Pengantar:
Selain rubrik-rubrik "KENANGANKU DENGAN GUS DUR," dan "WAWANCARA IMAJINER DENGAN GUS DUR," kini rubrik MENGAJI DENGAN GUS DUR disajikan untuk para Gusdurians dan fbers umumnya. Rubrik ini dimaksudkan untuk mendiskusikan pemikiran dan gagasan Almaghfurlah Gus Dur (Karromallohu Wajhahu) yang terdapat dalam berbagai publikasi. Selamat mengaji bersama. Salam Gusdurians!
==========================
Pesantren sudah terlanjur menjadi sebuah lembaga yang kurang-lebih diidealkan sebagai tempat dan model pendidikan yang bukan saja betujuan meningkatkan pengetahuan (agama Islam), tetapi sekaligus membuat para murid (santri)nya peka terhadap permasalahan kemasyarakatan. Jika dipandang dari ajaran Al-Qur'an, maka pesantren adalah pengejawantahan dari "tafaqquh fid din" (memperdalam pemahaman keagamaan) dan"liyundziruu qoumahum idza roja'u ilaihim la'allakum yahdzaruun", (agar memberikan peringatan kepada mereka yang kembali dari peperangan agar mereka mendapat peringatan). Persoalannya adalah, bahwa pesantren dalam perjalanan sejarahnya mengalami pasang naik dan pasang surut yang membutuhkan perhatian serius apabila ia masih diharapkan tetap relevan dengan tantangan modernitas dan globalisasi yang terjadi.
Salah satu orientasi budaya (cultural orientation) kehidupan di dunia pesantren adalah apa yang disebut Gus Dur sebagai "orientasi serba fiqih". Menurut beliau, orientasi inilah yang menyebabkan warga pesantren memiliki kemandirian yang tinggi dan, secara historis, cenderung untuk "curiga' terhadap kekuasaan. Orientasi serba fiqih inilah yang membuat komunitas pesantren memiliki etos sosial (dan politis) untuk tidak tergantung pada patronase pejabat atau penguasa. Ketika orientasi budaya ini tergerus oleh modernitas melalui berbagai jalur (masuknya birokrasi pemerintahan, terserapnya para Kyai ke dalam lembaga-lembaga politik dan pemerintahan, dsb), maka norma-norma yang menjaga "tegaknya kerangka normatif kehidupan pesantren, mulai berkurang." Dengan demikian, kata almaghfurlah, permasalahan pokok yang dihadapi pesantren adalah: dapatkah orientasi budaya serba fiqih masih dapat dipertahankan di masa depan?
Tantangan untuk melestarikan dan mengembangkan orientasi budaya pesantren ini juga sangat relevan manakala kita menganggap bahwa komunitas pesantren adalah salah satu tiang penyangga masyarakat sipil (civil society) di negeri ini. Manakala orientasi ini luntur tergilas oleh etos modernitas yang serba duniawi, instant, dan konsumeristis, maka niscaya komunitas pesantren akan kehilangan jaridirinya dan otomatis civil society di negeri ini akan terpotong salah satu tiang penyangganya. Kemampuan NU menjadi salah satu motor penggerak reformasi dan demokratisasi pada akhir abad ke 20 jelas tidak akan bisa terulang apabila orientasi budaya pesantren tersebut tiada. Menjadi tugas para pengelola pesantren, khusunya para masyayikh dan santri-santrinya serta masyarakat di luar pesantren untuk bersinergi mempertahankan etos dan orientasi budaya tersebut, disamping membuat pesantren tidak mengisolasi diri dari perkembangan kehidupan modern.
Referensi:
"Dari Masa Lalu ke Masa Depan," dalam Bisri Effendy (ed.). Abdurrahman Wahid: Tuhan Tidak perlu Dibela. Yogyakarta: LKIS, 1999, hal. 55-60.
Salah satu orientasi budaya (cultural orientation) kehidupan di dunia pesantren adalah apa yang disebut Gus Dur sebagai "orientasi serba fiqih". Menurut beliau, orientasi inilah yang menyebabkan warga pesantren memiliki kemandirian yang tinggi dan, secara historis, cenderung untuk "curiga' terhadap kekuasaan. Orientasi serba fiqih inilah yang membuat komunitas pesantren memiliki etos sosial (dan politis) untuk tidak tergantung pada patronase pejabat atau penguasa. Ketika orientasi budaya ini tergerus oleh modernitas melalui berbagai jalur (masuknya birokrasi pemerintahan, terserapnya para Kyai ke dalam lembaga-lembaga politik dan pemerintahan, dsb), maka norma-norma yang menjaga "tegaknya kerangka normatif kehidupan pesantren, mulai berkurang." Dengan demikian, kata almaghfurlah, permasalahan pokok yang dihadapi pesantren adalah: dapatkah orientasi budaya serba fiqih masih dapat dipertahankan di masa depan?
Tantangan untuk melestarikan dan mengembangkan orientasi budaya pesantren ini juga sangat relevan manakala kita menganggap bahwa komunitas pesantren adalah salah satu tiang penyangga masyarakat sipil (civil society) di negeri ini. Manakala orientasi ini luntur tergilas oleh etos modernitas yang serba duniawi, instant, dan konsumeristis, maka niscaya komunitas pesantren akan kehilangan jaridirinya dan otomatis civil society di negeri ini akan terpotong salah satu tiang penyangganya. Kemampuan NU menjadi salah satu motor penggerak reformasi dan demokratisasi pada akhir abad ke 20 jelas tidak akan bisa terulang apabila orientasi budaya pesantren tersebut tiada. Menjadi tugas para pengelola pesantren, khusunya para masyayikh dan santri-santrinya serta masyarakat di luar pesantren untuk bersinergi mempertahankan etos dan orientasi budaya tersebut, disamping membuat pesantren tidak mengisolasi diri dari perkembangan kehidupan modern.
Referensi:
"Dari Masa Lalu ke Masa Depan," dalam Bisri Effendy (ed.). Abdurrahman Wahid: Tuhan Tidak perlu Dibela. Yogyakarta: LKIS, 1999, hal. 55-60.
No comments:
Post a Comment