Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Seperti telah saya tulis sebelumnya, putusan Majelis Konstitusi (MK) mengenai jabatan Jaksa Agung (Jagung) Hendarman Supandji (HS) berpotensi menciptakan ramifikasi hukum dan politik di tingkat elite penguasa dalam skala besar. Belum juga basah kerongkongan Mahfud MD (MMD) setelah membacakan amar putusan sidang Majelis Hakim MK, serta merta pihak istana - yang dalam hal ini diwakili oleh Denny Indrayana (DI) dan Mensesneg Sudi Silalahi (SS) - sudah melakukan konter terhadap Ketua MK tersebut. Pasalnya adalah, apalagi kalau bukan, soal legalitas jabatan HS. Walaupun MMD adalah Ketua MK, toh ucapannya kemudian malah dijadikan titik tolak memukul dirinya. Melalui akrobat dan sulapan kata-kata yang hanya bisa dipahami oleh orang yang memang sudah terbiasa debat kusir tingkat tinggi, diciptakanlah penafsiran baru yang hakekatnya berusaha memburamkan putusan MK yang sudah terang-benderang itu.
presidenri.go.id |
Saya sama sekali tidak habis pikir, logika yang mana yang bisa membuat dua orang (yang satu Doktor ilmu Hukum dan yang satu pejabat negara sebagai Mensesneg) itu dengan gampang membuat kesimpulan tersebut. Dengan segala hormat saya ingin mengatakan bahwa hanya orang-orang yang memiliki ketebalan muka dan/atau kebebalan yang maha tinggi yang mampu dan tega tak jujur di depan publik serta rakyat negeri ini tanpa rasa bersalah dan rasa malu. Saya bertanya-tanya, apakah para punakawan ini tidak tahu atau tidak merasa bahwa dengan cara akrobat kata-kata seperti itu mereka sedang menggusur kredibilitas dan legitimasi Pemerintah dan Presiden di mata rakyat dan pandangan internasional? Lebih dari itu, bukankah dengan akrobat kata-kata yang kualitasnya kelas kambing itu mereka justru telah memberantakkan citra yang dengan susah payah dan biaya tinggi ini diciptakan, dipelihara dan dikembangkan bahwa Pemerintah ini adalah pendukung sistem demokrasi?
Namun alih-alih para punakawan Presiden itu menampilkan sebuah sikap kesatria dan beranjak dengan strategi penyelamatan dan damage control yang efektif. Malah kini sang Jaksa Agung pun ikut-ikutan mentang-mentang mengklaim dirinya masih sah sebagai pejabat tertinggi di Gedung Bundar itu. Alasan yang dipakai juga setali tiga uang: menunggu Keppres pemberhentian jabatannya! Astaga! Orang yang tidak sekolah hukum pun mesti paham bahwa putusan MK adalah the highest law in the land, hukum tertinggi di negeri ini. Amar putusan MK sudah "cetho welo-welo" menyatakan bahwa dia (HS) tidak lagi memegang jabatan Jagung karena dia sudah harus berhenti sejak bulan Oktober 2009 yang lalu ketika Kabinet Indonesia Bersatu ke II terbentuk. Kalau dia tetap ngeyel dan ngotot, pihak penegak hukum harus melakukan tindakan hukum untuk menghentikannya. Jabatan Jagung semestinya untuk sementara dipegang oleh Wakilnya sambil menunggu boss baru.
Akrobat dan sulapan hukum yang dipertontonkan oleh para punakawan Istana itu memang sangat memuakkan siapapun yang mau memakai common sense di Republik ini. Publik akan muak karena dihadapan mereka telah dan sedang dipertunjukkan sebuah bukti yang mendukung anggapan bahwa sejatinya yang paling tidak taat hukum di negeri ini adalah justru para petingginya, khususnya yang berada di sektor hukum! Demi gengsi dan kekuasaan, mereka akan melakukan apapun (termasuk silat lidah yang menghina kecerdasan) agar tetap bertahan. Sementara rakyat sudah makin paham tentang hukum: bahwa mau diapa-apakan juga kalau sudah putusan MK maka tidak ada lembaga negara yang manapun yang bisa mengabaikan (kecuali mau dengan paksa!).
Jujur saja, saya pun termasuk yang mula-mula mengikuti pendapat bahwa jabatan Jagung memiliki kesamaan dengan jabatan-jabatan setingkat menteri semacam Kapolri, Panglima TNI, dan Ka-BIN. Dengan demikian tak perlu ada pemberhentian Jagung ketika KIB ke II dilantik, sebagaimana dipahami oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH, MSc. Tetapi ketika MK selaku lembaga hukum tertinggi dan penentu terakhir penafsiran UU sudah memberikan putusan, saya dan semua orang yang mengaku dirinya warganegara RI, ya harus mengikuti dan patuh. Pejabat negara seharusnya yang paling awal menunjukkan kepatuhan tersebut, sebagaimana yang sering ditunjukkan oleh Presiden SBY dalam beberapa kasus yang melibatkan perbedaan pendapat hukum antara Pemerintah dan cabang lembaga negara lain.
Jika para punakawan Istana plus HS sekarang ternyata tetap bersikukuh melawan putusan MK, berarti mereka ini sudah tidak layak lagi bicara tentang demokrasi. Rakyat punya hak untuk meninjau kembali legitimasi politik dan moral yang telah diberikan kepada mereka. Kita masih bersyukur bahwa berbeda dengan mereka, kenegarawanan Pak SBY kelihatannya masih tetap utuh dalam menyikapi putusan MK dan beliau telah menyatakan akan mematuhinya. Inilah, saya kira, sikap yang bijaksana dan yang akan bisa memulihkan kepercayaan rakyat terhadap Pemerintah. Saya berharap, para punakawan yang sedang kebingungan memikirkan bagaimana cara menyelamatkan diri masing-masing itu tidak akan dihiraukan oleh Presiden. Karena mengurus kepentingan negara dan rakyat masih jauh lebih penting ketimbang mengurus ulah para punakawan yang sedang panik.
No comments:
Post a Comment