11 April 2010

KENANGANKU DENGAN GUS DUR (23)

Muhammad A S Hikam

Malam Minggu, 13 April 2010, saya dan keluarga bersama tetangga mengadakan Yasinan dan tahlilan untuk memperingati 100 hari wafatnya Almaghfurlah Gus Dur. Sengaja saya dan isteri memilih di rumah karena melihat para tetangga yang seratus persen orang Betawi asli itu belum pernah punya akses langsung ke Gus Dur. Sehingga kalau saya ikut bergabung di acara yang sama di luar, tetangga yang ingin ngalap barokah pastilah tidak kebagian. Jadi sama dengan peringatan tujuh harinya GD dulu, kali ini juga saya buat acara bersama mereka. Alhamdulillah cukup banyak yang hadir dan mereka sangat khusyuk mendengarkan "manakib" atau riwayat perjalanan hidup singkat GD yang saya bikin sendiri. Yang paling menarik bagi para tetangga adalah bagaimana GD, yang dulu sering dikritik sebagian orang sebagai "kurang Islami," bahkan oleh Abubakar Ba'asyir disebut murtad, saat ini maqbaroh atau kuburannya didatangi ribuan orang peziarah setiap hari.. Dalam tradisi NU, seorang Kyai yang maqbarohnya diziarahi ribuan orang tiap hari dan membawa berkah kepada banyak orang di sekelilingnya, biasanya pertanda bahwa beliau itu salah satu dari para Waliyullah. Gus Dur, menurut pendapat pribadi saya, Insya Allah masuk dalam kategori tersebut.


Setelah surah yasin dibaca bersama diteruskan dengan lantunan tahlil, acara ditutup dengan doa pak Kyai sesepuh komunitas. Sambil mengikuti ritual, angan-angan saya sesekali melayang kepada kenangan masa lalu dengan Almaghfurlah. Kali ini entah kenapa, saya terkenang saat GD meminta saya ikut menjadi peserta seminar dan pelatihan yang diselenggarakan oleh salah seorang sahabat karib beliau, Ajarn Sulak Sivaraksa, di Bangkok, Thailand. Ajarn Sulak, seorang tokoh aktivis Budhis yang sangat terkenal di negeri Siam karena perjuangannya menentang kekuasaan militer dan pembela HAM, memiliki kemiripan dengan GD dalam banyak hal. Beliau seorang terpelajar (lulusan Universitas Oxford, Inggris) dan merintis gerakan demokratisasi di Thailand setelah kembali dari studi pada awal 1970an. Mirip GD juga, Ajarn (Guru) Sulak terlibat sebagai pegiat LSM-LSM yang bergerak dalam masalah advokasi dan pemberdayaan masyarakat miskin, kebebasan politik dan perlindungan HAM, baik di Thailand maupun di luar negeri. Ajarn Sulak juga mendapat berbagai ganjalan dari rezim militer Thailand, dan bahkan pernah diancam terkena vonis hukuman mati karena melakukan pidana yang disebut "Leste Majeste," atau penghinaan kepada Raja Bhumibol Adulyadej. Selain orang yang aktif dan hobi kerja keras, Ajarn Sulak juga humoris sehingga makin erat saja pergaulannya dengan Gus Dur kita. Salah satu yrade mark Ajarn Sulak adalah pakaian tradisional petani Siam yang selalu dipakainya, lengkap dengan sandal kulit (beliau pantang memakai sepatu!) untuk jalan ke mana saja di seluruh dunia!

Saya kenal beliau ketika sudah selesai ujian disertasi di Honolulu th 1995. Kebetulan Ajarn Sulak sedang mengunjungi salah satu muridnya yang menjadi mahasiswa di Universitas Hawaii (sama juga, GD pernah tilik saya sebelum saya selesai). Kendati baru ketemu secara fisik saat itu, saya langsung cocok dengan beliau, mungkin karena cerita-cerita GD tentang sang sahabat karib itu. Nah di situlah saya kemudian diundang beliau untuk bisa ikut dalam seminar dan pelatihan di Ashram beliau di Bangkok. Ketika saya kembali ke Jakarta, saya lapor ke GD soal undangan ini. GD mengatakan "Datang saja Kang, lumayan untuk cari pengalaman di komunitas Budhis. Nanti sampean akan dapat pengetahuan dan pengalaman baru di sana." Saya mencoba bertanya, kira-kira nanti bagaimana kalau tinggal di Ashram yang tentu berbeda dengan tempat lain. Almaghfurlah cuma jawab sekenanya saja :"Ya itu sampean lihat saja nanti. Pokoknya ikut saja." Maka berangkatlah saya, dengan membawa laporan kajian lapangan yang diminta oleh Ajarn Sulak Sivaraksa sebagai bahan untuk presentasi dan pelatihan nanti di Ashram.

Benar kata GD, saya mendapat pengalaman yang belum pernah saya dapat, meskipun dalam mimpi. Bayangkan, saya tinggal selama 7 hari di Ashram Budhis yang sepi dan sangat sederhana dalam akomodasi dan konsumsi. Seumur-umur saya belum pernah mandi dengan air hujan yang ditampung dalam genthong-genthong di kamar mandi, dan makan hanya nasi dan sayur (vegetarian), atau sesekali diberikan ikan asin kering (para peserta yang beragama Budha bahkan tidak menyentuh ini juga). Minum masih mending karena ada air mineral, dan kalau tidur tanpa alas kasur dan mesti berjuang melawan nyamuk (Ashram itu lokasinya di persawahan yang jauh dari pinggiran kota). Acara mulai dari pagi, sekitar jam 7.00, diawali mengheningkan cipta bagi yang non Budhis dan bagi para Budhis semadi dan beribadah. Jam 8.30 mulai seminar dengan berbagai topik, mulai dari soal pertanian alternatif (organic-based agriculture), perlindungan lingkungan, HAM, pemberdayaan masyarakat adat, gerakan anti-kekerasan yang dilandasi oleh ajaran agama (termasuk Budha), dan tukar menukar pengalaman dari para peserta. Peserta memang multi-nasional, mulai dari Irlandia sampai Indonesia di samping multi-agama (bahkan ada yang non agama juga). Ajarn Sulak sangat strict dengan aturan terutama waktu dan hebatnya adalah beliau tidak sekali pun absen dari setiap kegiatan, walaupun beliau sangat sibuk dengan segala macam kegiatan dalam dan luar negeri. Paling-paling beliau bicara sebentar lewat telepon jika memang sudah tidak bisa ditangani oleh sekretarisnya, dan itupun sangat singkat.

Sebagai orang yang baru lulus PhD dan baru pulang dari Amrik, tentu saya harus melakukan kesiapan mental dan fisik mengikuti acara seminggu di Ashram itu. Dan tentu yang paling repot bagi saya adalah menyesuaikan diri dengan soal makan dan minum. Makanya begitu selesai acara dan di antar ke Airport Donmuang Bangkok, hal yang pertama saya lakukan adalah mencari Coca Cola! Padahal selama seminggu itu, salah satu topik yang terus diulang adalah bagaimana memerangi bahaya konsumerisme yang disebarkan secara global oleh kapitalisme. Salah satunya, apalagi kalau bukan produk fast food semacam Coca Cola itu! Sesampai di Jakarta, saya pun "lapor" kepada GD mengenai pengalaman seminggu di Ahram Ajarn Sulak Sivaraksa.

"Gimana, Kang, bedanya dengan pesantren sampeyan di Plumpang.." Kata GD sambil senyum-senyum

"Wah beda Gus, lebih berat hidup di Ashram. Di pesantren walaupun tidak sering, kan masih ada makan dengan lauk ayam, apalagi kalau sedang slametan Maulid Nabi." Kata saya sambil tertawa

GD pun terpingkal-pingkal ketika saya ceritakan bahwa saya langsung minum Coke ketika sampai di Bandara Donmuang..

"Dasar, sampean gak mau nurut sama ajaran anti kapitalisme Ajarn Sulak. Memang beliau itu kadang-kadang kelewatan dalam soal anti kapitalisnye, saya juga suka kerepotan. Kan saya masih sering pakai dasi dan setelan jas, yang bagi beliau itu masuk dalam konsumerisme juga. Tapi beliau orang yang konsisten dan mau berkorban sebagai aktivis dan pemikir. Beliau memiliki kekayaan yang cukup besar karena kemampuan bisnisnya, tetapi tetap sederhana dan mau membiayai kegiatan-kegiatan dengan uang sendiri." Kata GD

"Ya Gus, tapi nanti saya jangan lagi di suruh mewakili njenengan di Ashram ya Gus.. cari yang lain saja, soalnya saya gak bisa mandi dengan air hujan begitu.. Gatal semua badan saya..." Keluh saya

"Hahaha.. rasain, kan biar tahu bagaimana konsep hidup sederhana di praktekkan oleh berbagai pihak. Yang penting sampean "lulus," karena tidak semua orang yang baru dan sudah terlalu lama hidup di Barat, tahan tinggal di Ashram yang asli seperti milik Ajarn Sulak. Ashram lain di kota-kota mungkin tidak se strict itu kalau untuk yang non Budhis." GD menjelaskan

"Lho, kalau gitu, saya ini istilahnya njenengan tes to Gus?"

"Lha gimana, kalau mau runtang-runtung sama saya pastilah harus dites dulu, tahan menderita gak. Kan nanti sama saya nggak enak juga, wong harus kesana-kemari dan kadang-kadang dihujat orang.." GDmenjelaskan dengan mimik serius.

"Waduh, Gus, saya terus terang sudah pengen pulang waktu hari ke tiga dan presentasi saya sudah selesai. Tapi saking jauhnya tempat dan gak tahu gimana mencapai Bangkok, saya ya diam saja ikut sampai selesai. Padahal, saya bener-bener gak krasan Gus.." Kami berdua tertawa terbahak-bahak..

Tentu saja saat GD dan saya ketemu Ajarn Sulak dalam kesempatan lain, soal pengalaman di Ashram yang kurang enak tidak pernah diceritakan. Hubungan saya dengan beliau sangat erat dan beberapa kali masih ketemu. Sayang sekali, ketika Ajarn beberapa kali berkunjung ke Indonesia saya sudah sibuk dengan kerja politik paska GD lengser. Saya sangat ingin "napak tilas" dan menimba ilmu serta kebijaksanaan dari Ajarn Sulak yang, seperti juga GD, seolah tak bertepi. Tentu dengan syarat tidak harus tinggal seminggu di Ashram lagi...

No comments: