skip to main |
skip to sidebar
Muhammad A S Hikam
Sudah
jamak-lumrahnya kalau dalam berpolitik, senantiasa akan ada perbedaan
pendapat mengenai sukses atau kegagalan seorang yang diberi amanah
sebagai pemimpin. Dalam sistem politik yang demokratis, perbedaan
pendapat itu justru menjadi salah satu alat ukur penting dan juga
dinamisator kemajuannya. Dalam sistem yang tidak
demokratis, perbedaan pendapat dianggap sebagai sebuah tabu dan bahkan
bisa dikenai tuduhan sebagai pemberontak. Jika sistem politik tersebut
totaliter, maka pendapat yang berbeda dengan Sang Pemimpin Besar akan
dicap sebagai penghianatan (act of treason) terhadap negara sehingga
menjadi tindak pidana serius yang bisa dihukum berat. Apakah sebuah
negara dikatakan demokratis atau tidak, salah satu ukurannya adalah
bagaimana sistem politik yang ada mengelola perbedaan pendapat
tersebut: semakin ada keterbukaan untuk berbeda pendapat, biasanya
dianggap semakin demokratis, dan sebaliknya.
Di negeri ini,
sudah jelas perbedaan pendapat sangat diakomodasi dalam Konstitusinya,
bahkan ditahbiskan sebagai salah satu hak asasi warganegara. Karena
itu, jika ada upaya baik sistematis maupun tersembunyi untuk membungkam
hak untuk berbeda pendapat, niscaya bisa langsung disebut sebagai upaya
yang inkonstitusional. Rezin-rezim otoriter yang pernah hadir dan
tumbang di negeri ini, adalah bukti nyata bahwa rakyat memiliki
komitmen untuk mempertahankan hak dasar ini, sehingga wajar sekali
manakala muncul sinyal atau pertanda akan adanya upaya melarang kritik
dan perbedaan pandangan antara penguasa dan rakyat, lalu terjadi reaksi
negatif. Penguasa, yang juga memiliki hak untuk menunjukkan bahwa ia
telah melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, harus berhati-hati
dalam mengelola isu yang satu ini. Kegagalan memberikan jawaban yang
tepat terhadap kritik atas kinerjanya bisa menimbulkan implikasi serius
yang berpotensi meruntuhkan legitimasi dan kesuksesan yang sejatinya
telah, sedang, dan akan diraihnya.
Dalam praktik demokrasi di
negara-negara yang sudah berpengalaman mengelola perbedaan pendapat
itu, biasanya penguasa tidak mudah terprovokasi apalagi sampai dianggap
"berkuping tipis" terhadap kritik. Karena itulah saya sangat apresiasi
ketika Presiden SBY mengingatkan jajaran Polri agar jangan berkuping
tipis dalam merespon kritik seputar gambar karikatur di Majalah Tempo
beberapa waktu lalu. Peringatan Pak SBY ini saya kira juga berlaku
untuk seluruh jajaran elit politik, termasuk yang beliau pimpin juga.
Kalaulah beliau memberi warning kepada pihak yang dianggap
mengampanyekan "keburukan" pemerintahannya, maka perlu pula dilakukan
secara proporsional. Saya kira sah-sah saja beliau mengemukakan
"counter critique" tersebut, karena kalau beliau diam nanti dianggap
publik sebagai pihak yang tidak punya kepekaan juga!
Hemat saya,
kalaupun kelompok Nasdem dianggap melakukan kritik terhadap kinerja
pemerintah maka itu wajar dan harus dianggap sebagai sebuah dinamika
positif dalm kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejauh bahwa
kritik-kritik Nasdem memang suecara substansi memiliki validitas dan
diutarakan melalui argumen yang rasional, maka pemerintah wajib
mendengar dan jika perlu mengoreksi pun harus seimbang. Publik yang
pada umumnya masih belum mampu membedakan antra kritik dan hujatan
harus diajak dan dilatih memahami bagaimana perbedaan paham dikelola
dengan pas sehingga produktif dan tidak destruktif. Si pengritik tidak
sekedar berbeda atau "waton suloyo" dan "pokoke", namun memakai argumen
yang bisa diverifikasi slah dan benarnya secara empiris. Jika pada
akhirnya tidak terjadi kesepahaman, maka jalan yg paling ideal adalah
keduanya sepakat untuk tidak sepakat dan menyerahkan kepada publik mana
yang akan diserahi sebagai pemegang amanah.
Pengelolaan kritik
dalam sistem demokrasi memang tidak seperti dalam sistem lain, dan
karenanya juga memerlukan topangan budaya yang akomodatif thd
perbedaan. Pertanyaannya adalah, apakah budaya seperti itu sudah kita
miliki secara riil ataukah baru pada taraf wacana dan slogan saja? Saya
khawatir justru dalam soal yang satu ini (budaya), bangsa kita paling
lemah. Buktinya adalah mudahnya sekelompok orang melakukan tindak
kekerasan seperti sweeping dan perusakan serta penghilangan harta benda
dan bahkan nyawa sesama anak bangsa, hanya karena perbedaan tafsir atas
agama atau etnisitas, dan ras. Penguasa pun lebih suka memihak kelompok
yang suaranya paling keras dan pendukungnya banyak dengan alasan itulah
demokrasi. Padahal, salah satu nilai budaya demokrasi yang terpenting
adalah: bagi si mayoritas dituntut menghormati hak-hak dasar si
minoritas, dan si minoritas menghormati dan menaati konsensus bersama.
Ujung-ujungnya, demokrasi malah menjadi alat pengabsahan penindasan
karena ia dimengerti dan dipraktikkan di luar etika dan moralitas serta
budaya yang semestinya menjadi penuntunnya.
No comments:
Post a Comment