19 June 2010

MENGAJI BERSAMA GUS DUR (4): GERAKAN ISLAM DI INDONESIA

Muhammad A S Hikam


Gerakan Islam di Indonesia yang berkaitan dengan relasi agama dan kenegaraan dan kemasyarakatan, menurut Almaghfurlah, dapat dibuat kategorisasinya menjadi tiga keompok. Pertama, adalah kelompok yang menjadikan Islam sebagai alternatif dari seluruh tatanan atau system kehidupan baik politik maupun kemasyarakatan di negeri ini. Bagi kelompok ini, keniscayaan bahwa Islam adalah satu-satunya alternatif sistem tercermin dalam slogan "al Islam addiin wad daulah", 


Islam adalah agama dan sistem kenegaraan/ kemasyarakatan. Menggunakan selain Islam sebagai landasan paradigmatik dan kiprah kenegaraan dan kemasyarakatan, bukan saja dianggap keliru tetapi juga mesti ditolak dari segi ajaran keagamaan. Karenanya, Islam selalu berada dalam posisi berhadapan diametral dengan sistem yang selainnya. Termasuk di sini -dan terutama- sistem demokrasi dan paham sekularisme yang dianggap sebagai anti-tesis Islam, karena dianggap berlawanan secara prinsipil dari setidaknya dua segi: prinsip kedaulatan rakyat vs kedaulatan tuhan, dan prinsip sekular yang dianggap bertentangan dengan Syariah Islam.

Kedua, adalah kelompok yang menjadikan Islam sebagai nilai-niali yang harus mendominasi tatanan atau sistem ketatanegaraan dan kemasyarakatan, kendatipun tidak harus bersifat formal. Nilai-nilai Islam tersebut harus diejawantahkan dalam kehidupan politik, sosial dan budaya di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Islam atau gerakan Islam model ini menganggap bahwa sejauh bahwa nilai-nilai islami sudah menjadi menjadi semacam"dominant ideology" (ideologi dominan), maka dengan sendirinya proses islamisasi masyarakat akan terjadi dan tidak perlu menggunakan kekerasan atau formalisasi ajaran. Mirip dengan ideologi dominan di masyarakat Barat, yaitu Judeo-Christianity, yang mewarnai sistem sosial, politik dan budaya di sana, maka Islam pun bisa menjadi ideologi dominan di negeri ini dan mewarnai semua aspek kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan.

Ketiga, adalah kelompok yang oleh para pendukungnya disebut sebagai Transformatif. Pandangan kelompok ini lebih menitik beratkan kepada Islam sebagai bagian integral dari keindonesiaan yang memiliki status epistemologis yang sama dengan bagian-bagian lain dalam sebuah konteks Indonesia. Oleh sebab itu, pandangan kelompok ini tidak menganggap sistem yang berlaku di negeri ini, yang sudah menjadi kesepakatan nasional, seperti demokrasi, negara-bangsa, dan pluralisme budaya menjadi antitesa atau harus di tundukkan oleh sebuah ideologi hegemonik, apalagi ideologi dominan. Islam menempati posisi sebagai komplemen atau yang melengkapi mozaik-mozaik yang membentuk Indonesia. Penerimaan terhadap demokrasi, misalnya merupakan konsekuensi logis dari pandangan seperti ini sma halnya dengan penerimaan bentuk negara kebangsaan. Dari sisi penafsiran ajaran, maka bagi kelompok Transformatif, tidak ada sebuah formula baku mengenai sistem kenegaraan dalam Islam karena ajaran Islam dalam konteks historis dan kemasyarakatan juga memiliki berbagai wajah atau bentuk konkret. Klaim Islam sebagai alternatif atau ideologi dominan, tentu saja menjadi kehilangan appeal atau daya tariknya bagi pendukung gerakan ini karena hal itu menyiratkan posisi berhadapan dengan komponen lain yang semestinya sama.

Ketiga pandangan dan kelompok gerakan ini, dalam perkembangannya tentu memiliki berbgaia percabangan dan nuansa. Kelompok alternatif dan ideologis dominan, misalnya, memunculkan berbagai percabangan gerakan yang spektrumnya cukup luas ada yang radikal dan yang tidak terlalu radikal dan yang anti radikal. Kelompok Transformatif pada umumnya memiliki spektrum yang tidak terlalu luas karena lebih menekankan pada kerjasama lintas iman dan kekuatan masyarakat sipil dalam upaya-upaya demokratisasi, perlindungan HAM, pengkajian keislaman yang mendukung anti kekerasan, pemberdayaan jender, dsb. Alhasil, gerakan Islam transformatif merupakan sebuah species yang muncul dalam gerakan masyarakat sipil di Indonesia yang bersumber dari kekuatan cendekiawan Muslim dan ormas Islam yang memiliki visi kebangsaan dan demokrasi.

Dialektika dari ketiga kelompok inilah yang akan sangat menentukan bagaimana Islam dan gerakan Islam di negeri ini dan sebaliknya, bagaimanakah dinamika politik, sosial, dan budaya di Indonesia akan berkembang di masa depan. Gus Dur dalam berbagai kesempatan mengajukan usul agar dialog antara tiga kelompok ini terus menerus dilakukan seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada tataran nasional dan global. Oluralitas bangsa dan masyarakat serta budaya, termasuk plulaitas dalam masyarakat Islam, harus menjadi aset dan bukan sumber malapetaka bagi negeri ini. Mudah dikatakan, tetapi tidak mudah dilakukan, bukan?(MAS Hikam)


Sumber:

Abdurrahman Wahid, "Islam: Pokok dan Rincian," dalam Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute, 2006: 12-16.

selengkapnya >>>

12 June 2010

KPK DAN "POLITIK TANPA NURANI"

Muhammad A S Hikam

Siapa yang masih percaya, di Republik ini, bahwa hukum bisa bebas dari kepentingan politik, saya anjurkan untuk meninjau kembali kepercayaan itu, sebelum bertambah-tambah kekecewaan dan berujung pada frustrasi dan apati. Orang yang percaya bahwa supremasi hukum harus dipegang teguh "kendati langit besuk mau runtuh", niscaya tidak memahami realita yang ada di Indonesia atau orang naif atau orang yang "ngeyel" atau campuran dari ketiga-tiganya.

Kasus penolakan Kejaksaan Agung (Kejagung) RI untuk melakukan upaya hukum melalui deponeering terhadap putusan hukum dari PN Jakarta Selatan dan PT Jakarta Pusat terhadap gugatan pra -peradilan para pengacara Anggodo, adalah contoh paling mutakhir. Pada mulanya adalah sebuah pertikaian antara para penegak dan lembaga hukum: Polri, KPK, Kejagung mengenai apa yang dikenal dalam wacana publik sebagai kasus "Cicak vs Buaya." Polri dan Kejagung, didukung oleh Komisi III DPR RI ingin menjadikan dua orang pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto (BSR) dan Chandra Hamzah (CH) sebagai tersangka pemerasan, dan malah sudah sempat membuat keduanya ditahan dan non aktif sebgai pejabat lembaga pemberantas korupsi itu. Publik, civil society, dan para pekerja demokrasi bersikap menentang terhadap ketiga lembaga tersebut dan melakukan gerakan "pro cicak" yang memaksa Pemerintah SBY untuk membentuk Tim 8 untuk mencari penyelesaian, yang ternyata kemudian berhasil "menghentikan" kehendak ketiga lembaga tersebut. Oleh pemerintah, disarankan kepada kejagung agar mencari solusi di luar pengadilan (out of court settlement) sehingga masing-masing pihak tidak kehilangan muka, sedangkan urusan Bibit dan Chandra bisa diselesaikan dan posisi mereka sebagai pejabay pimpinan KPK dikembalikan. Kejagung kemudian memilih alternatif mengeluarkan SKP2 (Surat Keputusan Penghentian Pemeriksaan) yang dianggap lebih tepat ketimbang deponeering, dan Bibit -Chandra pun melenggang keluar untuk kemudian bertugas lagi. Selesai? Ternyata belum.

Giliran Anggodo dan Anggoro yang merasa diperas, melakukan upaya hukum melalui pengacaranya, Bonaran Situmeang, untuk meminta agar urusan Bibit dan Chandra yang sudah SP-21 tetap dilanjutkan dan menolak SKP2 kejagung. Ternyata upaya mereka dikabulkan oleh Pengadilan, baik di tingkat PN maupun banding di PT, yang berarti keoutusan itu tidak bisa dimintakan Kasasi. Seruan dari para pendukung KPK dan Bibit serta Chandra, termasuk Tim 8 (yg sudah dibubarkan itu) agar Kejagung kembali mengambil langkah deponeering, ternyata diabaikan. Alih-alih, sekarang Kejagung memilih jalan PK ke MA untuk memohon agar putusan-putusan kedua Pengadilan tersebut dibatalkan. Kejagung, konon, bersikukuh bahwa jalan atau proses deponeering akan sulit karena harus meminta saran dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk melakukannya. Padahal, PK juga tidak mudah untuk dilakukan, karena harus ada novum dan beberapa hal lain yang mesti dipenuhi oleh kejagung.

Bagi saya yang bukan ahli hukum, masalah ini sangat sarat dengan politisasi. Saya cenderung melihat bahwa sejak awal kehadiran KPK dan kiprahnya melakukan pemberantasan korupsi memang sudah dianggap sebagai ancaman oleh berbagai pihak, termasuk aparat Pemerintah, lembaga penegak hukum, politisi anggota Parlemen, elit parpol yang berkuasa maupun yang di oposisi, dan juga oleh sementara konglomerat hitam. KPK, barangkali, pada awalnya adalah "hanya" dimaksudkan sebagai bagian integral dari "politik pencitraan" yang oleh Bu Megawati Soekarnoputri disebut aksi tebar pesona dari penguasa. Sebagai sebuah upaya pencitraan, KPK sejatinya tidak dimaksudkan untuk bisa bekerja serius dan melakukan berbagai penyelidikan, penyidikan, penangkapan, dan pemrosesan hukum sampai ke penghukuman para koruptor. Kalau toh KPK mau melakukannya, mestinya harus "tebang pilih" dan dilarang menyentuh pihak-pihak atau sosok-sosok figur yang berkuasa atau lembaga-lembaga yang memiliki kaitan juga dengan hukum. 

Sayangnya, KPK ternyata seperti tidak paham dengan "asbabun nuzul" dan maunya sang pencipta. Justru bagaikan monster Frankenstein, dia malah melawan induk semangnya dengan melakukan tindakan-tindakan sangar tak peduli siapapun. Kalau perlu, besan Presiden, jendral Polisi, Jaksa tinggi, Hakim tinggi, birokrat dan pejabat teras, anggota Parlemen, petinggi parpol, apalagi para koruptor teri, dibabatnya semua. Maka herankah anda jika kemudian kehadirn dan kiprah KPK menjadi semacam "musuh bersama" alias "common enemy"?. KPK adalah monster buta yang mesti ditundukkan dan dimasukkan dalam kerangkeng, lalu kuncinya dibuang ke laut. KPK jika dibiarkan akan menjadi super body yang memiliki legitimasi politik luar biasa karena publik di negeri ini memang sedang marah terhadap para koruptor! Kendati usia hidup KPK cuma pendek (karena memang lembaga sementara), tetapi tidak ada jaminan bahwa sang pencipta (pemerintah dan dpr) bisa membubarkannya, manakala publik tetap mendukungnya! Sati satunya cara adalah bagaimanan membuat para monster yang tidak paham politik itu menyerah atau dibungkam, lalu diganti dengan monster robot yang memang bisa di remote control. Dan operasi "Cicak" pun segera dilaksanakan.

Lawan-lawan KPK sudah cukup bungah hatinya ketika Bibit dan Chandra bisa diberhentikan sementara dan masuk bui. Sayang sekali, rekaman obrolan Anggodo dengan beberapa Oknum penegak hukum kemudian bocor dan publik se Indonesia mengikuti dengan terpana bagaimana kebusukan dan penghianatan serta perselingkuhan antara para penegak hukum dan penjahat dilakukan dengan begitu terang-terangan (dan smbil cengengesan pula!). Shock lah para pemburu monster itu, dan seluruh upaya penyelamatan operasi Cicak pun dikerahkan untuk membendungnya: di parlemen, komisi III dengan heroiknya mencoba mendorong agar Tim 8 distop dan Kejagung lanjut, serta Susno menjadi pendekar besar penegak hukum dalam rapat-rapat dengar pendapatnya. Upaya mereka harus direm untuk sementara, menunggu waktu agar publik mulai lupa dan asyik dengan "mainan" baru seperti Centurygate dsb. Tetapi tentu para pemburu monster tetap tak mau menyerah ketika diminta melepaskan Bibit dan Chandra begitu saja. Maka dibuatlah sebuah bom waktu yang bernama SKP2, yang sejak awak sudah dicium bau mesiunya oleh para ahli hukum dan para penggerak anti korupsi.

Sayangnya, kekuatan memainkan proses hukum masih tetap berada di tangan lawan-lawan KPK. Para pendukung KPK kini kebat-kebit hatinya karena jagoan mereka akan sangat rentan nasibnya dalam konteks politik sekarang, manakala Kartel politik telah terbentuk dan telah menampilkan suksesnya membendung Centurygate. Apalagi banyak orang, termasuk saya, yang harus kecewa dengan kiprah KPK setelah Bibit dan Chandra kembali menjadi pejabat. Karena mereka ternyata mlempem ketika diminta ketegasannya mengurus proses hukum para pelaku korupsi dalam Centurygate. KPK malah aneh-aneh kelakuannya: melakukan pemeriksaan di kantor Pak Boed dan Bu Sri Mulyani, menunda-nunda pemeriksaan, terpevah dalam menyikapi keputusan Pansus DPR soal Centurygate, dan yang paling gres mengatakan "belum menemukan tindak pidana korupsi dalam masalah bailout Bank Century."!! Publik yang dulu mendukung mereka kini semakin kecil, dan saya pun tidak tertarik lagi mendukung para pengecut itu.

KPK, saya yakin akan segera dicarikan pimpinan yang lebih "baik" menurut para Kartel. Nasib KPK akan persis sama dengan KPU, lembaga pengurus pemilu yang paling korup selama Republik ini dibentuk oleh para pendiri bangsa. Pimpinan KPU dan KPK nanti akan menjadi para robot yang bisa dikontrol oleh sang pencipta mereka. KPK, seperti KPU, hanya akan tampil dalam peristiwa-peristiwa ritual demokrasi. KPK hanya akan memeriksa para "koruptor" yang sudah didisain untuk diselidiki, misalnya para politisi atau elite parpol oposan yang nyleneh-nyleneh. KPK, memang masih akan ada dan berkiprah, tetapi akan sebagaimana telah diksenariokan, yaitu sebagai pencitraan sebuah politik tanpa nurani. (MASH)

selengkapnya >>>

MENGAJI DENGAN GUS DUR (3): MODERNITAS, TRADISI ISLAM, DAN TRADISIONALISME ISLAM

Muhammad A S Hikam


Wacana dan perdebatan tentang Islam di tingkat dunia maupun di Indonesia tidak akan lengkap jika tidak menyinggung masalah pergelutan antara tradisi Islam dengan apa yang disebut dengan "tradisionalisme" Islam. Tradisi Islam menyiratkan sebuah khazanah peradaban dan budaya yang telah berabad-abad lamanya yang juga menampikan sebuah corpus pengetahuan mengenai ajaran serta aplikasinya dalam rentetan panjang sejarah semenjak agama ini diturunkan di Makkah pada abad ke VII Masehi. Sementara itu, tradisionalisme Islam atau "Islamic traditionalism" adalah paham atau gerakan yang mencoba mempertahankan wacana dan praksis yang dianggap sebagai ortodoksi atau tradisi yang utama (salafus shalih). Oleh karenanya ia sering diberi juga label "Salafi" yang membedakan diri dengan modernisme Islam atau "khalafi".

Segera menjadi jelas bahwa sebagi tradisi atau khazanah peradaban dan kebudayaan, Islam telah membuktikan diri sebagai fenomena kesejarahan manusia di dunia yang pernah mencapai kejayaannya dan meninggalkan warisan bagi kemanusiaan yang nyaris tiada taranya: ilmu pengetahuan dan teknologi, disamping ajaran-ajaran keagamaan monotheisme, etika kemanusaan dan kemasyarakatan yang menjunjung kesetaraan dan keadilan, serta seni adiluhung di berbagai belahan dunia. Kendati islam sebagai fenomena sejarah dan peradaban kemudian mengalami kemunduran, toh saat ini relevansi dan kontribusinya terhadap ummat manusia kembali diharapkan setelah dunia mengalami berbgai krisis sebagai hasil samping dari modernitas dan prosesnya, yaitu modernisasi. Khazanah Islam, semenjak akhir abad ke duapuluh, mulai mengalami kebangkitan dengan munculnya kegiatan-kegiatan pengkajian dan penelitian di seluruh belahan dunia baik yang duni oleh masyarakat Muslim ataupun non Muslim. Istilah kebangkitan Islam atau "Islamic revivalism", tidaklah secara eksklusif mengacu pada bidang politik belaka, tetapi lebih luas dan mendalam karena melingkupi semua dimensi kehidupan kemanusiaan dan terjadi pada tataran mondial.

Pada sisi lain, kebangkitan kembali Islam pun ditengarai dengan maraknya paham dan gerakan Salafi. Di kawasan Timur Tengah, salafisme berujud pada berbagai paham dan gerakan fundamentalis Islam, baik yang radikal dmaupun non radikal dalam metodologi dan metode pengembangannya. Ciri khas dari gerakan Salafi adalah hasrat untuk kembali kepada komunitas awal yang dibayangkan (imagined original community) dan berada pada garis yang diametral menentang wacana dan praksis yang dianggap bertentangan dengan pemahaman mereka. Tentu saja seperti paham dan gerakan lain, Salafisme juga berbagai-bagai dan tidak tunggal. Di negara kita, faham dan gerakan Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah mengambil ajaran-ajaran Salafi namun dalam bingkai dan pemaknaan yang berbeda dengan, katakanlah, Hizbut Tahrir atau Ikhwanul Muslimin. NU dan Muhammadiyah, misalnya, tidak memandang masalah Khilafah Islamiah atau penerapan Syariat Islam secara formal sebagai keniscayaan. Modernitas dan modernisasi pun, dalam paradigma Salafiyah NU, bukan dianggap sebagi sebuah lawan mutlak namun sebagai sebuah realitas yang harus dihadapi secara positif, bijak, dan menekankan kepada manfaat ketimbang mafsadat (kerusakan) yang diakibatkannya.

Itulah sebabnya, Almaghfurlah Gus Dur senantiasa mengingatkan dan memperjuangkan revitalisasi tradisi Islam, bukan tradisionalisme Islam. Salafiyah NU mengandung pemahaman inklusif dan kontekstual serta menggunakan rasionalitas dalam pengembangan ajaran serta kiprah kemasyarakatan. Bukan berarti bahwa kita harus mengesampingkan atau memandang enteng tradisionalisme. Tetapi "unsur-unsur irrasional yang akan menghambat fungsionalisasi tradisionalisme itu sendiri haruslah diganti dengan nilai-nilai rasional yang akan menjamin kelangsungan traddisonalisme agama itu". Lebih jauh, Gus Dur menyatakan bahwa " revitalisasi tradisionalisme... sangat diperlukan dalam betuk memasukkan unsur-unsur rasional ke dalamnya." Dengan demikan, modernitas dan juga modernisme yang marak berkembang di kalangan ummat Islam dapat bersinergi secara positif, bukan antagonistik dan saling menagasikan (mutually destructive).

Pencarian metodologi dan metode pengembangan tradisi Islam melewati Salafisme (tradisionalisme Islam) dan modernisme Islam, tampaknya bukanlah sebuah pilihan "either/or" bagi Almaghfurlah GD. Keduanya diperlukan karena keduanya juga memiliki "turath" dalam Islam. Yang penting adalah apapun yang dikembangkan harus diabadikan untuk kesejahteraan umum (maslakhah 'ammah), bukan eksklusifisme, apalagi penindasan terhadap yang lain. Kemungkinan terjadinya dialog intra dan antar peradaban dan buday, bagi GD lebih terbuka dan didukung ketimbang benturan peradaban dan budaya sebagaimana pernah diramalkan oleh Samuel Huntington. Inilah sebuah proyek pencerahan (Enlightenment Project) yang harus kita teruskan sebagai warisan dari Almaghfurlah Gus Dur. (MAS Hikam)

Sumber:

Abdurrahman Wahid, "Islam, Agama Populer atau Elitis?," dalam Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute, 2006, hal.34-7.

selengkapnya >>>

05 June 2010

MENGAJI DENGAN GUS DUR (2): ISLAM DAN KEKERASAN

Muhammad A S Hikam


Beberapa hari lalu kita menyaksikan ulah Pemerintah Israel yang sangat mencederai nilai-nilai HAM, yaitu menyerangan pasukan Komando AL nya terhadap para relawan kemanusiaan yang berada di Kapal Mavi Marmara di perairan Internasional dekat Gaza. Tak kurang dari 19 orang dikabarkan tewas dan puluhan terluka akibat serangan tersebut, padahal para relawan tersebut jelas bukan bermaksud melakukan serangan dan tak bersenjata. Mereka hanya berniat menembus blokade yang diberlakukan pemerintah Israel terhadap wilayah Gaza yang sudah lebih dari satu setengah tahun lamanya, sehingga warga Palestina di wilayah tersebut mengalami kekurangan supply makanan, air besrih, dan jaminan kesehatan. Walhasil, sebuah perkara ketertindasan manusia (human sufferings) yang parah sedang berlangsung, dan sudah sewajarnya bila para komunitas Internasional menginginkan adanya intervensi kemanusiaan (humanitarian interventions) dengan membuka blokade dan memberikan berbagai bantuan kemanusiaan yang diperlukan oleh rakyat Palestina.

Akibat kebiadaban tentara Israel itulah di seluruh dunia muncul kecaman, termasuk di negara-negara yang biasanya mendukung Israel tanpa reserve. Di negeri kita pun, yang jelas sekali posisinya dalam soal konflik Israel-Palestina, kemarahan publik sangat besar dan berbagai protes serta demonstrasi anti israel dan pro Palestina pun digelar hampir di selurug wilayah Republik. Kemarahan publik, khususnya ummat Islam, terhadap kebiadaban yang terjadi (dan sebelumnya), tentu sangat bisa dipahami. Bagaimanapun juga selain masalah ini selalu terkait dengan solidaritas ummat Islam (ukhuwah Islamiah), tetapi juga berkaitan dengan amanat Konstitusi kita yang menyatkan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, sehingga seluruh penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.

Masalahnya adalah, apakah hujatan, kemarahan serta gagasan melakukan tindak kekerasan yang sering tampak dalam protes-protes tersebut merupakan ajaran islam dan merupakan strategi resolusi konflik yang akan efektif?. Almaghfurlah Gus Dur seringkali mengingatkan bahwa ajaran islam menolak kekerasan. Menurut beliau "satu-satunya alasan untuk menggunakan kekerasan adalah jika kaum Muslimin diusir dari tempat tinggal mereka (idza ukhrija min diyaarihim)." Bahkan dalam hal inipun, menurut beliau "masih diperdebatkan , bolehkah kaum Muslimin membunuh orang lain, jika jiwanya sendiri tidak terancam." Dengan pandangan seperti ini GD memang memosisikan diri pada tempat yang sangat bertentangan dengan sebagian kelompok dan gerakan Islam (bahkan mungkin di antara kelompok Nahdliyyin sendiri) yang mengedepankan pemakaian pendekatan kekerasan, termasuk dalam penyelesaian konflik israel-Palestina.

GD jelas menolak kekerasan dan cara-cara biadap yang dilakukan pemerintah Israel menghadapi tuntutan HAM dari warga Palestina, termasuk memiliki negara merdeka, berdaulat dan bermartabat. Namun GD juga menolak penggunaan cara-cara ekstremis termasuk teror yang dilakukan juga oleh sementara kelompok di Palestina dan kelompok radikal Islam lain. GD juga mengeritik sikap standar ganda pemerintah-pemerintah adikuasa seperti AS dan EU karena hal itu hanya akan lebih meningkatkan kemarahan ummat islam dan membuka peluang lebih besar bagi maraknya kekerasan sebagai alternatif penyelesaian melalui dialog, diplomasi, dan perundingan terus menerus.

Konsisten dengan ajaran anti kekerasan yg juga di share oleh tokoh besar seperti Mahatma Gandhi dan Martin Luther KingJr, GD menolak kelompok garis keras yang dengan mudah melakukan sweeping terhadap tempat-tempat perjudian dan penjualan minuman keras, karena hal itu sejatinya adalah tugas aparatur negara berdasarkan hukum. Jika aparat belum melakukan bukan berarti kita berhak bertindak main hakim sendiri atas nama ummat atau agama atau apapaun! Bagi GD, sikap-sikap kekerasan ini bukan muncul sendirian, tetapi juga karena didorong dan didukung oleh munculnya aturan-aturan yang berkecenderungan untuk "memberlakukan syari'ah Islamiyah secara formal." Ini bisa berupa Perda-perda dan aturan lain yang ingin menunjukkan "kuatnya semangat untuk menolak tindakan-tindakan yang bertentangan dengan syari'ah Islamiah." Padahal, menurut GD sikap menginginkan penerapan syari'ah islam secara formal jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi RI yang memisahkan antara negara dan agama. Selain itu tindak kekerasan melalui main hakim tidak ada tempat dalam prinsip-prinsip dasar Fiqh.

Bagi GD penyebab kecenderungan mudah memilih cara atau pendekatan kekerasan itu muncul karena ada semavam malaise psikologis di sebagian ummat, khususnya kalangan muda dan kelas menengah. Mereka ini merasa tertinggal dari ummat lain dan karenanya ingin mengejar ketertinggalan tersebut secara fisik yaitu "menggunakan kekerasan untuk mengalangi kemjuan materialistik dan duniawi." Kekerasan juga merupakan akibat dari "proses pendangkalan agama yang menghinggapi kaum muda Muslimin sendiri." Karema kebanyakan intelektual muda Islam sekarang makin jauh dari kemampuan melakukan kajian khazanah Islam klasik, maka sebagai gantinya mengkaji ajaran secara jalan pintas "kembali kepada sumber-sumber tekstual islam seperti al-Qur'an dan hadits, tanpa mempelajari berbagai penafsiran dan pendapat-pendapat hukum yang sudah berjalan berabad-abad." Ujung-ujungnya adalah pemahaman dangkal dan ketika didorong oleh kemarahan dan rasa rendah diri, lalu dengan cepat memilih alternatif kekerasan sebagai solusi.

Sumber:

"Gandhi, Islam dan kekerasan," dalam Abdurrahman Wahid.Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara Demokrasi., Jakarta: The Wahid Institute, 2006, hal. 345-348

selengkapnya >>>