12 June 2010

KPK DAN "POLITIK TANPA NURANI"

Muhammad A S Hikam

Siapa yang masih percaya, di Republik ini, bahwa hukum bisa bebas dari kepentingan politik, saya anjurkan untuk meninjau kembali kepercayaan itu, sebelum bertambah-tambah kekecewaan dan berujung pada frustrasi dan apati. Orang yang percaya bahwa supremasi hukum harus dipegang teguh "kendati langit besuk mau runtuh", niscaya tidak memahami realita yang ada di Indonesia atau orang naif atau orang yang "ngeyel" atau campuran dari ketiga-tiganya.

Kasus penolakan Kejaksaan Agung (Kejagung) RI untuk melakukan upaya hukum melalui deponeering terhadap putusan hukum dari PN Jakarta Selatan dan PT Jakarta Pusat terhadap gugatan pra -peradilan para pengacara Anggodo, adalah contoh paling mutakhir. Pada mulanya adalah sebuah pertikaian antara para penegak dan lembaga hukum: Polri, KPK, Kejagung mengenai apa yang dikenal dalam wacana publik sebagai kasus "Cicak vs Buaya." Polri dan Kejagung, didukung oleh Komisi III DPR RI ingin menjadikan dua orang pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto (BSR) dan Chandra Hamzah (CH) sebagai tersangka pemerasan, dan malah sudah sempat membuat keduanya ditahan dan non aktif sebgai pejabat lembaga pemberantas korupsi itu. Publik, civil society, dan para pekerja demokrasi bersikap menentang terhadap ketiga lembaga tersebut dan melakukan gerakan "pro cicak" yang memaksa Pemerintah SBY untuk membentuk Tim 8 untuk mencari penyelesaian, yang ternyata kemudian berhasil "menghentikan" kehendak ketiga lembaga tersebut. Oleh pemerintah, disarankan kepada kejagung agar mencari solusi di luar pengadilan (out of court settlement) sehingga masing-masing pihak tidak kehilangan muka, sedangkan urusan Bibit dan Chandra bisa diselesaikan dan posisi mereka sebagai pejabay pimpinan KPK dikembalikan. Kejagung kemudian memilih alternatif mengeluarkan SKP2 (Surat Keputusan Penghentian Pemeriksaan) yang dianggap lebih tepat ketimbang deponeering, dan Bibit -Chandra pun melenggang keluar untuk kemudian bertugas lagi. Selesai? Ternyata belum.

Giliran Anggodo dan Anggoro yang merasa diperas, melakukan upaya hukum melalui pengacaranya, Bonaran Situmeang, untuk meminta agar urusan Bibit dan Chandra yang sudah SP-21 tetap dilanjutkan dan menolak SKP2 kejagung. Ternyata upaya mereka dikabulkan oleh Pengadilan, baik di tingkat PN maupun banding di PT, yang berarti keoutusan itu tidak bisa dimintakan Kasasi. Seruan dari para pendukung KPK dan Bibit serta Chandra, termasuk Tim 8 (yg sudah dibubarkan itu) agar Kejagung kembali mengambil langkah deponeering, ternyata diabaikan. Alih-alih, sekarang Kejagung memilih jalan PK ke MA untuk memohon agar putusan-putusan kedua Pengadilan tersebut dibatalkan. Kejagung, konon, bersikukuh bahwa jalan atau proses deponeering akan sulit karena harus meminta saran dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk melakukannya. Padahal, PK juga tidak mudah untuk dilakukan, karena harus ada novum dan beberapa hal lain yang mesti dipenuhi oleh kejagung.

Bagi saya yang bukan ahli hukum, masalah ini sangat sarat dengan politisasi. Saya cenderung melihat bahwa sejak awal kehadiran KPK dan kiprahnya melakukan pemberantasan korupsi memang sudah dianggap sebagai ancaman oleh berbagai pihak, termasuk aparat Pemerintah, lembaga penegak hukum, politisi anggota Parlemen, elit parpol yang berkuasa maupun yang di oposisi, dan juga oleh sementara konglomerat hitam. KPK, barangkali, pada awalnya adalah "hanya" dimaksudkan sebagai bagian integral dari "politik pencitraan" yang oleh Bu Megawati Soekarnoputri disebut aksi tebar pesona dari penguasa. Sebagai sebuah upaya pencitraan, KPK sejatinya tidak dimaksudkan untuk bisa bekerja serius dan melakukan berbagai penyelidikan, penyidikan, penangkapan, dan pemrosesan hukum sampai ke penghukuman para koruptor. Kalau toh KPK mau melakukannya, mestinya harus "tebang pilih" dan dilarang menyentuh pihak-pihak atau sosok-sosok figur yang berkuasa atau lembaga-lembaga yang memiliki kaitan juga dengan hukum. 

Sayangnya, KPK ternyata seperti tidak paham dengan "asbabun nuzul" dan maunya sang pencipta. Justru bagaikan monster Frankenstein, dia malah melawan induk semangnya dengan melakukan tindakan-tindakan sangar tak peduli siapapun. Kalau perlu, besan Presiden, jendral Polisi, Jaksa tinggi, Hakim tinggi, birokrat dan pejabat teras, anggota Parlemen, petinggi parpol, apalagi para koruptor teri, dibabatnya semua. Maka herankah anda jika kemudian kehadirn dan kiprah KPK menjadi semacam "musuh bersama" alias "common enemy"?. KPK adalah monster buta yang mesti ditundukkan dan dimasukkan dalam kerangkeng, lalu kuncinya dibuang ke laut. KPK jika dibiarkan akan menjadi super body yang memiliki legitimasi politik luar biasa karena publik di negeri ini memang sedang marah terhadap para koruptor! Kendati usia hidup KPK cuma pendek (karena memang lembaga sementara), tetapi tidak ada jaminan bahwa sang pencipta (pemerintah dan dpr) bisa membubarkannya, manakala publik tetap mendukungnya! Sati satunya cara adalah bagaimanan membuat para monster yang tidak paham politik itu menyerah atau dibungkam, lalu diganti dengan monster robot yang memang bisa di remote control. Dan operasi "Cicak" pun segera dilaksanakan.

Lawan-lawan KPK sudah cukup bungah hatinya ketika Bibit dan Chandra bisa diberhentikan sementara dan masuk bui. Sayang sekali, rekaman obrolan Anggodo dengan beberapa Oknum penegak hukum kemudian bocor dan publik se Indonesia mengikuti dengan terpana bagaimana kebusukan dan penghianatan serta perselingkuhan antara para penegak hukum dan penjahat dilakukan dengan begitu terang-terangan (dan smbil cengengesan pula!). Shock lah para pemburu monster itu, dan seluruh upaya penyelamatan operasi Cicak pun dikerahkan untuk membendungnya: di parlemen, komisi III dengan heroiknya mencoba mendorong agar Tim 8 distop dan Kejagung lanjut, serta Susno menjadi pendekar besar penegak hukum dalam rapat-rapat dengar pendapatnya. Upaya mereka harus direm untuk sementara, menunggu waktu agar publik mulai lupa dan asyik dengan "mainan" baru seperti Centurygate dsb. Tetapi tentu para pemburu monster tetap tak mau menyerah ketika diminta melepaskan Bibit dan Chandra begitu saja. Maka dibuatlah sebuah bom waktu yang bernama SKP2, yang sejak awak sudah dicium bau mesiunya oleh para ahli hukum dan para penggerak anti korupsi.

Sayangnya, kekuatan memainkan proses hukum masih tetap berada di tangan lawan-lawan KPK. Para pendukung KPK kini kebat-kebit hatinya karena jagoan mereka akan sangat rentan nasibnya dalam konteks politik sekarang, manakala Kartel politik telah terbentuk dan telah menampilkan suksesnya membendung Centurygate. Apalagi banyak orang, termasuk saya, yang harus kecewa dengan kiprah KPK setelah Bibit dan Chandra kembali menjadi pejabat. Karena mereka ternyata mlempem ketika diminta ketegasannya mengurus proses hukum para pelaku korupsi dalam Centurygate. KPK malah aneh-aneh kelakuannya: melakukan pemeriksaan di kantor Pak Boed dan Bu Sri Mulyani, menunda-nunda pemeriksaan, terpevah dalam menyikapi keputusan Pansus DPR soal Centurygate, dan yang paling gres mengatakan "belum menemukan tindak pidana korupsi dalam masalah bailout Bank Century."!! Publik yang dulu mendukung mereka kini semakin kecil, dan saya pun tidak tertarik lagi mendukung para pengecut itu.

KPK, saya yakin akan segera dicarikan pimpinan yang lebih "baik" menurut para Kartel. Nasib KPK akan persis sama dengan KPU, lembaga pengurus pemilu yang paling korup selama Republik ini dibentuk oleh para pendiri bangsa. Pimpinan KPU dan KPK nanti akan menjadi para robot yang bisa dikontrol oleh sang pencipta mereka. KPK, seperti KPU, hanya akan tampil dalam peristiwa-peristiwa ritual demokrasi. KPK hanya akan memeriksa para "koruptor" yang sudah didisain untuk diselidiki, misalnya para politisi atau elite parpol oposan yang nyleneh-nyleneh. KPK, memang masih akan ada dan berkiprah, tetapi akan sebagaimana telah diksenariokan, yaitu sebagai pencitraan sebuah politik tanpa nurani. (MASH)

No comments: