05 June 2010

MENGAJI DENGAN GUS DUR (2): ISLAM DAN KEKERASAN

Muhammad A S Hikam


Beberapa hari lalu kita menyaksikan ulah Pemerintah Israel yang sangat mencederai nilai-nilai HAM, yaitu menyerangan pasukan Komando AL nya terhadap para relawan kemanusiaan yang berada di Kapal Mavi Marmara di perairan Internasional dekat Gaza. Tak kurang dari 19 orang dikabarkan tewas dan puluhan terluka akibat serangan tersebut, padahal para relawan tersebut jelas bukan bermaksud melakukan serangan dan tak bersenjata. Mereka hanya berniat menembus blokade yang diberlakukan pemerintah Israel terhadap wilayah Gaza yang sudah lebih dari satu setengah tahun lamanya, sehingga warga Palestina di wilayah tersebut mengalami kekurangan supply makanan, air besrih, dan jaminan kesehatan. Walhasil, sebuah perkara ketertindasan manusia (human sufferings) yang parah sedang berlangsung, dan sudah sewajarnya bila para komunitas Internasional menginginkan adanya intervensi kemanusiaan (humanitarian interventions) dengan membuka blokade dan memberikan berbagai bantuan kemanusiaan yang diperlukan oleh rakyat Palestina.

Akibat kebiadaban tentara Israel itulah di seluruh dunia muncul kecaman, termasuk di negara-negara yang biasanya mendukung Israel tanpa reserve. Di negeri kita pun, yang jelas sekali posisinya dalam soal konflik Israel-Palestina, kemarahan publik sangat besar dan berbagai protes serta demonstrasi anti israel dan pro Palestina pun digelar hampir di selurug wilayah Republik. Kemarahan publik, khususnya ummat Islam, terhadap kebiadaban yang terjadi (dan sebelumnya), tentu sangat bisa dipahami. Bagaimanapun juga selain masalah ini selalu terkait dengan solidaritas ummat Islam (ukhuwah Islamiah), tetapi juga berkaitan dengan amanat Konstitusi kita yang menyatkan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, sehingga seluruh penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.

Masalahnya adalah, apakah hujatan, kemarahan serta gagasan melakukan tindak kekerasan yang sering tampak dalam protes-protes tersebut merupakan ajaran islam dan merupakan strategi resolusi konflik yang akan efektif?. Almaghfurlah Gus Dur seringkali mengingatkan bahwa ajaran islam menolak kekerasan. Menurut beliau "satu-satunya alasan untuk menggunakan kekerasan adalah jika kaum Muslimin diusir dari tempat tinggal mereka (idza ukhrija min diyaarihim)." Bahkan dalam hal inipun, menurut beliau "masih diperdebatkan , bolehkah kaum Muslimin membunuh orang lain, jika jiwanya sendiri tidak terancam." Dengan pandangan seperti ini GD memang memosisikan diri pada tempat yang sangat bertentangan dengan sebagian kelompok dan gerakan Islam (bahkan mungkin di antara kelompok Nahdliyyin sendiri) yang mengedepankan pemakaian pendekatan kekerasan, termasuk dalam penyelesaian konflik israel-Palestina.

GD jelas menolak kekerasan dan cara-cara biadap yang dilakukan pemerintah Israel menghadapi tuntutan HAM dari warga Palestina, termasuk memiliki negara merdeka, berdaulat dan bermartabat. Namun GD juga menolak penggunaan cara-cara ekstremis termasuk teror yang dilakukan juga oleh sementara kelompok di Palestina dan kelompok radikal Islam lain. GD juga mengeritik sikap standar ganda pemerintah-pemerintah adikuasa seperti AS dan EU karena hal itu hanya akan lebih meningkatkan kemarahan ummat islam dan membuka peluang lebih besar bagi maraknya kekerasan sebagai alternatif penyelesaian melalui dialog, diplomasi, dan perundingan terus menerus.

Konsisten dengan ajaran anti kekerasan yg juga di share oleh tokoh besar seperti Mahatma Gandhi dan Martin Luther KingJr, GD menolak kelompok garis keras yang dengan mudah melakukan sweeping terhadap tempat-tempat perjudian dan penjualan minuman keras, karena hal itu sejatinya adalah tugas aparatur negara berdasarkan hukum. Jika aparat belum melakukan bukan berarti kita berhak bertindak main hakim sendiri atas nama ummat atau agama atau apapaun! Bagi GD, sikap-sikap kekerasan ini bukan muncul sendirian, tetapi juga karena didorong dan didukung oleh munculnya aturan-aturan yang berkecenderungan untuk "memberlakukan syari'ah Islamiyah secara formal." Ini bisa berupa Perda-perda dan aturan lain yang ingin menunjukkan "kuatnya semangat untuk menolak tindakan-tindakan yang bertentangan dengan syari'ah Islamiah." Padahal, menurut GD sikap menginginkan penerapan syari'ah islam secara formal jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi RI yang memisahkan antara negara dan agama. Selain itu tindak kekerasan melalui main hakim tidak ada tempat dalam prinsip-prinsip dasar Fiqh.

Bagi GD penyebab kecenderungan mudah memilih cara atau pendekatan kekerasan itu muncul karena ada semavam malaise psikologis di sebagian ummat, khususnya kalangan muda dan kelas menengah. Mereka ini merasa tertinggal dari ummat lain dan karenanya ingin mengejar ketertinggalan tersebut secara fisik yaitu "menggunakan kekerasan untuk mengalangi kemjuan materialistik dan duniawi." Kekerasan juga merupakan akibat dari "proses pendangkalan agama yang menghinggapi kaum muda Muslimin sendiri." Karema kebanyakan intelektual muda Islam sekarang makin jauh dari kemampuan melakukan kajian khazanah Islam klasik, maka sebagai gantinya mengkaji ajaran secara jalan pintas "kembali kepada sumber-sumber tekstual islam seperti al-Qur'an dan hadits, tanpa mempelajari berbagai penafsiran dan pendapat-pendapat hukum yang sudah berjalan berabad-abad." Ujung-ujungnya adalah pemahaman dangkal dan ketika didorong oleh kemarahan dan rasa rendah diri, lalu dengan cepat memilih alternatif kekerasan sebagai solusi.

Sumber:

"Gandhi, Islam dan kekerasan," dalam Abdurrahman Wahid.Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara Demokrasi., Jakarta: The Wahid Institute, 2006, hal. 345-348

No comments: