Oleh Muhammad AS Hikam
President University
It's a deja vu all over again! Menteri Kominfo, Tifatul Sembiring (TF) tampaknya mulai berani lagi unjuk muka dan melempar wacana setelah rada tenggelam beberapa waktu terakhir. Kali ini dia mengomentari soal perampokan cum terorisme yang marak dalam beberapa bulan terakhir dan meresahkan publik di tanah air. Pasalnya, aksi-aksi perampokan itu telah melibatkan senjata api (senpi) dan diakukan secara sangat profesional, terorganisasi rapi, dan sasarannya adalah Bank dan ATM. Melalui operasi yang meibatkan Densus 88 Polri, beberapa penggerebekan dan penangkapan terhadap sebagian pelaku berhasil dilakukan. Dan Polri sangat yakin memang ada kaitan antara beberapa aksi perampokan tersebut dengan jaringan terorisme seperti kelompok Al Qaeda Aceh.
Sebagai salah satu aparat Pemerintah, selayaknya Menteri yang membidangi komunikasi dan informasi memberikan statemen yang menjernihkan dan kalau bisa menenteramkan publik, khususnya terkait dengan isu gangguan keamanan dan terorisme. Tapi sayang komentar TF soal ini, sama dengan sebelumnya ketika bicara tentang konten media beberapa waktu lalu, hemat saya malah berpotensi memancing kontroversi. Dia seolah menyangsikan perkaitan antara aksi perampokan dan penangkapan para anggota kelompok dengan jejaring teroris, dengan mengatakan bahwa "kalau semua disebut terorisme bisa repot". Karenanya, TS mengatakan bahwa "perlu penyelidikan terlebih dahulu sebelum menyatakan hal tersebut adalah terorisme."
Saya kira TS harus lebih arif ketika memberikan komentarnya dan bukannya malah cenderng memntahkan sebuah posisi yang sudah menjadi pilihan Pemerintah, khususnya aparat penegak hukum yang berwenang. Bagaimanapun TS adalah bagian integral dari Pemerintah dan dalam posisi petinggi dalam urusan informasi, termasuk informasi publik. Bukankah sudah sangat terang benderang bahwa apa yang terjadi di Medan adalah perampokan yang terkait dengan aksi terorisme? Bukankah pihak Polri, mulai dari jajaran terbawah sampai top pimpinannya, telah memberikan klarifikasi soal itu?. Kalaupun penangkapan para penggarong ATM yang terakhir belum diumumkan motivasinya, saya tidak melihat ada masalah kalau hal itu juga dikaitkan dengan aksi terorisme. Sebab modus operandi kelompok teroris ini sudah diketahui publik yaitu mencari sasaran yang menjadi tempat uang karena mereka mengalami kekeringan sumber pembiayaan. TS tidak perlu membuat statemen yang terdengar "meragukan" atau second guessing Polri yang implikasinya seperti tidak bisa membedakan mana perampokan yang terkait dengan aksi teror dan mana yang tidak. Sama dengan beberapa komentar TS dalam beberap kasusu strategis, yang satu ini juga berpotensi menciptakan kontroversi mengenai startegi pemberantasan terorisme yang telah dipilih dan dilaksanakan Pemerintah, cq Polri.
Hemat saya, TF juga tidak usah kebakaran jenggot kalau kemudian aksi teror dikaitkan dengan Islam, karena faktanya para teroris yang selama ini menciptakan keonaran dan kehancuran di negeri kita dan memakan korban manusia semuanya mengklaim sebagai pejuang Islam. Soal benar dan salah, biarlah hukum di negara yang bicara. Islam sebagai agama terlalu besar dan suci untuk dicemari oleh sekelompok gerakan radikal yang memakai cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Partai Islam seperti PKS justru punya tanggungjawab lebih besar karena para teroris itu secara langsung atau tidak telah menciptakan kesan negatif terhadap Islam dan gerakan serta organisasi (politik, sosial, budaya) Islam. Dan hal yang paling masuk akal untuk dilakukan PKS adalah dengan cara memberikan bantuan semaksimal mungkin kepada aparat penegak hukum termasuk Polri dalam pemberantasan tindak terorisme. Minimum dengan tidak membuat pernyataan yang kontra produktif seperti itu!
Sebagai salah satu partai politik terkemuka di negeri ini PKS tidak usah malah terkesan apologetik alias membela diri kalau memang tidak ada yang menuduh bahwa ia terlibat dalam aksi terorisme dan/atau memiliki gagasan atau ideologi yang mirip dengan mereka. Justru PKS harus menjadi pihak yang berada di barisan paling depan dalam upaya menampilkan sisi yang sering (sengaja atau tidak) dilupakan orang bahwa Islam mengajarkan kedamaian dan anti kekerasan. Sebagai sebuah kekuatan politik Islam yang menjanjikan dan mendapat apresiasi rakyat Indonesia, saya yakin PKS punya daya dan strategi yang baik untuk membantu memperkokoh barisan anti terorisme di masyarakat politik (political society) dan juga masyarakat sipil (civil society). Sebab PKS memiliki basis pendukung dari kalangan kelompok cendekiawan dan masyarakat kelas menengah kota dan saat ini bahkan memiliki asset pejabat di daerah maupun pusat.
Sebagai pentolan partai dan bagian dari elite politik nasional, TS tidak perlu terusik dengan munculnya wacana tentang ancaman terorisme dan fakta bahwa kriminalitas yang muncul akhir-akhir ini memang ada yang terkait dengan tindak terorisme. Mungkin yang dia perlukan adalah lebih banyak belajar dalam membuat statemen yang lebih bermanfaat dan produktif bagi bangsa yang sedang mengalami banyak tantangan dan cobaan ini.
29 September 2010
"IT'S A DEJA VU ALL OVER AGAIN," PAK TIFATUL !
27 September 2010
WAWANCARA IMAJINER DENGAN GUS DUR (10)
Oleh , Muhammad AS Hikam
Ketika sampai di tempat tinggal Gus Dur, malam masih muda dan purnama memancarkan sinar gemilang. Beliau sedang berada di taman menikmati keindahan sang rembulan ketika saya menghampiri dan mengucapkan salam:
"Assalamu'alaikum, Gus..." Kata saya sembari menyalami beliau dan mencium tangannya.
"Salaam, Kang... piye waras, tah? Kok tumben malam-malam..." Sambut beliau seperti biasa.
"Malem Sabtu, Gus, besuk kan nggak ke kantor, hehehe..." Jawab saya.
"Kita ngobrol di taman ini saja sambil menggadangi rembulan, kayak istilah di buku Silat Cina itu...hehehe..."
"Inggih Gus, indah banget ya suasananya. Itu pohon apel kok bisa bercahaya keemasan kalau malam ya Gus?"
"Ya inilah salah satu kekuasaan Allah swt yang manusia di dunia belum bisa melihatnya.. Subhanallah.." jawab beliau sambil istighfar.
"Subhanallah... sayangnya di negeri kita saat ini manusia malah saling berkonflik dengan alasan agama, Gus." Kata saya membuka topik.
"Persoalan pokoknya ada di pemimpinnya, bukan rakyatnya, apalagi rakyat kecilnya. Mereka ini kan cuma dibawa-bawa untuk dipakai dan dimanipulir oleh para pemimpin..." Kata beliau.
"Maksudnya pemimpin di pemerintahan, Gus?" Sela saya.
"Mirip judul buku njenengan Gus," celetuk saya..
"Hehehe... tapi bener toh, Kang? Selama ini konflik dan kekerasan atas nama agama di Indonesia kan akarnya ada di pemahaman keagamaan yang kemudian diekspressikan dalam pengalaman beragama di komunitas dan masyarakat, tetapi tidak nyambung, tidak kompatibel. Misalnya pemahaman relasi agama Islam dengan non-Islam. Bagaimana bisa nyambung dengan kenyataan masyarakat majemuk kalau pemahaman keagamaan mengajak untuk bermusuhan, misalnya?" Kata GD
"Contoh konkretnya bagaimana, Gus?" Saya meminta elaborasi beliau.
"Gini ya, kan banyak tuh para ustadz dan aktivis gerakan Islam yang mengutip ayat "waman yabtaghi ghoiral islaaama dinan, falan yuqbala minhu wa huwa fil aakhiroti minal khosiriin," dan juga "waman lam yahkum bimaa anzalallaah fa ulaaika humul kaafirun/ dholimuun/faasiquun." (barangsiapa yang mengikuti din selain Islam maka Allah tidak akan menerimanya, dan ia termasuk dalam kelompok orang-orang yang merugi.... dan barangsiapa tidak menerapkan hukum-hukum yang telah diturunkan Allah maka ia termasuk orang-orang Kafir/ Dzalim/ Fasik). Pemahaman yang kurang tepat terhadap ayat-ayat seperti itulah yang bisa menjadi bibit hubungan yang penuh dengan suasan konflik..." Gus Dur berhenti sejenak, sambil menghela nafas.
" Sebagian para Kyai dan Ustadz dan tokoh pergerakan Islam, terutama yang beraliran fundamentalis, menafsiri ayat-ayat itu seolah-olah ummat Islam memusuhi mereka yang beragama bukan Islam karena toh mereka ini dianggap kafir dan ditolak Allah swt. Demikian juga kalau ada masyarakat atau negara yang tidak menerapkan Hukum Syari'ah, maka lalu dianggap negara atau masyarakat yang Kafir, dzalim atau Fasik. Karenanya harus ditolak dan diperangi, kalau perlu menggunakan kekerasan dan makar. Pandangan saya, ayat-ayat tersebut tidak bisa dijadikan dasar kita memusuhi non Muslim dan memaksakan Hukum Syariah di negeri kita. Ayat pertama kaitannya adalah urusan dalam (self-understanding) kita sendiri tentang amal, yaitu bahwa amal perbuatan yang diberi pahala di sisi Allah swt, hanyalah amal perbuatan orang Islam. Jadi kata "lan yuqbala" itu artinya adalah "lan yutsaabu" (tidak diberi pahala). Konsekuensinya siapa saja bisa beramal dan berbuat termasuk non Muslim dan ummat Islam tak boleh menolak perbuatan-perbuatan orang di luar mereka. Perkara amal itu diberi pahala atau tidak kan prerogatif Allah swt, nanti di akhirat. Bukan urusan manusia di dunia."
" Kalau soal penerapan Syariah, Gus?"
" Yang kedua, ayat tentang penerapan hukum itu, kita harus tahu bahwa hukum itu dinamis, bergerak. Ia sangat terkait dengan sejarah perkembangan masyarakat, bangsa, negara. dsb. Kalau hukum Islam yang dimengerti hanya sempit sebagaiamana dimengerti dan dipahami oleh satu kelompok, pasrti malah membuat Islam tidak "rahmatan lil-'alamin." Hukum Syari'ah tidak harus kaku, tidak harus memakai nama Hukum Islam. Lha kalau dalam prakteknya diskriminatif, kan sama juga bohong. Di negeri yang majemuk seperti Indonesia, Fiqh hanyalah bagian komplementer dari sistem hukum negara. Ia harus dipelihara dan dikembangkan kapasitasnya, tetapi hukum positif harus tetap berupa hukum nasional yang dibuat oleh mereka yang berwenang sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi."
"Lha itu Gus ada penerapan Syariah di Aceh..." Saya mencoba menyela
"Penerapannya seharusnya tidak boleh kontradiksi dengan hukum nasional. Saya tidak setuju ada hukum pidana Islam tersendiri seperti yang berlaku di Aceh, karena itu melanggarhukum nasional KUHP. Otonomi Khusus di Aceh berlaku untuk melindungi budaya termasuk tradisi Islam. Namun demikian dalam soal hukum, seharusnya hanay terbatas pada hukum privat. Kalau dipaksakan seperti sekarang, bisa berdampak negatif bagi kehidupan bernegara secara keseluruhan." Kata GD menjelaskan/
"Memang Gus, keinginan meniru penerapan Syariah seperti di Aceh muncul misalnya di Papua Barat, dengan Perda yang ingin menyatakan daerah itu eksklusif untuk ummat Kristen. Konon ada yang menguslkan Perda Injil atau semacam itu." Kata saya.
"Nah itulah, nanti jangan-jangan Bali, Minahasa, Maluku dll pada ikut-ikutan. Nah ini yang saya maksud Pemerintah dan elit politik akhirnya terpengaruh karena kepentingan sesaat mereka akhirnya tergoda mengikuti tarikan-tarikan partikularisme seperti itu." Kata Gus Dur
"Makanya kata kuncinya mengenai soal konflik yang melibatkan agama adalah soal pemahaman keagamaan yang disesuaikan dengan konteks perkembangan masyarakat dan negara. Indonesia itu walaupun secara jumlah dikatakan mayoritas Muslim, faktanya adalah masyarakat majemuk. Para founding fathers kita, termasuk mBah Hasyim Asy'ari dan Pak Wahid Hasyim, menyadari sepenuhnya kekhasan ummat islam dan warga bangsa kita. Makanya mereka tidak ngotot memaksakan penerapan Syariah Islam. Yang penting semangat dan pesan substantif Islam seperti keadilan, kepastian hukum, perlindungan hak-hak dasar (ushulul khams), dan kepentingan publik (al maslahah al 'ammah) tercakup dalam hukum positif RI, sudah cukup."
"Terus gimana Gus menyelesaikan konflik semacam di Bekasi itu?" tanya saya.
"Ada dua asek yang harus dikerjakan, Kang. Aspek pemahaman tadi yg harus dikerjakan oleh pemimpin agama dan masyarakat Indonesia, bukan saja yang Muslim tetapi semuanya. Kedua ya negara, mesti tegas dan imparsial kalu menghadapi pelanggaran hukum. Imparsialitas atau tidak memihak itu dalam pengertian membuat aturan dan bertindak melaksanakan aturan. Aturan yang diskriminatif semacam Keputusan Bersama Menteri (KBM) tentang pendirian rumah ibadah, ya mesti direvisi. Lalu penegakan hukum terhadap para provokator, inisiator, dan pelaku kekerasan harus diterapkan tanpa memandang bulu. Jangan karena khawatir tidak populer dalam Pemilu dan pilkada, lalu bisa diobok-obok para pembuat onar. kalau ada pejabat negara yang ikut menjadi otak kerusuhan itu ya tangkap saja dan diadili. Gitu aja!"
"Suwun Gus, sudah agak larut ini, walaupun udara kok tidak terasa dingin, ya.. saya pamit dulu, Insya Allah, sowan lagi nanti."
"Iya Kang, mudah-mudahan pemerintah dan pemimpin agama bisa kerjasama dengan baik. Kasihan rakyat yang sudah miskin masih diprovokasi untuk berantem sesama rakyat. Elitnya mah.. enak-enakan ngomong sana sini, ditayangkan tivi, jadi selebriti...hehehe...."
"Assalamu"alaikum, Gus." Saya mengucapkan salam setelah mencium tangan beliau.
"Salam Kang.."
selengkapnya >>>
26 September 2010
KUDOS UNTUK PRESIDEN SBY!
Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Akhirnya akal sehat dan kebijaksanaan menang. Barangkali itulah kesimpulan yang bisa kita ambil setelah Presiden SBY menerbitkan Keppres No. 104/2010 yang berisi pemberhentian Hendarman Supandji (HS) dari jabatannya sebagai Jakgung hari ini. Kita ucapkan selamat dan pujian (kudos) untuk Pak SBY yang telah menunjukkan kualitasnya sebagai seorang pemimpin yang memberi contoh kepada rakyat Indonesia agar taat kepada hukum yang berlaku di tanah air ini (the law of the land). Seperti yang sama-sama kita harapkan dalam posting-posting di fb dan blog serta artikel di media yang saya tulis, Presiden SBY mengabaikan kepanikan para punakawann istana dan lebih memperhatikan kepentingan bangsa dan negara. beliau akhirnya memberhentikan Hendarman Supandji dari jabatan Jakgung, ketimbang meriskir negeri ini dilanda oleh krisis hukum dan politik karena kontroversi atas putusan MK mengenai status jabatan Jakgung HS.
Para punakawan lainnya yang juga seyogyanya mendapat evaluasi adalah Mensesneg Sudi Silalahi (SS) dan Menkumham Patrialis Akbar (PA). Menurut hemat saya, PA lebih punya kans untuk di kocok ulang (reshuffle) ketimbang SS, yang punya riwayat kedekatan pribadi dengan Pak SBY. Lagipula, SS dalam kasus Kejakgung ini memang bukan orang yang punya kepakaran apalagi posisi yang berkaitan dengan hukum. Mungkin Pak SBY cukup memberikan teguran saja agar SS membina kantor kesekretariatan negara secara lebih professional. Tetapi bagi Menkumham, ceritanya berbeda. Seperti DI, sang staf ahli hukum, PA seharusnya mampu memberi input yang tepat serta perlindungan kewibawaan Presiden dan Pemerintah dengan, minimal, suatu damage control management and actions yang cepat dan efektif. PA kalau toh masih akan dipertahankan sebagai anggota Kabinet (karena posisinya sebagai petinggi PAN), mungkin diberikan portfolio kementerian yang lain dan tidak sestrategis Kemenkumham.
Hemat saya, dengan langkah yang diambil ini, Presiden SBY telah bertindak bijaksana dan, saya kira, proses ke arah perbaikan citra dan kinerja lembaga eksekutif akan dapat dilakukan lebih cepat. Misalnya, melalui reshuffle Kabinet dan merenovasi para staf ahli di West Wing Indonesia ini dengan merekrut orang-orang yang lebih mumpuni, baik secara kapasitas keahlian maupun integritas moral. Saya berharap Pak SBY tidak terlalu berlama-lama lagi dalam melakukan streamlining Kabinet dan stafsus beliau, karena sudah terbukti bahwa keluhan publik mengenai kelemahan dan kemampuan mereka memang sangat beralasan.
Untuk calon Jakgung yang baru, saya termasuk mendukung harapan masyarakat agar ia diambil dari kalangan non-karir dan yang memiliki kecakapan, pengalaman, dan, lebih penting lagi, keberanian serta kemandirian untuk melakukan reformasi sektor penegakan hukum yang sudah makin terancam mengalami pembusukan dari dalam itu. Apakah calon itu Bambang Widjojanto (BW), Busyro Muqoddas (BM), atau yang lainnya yang sekarang punya kiprah di luar pemerintahan, tak masalah. Yang penting mereka ini sudah diketahui punya rekam jejak (track reord) yang dinilai baik oleh publik serta reputasinya di bidang hukum benar-benar tak tercela.
Bravo dan kudos buat Presiden SBY dan semoga langkah yang telah menenangkan rakyat ini bisa menjadi pijakan bagi langkah-langkah progresif beliau selanjutnya. selengkapnya >>>
ALAMAK... MENKUMHAM PUN TERNYATA TIDAK PAHAM
Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Seorang sahabat yang mengomentari posting saya kemarin (24/9/2010) dengan nada setengah bertanya dan setengah mengritik menulis: "kemana saja Menkumham Patrialis Akbar (PA) dalam polemik seputar putusan MK?" Bukankah seharusnya sebagai Menteri yang berurusan dengan hukum, PA menjadi penyambung lidah istana yang sedang "dikerjain" oleh banyak pihak usai keluarnya putusan MK itu. Saya pikir benar juga, maka kemudian saya meneruskan pertanyaan itu dalam komentar di posting lain, dan tampaknya tidak terlalu banyak yang punya minat menjawab pertanyaan sahabat tersebut. Ada satu jawaban yang cukup menarik, yaitu barangkali PA tiarap dulu. Saya balik mengomentari dengan mengatakan bahwa jangan-jangan PA sedang siap-siap ngepak barang-barang di kantornya karena sebentar lagi akan kena kosok ulang (reshuffle) KIB ke II.
Ilustrasi |
Sama seperti sahabat saya yang menanyakan kenapa PA diam, saya juga menganggap hal ini bukan sesuatu yang biasa-biasa saja. PA mungkin tidak sepakat dengan cara yang dipakai oleh para kolega punakawan yang mencoba menggunakan jurus akrobat dan sulapan kata-kata hukum untuk mengcounter Ketua MK, Mahfud MD. PA mungkin juga jengah dengan sikap Hendarman Supandji (HS) yang keukeuh bahwa posisinya sebagai Jakgung masih tetap. PA, yang sebentar lagi bakal jadi pensiunan menteri kalau memang ada kocok ulang terjadi, lebih jauh mungkin juga sudah ogah ikut campur urusan lembaga yang sebentar lagi toh bakal dia tinggalkan. Ketimbang ikut ribet tapi tidak akan memperoleh imbalan yang memadai, mendingan diam dulu. Siapa tahu akan ada celah yang bisa dia pakai untuk melakukan come back. Namanya juga politik, yang konon adalah "the art of the possible," seni dari segala kemungkinan.
Itu yang saya pikirkan sebelum pada akhirnya PA ikut nimbrung semalam. Bayangan saya, PA sedang menanti arah angin politik dan instrukti boss partainya untuk merespon perkembangn dari kemelut dikalangan elite penguasa. Sebab jika PA dan sang boss bisa bermain cantik, hasil dari kemelut yang masih belum kelihatan arahnya ini bukan tidak mungkin bisa dikapitalisasi untuk kepentingan 2014. Dengan semakin mendekatnya masa kampanye dan belum jelasnya konstelasi kekuatan politik untuk bertarung memperebutkan tiket capres dan cawapres, maka setiap dinamika politik di tingkat elit harus dicermati, diperhitungkan, dan direspon dengan seksama dan akurat. Momen yang sedang berkembang saat ini terkait kecarut-marutan manajemen kontrol masalah Jakgung, sangat penting dan besar potensinya bagi kredibilitas Pemerintah dan parpol yang mendukungnya. Jika PAN salah memilih langkah, maka partai yang sedianya punya kans menjagokan kadernya sebagai orang nomer satu atau dua di negeri ini bisa gigit jari.
Apapun spekulasinya, membisunya Menkumham yang punya tugas pokok mengomandoi bidang hukum dalam pemerintahan seyogyanya tidak boleh terlalu lama. Apalagi buat seorang PA yang sudah malang melintang sebagai tokoh yang dikenal vokal dan selalu berada di barisan depan dalam wacana dan kiprah politik, apakah sebagai petinggi partai, anggota parlemen, atau anggota Kabinet. Kalau PA memiliki keberanian membela kebijakan memberi remisi besar-besaran kepada para koruptor kakap dengan meriskir dirinya tidak populer di mata para aktivis anti korupsi, maka kalau soal putusan MK mestinya hanya soal waktu.
Dan benarlah, karena ternyata PA juga lantas membikin pernyataan pers di kantornya dan malam nya diwawancara di TVOne. Ternyata, persis sama dengan para punakawan istana sebelumnya, pendapat Pak Menkumham yang satu ini juga mencoba mementahkan putusan MK. Hanya sayang karena pendapat yang dikemukakan terlalu klise. orang justru akan bertanya: "Kok Menkumham juga tidak paham?" Bukan itu saja, argumen PA yg kemudian saya baca menunjukkan ketidakmampuannya membedakan antara uji materi hukum dan uji kebijakan publik. Dia juga tidak tahu bahwa MK bisa saja membuat sebuah kebijakan yang didasari penafsiran UU tertentu dinyatakan batal demi hukum. Contoh paling segar adalah Keputusan KPU tentang cara menghitung ulang sisa suara putaran ke tiga, yang dinyatakan keliru oleh MK dan harus diganti.
Orang boleh setuju atau tidak tentang cara kerja MK, atau motif personil Hakim Agung di lembaga itu. tetapi sebagai seorang pemimpin yang menjunjung proinsip dan praksis demokrasi, seharusnya PA menjadi teladan bagi rakyat bahwa ia patuh terhadap keputusan lembaga, buka kepada keputusan pribadi para Hakim Agung MK. Kepercayaan terhadapa lembaga (trust to the institution) adalah salah satu inti nilai yang harus dipegang dalam membangun sistem demokrasi dan pemerintahan yang demokratis. selengkapnya >>>
24 September 2010
PUTUSAN MK DAN KEPANIKAN PARA PUNAKAWAN ISTANA
Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Seperti telah saya tulis sebelumnya, putusan Majelis Konstitusi (MK) mengenai jabatan Jaksa Agung (Jagung) Hendarman Supandji (HS) berpotensi menciptakan ramifikasi hukum dan politik di tingkat elite penguasa dalam skala besar. Belum juga basah kerongkongan Mahfud MD (MMD) setelah membacakan amar putusan sidang Majelis Hakim MK, serta merta pihak istana - yang dalam hal ini diwakili oleh Denny Indrayana (DI) dan Mensesneg Sudi Silalahi (SS) - sudah melakukan konter terhadap Ketua MK tersebut. Pasalnya adalah, apalagi kalau bukan, soal legalitas jabatan HS. Walaupun MMD adalah Ketua MK, toh ucapannya kemudian malah dijadikan titik tolak memukul dirinya. Melalui akrobat dan sulapan kata-kata yang hanya bisa dipahami oleh orang yang memang sudah terbiasa debat kusir tingkat tinggi, diciptakanlah penafsiran baru yang hakekatnya berusaha memburamkan putusan MK yang sudah terang-benderang itu.
presidenri.go.id |
Saya sama sekali tidak habis pikir, logika yang mana yang bisa membuat dua orang (yang satu Doktor ilmu Hukum dan yang satu pejabat negara sebagai Mensesneg) itu dengan gampang membuat kesimpulan tersebut. Dengan segala hormat saya ingin mengatakan bahwa hanya orang-orang yang memiliki ketebalan muka dan/atau kebebalan yang maha tinggi yang mampu dan tega tak jujur di depan publik serta rakyat negeri ini tanpa rasa bersalah dan rasa malu. Saya bertanya-tanya, apakah para punakawan ini tidak tahu atau tidak merasa bahwa dengan cara akrobat kata-kata seperti itu mereka sedang menggusur kredibilitas dan legitimasi Pemerintah dan Presiden di mata rakyat dan pandangan internasional? Lebih dari itu, bukankah dengan akrobat kata-kata yang kualitasnya kelas kambing itu mereka justru telah memberantakkan citra yang dengan susah payah dan biaya tinggi ini diciptakan, dipelihara dan dikembangkan bahwa Pemerintah ini adalah pendukung sistem demokrasi?
Namun alih-alih para punakawan Presiden itu menampilkan sebuah sikap kesatria dan beranjak dengan strategi penyelamatan dan damage control yang efektif. Malah kini sang Jaksa Agung pun ikut-ikutan mentang-mentang mengklaim dirinya masih sah sebagai pejabat tertinggi di Gedung Bundar itu. Alasan yang dipakai juga setali tiga uang: menunggu Keppres pemberhentian jabatannya! Astaga! Orang yang tidak sekolah hukum pun mesti paham bahwa putusan MK adalah the highest law in the land, hukum tertinggi di negeri ini. Amar putusan MK sudah "cetho welo-welo" menyatakan bahwa dia (HS) tidak lagi memegang jabatan Jagung karena dia sudah harus berhenti sejak bulan Oktober 2009 yang lalu ketika Kabinet Indonesia Bersatu ke II terbentuk. Kalau dia tetap ngeyel dan ngotot, pihak penegak hukum harus melakukan tindakan hukum untuk menghentikannya. Jabatan Jagung semestinya untuk sementara dipegang oleh Wakilnya sambil menunggu boss baru.
Akrobat dan sulapan hukum yang dipertontonkan oleh para punakawan Istana itu memang sangat memuakkan siapapun yang mau memakai common sense di Republik ini. Publik akan muak karena dihadapan mereka telah dan sedang dipertunjukkan sebuah bukti yang mendukung anggapan bahwa sejatinya yang paling tidak taat hukum di negeri ini adalah justru para petingginya, khususnya yang berada di sektor hukum! Demi gengsi dan kekuasaan, mereka akan melakukan apapun (termasuk silat lidah yang menghina kecerdasan) agar tetap bertahan. Sementara rakyat sudah makin paham tentang hukum: bahwa mau diapa-apakan juga kalau sudah putusan MK maka tidak ada lembaga negara yang manapun yang bisa mengabaikan (kecuali mau dengan paksa!).
Jujur saja, saya pun termasuk yang mula-mula mengikuti pendapat bahwa jabatan Jagung memiliki kesamaan dengan jabatan-jabatan setingkat menteri semacam Kapolri, Panglima TNI, dan Ka-BIN. Dengan demikian tak perlu ada pemberhentian Jagung ketika KIB ke II dilantik, sebagaimana dipahami oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH, MSc. Tetapi ketika MK selaku lembaga hukum tertinggi dan penentu terakhir penafsiran UU sudah memberikan putusan, saya dan semua orang yang mengaku dirinya warganegara RI, ya harus mengikuti dan patuh. Pejabat negara seharusnya yang paling awal menunjukkan kepatuhan tersebut, sebagaimana yang sering ditunjukkan oleh Presiden SBY dalam beberapa kasus yang melibatkan perbedaan pendapat hukum antara Pemerintah dan cabang lembaga negara lain.
Jika para punakawan Istana plus HS sekarang ternyata tetap bersikukuh melawan putusan MK, berarti mereka ini sudah tidak layak lagi bicara tentang demokrasi. Rakyat punya hak untuk meninjau kembali legitimasi politik dan moral yang telah diberikan kepada mereka. Kita masih bersyukur bahwa berbeda dengan mereka, kenegarawanan Pak SBY kelihatannya masih tetap utuh dalam menyikapi putusan MK dan beliau telah menyatakan akan mematuhinya. Inilah, saya kira, sikap yang bijaksana dan yang akan bisa memulihkan kepercayaan rakyat terhadap Pemerintah. Saya berharap, para punakawan yang sedang kebingungan memikirkan bagaimana cara menyelamatkan diri masing-masing itu tidak akan dihiraukan oleh Presiden. Karena mengurus kepentingan negara dan rakyat masih jauh lebih penting ketimbang mengurus ulah para punakawan yang sedang panik. selengkapnya >>>
23 September 2010
SATU KOSONG UNTUK YUSRIL IHZA MAHENDRA VS JAGUNG HENDARMAN SOEPANDJI
Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Lagi-lagi, MK membuat sebuah putusan yang setidaknya sangat menarik (kalaupun tidak kontroversial) dan berimplikasi politis dalam skala besar. Hari ini, lembaga yang berwenang menguji Konstitusionalitas semua produk Undang Undang di Indonesia itu memutus bahwa Hendarman Soepandji (HS), Jaksa Agung yang sekarang masih bertugas, sudah berakhir masa jabatannya sejak tgl 9 Oktober 2009 yang lalu. Kendati demikian, Ketua MK, Prof Dr. Mahfud MD, SH, MH, ketika membacakan amar putusan MK tersebut menyatakan bahwa putusan tersebut tidak berlaku surut tetapi ke depan. Artinya kendati HS dianggap telah berhenti hampir setahun lalu, tetapi semua kebijakan dan putusannya masih berlaku (sampai putusan ini berlaku) dan tidak batal demi hukum.
Yang repot sekarang adalah, jika putusan MK itu harus berlaku pada saat ditetapkan, berarti Presiden harus segera mengangkat Jaksa Agung baru. Karena jika tidak, maka akan terjadi kekosongan hukum yang implikasi hukum dan politisnya sangatlah hebat. Apakah Presiden, yang sudah woro-woro beberapa waktu belakangan ini untuk mengganti Jagung, Kapolri dan Panglima TNI itu, akan benar-benar mengangkat Jagung besuk pagi? Ataukah masih adalagi celah-celah hukum (legal loopholes) yang bisa "dimainkan" oleh Pemerintah dan Kejagung agar tidak terjadi kesan bahwa penggantian HS sangat mendadak?. Bukan itu saja. Jika Presiden tidak mengikuti putusan MK maka akan menjadi preseden buruk karena beliau seakan-akan dipermalukan karena kekeliruan beliau dalam prosedur pengangkatan pejabat negara yang semestinya tak perlu (dan memang belum pernah) terjadi itu.
Presiden SBY dan Pemerintahannya benar-benar seperti judul buku roman Balai Pustaka "Tak Putus Dirundung Malang." Belum kelar soal kerusuhan dan kekerasan berbau SARA dan sebelumnya kisruh perbatasan antar RI dan Malaysia, hari ini ada kabar duka dari Hamparan Perak, Sumut, karena Mapolseknya dihantam teroris dan menelan korban tiga aparat Polisi yang sedang bertugas di sana. Sekarang ditambah lagi dengan jatuhnya putusan MK yang kendati secara legal formal nyaris tidak akan berakibat apapun terjadap Pemerintah, tetapi secara politik dan legitimasi akan sangat serius bagi Presiden, Jagung, dan jajarannya.
Presiden SBY yang masih memiliki masa kerja empat tahun, kini seperti yang sering disebut dalam jargon ilmu politik sebagai "the lame duck President" atau Presiden yang mirip bebek lemah sasaran tembak para pemburu. Alih-alih Presiden mampu menegakkan kewibawaan cabang eksekutif dan menjadi sektor utama (leading sector) bagi proses tata pemerintahan, justru kini kondisinya seolah-olah maju kena mundur pun kena. Padahal isu reshuffle atau kocok ulang Kabinet juga sedang bertiup kencang dan tampaknya President telah mengirim sinyal melalui para staff khusus beliau dan para petinggi partai Demokrat bahwa hal itu sangat mungkin terjadi. Saya tidak bisa membayangkan apabila kocok ulang tersebut kemudian direspon negatif baik oleh pasar politik (baca= parpol, dpr, dan sebagainya) maupun pasar ekonomi. Jelas hal itu akan semakin memperbesar beban yang harus ditanggung oleh mesin pemerintah dalam beberapa waktu mendatang. Dalam skenario yang pesimis, bukan tak mungkin Pemerintahan ini benar-benar akan menjadi "a lame duck government", alias pemerintah yang letoy dan tak dapt bekerja.!
Kondisi demikian sangat sudah tentu sangat mengkhawatirkan, apalagi dalam konteks situasi keamanan dan ketertiban masyarakat juga rentan dengan gangguan kaum teroris dan cenderung memanas akibat konflik horizontal yang dibumbui aksi kekerasan. Saya samasekali tidak menyukai atau bahkan tak berharap skenario yang kelam dan kacau (a doom and gloom scenario) akan muncul. Namun ketika berbagai variabel yang bisa memicu krisis sistemik ini bermunculan saling susul menyusul dan seakan tak tertangani oleh pemerintah, tak urung saya pun harus memberikan analisa yang semoga saja tak terjadi!
Dalam konteks putusan MK itu, tentu pihak yang merasa puas adalah Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH, MSc (YIM) karena beliaulah yang meminta MK melakukan uji materil UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI terhadap Pasal 1 ayat 3 dan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Namun dibalik kegembiraan YIM, pastilah terselip juga kemasygulan. Karena bagaikan membuka kotak pandora, bisa saja karena putusan MK ini akan bermunculan pelbagai implikasi (politik, hukum, sosial) yang tak terpikirkan sebelumnya. Saya bukan ahli hukum, namun orang tidak perlu menjadi gurubesar ilmu hukum untuk tahu bahwa putusan MK yang satu ini memiliki dampak yang sangat serius terhadap jalannya pemerintahan.
Dari sisi politik makro, pertikaian antara YIM vs HS tak pelak lagi adalah cerminan masih berlangsungnya konflik antar elit yang belum juga dapat dikontrol oleh pihak yang berkuasa. Perlawanan YIM yang semula cenderung marjinal dalam wacana dan praksis politik elit, makin lama makin menyeruak dan menggelinding bak bola salju. YIM kini menikmati status sebagai pihak yang "di dzolimi" oleh penguasa, sebuah status yang dulu juga pernah disndang Pak SBY. Dalam kultur politik Indonesia, status menjadi sang teraniaya ini, jika diolah dengan baik dan ditopang oleh mesin pencitraan yang efektif akan bisa menciptakan idola baru bagi massa maupun res-publica. Apakah ini memang sebuah bukti bahwa masyarakat kita masih belum selesai mengidap sindroma "orang kalah" ataukah karena memang bangsa kita memnyukai orang-orang yang teraniaya untuk kemudian tampil sebagai sang Pahlawan? Saya tidak tahu. Yang menarik adalah, dengan kemenangan yang sejatinya "cuma" simbolis ini, YIM bakal mendulang siimpati lebih besar dan beliau pun akan memiliki ruang manuver yang lebih luas. Saya yakin, media akan semakin mengarahkan perhatian dan simpatinya kepada YIM. Begitu pula, MK akan semakin mendulang kudos (pujian) karena "keberanian"nya melakukan "terobosan" hukum dan "kemandirian"nya vis-a-vis kekuasaan.
Walhasil, Pemerintah harus bersiap-siap menghadapi perguliran "bola panas" politik dari kemenangan satu kosong YIM vs HS ini, dan juga kenyataan bahwa MK makin memiliki keadrengan dalam politik (political assertiveness) itu. Kalau nanti hasil kocok ulang Kabinet juga tidak mulus diterima oleh parpol (yang menjadi sasaran kocok ulang), bukan tak mungkin Pemerintah juga harus bersiap menghadapi Fraksi-fraksinya di DPR. Semuanya ini bisa berakumulasi kepada sebuah situasi politik elit yang tidak kondusif untuk terciptanya sinergi ntar elit. Akankah bangsa ini menyaksikan situasi penuh ketegangan ini selama empat tahun yang akan datang? Jawabnya terpulang kepada kebijaksanaan para pemimpin kita. selengkapnya >>>
DENSUS 88 DAN PENANGKAPAN KOMPLOTAN PERAMPOK MEDAN
Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Jababeka, Cikarang, Jabar
Di salah satu status facebook saya beberapa waktu lalu, saya menulis bahwa aksi perampokan bersenjata api (senpi) di beberapa daerah kemungkinan dilakukan oleh para teroris yang sedang mengumpulkan dana, karena semakin seretnya sumber-sumber finansial mereka. Saya berargumen demikian karena sebetulnya aksi perampokan merupakan salah satu MO (modus operandi) konvensional dan sering dipilih oleh berbagai organisasi teroris, baik nasional maupun internasional, untuk mendapatkan dana cepat bagi kebutuhan operasi. Karenanya saya samasekali tak kaget ketika Densus 88 yang kemarin (20 September 2010) berhasil meringkus para buronan perampok Medan mengaitkan dengan jejaring teroris Al Qaedah di Aceh. Saya juga tidak heran ketika petinggi Polri mengumumkan bahwa, konon, sebagian dari mereka adalah anggota Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) di bawah pimpinan Abu Bakar Ba'asyir (ABB).
Kelompok JAT sebelumnya juga terindikasi menjadi salah satu penyuplai dana dalam pelatihan teroris di Aceh tampaknya mengalami kemunduran (setback) yang cukup serius akibat penetrasi dan operasi aparat Polri yang cukup efektif bukan saja dalam mengikuti gerak- gerik mereka, tetapi juga melakukan pukulan telak terhadap sebagian dari operasi-operasi dan rencana operasi mereka. Penangkapan ABB dan beberapa tokoh teras JAT beberapa waktu lalu, adalah "the last straw" (tali pegangan terakhir) yang mengharuskan para anggotanya melakukan tindakan kepepet dan kalap (desperate act) seperti perampokan berdarah dengan melibatkan personel yang cukup banyak dan dilaksanakan di siang bolong. Tentu saja aksi kepepet dan kalap semacam ini beresiko tinggi, setidaknya tingkat kerahasiaan mereka makin tak terjaga dan kemungkinan terdeteksi sangat tinggi. Apalagi saat ini publik juga semakin gerah terhadap keganasan dan kebrutalan para teroris itu sehingga informasi mengenai keberadaan mereka makin mudah diperoleh.
Hemat saya, kemungkinan Densus 88 salah identifikasi atau salah tangkap ataupun bahkan dianggap sewenang-wenang melakukan penembakan terhadap kawanan teroris di Medan dan Lampung itu sangat kecil, untuk tidak mengatakan tak mungkin. Sebab pelacakan baik melaui intelijen tertutup maupun terbuka dari informasi publik sudah sangat cukup bagi squad anti teror itu untuk memantau, menentukan titik pusat lokasi, merencanakan aksi pergerakan, dan melakukan penggerebekan serta penangkapan. Saya juga tidak menyangsikan bahwa apa yang dilakukan oleh satuan anti teror tersebut legitimate dan bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, sebab akan riskan sekali apabila ada kemungkinan dari mereka, utamanya para benggolan teroris itu, bisa lepas dari pengepungan tersebut. Demikian juga upaya kelompok teroris untuk semakin membabi buta dalam meneror publik akan semakin besar karena mereka telah kehilangan pemimpin dan merasa makin terdesak posisinya.
Itulah sebabnya, ketimbang mengumbar spekulasi yang tak berdasar terhadap tindakan anggota Densus 88 dalam menangkal aksi teror dan organisasi teroris, saya kira lebih produktif bila para pembela HAM di negeri ini juga ikut memberikan dukungan agar bahaya terorisme semakin cepat dituntaskan sehingga keamanan dan kedamaian pulih kembali di masyarakat. Sikap hati-hati, kritis dan teliti adalah sikap terpuji dan bahkan sebuah keharusan, tetapi bukan spekulasi berlebihan yang nyaris berujung pada tuduhan yang serampangan. Tuduhan tanpa dasar bukti, saya rasa, hanya akan membantu para pendukung terorisme untuk semakin vokal dan mentang-mentang, dengan berlindung di balik perlindungan HAM.
Berulangkali saya mengemukakan pendapat bahwa kaum teroris dan para sponsornya telah kehilangan haknya untuk menuntut perlindungan HAM karena mereka jelas-jelas melakukan pengabaian, pelanggaran, dan kejahatan berat terhadap HAM dan kemanusiaan. Bagi saya para pembela HAM yang sok membela hak asasi para teroris, kalau tidak sedang keblinger pikirannya, mungkin karena mereka sangat takut terhadap reprisal (balasan ) dari kelompok tersebut. Saya berpendapat, terorisme dan HAM tidak akan pernah bisa berdiri berendeng di dunia nyata, karena masing-masing tegak pada dua pandangan, paradigma, prinsip, dan visi yang saling bertentangan, ibarat air dan api. Bisa saja para pendukung terorisme berbaik-baik ketika terpojok dan bahkan pura-pura berlindung di balik demokrasi dan HAM, tetapi ketika ada kesempatan bergerak, hal pertama yang mereka lakukan adalah menghancurkan kedua pilar utama masyarakat beradab tersebut.
Untuk kesekian kalinya, saya mengucapkan selamat dan sukses kepada Polri dan Densus 88 atas kerja keras mereka melindungi masyarakat dan bangsa Indonesia dari kejahatan terorisme yang ingin menghancurkan NKRI. Saya juga berharap seluruh komponen bangsa bersikap tegas dalam menghadapi ancaman dan bahaya yang sangat terang-benderang (clear and present danger) ini. Semoga Allah swt memberikan petunjuk kepada kita dan mereka yang benar-benar mengikuti jalanNya, bukan jalan mereka yang sesat dan yang dimurkai olehNya. Amin..
MEMBANGUN PUSARA SANG PENAKLUK
Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Barangkali karena sedang suntuk menghadapi perkembangan situasi yang serba rumit berkaitan dengan relasi antar-agama dan berbagai implikasinya, Pemerintah kini berusaha memainkan jurus mengambil hati, khususnya hati para nahdliyyin. Tanpa basa-basi, hari ini (20 September 2010) rapat Kabinet mengagendakan sebuah topik baru: renovasi makam Almaghfurlah KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di Jombang. Kendati memang rencana pembangunan itu sempat muncul, dan langsung memicu kontroversi karena akan menelan ratusan miliar rupiah, tetapi kabar itu masih sebatas wacana di tingkat Kabupaten Jombang atau paling jauh Propinsi Jatim. Baru hari ini Presiden secara resmi membawa agenda tersebut sampai ke sidang Kabinet dan langsung menganggap pembangunan makam ini prioritas. Itulah setidaknya yang dikatakan oleh Menko Kesra Agung Laksono kepada para kuli tinta. Tentu tidak ada asap tanpa ada api, kalau soal pembangunan makam - yang menurut keluarga Almaghfurlah sendiri, konon, tak perlu itu - lalu dibawa ke sidang Kabinet dan serta merta disiarkan kepada pers.
Saya bukan penggemar teori konspirasi atau suka dengan istilah "pengalihan isu" yang kerap dialamatkan kepada penguasa yang sedang kebingungan. Namun harus saya ajui rasanya janggal juga kalau Pemerintah kemudian membawa-bawa soal renovasi makam GD yang sepertinya tidak menjadi prioritas bagi kepentingan bangsa atau rakyat itu kemudian menyeruak jadi agenda rapat maha penting itu. Alasan bahwa negara perlu menghormati Sang mantan Presiden ke IV dan Bapak pluralisme Indonesia pun, terdengar kurang pas. pasalnya, sudah jelas bahwa rakyat umumnya dan kaum nahdliyyin khususnya tidak merasa butuh ada renovasi makam beliau. Apalagi tradisi Nu pantang membuat makam yang mewah-mewah macam milik para Sultan atau raja-raja. Yang sangat dibutuhkan, menurut mereka, adalah fasilitas bagi ribuan peziarah yang tiap hari membanjiri makam Abdurrahman Sang Penakluk: pelebaran jalan ke makam, penataan tempat parkir, dan penggeseran gothakan atau asrama para santri di ponpes Tebuireng. Semuanya itu dalam rangka supaya para peziarah merasa lebih nyaman.
Bagi GD dan para anggota keluarga beliau, tak ada terbersit sedikitpun untuk meminta agar makam sang Guru Bangsa itu menyaingi atau sekedar mirip Astana Giribangun atau makam Bung Karno di Blitar atau sebangsanya. sesuai tradisi pesantren NU, maqbaroh (makam) Gus Dur ya seperti makam-makam sang ayah, KH Wahid Hasyim, dan Roisul Akbar NU, mBah Hasyim Asy'ari, sang kakek tercinta. Tradisi pemugaran makam bukannya dilarang, tetapi seperti makam para auliya' (para wali), biasanya lebih mementingkan tempat bagi peziarah, karena merekalah yang benar-benar memerlukan kenyamanan, kekhusyu'an, dan suasana kesyahduan. Jadi kalau soal memugar makam GD sendiri, sejatinya hal itu adalah urusan nomer sekian. Dan terus terang hal itu tidak perlu jadi urusan Pemerintah. Kalau memang keuarga Almaghfurlah mau, tinggal mengajak urunan kepada kaum nahdliyyin, pasti milyaran rupiah dengan cepat akan terkumpul. Dan Insya Allah tidak akan ditilep satu senpun!
Kalau Pemerintah masih ngotot dengan rencana memugar makam GD, ia beresiko mengulangi lagi kesalahan taktis tetapi berdampak strategis. Alih-alih membuat rakyat dan para peziarah senang, ia justru akan menuai kritik dan mungkin penolakan karena tidak sesuai dengan tradisi kaum nahdliyyin yang lebih mengutamakan kesederhanaan. Apalagi jika hasil akhirnya hanya akan membuat kegiatan ziarah makin repot atau membuat kedekatan makam GD dengan rakyat kecil malah terganggu. Sebagai orang yang pernah ikut galang-gulung dengan beliau, saya tahu persis bahwa salah satu hal yang paling beliau hindari dalam hidup adalah menyusahkan orang lain. Saking tidak mau merepotkan orang, saya kadang-kadang sering kebingungan kalau menawari beliau apakah memerlukan ini atau itu ketika bertamu. Beliau pasti bilang: "ndak usah repot, Kang.." atau: "nanti saja kalau sudah semua kebagian.." Kendati sikap itu kadang juga merepotkan beliau, tetapi memang itulah pilihan dan etiket yang beliau pakai.
Jadi, saya berharap bahwa Pemerintah tidak terlalu kemayu ingin menyenangkan ummat Islam atau kaum nahdliyyin tetapi dengan cara yang kurang pas. Kalau Bupati, DPRD, Gubernur, dll maunya mewah-mewahan, ya memang cuma sampai di situ kapasitas konseptual tentang penghormatan yang ada di kepala mereka. Tetapi jangan sampai Pak SBY, yang notabene adalah orang yang dekat dan sangat menghormat GD, tidak tanggap terhadap sasmito dari keluarga GD dan tradisi kaum nahdliyyin. Negara, memang wajib menghormati mantan Presidennya, dan Gus Dur lebih dari layak untuk memperoleh penghormatan tersebut. Namun alangkah baiknya jika penghormatan tersebut sesuai dengan tempatnya atau dalam bahasa pesantren disebut "muqtadzol hal". Artinya disesuaikan dengan sifat beliau yang sangat akrab dengan rakyat dan tradisi kaum nahdliyyin tidak menganggap penting kemewahan sebuah makam. Akan lebih bijaksana dan mengambil hati para nahdliyyin dan rakyat pada umumnya jika yang diprioritaskan adalah pelayanan kepentingan publik, dalam hal ini fasilitas bagi publik umumnya dan peziarah khususnya.Insya Allah jasa Pak SBY akan terpatri dalam sanubari jutaan peziarah yang telah, sedang, dan akan terus datang ke maqbaroh GD sampai hari akhir nanti.
Jazakumullah Khairal Jaza', Pak SBY...
16 September 2010
SUMBER MALAPETAKA KERUKUNAN UMMAT BERAGAMA
Oleh Habil Saklitinov Alkasfahani
Kerukunan hidup beragama dengan tingkat tolertansi yang tinggi serta jaminan keamanan ketika menjalankan aktifitas keagamaan secara bersama-sama masih menghadapi problematika yang pelik dan akan terus mengalami ujian yang berat.
Intoleransi dalam kerukunan umat beragam ini terganggu sejak lahirnya beberapa aliran atau organisasi garis keras yang terus menyuarakan bahwa dirinyalah yang paling benar dan yang lain salah, kebenaran mutlak seolah berada di dalam genggaman tangan mereka. Sebenarnya golongan garis keras ini bukan hanya menindas kebenaran yang dimiliki oleh golongan diluar keyakinan mereka saja tetapi juga mereka kerap melakukan penindasan secara implicit terhadap kelompok yang berada diluar golongan tetapi menganut Tuhan yang sama (seaqidah)
Gong Perdamaian (google images) |
Kita sudah menyaksikan begitu banyak rentetan kekerasan atas nama agama, baik secara fisik ataupun non fisik. Menurut saya keduanya adalah perbuatan biadab yang harus dihentikan. Dalam hal ini pemerintah melalui SKB 3 mentru telah berupaya melakukan penyelesaian atas berbagai konflik yang berkaitan dengan kerukunan hidup beragama di Negara yang konon berlandaskan Pancasila.
Aturan yang tertuang di dalam SKB 3 mentri ini menjadi acuan bagi gubernur, walikota atau bupati, camat, lurah, ketua RW dan RT dalam menyelesaikan berbagai permasalahan msyarakat yang terkait dengan kerukunan umat beragama, itu adalah nada optimism yang muncul di benak beberapa orang yang menghendaki SKB 3 mentri dikeluarkan. Din Syamsudin pun mengacungi jempol atas dikeluarkannya SKB 3 mentri karena beliau mengatakan bahwa Indonesia memang perlu instrumen hukum bagi upaya membangun kerukunan antarumat beragama yang sejati. Penandatanganan aturan soal rumah ibadah ini, ia anggap sebagai alat untuk menghindari konflik antarumat beragama
Namun demikian menurut beberapa kalangan yang mencoba menganlisa lebih dalam mengenai isi SKB 3 mentri ini, ternyata mereka mendapati bahw SKB 3 mentri menjadi sumber malapetaka bagi kerukunan umat beragama di Indonesia yang berasaskan Pancasila.
Malapetaka atau sumber konflik itu muncul manakala kita membaca dengan arif isi SKB 3 Menteri ini pada Pasal 14 ayat (2) dimana tertulis “Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3); b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota. “
Persyaratan dukungan minimal 60 orang masyarakat setempat, selain 90 orang yang akan menjadi jemaah suatu rumah ibadah, juga akan sangat problematis. Aspek persetujuan 60 orang itu akan sangat rawan manipulasi, politisasi, dan bisa menjadi lahan perseteruan. Bisakah kita membayangkan minoritas Kristen di tengah-tengah mayoritas Islam akan dengan mudah mendapat restu minimal 60 orang masyarakat setempat ketika hendak membangun sebuah gereja? Itulah sumber konflik dari pembangunan tempat ibadah umat Kritiani dengan penduduk setempat yang mayoritas beragama Islam. selengkapnya >>>
12 September 2010
BELAJAR DARI TRAGEDI 11 SEPTEMBER
Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Kota Jababeka, Cikarang, Jabar
Dalam memperingati tragedi 11 September, Sabtu kemarin (hari ini waktu Indonesia), bangsa Amerika menghadapi sebuah pertanyaan yang menukik kepada keberadaannya sebagai bangsa yang dikenal sebagai pecinta kemerdekaan, Hak Asasi Manusia, dan toleran terhadap perbedaan. Di tengah-tengah suasana keharuan, kemarahan terpendam, dan bayang-bayang kekhawatiran yang dirasakan rakyat Amerika ini, muncul pertanyaan menggugat: Masihkah prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang membuat Amerika sebagai Amerika itu bertahan? Ataukah mereka hanya menjadi slogan-slogan kosong dan bahkan ideologi yang, dalam kata-kata Marx, tak lebih dari sebuah "kesadaran palsu" (false consciousness) belaka?
Tragedi serangan teroris pada 11 September 2001 itu bukan hanya menampar kebanggaan diri bangsa Amerika secara fisik. Ia memiliki dampak lebih dalam dan serius dalam psyche bangsa ini karena dalam sejarahnya yang lebih dari dua abad sebagai bangsa yang besar dan adidaya, baru sekali itulah musuh mampu melakukan serangan di dalam negeri dengan korban yang sangat besar. Amerika telah malang melintang di hampir semua pelosok planet bumi dengan kekuatan militer, ekonomi, dan budayanya. Hampir tak ada kawasan di dunia yang belum disentuh oleh militer AS dan pengharuhnya kepada komunitas, masyarakat dan bangsa di mana ia berada. tentu, Amerika dan kekuatan militernya juga telah dan sedang mengalami berbagai kekalahan dan kemunduran (Vietnam, Irak, Lebanon, Mogadishu, Afghanistan, dll). Tetapi semuanya terjadi di luar Amerika dan umumnya di wilayah-wilayah yang lokasinya sangat jauh dari tanah air dan, bahkan, jangkauan bayangan rakyat Amerika.
Tak dapat disangkal lagi bahwa aksi teroris Al-Qaeda pada Sabtu kelabu itu telah menyentakkan seluruh kesadaran akan keberadaan bangsa Amerika bahwa mereka bukanlah bangsa dan negara yang imun dari serangan ke dalam negeri. Karena kesadaran ini maka sangat wajar jika kemudian tampil dalam berbagai bentuk: kemarahan, kekecewaan, malu, dan juga penyesalan serta tekda untuk melakukan perbaikan. Ekspressi campur-aduk seperti ini tentulah tidak mudah untuk diendapkan dan dicarikan jalan keluar yang mampu memberikan kepuasan batin dan pengembalian harga diri (self-respectability) dan harkat (dignity) sebagai bangsa. Alih-alih, sebagian pemimpin negeri Paman Sam itu justru memilih jalan keras: melampiaskan kemarahan kepada pihak lain atas nama perang melawan teroris dan terorisme global. Hasilnya adalah dua peperangan besar yang menguras sumber daya finansial Amerika dan menimbulkan korban baik dari pasukan Amerika maupun penduduk sipil tak bersalah dengan jumlah yang sangat besar!
Sembilan tahun telah lewat dan proses penyembuhan (yang berjalan dengan sangat perlahan) belum juga tampak. Malahan, kini bangsa Amerika menyaksikan dua kutub peristiwa yang menampilkan sisi dan paradigma eksistensial yang sangat berlawanan. Di satu sisi adalah kutub kemarahan, kebencian (hatred), kekecewaan, dan pelampiasan membabi buta. Di sisi lain adalah kutub kesadaran akan pentingnya penegakan kembali prinsip-prinsip ke Amerikaan agar bangsa ini mampu meneguhkan jati diri dan menegakkan kebesarannya. Yang pertama kita saksikan dalam bentuk kampanye Pendeta Terry Jones yang mengajak pengikutnya untuk membakar Al-Qur'an di Florida. Yang kedua kita saksikan dalam bentuk Projek Rumah Cordoba di dekat Ground Zero, Manhattan Bawah, New York. Ia adalah upaya masyarakat (khususnya komunitas Muslim) untuk membangun sebuah Masjid dan pusat kegiatan lintas-agama. Kedua peristiwa ini sudah pasti berlandaskan dan mencerminkan filosofi dan paradigma yang saling berlawanan mengenai keberadaan bangsa dan proses menjadi Amerika saat ini dan akan berimplikasi jauh di masa depan.
Hemat saya, jika gerakan Pendeta Terry Jones yang muncul sebagai paradigma dominan maka bangsa dan negara Amerika sebagaimana yang selama ini dibayangkan, diimpikan dan diinginkan oleh rakyat Amerika dan masyarakat dunia sudah pasti akan lenyap. Ia akan berganti menjadi sebuah bangsa yang menakutkan bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Bangsa itu tak berhak lagi mengklaim diri sebagai mercusuar (beacon) untuk para pencari kebebasan dan kemerdekaan, serta sebagai tanah harapan bagi para pendamba kebebasan. Namun sebaliknya jika proyek Rumah Cordoba berhasil, maka proses penyembuhan dalam psyche bangsa Amerika akan memperoleh dukungan kuat dan, Insya Allah, akan mempercepatnya. Tragedi 11 September dan terorisme, kendati pernah melukai bangsa ini, tak akan bisa menyurutkan apalagi menghancurkannya. Bahkan Amerika, bisa jadi, akan memiliki standing yang lebih kokoh dan kuat di antara bangsa-bangsa di dunia, dan posisinya sebagai salah satu contoh sukses sistem demokrasi dan perlindungan HAM akan semakin dibuktikan.
Sejarah jualah yang akan membuktikan mana di antara dua paradigma eksistensial yang saling berlawanan ini pada akhirnya akan dipilih oleh rakyat dan bangsa Amerika. Sebagai bangsa dan negara yang memiliki kemajemukan yang mirip dengan Amerika, niscaya kita perlu belajar dari pengalaman ini. Bangsa dan negara kita pun telah menjadi korban teror dan para teroris yang menyebabkan terjadinya korban nyawa dan harta yang sangat besar. Sudah sepantasnya jika bangsa kita melakukan soul searching dan perenungan akan hakekat kebangsaan kita dan jalan yang akan kita tempuh untuk menyelesaikan persoalan ini. Kita harus menolak tegas-tegas menggunakan paradigma yang dianut oleh Pendeta Terry Jones atau kaum jihadi radikal yang ingin mencapai tujuan dengan menggunakan kebencian dan fanatisisme serta kekerasan. Kita justru mencobe meniru apa yang kini dilakukan oleh pemrakarsa Rumah Cordoba di New York, dengan konteks Indonesia. Persahabatan, dialog, dan sikap tenggang rasa terhadap sesama anak bangsa harus menjadi landasan, disertai penghormatan terhadap hak-hak dasar mereka sebagai warganegara RI. Dengan cara itulah bangsa dan negara kita akan menjadi bangsa yang besar dan menjadi tauladan bagi bangsa dan negara sekitar, dan bahkan bagi dunia. Amin..
Jakarta 12 September 2010 selengkapnya >>>
11 September 2010
KENANGANKU DENGAN GUS DUR (26): IDUL FITRI 1431H
ANAMNESIS
Kupandangi kursi-kursi kosong di ruang tamu, sepi pun menyelinap
Vas-vas kembang bercerita tentang Idul Fitri yang senyap
Tiada lagi tanganmu yang kucium penuh harap
Dan doa terhablur lewat mata nan sembab
Asaku menerawang menembus kaca-kaca melewati kelam
Pagi ketika kubersimpuh di hadapanmu dalam diam
Kata-kata pun lebur dalam makna temaram
Menghunjam sanubariku, tak pernah kan padam
Idul Fitri kali ini kulewati tanpa canda dan tawamu lagi
Hanya foto-foto di tembok dan serpihan rindu di hati
Dan cerita cerita tentangmu yang tak pernah usai
(Di luar, seekor burung kepodang bernyanyi
mewartakan cintanya kepada pagi)
Telah kusiapkan batin dan semangatku semenjak subuh
Bersama putaran biji tasbih menggetar ruh
Bersama denting embun yang jatuh
Pada dahan, pada ranting, pada rerumputan teduh
Bersama lantunan takbir, tahlil, dan tahmid
Bersama para muqarrabin membisikkan wirid
Bersama para 'arifin saksimu sebagai syahid
Dan sayap-sayap Jibril menutup langit
Akan kucoba lewati hari-hari tanpamu
Menelusuri jalan-jalan yang pernah kita lalui
Menemukan jejak-jejak langkah para pendahulu
Merangkai kembali kembang-kembang yang berserakan di bumi
Pamulang - Ciganjur, 11 September 2010
selengkapnya >>>10 September 2010
IDUL FITRI TANPA HATINURANI
Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Kota Jababeka, Cikarang, Jabar
"Tahukah kamu, siapakah orang yang mendustakan agama?
Itulah orang-orang yang menghardik anak-anak yatim
Dan menolak memberi makan orang-orang miskin
Maka celakalah orang-orang yang shalat yang lalai terhadapnya
Hanya karena ingin memamerkan diri (riya')
Serta enggan memberikan bantuan"
(QS 107: 1-7).
Lebaran Idul Fitri 1431H yang sangat diagungkan oleh ummat Islam dan seluruh bangsa Indonesia, menurut pendapat saya, telah tercemari oleh ulah Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan (AH), dengan proyek kartu lebarannya yang menelan Rp 2, 5 miliar. Bukan saja ulah tersebut sangat menyinggung rasa keadilan rakyat miskin di Jabar, khususnya, dan rakyat Indonesia pada umumnya, tetapi juga berpotensi melanggar etika good governance and government, serta dapat menimbulkan antipati terhadap proses Reformasi dan demokratisasi. Tambahan pula, proyek kartu lebaran yang menggunakan uang negara itu juga menunjukkan arogansi dan sikap tidak sensitif terhadap para penganut agama lain (baca-non Muslim) yang secara khusus tidak merayakan lebaran. Menjadi sebuah teka-teki yang menarik untuk ditebak, misalnya, spakah AH nanti juga akan membuat kartu-kartu Natal dan Tahun baru yang juga atas biaya APBD dengan besaran yang setara? Bagaimana dengan kartu perayaan Imlek, Nyepi, dsb?
image sumber : suara-islam.com |
Setahu saya, ajaran Islam yang mulia sangat mengedepankan akhlaqul karimah yang isinya termasuk bersikap lemah lembut dan tidak arogan serta menonjolkan diri. AH sangat jauh dari "uswatun khasanah" (contoh mulia) Nabi besar Muhammad saw, ataupun sahabatnya, Sayyidina Umar Ibn Khattab yang hidup sederhana, kendati beliau-beliau tersebut sangat sukses dan membawa perubahan luar biasa dalam kehidupan ummat manusia. Kalau kita mau jujur mempertimbangkan, AH masih belum layak disebut Gubernur Jabar yang sukses melabihi para pendahulunya. Namun hal itu tidak menghentikannya untuk menciptakan kultus individu yang memuakkan siapa saja yang berhatinurani!
Seharusnya, bulan Ramadhan dan Idul Fitri digunakan oleh para pemimpin untuk menampilkan diri menjadi contoh dan tauladan kepada rakyat. Bagi m,ereka yang beragama Islam tentunya bagaimana mereka dapat menerapkan prinsip-prinsip kepemimpinan: amanah (terpercaya), sidiq (jujur), tabligh (menyampaikan pesan), dan fatonah (cerdas). Itulah sifat-sifat kepemimpinan profetik (kenabian) yang diajarkan oleh Islam. Sayangnya, yang dipertunjukkan AH adalah kebalikan dari semua prinsip kepemimpinan tersebut, sehingga sejatinya rakyat Jabar khususnya dan Indonesia umumnya tidak layak mengganggapnya sebagai seorang pemimpin.
Idul Fitri di Indonesia tahun ini, benar-benar terasa menyesakkan dan gelap karena digelayuti mendung tebal berupa ulah para pemimpin yang telah mengecewakan rakyat dan menyelewengkan amanat mereka. Tanpa merasa malu, para pemimpin itu memanipulasi ajaran dan tradisi yang sangat baik seperti lebaran itu, tradisi yang mengajarkan kesantunan dan perhatian kepada mereka yang terpinggirkan (mustad'afin). Semoga Allah swt memberikan balasan yang setimpal terhadap manusia-manusia yang mencederai perintahNya untuk bertindak adil dan bersikap santun terhadap mereka yang masih belum mampu. Khusus untuk Gubernur Jabar, saya kira dia perlu membaca dan menghayati kembali makna Surah Al-Ma'un yang saya kutip di awal tulisan ini.
selengkapnya >>>
09 September 2010
RESHUFFLE KABINET? "IT'S THE SYSTEM, STUPID!"
Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Kota Jababeka, Cikarang, Jabar
Bukan Ahmad Mubarok (AM) orangnya kalau tak pandai membuat sensasi. Ditengah-tengah suasana Lebaran Idul Fitri 1431H yang umumnya disambut dan dirayakan dengan bungah dan meriah, "prediksi" AM seperti guyuran hujan di Jakarta akhir-akhir ini. Semua jadi gelap, membuat kemacetan dan keribetan luar biasa, dan tentu saja perasaan ...yang haru biru. Terutama untuk ketiga parpol koalisi dan personelnya yang disebut-sebut oleh AM, Kalu berdasarkan penilaian yang dibuat oleh Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yg dipimpin Pak Kuntoro Mangkusubroto (KM), maka publik sudah punya tebakan: PAN (Patrialis Akbar/Menkumham). PKS (Tifatul Sembiring/Menkominfo), dan PPP (Suryadharma Ali/Menag).
source : inilah.com |
Padahal, perkara reshuffle atau tak reshuffle sejatinya bukan soal yang terlalu penting untuk jalannya Pemerintahan empat tahun ke depan. Saya lebih cenderung melihat akar permasalahan keterpurukan kinerja Pemerintah bukan dari para Menteri secara pribadi kendati ia memang bisa menjadi salah satu faktor penunjangnya. Akar permasalahannya adalah sistem dan manajemen sistem pemerintahan (Governance andd management system) yang memang mengalami proses disfungsi dan tidak mampu untuk memberikan hasil yang ditargetkan (deliverables). Manajemen Pemerintahan yang dibuat dan dikembangkan saat ini mengidap terlalu banyak kontradiski internal yang kemudian menjadi penyakit dalam dan membuat kelembaman (inertia) kinerja. Sebaik apapun manajer dan pelaksana sistem akan menghadapi berbagai kemacetan (gridlocks) yang pada gilirannya mengganggu produktivitas dan deliverables nya.
Sistem manajemen Pemerintahan yang seperti ini, kendati mengalami penggantian "suku cadang" (termasuk Kabinet) berkali-kali, tidak bisa diharapkan untuk membuat optimasi kinerja. Justru sebaliknya, penggantian-penggantian tersebut bisa makin menambah potensi gridlocks di lapangan. Apalagi jika suku cadang ini sangat dipengaruhi oleh partai politik yang memiliki motif dan logika sistem yang berbeda dengan Pemerintah. Inersia yang dihasilkan oleh sistem akan semakin tak tertangani, sehingga Presiden sebagai Chief Excutive akan cenderung menjadi pihak yang paling dirugikan, karena ia harus selalu menjadi penyelesai masalah manakala terjadi kemacetan di tingkat Kementerian. Jadi sang CEO akan dipaksa bekerja secara ad-hock dan parsial dan bukannya menjadi dirijen dari sebuah orkestra yang padu.
Itulah sebabnya, spekulasi ataupun prediksi Am menjadi hanya sebuah sensasi publik yang sejatinya tak terlalu penting artinya bagi upaya keperluan perbaikan sistem pemerintahan yang sudah mendesak. Saya hampir yakin setahun lagi, jika benar ada reshuffle Kabinet selepas Lebaran, kinerja Pemerintah akan tetap diwarnai gridlock dan inertia yang sama atau makin parah. Akhirnya, pemerintahan Pak SBY yang berawal sangat menjanjikan dan didukung publik itu akan berujung pada kondisi sama dan sebangun dengan sebelumnya. Capaian-capaian Pak SBY dalam beberapa bidang seperti pemberantasan korupsi, pendidikan, dan peningkatan pertumbuhan makro ekonomi, akan tertutup dengan berbagai permasalahan akut seperti kesenjangan kemiskinan, tingkat pengangguran yang tinggi, ketergantungan terhadap asing, dan semakin tertinggalnya kemampuan daya saing terhadap produk asing.
Yang lebih parah sistem politik yang menopang Pemerintahan juga akan semakin mengalami pembusukan di dalam (internal decay) dan ujungnya bisa saja mengakibatkan penghancuran ke dalam (implosion). Kekuatan politik yang sejatinya menjadi sebuah asset bangsa untuk melakukan pembaharuan sistem Pemerintahan, justru akhirnya menjadi sebuah virus kanker yang mematikan batang tubuh res-publica. Tidak ada cara lain kecuali mulai sekarang harus diwacanakan diperlukannya sebuah Reformasi politik "jilid" II dan bukan Reformasi "gelombang". Reformasi jilid kedua mensyaratkan revisi total sistem kepartaian yang mampu mendukung sebuah sistem Pemerintahan yang dapat bekerja dengan baik. Ia bukanlah sebuah upaya melanjutkan sistem yang sudah ada dengan tambal sulam.
Selamat Idul Fitri 1431H. Mohon Maaf Lahir Bathin.
selengkapnya >>>
07 September 2010
MUDIK SEBAGAI SINERGI AGAMA DAN BUDAYA
by Muhammad A S Hikam
Fenomen "mudik", bukan saja menjadi perhatian kita sebagai bangsa sang pemiliki tradisi tersebut. Kini, peristiwa "pulkam" (pulang kampung) tahunan dengan jumlah bahkan bangsa Amerika pun mulai terpesona dengankebiasaan yang menurut istilah mereka adalah "homecoming" itu. Tak kurang dari koran Amerika Serikat, The New York Times, edisi online, pada 6 September 2010 kemarin menyempatkan untuk menulis laporan khusus mengenai tradisi mudik di Indonesia "Indonesians Go Home, by the Millions," (Orang Indonesia pulang kampung dalam hitungan jutaan). Laporan sejenis di media elektronik seperti TV dan Radio, apalagi di negeri kita, sudah tak terhitung lagi jumlahnya dan bahkan dalam beberapa kasus dilakukan siaran langsung dari lokasi-lokasi yang dianggap strategis, seperti jalan raya di wilayah pantai utara (Pantura) Jawa dan sebagian jalan raya di Pulau Sumatera.
Tradisi mudik dan Lebaran, jadinya, adalah salah satu dari sekian contoh kemampuan penafsiran dan pelaksanaan keberagamaan yang inklusif ketika ia diletakkan dalam sebuah historisitas dan kemasyarakatan tertentu. Tidak semua masyarakat dan lokus kesejarahan mampu menciptakan inklusivitas seperti yang berhasil diciptakan ummat Islam dan bangsa Indonesia ini. Kita bisa mempertanyakan, mengapa tradisi lebaran dan mudik tidak terjadi di masyarakat atau bangsa, katakanlah, Saudi Arabia yang nota bene adalah tanah kelahiran agama itu sendiri. Kemampuan meracik, memahami, dan melaksanakan ajaran dalam sebuah konteks kesejarahan dan kemasyarakatan itulah yang memungkinkan munculnya inklusivitas sebuah tradisi yang mungkin bersumber dari ajaran agama yang khas. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial, seperti modernisasi dengan segala bawaannya (migrasi, urbanisaisi, transmigrasi, dsb), dan differensiasi peran dan fungsi ternyata tidak melunturkan tradisi-tradisi tersebut, tetapi malah menciptakan berbagai variasi di dalamnya.
Itulah sebabnya, menjadi sangat naif dan kontraproduktif manakala ada suara-suara atau penyikapan-penyikapan negatif menggugat tradisi seperti Lebaran, mudik, ziarah ke makam leluhur dan para wali, Nyadran, padusan dsb. dengan mempertanyakan otentisitasnya dari segi ajaran. Praksis budaya inovatif itu lantas disebut sebagai pelencengan (bid'ah), sesuatu yang bertentangan dengan ortodoksi ajaran dan praktik "Islami" dan, karenany, harus ditolak. Kebiasaan kelompok fundamentalis dan sebagian kelompok modernis Islam untuk menampik dan mengadili tradisi-tradisi seperti itu sebagai "di luar" ortodoksi, sejatinya lebih merupakan sebuah sikap apologetik dan rendah diri karena kegagalan mereka untuk memahami kompleksitas ajaran agama sebagai sesuatu yang multi tafsir dan kebutuhan akan aktualisasi serta penafsiran terus-menerus atasnya. Implikasi dari penyikapan seperti itu adalah sebuah model kehidupan individual dan kemasyarakatan yang sangat kering, hampa makna, tanpa kreatifitas, dan keterasingan (alienasi) dari hakekat kehidupan kemanusiaan yang penuh dengan warna.
Yang menjadi persoalan lebih penting, menurut hemat saya, adalah bagaimana mengelola berbagai inovasi tradisi yang sejatinya sangat berharga itu sehingga tidak menciptakan dampak-dampak yang negatif. Tradisi mudik, umpamanya, memerlukan pengelolaan yang professional sehingga menciptakan keuntungan dan kepuasan optimal bagi para pemangku kepentingannya. Bukan seperti sekarang, di mana mudik selalu masih diwarnai dengan banyaknya kecelakaan, kriminalitas, dan menurunnya disiplin dan produktivitas kerja. Hal-hal seperti ini tentu sudah berada di luar kehendak tradisi itu sendiri ketika ia muncul dan berkembang. Namun jika ia tidak dibarengi dengan kemampuan pengelolaan yang professional justru bisa mempengaruhi keberlangsungannya pada masa-masa yang akan datang. Itulah sebabnya, tradisi selalu mengandaikan adanya penciptaan kembali atas tradisi itu sendiri (reinventing tradition). Sebab tradisi bukanlah sesuatu yang secara intrinsik selalu tertutup dan beku, tetapi ia juga memiliki kemungkinan untuk terbuka dan menerima berbagai perubahan.
Selamat mudik dan merayakan Lebaran 1 Syawal 1431 H.
ADA APA LAGI JENDRAL ?
Oleh : Muhammad A S Hikam
Setelah bikin heboh beberapa waktu lalu, Jendral (pol) Bambang Hendaso Danuri (BHD), ternyata tak kekurangan untuk memproduksi kehebohan lagi.(baca disini) Kini bukan soal dia "menghilang" beberapa hari dari Maber Polri sehingga membuat kelimpungan anak buah dan menggagalkan acara sertiajb beberapa Patinya, tetapi soal yang samasekali bukan urusan... Polisi: membentuk klub sepakbola! Saya tidak tahu apakah memang BHD ketika menghilang itu benar-benar sakit atau sedang merenung, sehingga menemukan gagasan yang (smasekali tidak bermutu) ini. Kalau memang sakit, dan ada hubungannya dengan iude membuat Persatuan Sepakbola Bhayangkara (PS B) ini, pastilah sakitnya tergolong rada gawat. Soalnya, belum pernaha ada dalam sejarah dari zaman baheula sampai sekarang ujug-ujug Polri ingin membentuk tim kesebelasan sepakbola dan langsung mau masuk dalam peringkat nasional pula!
Kapolri dan Ketum PSSI |
Soal yang terakhir itu, penyandang dana untuk PSB, tampaknya diyakini betul oleh pejabat Polri, karena ketika wartawan usil bertanya masalah yang rada musykil itu, langsung dijawab: "ada dari Kapolri." Nah! bagaimana cara menjustifikasi dana operasional Kapolri untuk mengongkosi sebuah tim sepakbola, tentu saja saya tidak akan tahu. Logikanya, karena sudah dijawab begitu tentu sudah disiapkan jurus sakti yang dapat mensim-salabimkan anggaran operasional Kapolri menjadi anggaran tim sepakbola itu. Dan hal itu mungkin tak terlalu pelik benar, karena kalau Polri bisa membuat rekening gendut bermilyar-milyar yang tidak jelas ujung dan pangkalnya itu menjadi sah dan tidak perlu diselidiki secara hukum, apa lagi kalau cuma untuk mendanai PSB. Yang penting, persiapan pensiun buat BHD sudah rapi jali, dan tidak akan membuat dia kesepian serta rindu memberikan perintah-perintah kepada para pemain, serta ketemu wartawan untuk tebar pesona!
Yang masih menjadi pertanyaan adalah, apakah kira-kira tim sepakbola dadakan hasil besutan BHD itu akan benar-benar seperti layaknya tim sepakbola sungguhan? Ini yang saya ragukan. Sebab umumnya sepakbola, setingkat Kelurahanpun, setidaknya akan terdiri atas pemain sepakbola kendati amatiran. Tapi kalau PSB ini, masalahnya lain, karena mungkin yang akan main adalah para Polisi atau pensiunan Polisi. Repotnya, susah mencari lawan tim yang bersedia bertanding dengannya, karena tentu belum apa-apa sang lawan sudah mengkeret duluan. Bukan cuma itu, khawatirnya kalau tim lawan PSB ada yang berpretensi lebih liehay, ia meriskir dirinya akan menemukan masalah ketika usai bermain. Walhasil, PSB perlu menyediakan dana khusus untuk mencari lawan tanding yang kira-kira sesuai target, apalagi untuk menjaga gengsi sang pelatih dan manajer dan pembinanya jangan sampai tersinggung.
Kalau PSB ini benar-benar muncul di arena persepakbolaan Indonesia, maka saya kira sudah waktunya PSSI gulung tikar dan diubah menjadi organisasi arisan tiket menonton bola saja. Pasalnya, rasionalitas dan prosedural serta etiket olahraga paling top di jagad raya ini pastilah akan kacau balau dan bisa-bisa PSSI akan kena sanksi dari FIFA atau minimal dari Asian Football Association dan sejenisnya. Mana mungkin ada sebuah tim sepakbola yang turun dari langit, tanpa melalui pertandingan apapun dan proses seleksi yang ketat lalu ujug-ujug menjadi tim tingkat nasional? Alternatof lain adalah, daripada PSSI dan seluruh rakyat dan bangsa Indonesia berpotensi dipermalukan oleh PSB, mendingan sejak awal PSSI dan rakyat Indonesia rame-rame menolak gagasan yang absurd, tidak masuk akal, dan berpotensi merusak nama baik persepakbolaan nasional itu.
Sebelum terlalu jauh, lebih baik disiapkan mainan baru yang lebih layak dan terhormat untuk persiapan pensiun Pak BHD nanti. Ada usul?? selengkapnya >>>
06 September 2010
WAWANCARA IMAJINER DENGAN GUS DUR (9)
Oleh : Muhammad AS Hikam
Suasana hening menyelimuti ruang tinggal Gus Dur. Cahaya redup di balik kelambu-kelambu sutera membuat suasana syahdu. Suara dzikir yang lembut dari al-maghfurlah terdengar sayup-sayup ketika saya sampai. Sambil menunggu Gus Dur selesai ber i'tikaf, saya pun bersimpuh di belakang beliau. Beberapa saat kemudian, mungkin karena merasakan bahwa beliau tak lagi sendirian, akhirnya Gus Dur pun menengok ke belakang.
"Assalamu'alaikum, Gus." Saya mengucap salam sambil merengkuh dan mencium tangan beliau.
"Salam, Kang, gimana waras, tah? Tumben rada pagi." Jawab Gus Dur.
"Iya Gus, ini sudah sibuk dengan hari-hari terakhir Ramadhan... " Kata saya
"Masak masih acara buka puasa bersama terus, sih?" Beliau memotong.
"Ada sih Gus, tapi yang membuat sibuk saya lain.. soal macet di tol, Gus.." Jawab saya sambil tertawa dan beliau juga ikut tertawa.
"Wis biasa, Kang, mulai mudik. Itu sebenarnya sebuah tradisi yang bagus. Intinya kan silaturrahim, yang menjadi kebiasaan orang pulang kampung, nyekar, lalu riyayan sekalian." Beliau menjelaskan
"Iya Gus, tetapi karena ratusan ribu kendaraan bermotor itu, tol pun jadi macet."
"Karena infrastruktur transportasi masih belum baik. Lha mestinya kan tidak perlu ada desak-desakan dan rebutan di jalan yang malah membuat kecelakaan dengan menelan korban yang cukup banyak. Gak jadi seneng, malah senep!".
"Betul, Gus. tahun lalu saja korban akibat kecelakaan sepeda motor yang mudik sudah di atas dua ratus. Tapi, anehnya, ya tetap saja orang nekad mudik pakai sepeda motor, Gus." Keluh saya
"Kan itu yang paling murah. Bagi rakyat miskin, meriskir kehidupan tak bisa dihindarkan lagi karena memburu harga murah. Yang salah kan kenapa ekonomi kita gak maju-maju sehingga rakyat nggak perlu ngotot naik motor untuk mudik. Coba kalau harga tiket bis atau kereta murah kayak di India dan Cina, orang pasti tidak banyak yang naik motor." Kata Gus Dur menjelaskan.
"Ngomong-ngomong soal kemiskinan rakyat, Gus, tapi kok anehnya DPR malah mau bangun Gedung baru di Senayan dengan harga Rp 1,6 triliun Gus. Ini gejala apa lagi?". Saya mulai memancing beliau
"Gejala apa, ya gejala kebodohan, keserakahan digabung dengan egoisme wakil rakyat dan parpol" Jawab GD singkat.
"Ngaten njih, Gus?" Kata saya menunggu elaborasi beliau.
"Lha iya, kalau nggak bodoh kan nggak mungkin memutuskan kebijakan yang menyakiti rakyat dan di luar proporsi kerjaannya. Kan yang mestinya membuat gedung itu Pemerintah, bukan DPR. Gak ada tupoksi DPR melibatkan pelaksanaan pembangunan. Tapi dasar parpol dan pimpinan serta anggota DPR serakah, ya dicari-cari saja alasan supaya mereka bisa mengeruk keuntungan pribadi. Saya yakin nanti kalau tetap diteruskan proyek nista itu, ujung-ujungnya akan ada anggota DPR periode ini ditangkap KPK karena korupsi pembangunan gedung, hehehe..." Gus Dur mulai semangat.
"Pemerintah gak berani melarang, Gus. katanya itu hak DPR." Saya bersikukuh.
"Ah itu kan alasan saja untuk membuat DPR makin konyol. Hubungan Pemerintah dan DPR sekarang ini kan seperti kucing-kucingan. Yang satu ingin menjelekkan yang lain. kemaren DPR ngerjai Pemerintah dengan skandal Centurygate, sekarang kesempatan pemerintah ngerjai DPR supaya makin jatuh namanya di mata publik. Akhirnya dua-duanya nggak ada yang bener, tetapi Pemerintah meras gangguan akan sedikit turun..." Jawab GD.
"Tapi kan negara lantas nggak terurus dengan baik, Gus, kalau Pemerintah dan DPR sama-sama geger dan jatuh martabatnya di mata publik sendiri?" Saya mendesak.
" Lha emangnya mereka mikirin rakyat sih, Kang? Bagi anggota DPR dan parpol yang penting bagaimana bisa mengeruk duit buat modal kampanye Pemilu 2014. Bagi Pemerintah, supaya bisa tenang gak ada yang nggriseni saja. Kalau tidak diprotes rakyat, saya yakin proyek-proyek semacam dana aspirasi, rumah aspirasi, dll akan jalan karena Pemerintah juga senang bisa membuat DPR asyik kroyokan proyek, jadi gak akan macem-macem..."
"Termasuk gak merampungkan pekerjaannya ya Gus?"
"Jelas.. Mana mungkin DPr bisa merampungkan tugas membuat UU sebanyak 70. Katanya sampai sekarang juga belum sampai sepuluh yang dibahas." Gus Dur makin bersemangat.
"Lalu apakah ini tidak akan menghancurkan Reformasi?" Saya bertanya lagi.
"Wah, kalau menurut saya Reformasi sudah mirip orang mati suri sejak saya dijatuhin sama parpol-parpol itu, Kang...Kita-kita ini dulu kan maunya menghidupkan lagi semangat Reformasi. Ibaratnya seperti membuat pernafasan buatan atau CPR itu. Susah payah kita dan berbagai elemen pro-demokrasi mencoba membangunkan kembali kerja demokrasi. Tapi sampean tahu sendiri, bukannya bangkit lagi tetapi makin ke sini makin dalam ketidaksadarannya. Bisa-bisa sebentar lagi collapse yang namanya demokrasi di Republik." Kata GD panjang lebar.
"Memprihatinkan ya Gus.. mana sekarang negara kita tidak dihormati negara-negara lain, seperti Malaysia.."
"Itu karena pemimpin Pemerintahnya gak tegas. Tegas itu tidak harus disamakan dengan nantang perang, lho. Itu Ahmadinedjad, Kang, karena dia tegas dan didukung rakyat iran, maka berani jalan dengan program nuklirnya walaupun ditentang negara-negara adidaya seperti AS, Perancis, Jerman, Rusia, dan belakangan Cina, selain Israel juga. Ahmadinedjad tidak menantang perang, tetapi siap kalau ada serangan. Nah Presiden SBY mestinya juga tegas bukan ngajak perang, wong kalau ditenani Malaysia juga belum tentu menang, hehehe..." Kata GD sambil ngakak.
"Tapi kata TNI persenjataan kita lebih kuat lho Gus.." Kata saya
"Kuat apanya? Itu ya kang, kalau misalnya perang di laut, kapal AL kita belum sampai ditembak pun sudah tenggelam. Tahu sampean kenapa?" Kata beliau sambil menyengir.
"Kenapa, Gus?"
"Karena keberatan dempul untuk nambal kapal-kapal kita, hahahah...."
"Lho, menurut sumber yang sahih, kapal selam Malaysia juga ternyata gak bisa nyelam, Gus..?"
"Tapi kan punya mereka masih baru, jadi masih bisa diperbaiki. Kalau kapal selam kita yang dua biji itu saking lamanya, sering rusak-rusak melulu. Jangan-jangan kalau nyelam gak bisa nyembul lagi?... Hehehe..." Gus Dur tertawa-tawa lagi.
"Wah Gus nanti ada yang sewot, njenengan dibilang gak patriotik dan nasionalis lho.." Kata saya mengingatkan
"Ah biarin aja Kang, lha wong yang dari dulu teriak-teriak supaya RI ini memperhatikan dimensi kelautan ya saya kok. Eamang yang milih Panglima TNI dari Al pertama siapa, emang yang bikin Kementrian Kelautan siapa.. Biar sejarah yang menilai siapa sebetulnya yang nasionalis dan patriot. Gitu aja kok repot, Kang..."
"Jadi gimana ya Gus supaya DPR, anggota DPR dan parpol-parpol yang punya wakil di DPR itu bisa diperbaiki?"
"Kalau saya ya publik dan pemimpin masyarakat seperti para Kyai, cendekiawan, LSM ,dll. itu menekan parpol, DPR dan Pemerintah supaya kembali ke jalan Reformasi. Hanya itu caranya, sebab kalau mengharap parpol dan DPR sadar sendiri ya ndak mungkin. Apalagi kalau kualitas orang-orangnya di DPR begitu buruk. barangkali harus ada Reformasi jilid dua, bukan Reformasi babak kedua seperti kata SBY. Kalau cuma babak kedua, nanti yang melaksanakan orang-orang yang sama ya tambah soro, Kang.." Kata Gus Dur menjelaskan
"Apa kuat ya Gus, masyarakat sipil menekan Pemerintah, Parpol dan DPR?."
"Sampean jangan pesimis, lha dulu Pak Harto kurang kuat apa? Punya tentara, intel, birokrasi, parpol dan duit seabreg-abreg, juga lama-lama bisa direformasi. yang penting ada semangat dan terus bekerja. Jangan patah semangat dulu. Walaupun masyarakat sipil juga mengalami fragmentasi dan banyak yang terkooptasi oleh pragmatisme, tapi saya yakin masih cukup banyak yang punya integritas." Jawab GD yakin.
"Oke Gus kalau gitu, saya akan coba sosialisasikan optimisme panjenengan ini. Insya Allah saya sowan lagi. Oh ya Gus, lebaran nanti saya akan tetap ke Ciganjur, sungkeman dengan mBak Nur."
"Ya suwun Kang, salam untuk mBakyu juga ya.. Itu anak sampeyan belum kembali?"
"Lily kemarin liburan sebentar Gus, cuma sebulan. Sekarang sudah balik lagi."
"Lho sudah semester ke berapa sekarang?"
"Menginjak semester lima, Gus. Mohon dido'akan semoga bisa selesai dengan baik."
"Amin..amin.. Insya Allah, Kang."
"Suwun Gus, Assalamu'alaikum.." kata saya akhirnya setelah cium tangan pamitan.
"Salaam..."
selengkapnya >>>
04 September 2010
MENGAJI BERSAMA GUS DUR (5): WAJIBKAH SISTEM ISLAM?
Oleh Muhammad AS Hikam
Salah satu pergelutan pemikiran Almaghfurlah Gus Dur adalah mengenai keharusan ummat Islam untuk secara formal menciptakan dan menjalankan sebuah sistem yang Islami. Persoalan ini sebenarnya merupakan sebuah masalah yang sudah sangat lama dan menciptakan implikasi yang serius di kalangan ummat Islam dan bahkan, dalam bentuknya yang paling vulgar dan keras, ikut menyumbang terjadinya schisma(fitnah) dengan akibat-akibat yang serius. Persoalan ini muncul terutama ketika ummat Islam menafsirkan perintah yang termaktub dalam Al Qur'an, misalnya, Surah Al Baqarah: 208 yang berbunyi "Udkhulu fis Silmi Kaaffah." ( masuklah kalian ke dalam kedamaian (as silmi) secara sempurna). Setidaknya terdapat dua penafsiran yang berbeda secara diametral. Yang pertama adalah penafsiran yang menyatakan kata as-silmi berarti Islam, kata benda, yang memiliki implikasi "harus ada sebuah entitas Islam formal. dengan keharusan menciptakan sistem yang Islami." Yang kedua adalah penafsiran yang menyatakan kata tersebut sebagai sebuah kata sifat, yang implikasinya adalah "sebuah entitas universal, yang tidak perlu dijabarkan oleh sebuah sistem tertentu, termasuk sistem Islami." ( Wahid, 2006:3).
ilustrasi de-castrolisti.blogspot ; |
Bagi Gus Dur, kedua cara memandang dan menafsirkan kata as-silmi tersebut memiliki implikasi-implikasi sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat serta bernegara, khususnya dalam sebuah komunitas kebangsaan yang majemuk seperti Indonesia. Sebab, bagi mereka yang memegang interpretasi pertama, "mereka terikat kepada sebuah sistem yang dianggap mewakili keseluruhan perwujudan ajaran Islam dalam kehidupan sebagai sesuatu yang biasa dan lumrah." Implikasinya, lantas diperlukan sebuah sistem formal yang mengharuskan label Islam padanya, seperti sistem pengetahuan Islam, sistem perbankan Islam, sistem keparatain dan parpol Islam, sistem masyarakat Islam, dan, last-but not the least, sistem negara Islam. bagi mereka yang mengikuti interpretasi yang kedua, yang menolaknya, sebab akan berarti "membuat mereka yang tidak beragama Islam sebagau warga dunia yang kalah dari kaum muslimin." Implikasinya dalam sebuah kehidupan negara-bangsa adalah "sistem Islami otomatis membuat warganegara non-muslim berada di bawah kedudukan warganegara yang beragama Islam.." Lebih jauh, menurut Gus Dur, pandangan Islami itu "akan berdampak pada kaum muslimin yang tidak menjalankan ajaran Islam secara penuh. Kaum muslimin seperti ini ... tentu akan dinilai kurang Islami jika dibandingkan dengan mereka yang menjadi anggota/warga partai/organisasi yangmenjalankan ajaran secara penuh..." (ibid, hal. 4).
Menurut pandangan Al Maghfurlah GD, totalitas keislaman telah tercapai apabila tetalah memenuhi lima syarat yang disebutkan oleh Qur"an : 1) menerima prinsip-prinsip keimanan; 2) menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh; 3)menolong mereka yang memerlukan pertolongan ; 4) menegakkan profesionalisme, dan : 5) bersikap sabar apabila menghadapi percobaan dan kesusahan (Al-Baqarah: 177). Jika kelima syarat ini terpenuhi, maka tidak diperlukan lagi sebuah kerangka sistemik menurut ajaran Islam. Itulah sebabnya, Gus Dur berpendapat bahwa: "mewujudkan sebuah sistem Islami tidak termasuk syarat bagi seseorang untuk dianggap "muslim yang taat." Gus Dur sangat sadar akan implikasi paradigma yang dikembangkannya, karena akan menjadi salah satu titik sengketa tidak hanya di kalangan ormas dan gerakan Islam di luar NU, bahkan di dalam NU yang memiliki spektrum luas termasuk keberadaan penganut paradigma Islami itu di dalamnya!
Jika kita perhatikan perkembangan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dan bernegara di Indonesia, maka wacana dan praksis yang meibatkan kedua interpretasi tersebut telah, sedang, dan tampaknya masih akan terus berjalan. Kita melihat bagaimana upaya-upaya pengejawantahan dari interpretasi pertama tersebut telah dan sedang menghasilkan berbagai pemikiran dan gerakan Islamisasi dengan spektrum yang cukup luas. Mulai dari gagasan dan praksis yang kultural, gradualis, moderat dan anti-kekerasan seperti yang dikembangkan oleh Alm Cak Nur (Dr. Nurcholish Majid), sampai gerakan-gerakan Islam fundamentalis, keras dan radikal serta menggunakan cara-cara kekerasan semacam FPI, HTI, Jama'ah Islamiah (JI), Jama'ah Anshorut Tauhid (JAT), dsb. Sementara itu, pada kelompok penganut penafsiran kedua juga muncul berbagai pemikiran dan praksis yang memiliki spektrum yang luas pula, seperti pemikiran dan kiprah alm. Gus Dur dengan visi transformatif kultural serta pendekatan moderat dan gradualis sampai yang paling "liberal" sebagaimana ditampilkan oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL). Kendati kedua kelompok tersebut acap kali susah dibedakan satu sama lain, seperti pendekatan Cak Nur dan GD, namun menurut hemat saya tetap ada perbedaan interpretasi yang fundamental antara keduanya: Pemikiran Cak Nur masih tetap dilandasi visi eksklusif Islam, sementara Gus Dur berpegang pada visi universal di mana Islam menjadi bagian di dalamnya. Itulah sebabnyadalam konteks kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaaran Indonesia, GD secara konsisten mengatakan bahwa Islam sebagai salah satu nilai komplementer, bukan alternatif, yang membentuk keindonesiaan bersama-sama dengan nilai-nilai yang lain.
Pemikiran universalis GD tentu berimplikasi sangat mendalam dan luas jika diterapkan dalam realitas kehidupan politik di Indonesia. Ketika beliau bersama-sama beberapa masyayikh (sesepuh, Ulama) NU mendeklarasikan berdirinya partai politik, PKB, maka dengan jelas beliau tidak menyebut parpol itu sebagai sebuah partai Islam. Resikonya, sudah bisa kita prediksi, adalah kritik tajam bukan saja dari kelompok "Islami" tetapi juga dari dalam NU sendiri yang memiliki pandangan ekslusif seperti itu. Bagi GD, kritik-kritik tersebut tidak menyurutkan langkahnya karena bagi beliau para pengritik tersebut "tidak menyadari bahwa NU sejak semula telah menerima kehadiran upaya berbeda0beda dalam sebuah negara dan kehidupan sebuah bangsa dan tidak mau terjebak dalam tasyis an-nushush al-muqaddasah (politisasi terhadap teks keagamaan)." Implikasi lainnya adalah penerimaan GD terhadap Deklarasi HAM Universal (DUHAM) secara konsisten karena ia memiliki kesamaan dengan nilai-nilai dasar Al-Ushulul Khamsah (hak-hak dasar yang lima) yang dikenal dalam Islam: 1) hak hidup, 2)hak beragama, 3) hak memeiliki properti, 4) hak memiliki dan menjalankan profesi, serta 5) hak melanjutkan keturunan yang baik.
Formulasi relasi negara dan Islam bagi Gus Dur juga jelas. Karena tidak ada kewajiban membuat sebuah "sistem" Islam, maka berarti pula "tidak ada keharusan untuk mendirikan sebuah negara Islam." Pandangan ini sangat penting karena sejarah Indonesia semenjak kemerdekaan sampai saat ini telah berkali-kali menyaksikan berbagai upaya mendikotomikan landasan negara Pancasila dengan Islam, serta upaya-upaya menolak legitimasi negara-bangsa sebagai "tidak Islami", seperti yang direpresentasikan oleh ide Khilafah atau aksi teror terjadap negeri ini atas nama perjuangan Islam melawan sistem negara dan kekuasaan taghut. Pemikiran dan perjuangan Gus Dur yang berhasil melakukan terobosan penting mengenai relasi negara dan Islam di negeri ini, sudah sewajarnya kita terus kembangkan dan siarkan keseantero muka bumi. Islam, bagaimanapun, adalah Rahmatan lil- 'alamin atau suatu karunia Allah bagi semua.
Jakarta, 4 September 2010
selengkapnya >>>