19 June 2010

MENGAJI BERSAMA GUS DUR (4): GERAKAN ISLAM DI INDONESIA

Muhammad A S Hikam


Gerakan Islam di Indonesia yang berkaitan dengan relasi agama dan kenegaraan dan kemasyarakatan, menurut Almaghfurlah, dapat dibuat kategorisasinya menjadi tiga keompok. Pertama, adalah kelompok yang menjadikan Islam sebagai alternatif dari seluruh tatanan atau system kehidupan baik politik maupun kemasyarakatan di negeri ini. Bagi kelompok ini, keniscayaan bahwa Islam adalah satu-satunya alternatif sistem tercermin dalam slogan "al Islam addiin wad daulah", 


Islam adalah agama dan sistem kenegaraan/ kemasyarakatan. Menggunakan selain Islam sebagai landasan paradigmatik dan kiprah kenegaraan dan kemasyarakatan, bukan saja dianggap keliru tetapi juga mesti ditolak dari segi ajaran keagamaan. Karenanya, Islam selalu berada dalam posisi berhadapan diametral dengan sistem yang selainnya. Termasuk di sini -dan terutama- sistem demokrasi dan paham sekularisme yang dianggap sebagai anti-tesis Islam, karena dianggap berlawanan secara prinsipil dari setidaknya dua segi: prinsip kedaulatan rakyat vs kedaulatan tuhan, dan prinsip sekular yang dianggap bertentangan dengan Syariah Islam.

Kedua, adalah kelompok yang menjadikan Islam sebagai nilai-niali yang harus mendominasi tatanan atau sistem ketatanegaraan dan kemasyarakatan, kendatipun tidak harus bersifat formal. Nilai-nilai Islam tersebut harus diejawantahkan dalam kehidupan politik, sosial dan budaya di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Islam atau gerakan Islam model ini menganggap bahwa sejauh bahwa nilai-nilai islami sudah menjadi menjadi semacam"dominant ideology" (ideologi dominan), maka dengan sendirinya proses islamisasi masyarakat akan terjadi dan tidak perlu menggunakan kekerasan atau formalisasi ajaran. Mirip dengan ideologi dominan di masyarakat Barat, yaitu Judeo-Christianity, yang mewarnai sistem sosial, politik dan budaya di sana, maka Islam pun bisa menjadi ideologi dominan di negeri ini dan mewarnai semua aspek kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan.

Ketiga, adalah kelompok yang oleh para pendukungnya disebut sebagai Transformatif. Pandangan kelompok ini lebih menitik beratkan kepada Islam sebagai bagian integral dari keindonesiaan yang memiliki status epistemologis yang sama dengan bagian-bagian lain dalam sebuah konteks Indonesia. Oleh sebab itu, pandangan kelompok ini tidak menganggap sistem yang berlaku di negeri ini, yang sudah menjadi kesepakatan nasional, seperti demokrasi, negara-bangsa, dan pluralisme budaya menjadi antitesa atau harus di tundukkan oleh sebuah ideologi hegemonik, apalagi ideologi dominan. Islam menempati posisi sebagai komplemen atau yang melengkapi mozaik-mozaik yang membentuk Indonesia. Penerimaan terhadap demokrasi, misalnya merupakan konsekuensi logis dari pandangan seperti ini sma halnya dengan penerimaan bentuk negara kebangsaan. Dari sisi penafsiran ajaran, maka bagi kelompok Transformatif, tidak ada sebuah formula baku mengenai sistem kenegaraan dalam Islam karena ajaran Islam dalam konteks historis dan kemasyarakatan juga memiliki berbagai wajah atau bentuk konkret. Klaim Islam sebagai alternatif atau ideologi dominan, tentu saja menjadi kehilangan appeal atau daya tariknya bagi pendukung gerakan ini karena hal itu menyiratkan posisi berhadapan dengan komponen lain yang semestinya sama.

Ketiga pandangan dan kelompok gerakan ini, dalam perkembangannya tentu memiliki berbgaia percabangan dan nuansa. Kelompok alternatif dan ideologis dominan, misalnya, memunculkan berbagai percabangan gerakan yang spektrumnya cukup luas ada yang radikal dan yang tidak terlalu radikal dan yang anti radikal. Kelompok Transformatif pada umumnya memiliki spektrum yang tidak terlalu luas karena lebih menekankan pada kerjasama lintas iman dan kekuatan masyarakat sipil dalam upaya-upaya demokratisasi, perlindungan HAM, pengkajian keislaman yang mendukung anti kekerasan, pemberdayaan jender, dsb. Alhasil, gerakan Islam transformatif merupakan sebuah species yang muncul dalam gerakan masyarakat sipil di Indonesia yang bersumber dari kekuatan cendekiawan Muslim dan ormas Islam yang memiliki visi kebangsaan dan demokrasi.

Dialektika dari ketiga kelompok inilah yang akan sangat menentukan bagaimana Islam dan gerakan Islam di negeri ini dan sebaliknya, bagaimanakah dinamika politik, sosial, dan budaya di Indonesia akan berkembang di masa depan. Gus Dur dalam berbagai kesempatan mengajukan usul agar dialog antara tiga kelompok ini terus menerus dilakukan seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada tataran nasional dan global. Oluralitas bangsa dan masyarakat serta budaya, termasuk plulaitas dalam masyarakat Islam, harus menjadi aset dan bukan sumber malapetaka bagi negeri ini. Mudah dikatakan, tetapi tidak mudah dilakukan, bukan?(MAS Hikam)


Sumber:

Abdurrahman Wahid, "Islam: Pokok dan Rincian," dalam Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute, 2006: 12-16.

No comments: