07 September 2010

MUDIK SEBAGAI SINERGI AGAMA DAN BUDAYA

   by Muhammad A S Hikam

Fenomen "mudik", bukan saja menjadi perhatian kita sebagai bangsa sang pemiliki tradisi tersebut. Kini, peristiwa "pulkam" (pulang kampung) tahunan dengan jumlah bahkan bangsa Amerika pun mulai terpesona dengankebiasaan yang menurut istilah mereka adalah "homecoming" itu. Tak kurang dari koran Amerika Serikat, The New York Times, edisi online, pada 6 September 2010 kemarin menyempatkan untuk menulis laporan khusus mengenai tradisi mudik di Indonesia "Indonesians Go Home, by the Millions," (Orang Indonesia pulang kampung dalam hitungan jutaan). Laporan sejenis di media elektronik seperti TV dan Radio, apalagi di negeri kita, sudah tak terhitung lagi jumlahnya dan bahkan dalam beberapa kasus dilakukan siaran langsung dari lokasi-lokasi yang dianggap strategis, seperti jalan raya di wilayah pantai utara (Pantura) Jawa dan sebagian jalan raya di Pulau Sumatera.


Tradisi mudik kini menjadi fenomen yang menarik perhatian global. Namun bagi saya yang lebih menarik adalah bahwa mudik salah satu bukti kemampuan inovasi budaya bangsa melalui sinergi antara ajaran agama dan kontekstualisasi masyarakat dan kesejarahannya. Seperti lazimnya sebuah tradisi, jarang orang sempat mengetahui atau memperhatikan kapan peristiwa itu mulai dan siapa pencipta atau penggagasnya. Bahkan, khusus untuk tradisi mudik ini, kedua persoalan itu tak penting artinya. Sebab sebagai sebuah peristiwa budaya ia berkait dan berkelindan dengan berbagai "tradisi" yang lain, seperti Halal bi Halal atau Lebaran dan berbagai upacara sebelum dan sesudah puasa, seperti "Nyadran," "padusan," "kupatan," dsb. yang dilaksanankan secara berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain, terutama di Jawa. Yang penting adalah tradisi mudik dan "saudara-saudara" nya merupakan rangkaian innovasi dan kreativitas budaya masyarakat dan bangsa kita, yang semakin melampaui batas-batas lokalitasnya dan mulai dikenal sebagai bagian dari khazanah budaya nasional dan universal. Ajaran agama yang mula-mula menjadi inspirasi perilaku komuntias dan masyarakat lantas dikombinasikan secara apik, lentur dan inklusif. Hasilnya, Lebaran dan mudik bukan lagi menjadi monopoli dan bahkan diklaim sebagai tradisi ummat tertentu (baca= kmunitas Islam), tetapi menjadi milik semua masyarakat negeri ini dan kini akan menjadi milik semua ummat manusia di dunia!

Tradisi mudik dan Lebaran, jadinya, adalah salah satu dari sekian contoh kemampuan penafsiran dan pelaksanaan keberagamaan yang inklusif ketika ia diletakkan dalam sebuah historisitas dan kemasyarakatan tertentu. Tidak semua masyarakat dan lokus kesejarahan mampu menciptakan inklusivitas seperti yang berhasil diciptakan ummat Islam dan bangsa Indonesia ini. Kita bisa mempertanyakan, mengapa tradisi lebaran dan mudik tidak terjadi di masyarakat atau bangsa, katakanlah, Saudi Arabia yang nota bene adalah tanah kelahiran agama itu sendiri. Kemampuan meracik, memahami, dan melaksanakan ajaran dalam sebuah konteks kesejarahan dan kemasyarakatan itulah yang memungkinkan munculnya inklusivitas sebuah tradisi yang mungkin bersumber dari ajaran agama yang khas. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial, seperti modernisasi dengan segala bawaannya (migrasi, urbanisaisi, transmigrasi, dsb), dan differensiasi peran dan fungsi ternyata tidak melunturkan tradisi-tradisi tersebut, tetapi malah menciptakan berbagai variasi di dalamnya.

Itulah sebabnya, menjadi sangat naif dan kontraproduktif manakala ada suara-suara atau penyikapan-penyikapan negatif menggugat tradisi seperti Lebaran, mudik, ziarah ke makam leluhur dan para wali, Nyadran, padusan dsb. dengan mempertanyakan otentisitasnya dari segi ajaran. Praksis budaya inovatif itu lantas disebut sebagai pelencengan (bid'ah), sesuatu yang bertentangan dengan ortodoksi ajaran dan praktik "Islami" dan, karenany, harus ditolak. Kebiasaan kelompok fundamentalis dan sebagian kelompok modernis Islam untuk menampik dan mengadili tradisi-tradisi seperti itu sebagai "di luar" ortodoksi, sejatinya lebih merupakan sebuah sikap apologetik dan rendah diri karena kegagalan mereka untuk memahami kompleksitas ajaran agama sebagai sesuatu yang multi tafsir dan kebutuhan akan aktualisasi serta penafsiran terus-menerus atasnya. Implikasi dari penyikapan seperti itu adalah sebuah model kehidupan individual dan kemasyarakatan yang sangat kering, hampa makna, tanpa kreatifitas, dan keterasingan (alienasi) dari hakekat kehidupan kemanusiaan yang penuh dengan warna.

Yang menjadi persoalan lebih penting, menurut hemat saya, adalah bagaimana mengelola berbagai inovasi tradisi yang sejatinya sangat berharga itu sehingga tidak menciptakan dampak-dampak yang negatif. Tradisi mudik, umpamanya, memerlukan pengelolaan yang professional sehingga menciptakan keuntungan dan kepuasan optimal bagi para pemangku kepentingannya. Bukan seperti sekarang, di mana mudik selalu masih diwarnai dengan banyaknya kecelakaan, kriminalitas, dan menurunnya disiplin dan produktivitas kerja. Hal-hal seperti ini tentu sudah berada di luar kehendak tradisi itu sendiri ketika ia muncul dan berkembang. Namun jika ia tidak dibarengi dengan kemampuan pengelolaan yang professional justru bisa mempengaruhi keberlangsungannya pada masa-masa yang akan datang. Itulah sebabnya, tradisi selalu mengandaikan adanya penciptaan kembali atas tradisi itu sendiri (reinventing tradition). Sebab tradisi bukanlah sesuatu yang secara intrinsik selalu tertutup dan beku, tetapi ia juga memiliki kemungkinan untuk terbuka dan menerima berbagai perubahan.

Selamat mudik dan merayakan Lebaran 1 Syawal 1431 H.



No comments: