12 June 2010

MENGAJI DENGAN GUS DUR (3): MODERNITAS, TRADISI ISLAM, DAN TRADISIONALISME ISLAM

Muhammad A S Hikam


Wacana dan perdebatan tentang Islam di tingkat dunia maupun di Indonesia tidak akan lengkap jika tidak menyinggung masalah pergelutan antara tradisi Islam dengan apa yang disebut dengan "tradisionalisme" Islam. Tradisi Islam menyiratkan sebuah khazanah peradaban dan budaya yang telah berabad-abad lamanya yang juga menampikan sebuah corpus pengetahuan mengenai ajaran serta aplikasinya dalam rentetan panjang sejarah semenjak agama ini diturunkan di Makkah pada abad ke VII Masehi. Sementara itu, tradisionalisme Islam atau "Islamic traditionalism" adalah paham atau gerakan yang mencoba mempertahankan wacana dan praksis yang dianggap sebagai ortodoksi atau tradisi yang utama (salafus shalih). Oleh karenanya ia sering diberi juga label "Salafi" yang membedakan diri dengan modernisme Islam atau "khalafi".

Segera menjadi jelas bahwa sebagi tradisi atau khazanah peradaban dan kebudayaan, Islam telah membuktikan diri sebagai fenomena kesejarahan manusia di dunia yang pernah mencapai kejayaannya dan meninggalkan warisan bagi kemanusiaan yang nyaris tiada taranya: ilmu pengetahuan dan teknologi, disamping ajaran-ajaran keagamaan monotheisme, etika kemanusaan dan kemasyarakatan yang menjunjung kesetaraan dan keadilan, serta seni adiluhung di berbagai belahan dunia. Kendati islam sebagai fenomena sejarah dan peradaban kemudian mengalami kemunduran, toh saat ini relevansi dan kontribusinya terhadap ummat manusia kembali diharapkan setelah dunia mengalami berbgai krisis sebagai hasil samping dari modernitas dan prosesnya, yaitu modernisasi. Khazanah Islam, semenjak akhir abad ke duapuluh, mulai mengalami kebangkitan dengan munculnya kegiatan-kegiatan pengkajian dan penelitian di seluruh belahan dunia baik yang duni oleh masyarakat Muslim ataupun non Muslim. Istilah kebangkitan Islam atau "Islamic revivalism", tidaklah secara eksklusif mengacu pada bidang politik belaka, tetapi lebih luas dan mendalam karena melingkupi semua dimensi kehidupan kemanusiaan dan terjadi pada tataran mondial.

Pada sisi lain, kebangkitan kembali Islam pun ditengarai dengan maraknya paham dan gerakan Salafi. Di kawasan Timur Tengah, salafisme berujud pada berbagai paham dan gerakan fundamentalis Islam, baik yang radikal dmaupun non radikal dalam metodologi dan metode pengembangannya. Ciri khas dari gerakan Salafi adalah hasrat untuk kembali kepada komunitas awal yang dibayangkan (imagined original community) dan berada pada garis yang diametral menentang wacana dan praksis yang dianggap bertentangan dengan pemahaman mereka. Tentu saja seperti paham dan gerakan lain, Salafisme juga berbagai-bagai dan tidak tunggal. Di negara kita, faham dan gerakan Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah mengambil ajaran-ajaran Salafi namun dalam bingkai dan pemaknaan yang berbeda dengan, katakanlah, Hizbut Tahrir atau Ikhwanul Muslimin. NU dan Muhammadiyah, misalnya, tidak memandang masalah Khilafah Islamiah atau penerapan Syariat Islam secara formal sebagai keniscayaan. Modernitas dan modernisasi pun, dalam paradigma Salafiyah NU, bukan dianggap sebagi sebuah lawan mutlak namun sebagai sebuah realitas yang harus dihadapi secara positif, bijak, dan menekankan kepada manfaat ketimbang mafsadat (kerusakan) yang diakibatkannya.

Itulah sebabnya, Almaghfurlah Gus Dur senantiasa mengingatkan dan memperjuangkan revitalisasi tradisi Islam, bukan tradisionalisme Islam. Salafiyah NU mengandung pemahaman inklusif dan kontekstual serta menggunakan rasionalitas dalam pengembangan ajaran serta kiprah kemasyarakatan. Bukan berarti bahwa kita harus mengesampingkan atau memandang enteng tradisionalisme. Tetapi "unsur-unsur irrasional yang akan menghambat fungsionalisasi tradisionalisme itu sendiri haruslah diganti dengan nilai-nilai rasional yang akan menjamin kelangsungan traddisonalisme agama itu". Lebih jauh, Gus Dur menyatakan bahwa " revitalisasi tradisionalisme... sangat diperlukan dalam betuk memasukkan unsur-unsur rasional ke dalamnya." Dengan demikan, modernitas dan juga modernisme yang marak berkembang di kalangan ummat Islam dapat bersinergi secara positif, bukan antagonistik dan saling menagasikan (mutually destructive).

Pencarian metodologi dan metode pengembangan tradisi Islam melewati Salafisme (tradisionalisme Islam) dan modernisme Islam, tampaknya bukanlah sebuah pilihan "either/or" bagi Almaghfurlah GD. Keduanya diperlukan karena keduanya juga memiliki "turath" dalam Islam. Yang penting adalah apapun yang dikembangkan harus diabadikan untuk kesejahteraan umum (maslakhah 'ammah), bukan eksklusifisme, apalagi penindasan terhadap yang lain. Kemungkinan terjadinya dialog intra dan antar peradaban dan buday, bagi GD lebih terbuka dan didukung ketimbang benturan peradaban dan budaya sebagaimana pernah diramalkan oleh Samuel Huntington. Inilah sebuah proyek pencerahan (Enlightenment Project) yang harus kita teruskan sebagai warisan dari Almaghfurlah Gus Dur. (MAS Hikam)

Sumber:

Abdurrahman Wahid, "Islam, Agama Populer atau Elitis?," dalam Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute, 2006, hal.34-7.

No comments: