14 April 2010

WAWANCARA IMAJINER DENGAN GUS DUR (6)

Muhammad A S Hikam

(Almaghfurlah kebetulan sedang nderes (dari kata tadarrus) AlQur'an ketika siang itu saya berkunjung. Suara GD ternyata cukup merdu ketika membaca ayat-ayat suci dengan lantang, suatu hal yang saya belum pernah temui ketika beliau masih bersama. Mungkin saking khusyu'nya, sehingga beliau tidak tahu bahwa ada orang datang, sedangkan saya pun ingin ikut mendengar lantunan ayat-ayat suci dari mulut beliau. Dengan berindap-indap, saya duduk di ujung karpet bermotif bunga merah keemasan yang digelar di tepat khalwat Gus Dur. Surat yang beliau baca adalah Al -Waqi'ah, surat ke 56, yang juga kebetulan kegemaran saya sehingga saya mudah mengenalinya. Begitu sampai pada ayat terakhir, "Fasabbikh Bismi Rabbikal 'Adziim," saya lihat GD memejamkan kedua mata beliau dan air mata pun merembes keluar. Tanpa saya sadari, karena ikut terharu, saya pun memanggil nama beliau, "Gus...." Dan beliaupun menengok ke arah saya..)

"Assalamu'alaikum, Gus.." Kata saya sambil mencium tangan beliau

"Salam, Kang.. piye, waras tah... Gak tahu sampean di sini. Sudah lama tadi?"

"Lumayan Gus. Pas njenengan sampai ayat ke 75 tadi "Falaa Uqsimu bi Mawaaqi'in Nujuum" saya sampai di sini. Wah ternyata suara njenengan merdu ya Gus."

"Ah.. sampean bisa aja.. hehehe.." GD tertawa senang

"Bener kok Gus, saya kan gak pernah dengar njenengan membaca Qur'an dengan suara keras. Biasanya kan pake gaya dremimil kalau njenengan ngaos.." Saya menjelaskan

"Lha memang sekarang saya punya waktu dan suasananya di sini kan pas." Kata GD menimpali

"Saya jadi ingat Almarhum ayah dulu kalu mengaji di atas kendaraan seperti bus atau kereta. Beliau ndremimil, juga. Tahu-tahu dari Cirebon sampai Semarang, misalnya, sudah 5 Juz."

"Ya saya tahu, almaghfurlah Kyai Fatah memang punya kebiasaan para Huffadz begitu. Mereka selalu dalam kondisi nderes hapalan Qur'an dimana saja dan kapan saja. Kayak iklan Coca Cola aja.." GD menerangkan sambil tertawa.



"Tadi njenengan sempat mbrebes mili ya Gus, sesampai di ayat terakhir?" Tanya saya

"Ya saya ingat ketika masih di pondok, kalau ngaji Waqi'ahan begini, saya sama Gus Aman sukanya malah mainin santri-santri yg sedang serius. Lha wong sudah apal dan dasar anak-anak, jadi saya sama dia semaunya sendiri. Saya tadi ingat Gus Aman, Kang. Kemarin dia juga mampir." Kata GD

(Gus Amanullah dari Tambakberas, Jombang adalah paman GD, tetapi usianya sebaya, dan sahib paling akrab di antara keluarga beliau. Gus Aman sempat menjadi anggota DPR/RI, dan wafat beberapa tahun setelah beliau pensiun).

"Kalau saya Gus, asal mendengar orang ngaji Surat Waqi'ah langsung ingat almarhumah Ibu saya, karena beliau yang mengajari tiap malam Jum'at setelah Yasin, lalu Waqi'ah. Kata beliau rejeki saya nanti barokah." Kata saya

"Tradisi begitu memang sangat penting untuk dipertahankan, apapun alasannya. Karena memang Surat ini memiliki makna khas bagi para Sufi. Tapi sampean kesini kan bukan mau ngobrol soal Tasawuf, kan Kang?" Kata GD yang sudah paham apa mau saya sowan kepada beliau.

"Iya Gus, saya kok mendapat informasi yang rada musykil, tapi ini menyangkut PKB, partai di mana kita pernah membeesarkan bersama.."

"Ada apa lagi... paling ya gegeran isinya..." GD menukas

"Tapi ini gegeran dengan dimensi lain Gus. Kan setelah njenengan pergi, ternyata muncul gerakan-gerakan baru untuk merestorasi PKB milik njenengan yang dinyatakan tidak legal oleh penguasa itu."

"Walah, gitu aja kok dipikirin. Ya memang Imin kan dipakai Pemerintah untuk membuat saya tidak menguasai partai lagi. Tapi coba sampean lihat hasilnya dalam Pemilu 2009, kan berantakan, toh?! PKB menjadi ndak punya marwah, karena disetir dari luar. Pendukung PKB terutama para Kyai kampung lari semua. Lha kalau Kyai-kyai itu lari ya pengikutnya lari, Kang... Ujungnya nanti PKB hilang kok!" GD meninggi suaranya.

"Benar Gus, waktu DPR menggelar Pansus Centurygate...."

"Ya pengecut semua... ndak ada yang berani. Paling si Pendi sama Lilik saja yang berani nglawan maunya Imin.." GD memotong (Pendi adalah Effendi Choirie anggota komisi I DPR RI, Lilik adalah Ibu Lily Wahid, adik GD)

"Tapi ini yang menarik Gus. Sekarang ada gagasan mengumpulkan semua komponen yang anti-Imin, bahkan termasuk orang-orang yang sudah lepas dari PKB dan ke partai lain, mereka mau kembali membentuk semacam tandingan. Namanya PKB Gus Dur..." Saya sengaja berhenti menunggu reaksi

"Iya, terus..." Tampaknya GD rada tertarik

"Nah, saya juga dihubungi Gus, padahal saya kan sekarang sudah non partisan. Jadi komponen anti Imin ini bakal bersatu dan membuat partai alternatif. Bahkan orang yang dulu dekat Imin, seperti Lukman Edi konon juga condong ke kelompok ini. Apalagi Bu Lilik, Yenni, Ipul dan para Kyai PKNU, katanya juga sepakat membentuk sebuah partai alternatif lho Gus..." Saya mencoba menjelaskan

"Kalau cuma rasan-rasan sih ya sudah lama saya tahu. Ketidakpuasan kepada Imin dkk kan memang sudah saya bilang akan terjadi karena memang cara yang dipakai merebut kekuasaan itu ndak bener. Sudah gitu sistem hukum kita juga ndak bener karena tunduk apa kata penguasa saja. Tapi ya sudahlah, saya kan ndak ikut-ikut lagi, Kang, sudah enak di sini, kerjaannya ngaji dan mendengarkan musik dan kadang-kadang kumpul-kumpul sama para syuhada dan auliya'.."

"Tapi menurut njenengan apakah upaya begitu itu masih ada perlunya, maksud saya apakah dengan membuat PKB Gus Dur, kalau toh legal nanti, apakah bisa membuat PKB yang dulu njenengan pimpin balik lagi, Gus?" Saya coba mendesak

"Ya tergantung to Kang..." Kata beliau

"Tergantung pada apa Gus?"

"Ya pada niat dan siapa-siapa yang memegang kepemimpinan partainya. Kalau niatnya cuma kekuasaan dan yang memimpin juga sejenis Imin, cuma beda nama dan wajah, ya percuma. PKB bisa bagus dulu karena ada orang-orang yang masih jujur dan tidak mementingkan diri sendiri. Setelah Muktamar Yogya sampai Semarang itu, saya setengah mati coba menahan tekanan dari luar dan dalam, termasuk dari PBNU sendiri. Setelah pecah jadi dua, PKB dan PKNU, saya pikir sudah bisa dikontrol lagi. Ndak tahunya, ya itu tadi, kekuatan luar menggunakan orang-orang di DPP PKB untuk menjatuhkan saya, karena saya dianggap ancaman bagi penguasa. Gitu lho.." kata GD panjang lebar.

"Apakah artinya usaha menyatukan komponen lama ini ndak perlu Gus?" Kata saya minta ketegasan

"Lho ya terserah. Yang penting itu tadi lho Kang, niatnya bagaimana dan siapa yang akan menjadi pemimpinnya. Jangan-jangan kalau mereka berhasil menggantikan Imin dkk, lalu mereka gegeran dan masing-masing rebutan posisi lagi? Belum lagi gimana sikap PBNU yang baru. Kalau nanti PBNU tetap seperti sebelumnya, ya repot. Karena PBNU pasti akan mendiamkan keributan itu atau oknum-oknumnya ikut rebutan pisan...hahaha..." Saya pun ikut tertawa membayangkan hal itu.

"Rumit ya Gus?" Kata saya

"Sebenarnya ya tidak, wong gitu saja kok rumit. Yang bikin rumit itu kan ketidak mampuan kita meletakkan masalah pada tempatnya. Mana yang prioritas untuk bangsa, mana untuk partai, mana untuk diri sendiri dan kelompok. Sekarang ini kan di Indonesia campuraduk ndak karu-karuan, sampai ndak jelas mana yang urusan bangsa dan mana yang urusan rumah tangga. Akhirnya kalau ada masalah bukannya diselesaikan dengan tuntas, tapi malah mbulet dan cenderung beranak-pinak permasalahan itu. Lihat saja soal Centurygate; belum beres sudah muncul soal Susno, lalu manipulasi pajak, lalu entah apa lagi. Pokoke mbulet!" Kamipun ketawa ngakak bersama-sama..

"Inggih Gus, kalau begitu saya ya wait and see saja menyikapi perkembangan PKB, sambil ngurusi Universitas dan nulis fb." Kata saya setelah puas tertawa.

"Ya wis Kang, oh ya terimakasih ya dengan doa-doa untuk seratus hari saya. Masya Allah, di sini makin nikmat dan tenang dengan do'a-doa yang tulus itu. Saya juga terharu melihat para pendoa, bukan cuma orang NU saja tapi dari semua golongan. Alhamdulillah, para Malaikat juga memberitahu saya betapa besar ganjaran yang didapat oleh para pendoa tersebut."

"Injih Gus Insya Allah saya sampaikan, lewat fb. Pareng dulu, Gus. Assalamu'alaikum" Kata saya berpamitan dan mencium tangan GD.

"Salaam..."


selengkapnya >>>

11 April 2010

KENANGANKU DENGAN GUS DUR (23)

Muhammad A S Hikam

Malam Minggu, 13 April 2010, saya dan keluarga bersama tetangga mengadakan Yasinan dan tahlilan untuk memperingati 100 hari wafatnya Almaghfurlah Gus Dur. Sengaja saya dan isteri memilih di rumah karena melihat para tetangga yang seratus persen orang Betawi asli itu belum pernah punya akses langsung ke Gus Dur. Sehingga kalau saya ikut bergabung di acara yang sama di luar, tetangga yang ingin ngalap barokah pastilah tidak kebagian. Jadi sama dengan peringatan tujuh harinya GD dulu, kali ini juga saya buat acara bersama mereka. Alhamdulillah cukup banyak yang hadir dan mereka sangat khusyuk mendengarkan "manakib" atau riwayat perjalanan hidup singkat GD yang saya bikin sendiri. Yang paling menarik bagi para tetangga adalah bagaimana GD, yang dulu sering dikritik sebagian orang sebagai "kurang Islami," bahkan oleh Abubakar Ba'asyir disebut murtad, saat ini maqbaroh atau kuburannya didatangi ribuan orang peziarah setiap hari.. Dalam tradisi NU, seorang Kyai yang maqbarohnya diziarahi ribuan orang tiap hari dan membawa berkah kepada banyak orang di sekelilingnya, biasanya pertanda bahwa beliau itu salah satu dari para Waliyullah. Gus Dur, menurut pendapat pribadi saya, Insya Allah masuk dalam kategori tersebut.


Setelah surah yasin dibaca bersama diteruskan dengan lantunan tahlil, acara ditutup dengan doa pak Kyai sesepuh komunitas. Sambil mengikuti ritual, angan-angan saya sesekali melayang kepada kenangan masa lalu dengan Almaghfurlah. Kali ini entah kenapa, saya terkenang saat GD meminta saya ikut menjadi peserta seminar dan pelatihan yang diselenggarakan oleh salah seorang sahabat karib beliau, Ajarn Sulak Sivaraksa, di Bangkok, Thailand. Ajarn Sulak, seorang tokoh aktivis Budhis yang sangat terkenal di negeri Siam karena perjuangannya menentang kekuasaan militer dan pembela HAM, memiliki kemiripan dengan GD dalam banyak hal. Beliau seorang terpelajar (lulusan Universitas Oxford, Inggris) dan merintis gerakan demokratisasi di Thailand setelah kembali dari studi pada awal 1970an. Mirip GD juga, Ajarn (Guru) Sulak terlibat sebagai pegiat LSM-LSM yang bergerak dalam masalah advokasi dan pemberdayaan masyarakat miskin, kebebasan politik dan perlindungan HAM, baik di Thailand maupun di luar negeri. Ajarn Sulak juga mendapat berbagai ganjalan dari rezim militer Thailand, dan bahkan pernah diancam terkena vonis hukuman mati karena melakukan pidana yang disebut "Leste Majeste," atau penghinaan kepada Raja Bhumibol Adulyadej. Selain orang yang aktif dan hobi kerja keras, Ajarn Sulak juga humoris sehingga makin erat saja pergaulannya dengan Gus Dur kita. Salah satu yrade mark Ajarn Sulak adalah pakaian tradisional petani Siam yang selalu dipakainya, lengkap dengan sandal kulit (beliau pantang memakai sepatu!) untuk jalan ke mana saja di seluruh dunia!

Saya kenal beliau ketika sudah selesai ujian disertasi di Honolulu th 1995. Kebetulan Ajarn Sulak sedang mengunjungi salah satu muridnya yang menjadi mahasiswa di Universitas Hawaii (sama juga, GD pernah tilik saya sebelum saya selesai). Kendati baru ketemu secara fisik saat itu, saya langsung cocok dengan beliau, mungkin karena cerita-cerita GD tentang sang sahabat karib itu. Nah di situlah saya kemudian diundang beliau untuk bisa ikut dalam seminar dan pelatihan di Ashram beliau di Bangkok. Ketika saya kembali ke Jakarta, saya lapor ke GD soal undangan ini. GD mengatakan "Datang saja Kang, lumayan untuk cari pengalaman di komunitas Budhis. Nanti sampean akan dapat pengetahuan dan pengalaman baru di sana." Saya mencoba bertanya, kira-kira nanti bagaimana kalau tinggal di Ashram yang tentu berbeda dengan tempat lain. Almaghfurlah cuma jawab sekenanya saja :"Ya itu sampean lihat saja nanti. Pokoknya ikut saja." Maka berangkatlah saya, dengan membawa laporan kajian lapangan yang diminta oleh Ajarn Sulak Sivaraksa sebagai bahan untuk presentasi dan pelatihan nanti di Ashram.

Benar kata GD, saya mendapat pengalaman yang belum pernah saya dapat, meskipun dalam mimpi. Bayangkan, saya tinggal selama 7 hari di Ashram Budhis yang sepi dan sangat sederhana dalam akomodasi dan konsumsi. Seumur-umur saya belum pernah mandi dengan air hujan yang ditampung dalam genthong-genthong di kamar mandi, dan makan hanya nasi dan sayur (vegetarian), atau sesekali diberikan ikan asin kering (para peserta yang beragama Budha bahkan tidak menyentuh ini juga). Minum masih mending karena ada air mineral, dan kalau tidur tanpa alas kasur dan mesti berjuang melawan nyamuk (Ashram itu lokasinya di persawahan yang jauh dari pinggiran kota). Acara mulai dari pagi, sekitar jam 7.00, diawali mengheningkan cipta bagi yang non Budhis dan bagi para Budhis semadi dan beribadah. Jam 8.30 mulai seminar dengan berbagai topik, mulai dari soal pertanian alternatif (organic-based agriculture), perlindungan lingkungan, HAM, pemberdayaan masyarakat adat, gerakan anti-kekerasan yang dilandasi oleh ajaran agama (termasuk Budha), dan tukar menukar pengalaman dari para peserta. Peserta memang multi-nasional, mulai dari Irlandia sampai Indonesia di samping multi-agama (bahkan ada yang non agama juga). Ajarn Sulak sangat strict dengan aturan terutama waktu dan hebatnya adalah beliau tidak sekali pun absen dari setiap kegiatan, walaupun beliau sangat sibuk dengan segala macam kegiatan dalam dan luar negeri. Paling-paling beliau bicara sebentar lewat telepon jika memang sudah tidak bisa ditangani oleh sekretarisnya, dan itupun sangat singkat.

Sebagai orang yang baru lulus PhD dan baru pulang dari Amrik, tentu saya harus melakukan kesiapan mental dan fisik mengikuti acara seminggu di Ashram itu. Dan tentu yang paling repot bagi saya adalah menyesuaikan diri dengan soal makan dan minum. Makanya begitu selesai acara dan di antar ke Airport Donmuang Bangkok, hal yang pertama saya lakukan adalah mencari Coca Cola! Padahal selama seminggu itu, salah satu topik yang terus diulang adalah bagaimana memerangi bahaya konsumerisme yang disebarkan secara global oleh kapitalisme. Salah satunya, apalagi kalau bukan produk fast food semacam Coca Cola itu! Sesampai di Jakarta, saya pun "lapor" kepada GD mengenai pengalaman seminggu di Ahram Ajarn Sulak Sivaraksa.

"Gimana, Kang, bedanya dengan pesantren sampeyan di Plumpang.." Kata GD sambil senyum-senyum

"Wah beda Gus, lebih berat hidup di Ashram. Di pesantren walaupun tidak sering, kan masih ada makan dengan lauk ayam, apalagi kalau sedang slametan Maulid Nabi." Kata saya sambil tertawa

GD pun terpingkal-pingkal ketika saya ceritakan bahwa saya langsung minum Coke ketika sampai di Bandara Donmuang..

"Dasar, sampean gak mau nurut sama ajaran anti kapitalisme Ajarn Sulak. Memang beliau itu kadang-kadang kelewatan dalam soal anti kapitalisnye, saya juga suka kerepotan. Kan saya masih sering pakai dasi dan setelan jas, yang bagi beliau itu masuk dalam konsumerisme juga. Tapi beliau orang yang konsisten dan mau berkorban sebagai aktivis dan pemikir. Beliau memiliki kekayaan yang cukup besar karena kemampuan bisnisnya, tetapi tetap sederhana dan mau membiayai kegiatan-kegiatan dengan uang sendiri." Kata GD

"Ya Gus, tapi nanti saya jangan lagi di suruh mewakili njenengan di Ashram ya Gus.. cari yang lain saja, soalnya saya gak bisa mandi dengan air hujan begitu.. Gatal semua badan saya..." Keluh saya

"Hahaha.. rasain, kan biar tahu bagaimana konsep hidup sederhana di praktekkan oleh berbagai pihak. Yang penting sampean "lulus," karena tidak semua orang yang baru dan sudah terlalu lama hidup di Barat, tahan tinggal di Ashram yang asli seperti milik Ajarn Sulak. Ashram lain di kota-kota mungkin tidak se strict itu kalau untuk yang non Budhis." GD menjelaskan

"Lho, kalau gitu, saya ini istilahnya njenengan tes to Gus?"

"Lha gimana, kalau mau runtang-runtung sama saya pastilah harus dites dulu, tahan menderita gak. Kan nanti sama saya nggak enak juga, wong harus kesana-kemari dan kadang-kadang dihujat orang.." GDmenjelaskan dengan mimik serius.

"Waduh, Gus, saya terus terang sudah pengen pulang waktu hari ke tiga dan presentasi saya sudah selesai. Tapi saking jauhnya tempat dan gak tahu gimana mencapai Bangkok, saya ya diam saja ikut sampai selesai. Padahal, saya bener-bener gak krasan Gus.." Kami berdua tertawa terbahak-bahak..

Tentu saja saat GD dan saya ketemu Ajarn Sulak dalam kesempatan lain, soal pengalaman di Ashram yang kurang enak tidak pernah diceritakan. Hubungan saya dengan beliau sangat erat dan beberapa kali masih ketemu. Sayang sekali, ketika Ajarn beberapa kali berkunjung ke Indonesia saya sudah sibuk dengan kerja politik paska GD lengser. Saya sangat ingin "napak tilas" dan menimba ilmu serta kebijaksanaan dari Ajarn Sulak yang, seperti juga GD, seolah tak bertepi. Tentu dengan syarat tidak harus tinggal seminggu di Ashram lagi...

selengkapnya >>>

09 April 2010

WAWANCARA IMAJINER DENGAN GUS DUR (5)

Muhammad A S Hikam

(Sambil duduk-duduk di bawah pohon apel yang sedang berbuah lebat, GD dan saya berbincang bincang sore itu. Tidak seperti lazimnya apel di dunia fana, pohon apel di tempat beliau yang baru ini sangat aneh dan menakjubkan. Batangnya besar berwarna kecoklatan seperti dipelitur, dengan daun keemasan bercampur kemerahan dan buah yang beraneka warna: ada hijau bersemu biru, merah (seperti apel biasa), ungu, dan putih seperti kristal. Ukuran buahnya juga tak seperti apel yang biasa kita lihat di toko-toko buah, tetapi sebesar jeruk Bali dan memancarkan aroma yang harum dan segar. Tak heran jika burung-burung yang bentuknya seperti Merak, banyak yang bertengger di sana, membuat suasana semakin terasa tenteram dan nyaman. Setelah bersalaman dan mencium tangan beliau, saya pun mulai pembicaraan..)

"Assalamu'alaikum Gus.."

"Salaam, Kang, gimana sampeyan, waras, tah?"

"Alhamdulillah, Gus. Semalam saya baru pulang dari Pati, Gus, sowan mBah Sahal." Saya melapor

"Oh iya, gimana keadaan Yai, sehat-sehat toh sehabis ngrawuhi Muktamar?" Tanya GD

"Alhamdulillah, kayaknya seger sekali Gus, malah karena saya heran jadi saya bertanya juga sama mBah Sahal, kok tampaknya sangat segar. mBah Sahal justru bilang 'Ya memang ada yang suka memberitakan saya ini sakit, mas Hikam, pada hal ya sehat-sehat saja..' Gitu Gus." Kamipun lalu tertawa

"Ya memang begitulah kalau sudah rebutan posisi, gosip-gosip pating sliwer ndak karu-karuan."

"Heran lho Gus, kok makin ke sini dalam Muktamar NU makin banyak uang yang beredar di antara para Muktamirin."

"Ya memang, tapi jangan kira gampang mau nyuap Kyai-kyai, apalagi yang sepuh-sepuh dan punya muru'ah yang tinggi. Percuma. Sampean pernah dengar cerita bagaimana Kyai menyikapi money politics di Mukatamar Cipasung 1h 1994 dulu?" Kata GD

"Gimana Gus?" Sebenarnya saya suda pernah dengar, tapi saya suka GD mengulang-ulang cerita karena tidak pernah membosankan.

"Sampean kan tahu, dulu Pak Harto dengan seluruh slagordenya bernmaksud mengagalkan saya dipilih jadi Ketua PBNU untuk ketiga kalinya, karena saya menjadi Ketua Fordem dan macem-macemlah, pokoknya gak disenangi sama beliau. Maka uang pun dikerahkan lewat Abu Hasan yang didukung Pemerintah dan sementara elite NU. Nah, saya diceritain oleh Almaghfurlah Kyai Abdullah Abbas Buntet, Cirebon, soal bagaimana beliau didekati oleh Abu Hasan. Kata Kyai Dulloh 'Masya Allah Gus, saya senang kok masih ada orang-orang NU yang hormat sama Kyai begitu tinggi seperti Pak Abu Hasan itu, sampai saya ini disangoni padahal sudah ada uang untuk jalan dari Cirebon ke Cipasung ini. Malah-malah ditambahi lagi, katanya untuk mbangun Pesantren Buntet. Lho kan luar biasa to Gus..' Saya tanya sama Kyai Dulloh 'Lha panjenengan dititipi nopo Yai..' Kata Kyai Dulloh 'Ya saya diwanti-wanti sama Abu Hasan, supaya jangan lupa dengan pilihan Ketua PBNU nanti malam.' 'Lha Kyai bilang apa sama Abu Hasan?' saya tanya.'Ya saya bilang, Oo.. Pak Abu jangan khawatir, saya ndak akan lupa, kalau soal pilihan Ketua PBNU ya pasti Gus Dur...' (Gus Dur dan saya pun ngakak ..)

"Nah, gitu lho Kang, Kyai-kyai sepuh itu saking ikhlasnya malah gak mempan disuap. Sangu ya diterima, wong itu tanda santri menghormati Kyai, tapi kalau disuruh ganti pilihan ya gak bakalan mau...hehehe.. Ya nggak tahu kalau Kyai-kyai muda sekarang, Kang." Kata GD masih tertwa-tawa

"Kayaknya juga gak mempan kok Gus, mBah Sahal juga tetap unggul karena beliau masih dipandang sebagai simbol dan ikon keulamaan dan keunggulan ilmu. kemarin di Kajen saya juga tanya pada mBah Sahal bagaimana NU paska Muktamar, mau diapakan dan arahnya ke mana.."

"Apa kata Yai Sahal, Kang?" Tanya GD rada serius

"Beliau bilang gini Gus 'Ya saya akan meneruskan usaha membuat NU total kembali ke Khittah, kan kemarin-kemarin ini gak jalan proses itu.' Gitu Gus Bah Sahal ngendikonya. Malah terus panjang-panjang cerita soal masalah politisiasi NU sama saya.."

"Yo uwis, apik nek ngono... Memang nyatanya gitu, tapi saya masih belum yakin apa Yai Sahal akan kuat menhadapi orang-orang politis di PBNU." Kata GD

"Saya secara tidak langsung juga menanyakan itu, Gus. Beliau optimis karena Gus Aqil kan bukan politisi, jadi akan lebih mudah diajak kerjasama. Lalu beliau menyinggung Kyai Tolhah Hasan dan Pak Ma'ruf Amin di Syuriah. Cuma beliau juga mengakui masih sulit meyakinkan beberapa Kyai Jatimg yang menurut beliau politis." Saya jelaskan

"Ya bener, kebanyakan Kyai-kyai Jatim bangsanya Lirboyo, Ploso, Langitan, Probolinggo, Pasuruan, macem-macem itu sudah terlalu politis. Sudah terlanjur merasakan enaknya bergaul dengan kekuasaan jadi agak susah juga ditarik kembali ke ide Khittah. Lha memang NU itu syahwat politiknya masih kegedhen.."

"Saya coba bertanya kepada Kyai Sahal, bukannya Kyai Sofyan Situbondo atai mBah Faqih Langitan yang sangat tidak politis.." Kata saya

"Terus apa jawabnya, Kang?" Tanya GD

"Mbah Sahal bilang, memang Kyai Sofyan bagus, tetapi beliau sudah sepuh. Kalau mBah Faqih, kata mBah Sahal, nanti menyerahkan kepada puteranya, Gus Ubed, yang sangat politis itu." Saya menirukan dhawuhnya mBah Sahal

"Ya bener sih, saya juga setuju dengan pandangan Kyai Sahal soal Ulama-ulama Jatim. Ya beliau harus mencari dari generasi yang lebih muda dan belum terkontaminasi dengan politik terlalu jauh. Pasti ada, seperti Gus Ali Tulangan, misalnya."

"Kayaknya di Muktamar, Gus Ali juga tidak begitu cocok dengan mBah Sahal. Kyai-kyai Jatim malah mendukung Gus Hasyim lho Gus menurut pengamatan saya kemarin di Makassar. Makanya mBah Sahal kelihatannya agak prihatin.

"Ah itu kan soal pendekatan, kalau nanti dilakukan pendekatan yang baik bersama Kang Said, Kyai seperti Gus Ali Tulangan Insya Allah akan bisa diajak. Demikian juga yang lain. Memang berat tugas Kyai Sahal muntuk metani para Kyai yang mana yang benar-benar non politis. Alhamdulillah ada Kyai Tolhah Hasan itu, Kang."

"mBah Sahal juga akan membuat Syuriah PBNU benar-benar bekerja, dengan struktur yang memberikan tugas pembidangan kepada para Rois Syuriah, misalnya pendidikan, hukum, mabarrot, politik dll. Saya kira ini bagus nggih Gus."

"Di atas kertas sih bagus, dari dulu juga maunya Syriah itu berdaya. Cuma soal SDM dan bagaimana membuat para Kyai di sana benar-benar bisa diberdayakan itu yang repot. Karena itu seumur-umur ya Tanfidziah yang kuat dan kalau Rois Aamnya gak digubris ya sudah, jalan sendiri Ketum PBNU."

"Inggih Gus, tampaknya untuk sementara yang dimiliki adalah semangat dan kesempatan karena Ketum PBNU terpilih juga bukan politisi. Ya doakan saja Gus semoga ada celah-celah untu bisa merealisasikan ide kembali ke Khittah secara total yang dimotori mBah Sahal." Saya menyambung

"Dan yang penting Kang Said hati-hati jangan terjebak lagi dengan rayuan-rayuan gombal orang-orang yang dulu juga saya besarkan tapi malah akhirnya nglawan. Kalau Kang Said bisa menjad\ga independensi dari mereka ya masih ada kesempatan untuk memulihkan wibawa dan martabat NU, Kang."

"Insya Allah Gus. Saya mohon pamit dulu Gus, sudah malam. Permisi dulu Gus. Assalamu'alaikum."

"Salaam, Kang.. Hati-hati ya.."


selengkapnya >>>

04 April 2010

WAWANCARA IMAJINER DENGAN GUS DUR (4)

Muhammad A S Hikam

( Di tempat Gus Dur tinggal sekarang, ternyata beliau sehat dan bahkan panca inderanya semua bekerja dengan baik termasuk kedua pasang penglihatannya. Makanya ketika saya sowan, beliau sedang asyik membaca sebuah Kitab Kuning, tanpa kacamata. Malah saking asyiknya beliau tidak tahu saya sudah ada di dekatnya. Terpaksa saya towel dan beliau baru menengok. Setelah salaman dan cium tangan, saya pun duduk di depan beliau )

"Pagi Gus, wah asyik banget ya..." Saya mulai obrolan

"Iya Kang, piye.. waras, tah?" GD menjawab sambil menutup Kitabnya setelah memberi tanda dengan secarik kertas

"Alhamdulillah Gus, baik-baik saja. Kitab apa Gus kok kelihatannya njenengan asyik banget?"

"Hehehe..udah lamaa banget gak membaca kembali Nashoikhul 'Ibad, Kang.. kuwatir lupa..."

"Apa masih relevan to Gus, kan njenengan sudah gak perlu..." Saya mencoba menyela.

"Ya masih selalu relevan, Kang. dalam tradisi kita kan membaca Kitab itu ada pahalanya sendiri. Gak seperti tradisi sekolah sekuler. Sampean baca bukunya Hegel atau Weber yang tebel-tebel itu gak ada pahalanya...hehehehe..." Kata GD sambil tertawa, dan saya juga ikut mengiringi.

"Iya ya Gus, emangnya kalau bukunya bukan Kitab Kuning gak dapat pahala ya. Kan sama-sama tholabul 'ilmi Gus?." Saya mulai berargumen.

"Ah wong gitu saja kok sampean ikut repot. Ya namanya tradisi kan harus begitu, membuat ikatan menjadi kuat, dengan insentif pahala. Prinsipnya ya mencari ilmu apa saja dapat pahala. Tapi itulah indahnya tradisi pesantren. Baca Kitab saja ada dapat pahala.. Apalagi melakukan telaah dan halaqoh.. dan ini yang membuat tradisi mnembaca sangat kuat di kalangan pesantren."



"Sampai sekarang, Gus?"

"Mestinya begitu. Coba sampean lihat, orang NU kan paling rajin baca koran. Cuma kalau disuruh membeli koran susah...Hahahaha..." Dan ketawalah kami berdua.

"Sampean tahu, gimana orang di Madura sana kalau mau baca atau beli koran?" Tanya GD

"Gimana , Gus...?" Tanya saya sambil siap-siap mendengar guyonan beliau.

"Jadi kalau ada tukang koran, orang Madura nanya dulu 'Saya mau beli Jawa Pos', kata Jawa Pos itu artinya koran Kang, semua koran namanya Jawa Pos menurut mereka. Begitu dikasi koran, dia nanya lagi sebelum di baca 'Ada Gus Durnya, gak?' Kalau di koran itu gak ada Gus Dur, gak bakalan si Madura membeli. Dia akan pergi dan nggrundel 'Jawa Pos kok gak ada Gus Dur', maksudnya kalau gak ada kabar tentang saya, sama dengan gak ada berita." Kata Gus Dur yang lalu disusul dengan tertawa...

"Kok pagi-pagi ke sini ada apa, Kang. Sudah sarapan tah sampean?"

"Sudah Gus, ini Gus saya mau tabayyun saja. Kemarin kan saya kebetulan baca berita di Kompas, soal pertemuan antara Gus Aqil dengan beberapa orang tokoh di Kantor GP Ansor. Di sana Ipul menyatakan dirinya sebagai Tim Suksesnya Gus Aqil dan tampaknya memang merapatkan barisan untuk menyusun Kabinet PBNU 2010-2015.." Kata saya.

"Lah sampean ini, jadi orang kok kagetan. Ya memang Saifullah Yusuf dan kawan-kawan seperti Chatibul Umam, Yahya Tsaquf dll. itu mau masuk ke PBNU dan menjadikan Nu kendaraan politik mereka. dari dulu ya begitu itu. Kang Said (Aqil) kan memang deket dengan orang-orang itu, jadi kalau sekarang dia ditekan untuk menjadikan Saiful sebagai Sekjen PBNU ya namanya konsekuensi saja Kang.." Tukas GD sebelum saya selesai bercerita.

"Tapi Gus, kan lalu PBNU gak jadi meninggalkan politik praktis kalau skenarionya begitu?"

"Ya itu salahnya yang percaya saja sama kampanye calon-calon ketua PBNU kemarin. Namanya Saiful kan punya agenda politik sendiri, misalnya jadi Gubernur Jatim 2014 nanti. Kalau Kng Said tidak bisa bertahan dan bener-bener menjadikan dia Sekjen PBNU, ya sudah pasti NU akan sangat politis. Malah lebih dari sebelumnya di bawah Hasyim Muzadi."

"Apalagi Gus sekarang ada posisi Wakil Ketua Umum di PBNU." Kata saya melanjutkan

"Lha iya, gitu itu lho buat apa, kayak parpol pake Waketum segala. Itu hanya akan membuat Kang Said kerepotan, apalagi kalau nanti Waketumnya tidak bisa kerjasama karena disetir oleh kelompok lain. Kan PBNU isinya juga kelompok-kelompokan to Kang?"

"Kasihan mBah Sahal ya Gus, padahal beliau kan sangat serius mau membuat PBNU dan NU tidak ikut-ikut politik praktis." Saya menyambung lagi

"Memang. Tapi ya gimana, wong Kyai Sahal sendiri sering gak tegas. Apalagi nanti di Syuriah PBNU isinya macem-macem dan tidak bisa dikontrol beliau. Sekarang ya bebannya di Kang Said apakah dia bisa tegar atau tidak membentengi pengaruh Saiful dkk. Ingat, Saiful juga didukung banyak Kyai dari Jatim dan Jateng, lho. Kyai-kyai Lirboyo, Situbondo, Probolinggo, Rembang dll. pasti akan ngobyongi apa maunya Saiful."

"Kalau Gus Aqil minta bantuan mBah Faqih Langitan, gimana Gus?" Tanya saya

"Susah, Kang. Pengaruhnya Kyai Faqih juga menurun sekarang gara-gara ikut-ikutan PKNU segala. Kalau Kang Said bisa menmpatkan orang-orang netral seperti Bagdja dan Masdar sebagai Waketum atau Sekjen ya masih mending. Berarti Kyai Sahal juga akan terbantu membersihkan NU dari politik praktis."

"Kayaknya paska Muktamar Makassar belum tentu NU bisa lebih netral politik, ya Gus?"

"Ya semoga saja, tapi kalau dengar dari cerita sampean, NU masih akan dipakai untuk menopang agenda politik pribadi-pribadi itu. Belum lagi agenda pemerintah, sudah pasti akan menjadikan NU sebagai target politisasi. Jadi ya wis klop lah."

"Iya Gus, dalam pertemuan itu Imin dan Andi Mallarangeng juga ada."

"Nah kan..."

"Panjenengan kok masih kedengaran pesimis saja Gus soal PBNU." Kata saya

"Bukan pesimis, kalau saya dengan PBNU memang kritis. Tapi saya percaya pada Kyai-kyai kampung dan warga nahdliyyin di bawah sana, yang kecil-kecil seperti orang Madura tadi, semua masih konsisten kok Kang. PBNU mau gimana-gimana, terserah saja. Bagi mereka yang penting amalan tradisi seperti istighotsah, tahlilan, manakiban, ziarah, Khaul, dll tetap jalan ya sudah, peduli amat yang gontok-gontokan di atas. Kalau yang di bawah yang terganggu, nah, saya akan khawatir Kang.."

"Begitu ya Gus.."

"Kan sampeyan paling rajin baca buku Juergen Habermas. Dia kan bilang ada yang disebut 'lifeworld' yang merupakan dunia makna suatu komunitas. Nah 'lifeworld' NU ya itu tadi, tradisi, khazanah keilmuan agama yang ribuan tahun, dan amalan-amalan yang diwariskan dan dijaga serta diamalkan oleh pesantren dan warga nahdliyyin. Kalau ini hancur, ya sudah gak ada artinya NU. Makanya saya dulu sering ke bawah dan silaturrahim kepada para Kyai di kampung-kampung, bukan untuk cari opularitas atau dukungan politik, tapi memelihara dan memperkuat 'lifeworld' NU itu. Nah, sekarang tergantung Kang Said, apakah PBNU dipakai untuk keperluan politik atau menjag dan melestarikan lifeworld NU yang makin terancam dengan modernitas, ekonomi pasar dan globalisasi itu?" Kata GD dengan sangat bersemangat

"Berat ya Gus tantangan memelihara dan melestarikan lifeworld NU ke depan?"

"Ya sama beratnya dengan yang dialami oleh tradisi dan komunitas agama-agama lain yang sedang menghadapi gempuran modernitas. Di kalangan Katolik, Protestan, Budhis, Hindu dan kelompok agama dan tradisi lokal, semuanya merasakan beban yang sma. Makanya dialog lintas peradaban dan agama sangat penting agar tidak terjebak pada politisasi terhadap "lifeworld'. Ujung-ujungnya nanti memakai kekerasan dalam menyikapi perubahan. NU harus mampu menjadi pemimpin dalam dialog ini di Indonesia karena sudah jadi mayoritas dan melakukan terobosan ke sana lebih dulu. Kalu ini berhenti, bukan cuma NU saja yang rugi, tetapi bangsa dan masyarakat Internasional juga..."

"Wah, ternyata jangkauan NU sampai ke wilayah global ya Gus.. seperti lambangnya." Saya berseloroh

"Kan memang maunya almaghfurlah Kyai Ridlwan Semarang ketika membuat lambang NU begitu. NU harus menjadi rahmatan lil 'alamin, bukan cuma untuk kepentingan politik segelintir elit PBNU.."

"Inggih Gus, tampaknya sudah siang ini. Silahkan diteruskan muthala'ah Kitab Nasho'ikh nya. Saya nyuwun pamit dulu ya.."

"Iya Kang, salam-salam saya saja ya buat semua."

"Assalamu'alaikum Gus.."

"Salaam.."

selengkapnya >>>

03 April 2010

KENANGANKU DENGAN GUS DUR (22)

Muhammad A S Hikam

Gus Dur Almaghfurlah sering mengingatkan saya akan pentingnya perubahan atau transformasi masyarakat yang memiliki acuan serta landasan yang kokoh, sehingga hasil dari perubahan tersebut bukannya malah mengasingkan diri kita (self-alienating). Dalam hal ini, saya menganggap GD memiliki cara pandang yang sama dengan para kritikus dari Madzhab Kritis Frankfurt (Frankfurt Critical School) semacam Mark Horkheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse, Walter Benjamin, dan tentu saja Juergen Habermas. Mungkin karena masa pertumbuhan intelektual GD pada tahun enampuluhan dan tujuhpuluhan sangat sarat dengan membanjirnya pemikiran kritis (critical theory) terhadap modernisasi yang memberikan pandangan-pandangan kritis terhadap modernitas dan modernisasi. Seperti kita ketahui, Madzhab Kritis Frankfurt memandang modernitas dan modernisasi sangat diwarnai oleh pemikiran postivisme dan mengutamakan apa yang disebut nalar instrumental (instrumental reasoning), sehingga menghasilkan proses perubahan yang mendalam dalam kehidupan manusia, termasuk menghasilkan peradaban modern, namun mengasingkan manusia dari dirinya sendiri. Kritik tajam mereka tertuang dalam karya-karya seperti Dialectics of Enlightenment (kerja bareng Adorno dan Horkheimer), One Dimensional Man (Marcuse), dan Knowledge and Human Interest (Habermas) yang, saya yakin, sudah dilalap habis oleh Gus Dur ketika masih berada di perantauan.


GD sebagai seorang cendekiawan sekaligus pekerja sosial yang aktif dalam wacana "pembangunanisme" (developmentalism) di masa Orba, tentu sangat paham mengenai permasalahan eksistensial modernisasi yang sedang berlangsung di negeri ini. Sebagai orang yang lahir, tumbuh dan dibesarkan dalam komunitas tradisional, tentu saja beliau menjadi bagian paling depan dari apa yang disebut target transformasi yang dilancarkan oleh pemerintah. Komunitas Islam, Pesantren dan NU, tentu dianggap (mula-mula) sebagai agama dan institusi-institusi yang berada di garda depan dalam menolak transformasi tersebut dan menjadi benteng bagi kekolotan dan konservatisme. Dengan konteks seperti ini, bisa dipahami bila kiprah GD dan pemikirannya selalu bergulat dengan problematika modernitas dan proses modernisasi serta eksistensi "life world", meminjam istilah Juergen Habermas, bernama dunia pesantren dan NU! Tak pelak jika literatur-literatur kritis dari kelompok kritis Frankfurt School dan intelektual lain seperti Paolo Freire, Albert Camus menjadi rujukan dalam menjawab tantangan tersebut. Bersama-sama para aktivis seperti Romo Mangun, Ibu Gedong, mas Johan Efendi, Cak Nur, Dawam Rahardjo, untuk menyebut beberapa nama, Al Maghfurlah sangat inten melakoni wacana dan praksis modernisasi. Hasilnya sangat spektakuler:bukan saja NU menampilkan diri sebagai institusi tradisional yang tetap memiliki relevansi dalam proses modernisasi, tetapi juga tampil sebagai salah satu leading sectors dalam perubahan.

Program Keluarga Berencana (KB), misalnya, tak mungkin akan sukses dan membuat Indonesia menjadi contoh lkeberhasilan dunia, tanpa dukungan NU dan para ulamanya. Di sektor politik, kreatifitas para Kyailah yang menemukan kompromi antara azas tunggal Pancasila dan akidah Islam sehingga dapat dihindarkan konflik ideologis yang pasti berdampak sangat sistemik. Di sektor ekonomi, NU dan lembaga-lembaga sosial ekonominya (mabarrod) aktof dalam melakukan berbagai kegiatan advokasi dan pemberdayaan masyarakat, termasuk yang dirintis mBah Kyai Sahal Mahfudz melalui LSM-LSM yg beliau dirikan. Bhakan NU melalui organisasi perempuannya seperti Muslimat, Fatayat dan IPPNU termasuk paling awal dalam perjuangan persamaan gender di negeri ini. Walhasil, NU berhasil menjawab tantangan modernitas dan modernisasi tanpa harus kehilangan "identitas" atau jati diri, apalagi keterasingan diri dari lingkungannya. Kekhawatiran Horkheimer dkk dapat ditepis melalui interpretasi ulang yang kreatif oleh GD dan Kyai-kyai NU terhadap khazanah yang dimiliki NU. Misalnya, untuk mengompromikan masuknya keharusan perubahan dan tradisi, GD selalu mengulang kaidah "Al Muhafadzotu 'alal Qodiimis Sholih, wal Akhdzu 'alal Jadiidil Ashlah," (mempertahankan yang lama yang masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik lagi). Dari kaidah ini, modrnitas dan modernisasi kemudian di;ihat sebagai sesuatu yang baru yang harus dikaji dan dipertimbangkan, apakah ia memiliki nilai tambah (added values) atau tidak. Dengan metode ini fleksibilitas dan kelenturan NU dapat mengawal perubahan dengan meminimalisasi ekses negatif.

Tapi GD juga mengingatkan bahwa sering kali saking ingin berubah cepat, maka orang-orang di dalam NU suka salah paham sehingga membuat orang lain bingung. Contohnya, kata GD, suatu hari beliau didatangi tamu dari salah satu kecamatan di bagian timur Jawa Timur. Sang tamu, konon, adalah Rois Syuriah MWC NU yang ingin lapor kemajuan NU di kecamatannya:

"Alhamdulillah Gus, sekarang MWC NU di tempat saya sudah punya kantor sendiri." Kata sang tamu

"Wah, Alhamdulillah, Yai.." Sambut GD dengan gembira

"Tapi ini masih ada masalah, Gus." Kata Pak kyai dengan logat Madura Pedalungan yang kental

"Lho, masih ada soal apa lagi, Yai?" Tanya GD

"Ya itu soal pembayaran eternitnya. Mahal Gus. Kalau Kantor cuma nyewa sejuta setahun, lha ini eternitnya sampai seratus ribu sebulan." Kata sang tamu

"Kok bisa ya Kyai. Eternit kan termasuk rumah, masak pakai mbayar sendiri." Kata GD bingung

"Itu lho Gus, yang dipakai cari informasi di komputer itu, kan eternit yang sewanya mahal.." Kata Pak Kyai

"Ooo, Masya Allah, maksud panjenengan Internet toh..." Kata GD sambil ngakak

Jadi karena saking cepetnya ingin berubah dan maju, kadang-kadang orang NU juga suka membuat kesalahan yang aneh-aneh. Sehingga hal-hal yang begini membuat orang menjadi kurang respek karena seolah-olah orang NU kurang memahami permasalahan. Padahal semangat perubahan itu memang sudah ada dan malah ingin cepat, tetapi karena kurang perhatian masalah detil jadinya malah salah paham. GD mengajarkan pada saya bahwa modernitas dan perubahan adalah suatu hal yang pasti di dunia, sehingga menolak perubahan adalah sama dengan menolak Sunnatullah. tetapi bagaimana mengembangkan strategi mengelola perubahan itulah kunci bagi keberhasilan kita. Modernitas dan modernisasi tak perlu dikutuk seperti yang dilakukan oleh Adorno dkk, yang perlu adalah dikelola dan dijawab sebagaimana mestinya.

selengkapnya >>>

02 April 2010

WAWANCARA IMAJINER DENGAN GUS DUR (3)

Muhammad A S Hikam

(Gus Dur sedang menerima tamu, Pak Rozi Munir, yang baru beberapa minggu lalu juga telah dipanggil menghadap oleh Allah swt setelah dirawat bebrapa waktu lamanya di RS. Keduanya sedang bercanda mengenang masa lalu ketika saya nylonong dan nimbrung. Setelah salaman dan cium tangan dengan GD, lalu menyalami Pak Rozi, saya mulai dialog ini:)

"Rame Gus, di Jakarta.." Saya memulai

"Kalau gak rame namanya bukan Indonesia.." celetuk Pak Rozi

"Rame tah mbulet, Kang..?" tukas GD

"Ya dua-duanya, Gus. Tapi apakah memang mbulet atau di mbuletkan, saya sendiri kurang paham. Itu lho Gus masalah rentetan Skandal Bank Century yang kayaknya gak selesai-selesai..."

"Ya memang gak akan selesai, wong memang tidak ada kemauan politik untuk menyelesaikan kok. Kan semua ini hanya untuk saling menyembunyikan dan penyesatan publik saja ..."

"Masak sih Gus. Kan tampaknya langsung dilakukan pemeriksaan, bahkan yang biasanya tidak bisa dilakukan ekstradisi dari Singapura saja sekarang bisa dicomot." Saya coba membela

"Lho, sampeyan ini gimana. Mestinya sampeyan kan harus kritis juga melihat keanehan-keanehan itu, bukannya malah menganggap semua normal dan bagus. Coba, apa mungkin kalau yang buron itu pengusaha kuat macam Djoko Tjandra, lalu pemerintah Singapura diem saja. Gak mungkin, Kang! Lalu kenapa itu yang pada lari ke Singapura sebelumnya gak sekalian dijemput saja, wong alamatnya juga jelas. Singapura kan lebih kecil dibanding Jakarta kok, pasti gampanglah dicari. Kalau memang mau dan Pemerintah Singapur juga mau."

"Lha lalu soal pemeriksaan yang cepat itu, Gus....?" Tanya saya

"Ah kalau itu, mah, sudah terlalu biasa.. Anget-anget tahi ayam. Paling kalau sebentar media dibuatkan sensasi baru ya lupa lagi. Emangnya kasus skandal BLBI yang Rp 600 triliun lebih itu sekarang sudah sampai dimana? Kan ndak jelas, toh..? Lalau soal Anggoro dan Anggodo yang kemarin bikin gegeran cicak vs buaya, sekarang sembunyi di mana? Ini juga kan. Skandal Centurygate masuk di bawah karpet... Supaya seru dibuat saja yang lain-lain..."
"Maksudnya akan ditelikung dan lenyap lagi, Gus..."

"Ya iyaa laah... Soalnya semua ini kalau diurut-urut, nyampainya juga orang-orang yang berada di pusat kekuasaan juga: parpol, pemerintah, DPR, lembaga dan aparat hukum, bahkan ke elit ormas, termnasuk ormas agama.."

"Ah.. masak misalnya NU juga..." Saya rada kaget dan memotong

"Oknum-oknum di NU, Muhammadiyah dll sudah lama Kang, dicurigai kecipratan dan "menikmanti" duit yang begitu-begitu itu. Ini kan seperti gurita raksasa yang tentakel atau belalainya merasuk kemana-mana. Jadi istilah korupsi berjamaah itu ya begitu itu. Imamnya ya di penguasa, makmumnya di mana-mana. Makanya susah mau membasmi."

"Pesimis dong Gus kalau begitu.."

"Gaaak... saya dari dulu ketika masih menjadi Ketum PBNU maupun Presiden dan Ketum Dewan Syuro PKB gak pernah pesimis. Memang tidak mudah dan perlu waktu, tapi ya kita jalankan saja. Kan Hadits mengatakan "barangsiapa melihat kemungkaran maka harus merubahnya dengan tangannya, atau denganlisannya, atau dengan hatinya walaupun yang terakhir itu adalah selemah-lemah iman." Jadi kalau sedang berkuasa ya kita gunakan kekuasaan, kalau tidak berkuasa ya melalui sikap kritis dan kampanye lewat media dsb. Minimal kita gak usah grubyag-grubyug ikutan mereka."

"Kasus yang meilbatkan Polri ini apakah saking sudah kacaunya lembaga itu atau gimana ya Gus. Kan dulu panjenengan yang mula-mula menjadikan Polri independen dan diletakkan di bawah Presiden langsung?." Tanya saya, memancing.

"Gini lho, Kang.. Polri kan sebelumnya di bawah TNI dan itu tidak bener, mosok aparat keamanan dalam negeri dan sipil kok di atur oleh, dan dengan cara tentara. Tapi kan memang begitu maunya Pak Harto dan TNI supaya bisa menggunakan Polri untuk mengawasi rakyat. Setelah Reformasi ya mesti diubah, maka Polri di buat independen dan untuk sementara supaya proses pemberdayaan terjadi dengan cepat dibawah Presiden langsung, Nantinya ya di bawah salah satu Kementrian saja, apakah Kehakiman, seperti di AS atau Kementerian Dalam negeri seperti di Rusia dll. Nah, Polri memang sudah lama menjadi tempat praktek kurang benar itu, sampai guyonnya kan hanya ada tiga polisi yang jujur: Pak Hugeng (alm), patung Polisi, dan polisi tidur... hehehehe...." GD, Pak Rozi dan saya tertawa ngakak...

"Terus gimana sekarang, Gus. Kan sudah lebih dari sepuluh tahun nih Reformasi Polri.." Lanjut saya

"Ya mau seabad pun kalau Presidennya gak tegas mana bisa Reformasi. Lha wong begitu saya dilengserin sama Amien Rais, Akbar Tanjung, dkk. lalu Megawati jadi Presiden, malah Polri mau dipakai sebagai alat politik gitu kok, masih ingat sampeyan?" Kata GD dengan nada agak naik.

"Bener Gus, dulu ada skandal kampanye Polri di Jateng. Kalau gak salah di Banjarnegara.." Kata saya

"Lha iyaaa... Jadi lagi-lagi yang tidak konsisten dengan reformasi Polri itu ya yang di atas, Kang. Padahal elit Polri sisa-sisa Orba itu kan belum sepenuhnya di Reformasi. Yang seperti pak Chaerudin Ismail, yang saya jadikan Kapolri dulu, kan gak banyak kang.. Yang banyak ya yang sekarang terlibat-terlibat kasus itu.."

"Wah kalau begitu masih bakal lama ya Gus membenahi Polri. belum lagi Kehakiman, Kejaksaan, MA.."

"MA itu yang paling parah, Kang. Kalau MA baik dan tegas serta adil, barangkali setengah persoalan hukum di Indonesia beres. Lha MAnya saja pengecut, istilah saya. Urusan pemakzulan saya kan sampai sekarang belum jelas secara konstitusional. Makanya banyak yang sekarang setelah saya tinggal mulai nggegeri gak karu-karuan..."

"Kalau dilihat dari rumitnya permasalahan reformasi, maka tampaknya soal Polri, Gayus, dll ini cuma permukaan saja ya Gus?"

"Ya jelaaas.. Dan itu nanti ya, lihat saja, gak akan kemana-mana. Lha gimana wong antara yang ditangkap dan yang menangkap ya sama saja. Semuanya maling... hehehe..."

"Kalau kaitannya dengan Sri Mulyani, Pak Boed, dan Pak SBY, nanti gimana, Gus..?"

"Itu nanti lain kali kalau kita ngobrol lagi..."

"Inggih Gus, matur nuwun dengan sharing pengalamannya. Ya didoakan saja supaya segera dapat pemimpin yang mampu tegas seperti njengenan."

"Ya do'a sih do'a, tapi yang lebih penting usaha, Kang. Sudah ya, ini saya mau diajak Rozi sowan ke tempatnya mBah Hasyim sebentar lagi."

"Monggo Gus, suwun. Assalamu'alaikum."

"Salaaam..." Jawan GD dan Pak Rozi barengan.



selengkapnya >>>