperti lambangnya." Saya berseloroh

"Kan memang maunya almaghfurlah Kyai Ridlwan Semarang ketika membuat lambang NU begitu. NU harus menjadi rahmatan lil 'alamin, bukan cuma untuk kepentingan politik segelintir elit PBNU.."

"Inggih Gus, tampaknya sudah siang ini. Silahkan diteruskan muthala'ah Kitab Nasho'ikh nya. Saya nyuwun pamit dulu ya.."

"Iya Kang, salam-salam saya saja ya buat semua."

"Assalamu'alaikum Gus.."

"Salaam.."

No comments: