30 December 2010

Oleh Muhammad AS Hikam

The Gusdurians



Almaghfurlah masih leyeh-leyeh sehabis Subuhan, ketika saya datang di tempat tinggal beliau. Sayup-sayup terdengar gemericik air yang mengaliri sungai di samping rumah. Nyanyian burung-burung menyambut pagi, beristighfar dan bertasbih membuat suasana hening, tentreram, dan damai. Segera sayamendekat dan menyalami Almaghfurlah...


"Assalamu'alaikum, Gus.." salam saya seraya menyalami dan mencium tangan beliau.


"Salaam, Kang, wah kok pagi banget.. Piye waras tah sampean?" Sambut beliau seperti biasa.

"Alhamdulillah, Gus, baik-baik saja. Sengaja agak pagi, Gus." Kata saya sambil memernahkan diri duduk di hadapan beliau.

"Ada apa, memangnya? mBakyu dan anak sampean, baik-baik toh?"

"Alhamdulillah, Wien dan Lily sehat-sehat, Gus. Berkat do'a panjenengan, Lily semesterannya lumayan, dari empat kelas, tiga dapat A, satu B plus, Gus..." jawab saya.

"Ya.. alhamdulillah, alhamdulillah.. isih kurang pirang semester, anak sampean?" Tanya beliau.

"Kalau lancar, Insya Allah, tiga lagi, Gus.."

"Yo wis, Insya Allah lancar.."

"Amin..amin.. Gus. Oh ya sebelum lupa, saya mau matur Gus. Hari ini di rumah saya ada Khaul untuk panjenengan.."

"Maturnuwun, Kang. Kirim salam saya saja kepada semua yang hadir, ya.." Sambut GD.

"Insya Allah, Gus. Di mana-mana seluruh Indonesia, bahkan di luar negeri, orang memperingati Khaul panjenengan, Gus, dengan cara mereka masing-masing. Bahkan ummat non-Muslim juga memperingati. Semua merasa sangat kehilangan panjenengan. Apalagi Republik kita Gus, sepi tanpa panjenengan!."

"Sabar saja dan terus berusaha. Indonesia Insya Allah akan menjadi negara-bangsa yang besar dan diridloi Allah swt, asal dibawa ke arah yang dikehendaki oleh para pendirinya.." Jawab beliau santai.

"Amin, Gus. Namun untuk sementara kok ya mbulet saja ya Gus. Musibah masih sering terjadi, angka kemiskinan masih tetap tinggi, pembangunan stagnan. Miris Gus, apalagi melihat kondisi para pemimpin yang seolah-olah kehilangan arah.." Kata saya mengeluh.

"Lha piye, Kang, wong memang negara itu perlu pemimpin yang bisa mengarahkan dan mengayomi rakyat. Bukan pemimpin yang mementingkan diri sendiri, apalagi pemimpin yang demi mempertahankan kekuasaan lantas tidak berani bersikap tegas..." Jawab GD

"Itulah, Gus, padahal kan perkembangan kondisi global juga menunjukkan bahwa negara-negara adikuasa mulai mengalami krisis sehingga melakukan perubahan fundamental dalam strategi mereka. Kan negara seperti AS saja sekarang tidak mampu lagi mendikte negara-negara Selatan, Gus. Cina sudah sangat mampu menyaingi kekuatan ekonomi AS dan negara-negara EU..." Saya bicara agak panjang.

"Pemimpin Indonesia harus memahami gelagat ini dan merubah strategi politik luar negerinya. Saya kan sudah bilang bahwa Indonesia harus makin dekat dengan kekuatan besar Asia, yaitu India dan China. Tentu AS, EU dan sekutunya seperti Singapura ndak suka dengan geostrategi yang saya buat. Kita juga harus makin dekat dengan Australia dan negara-negara Pasifik Baratdaya seperti Selandia Baru dll itu. Kalau gak ada perubahan seperti negeri kita pasti akan kejepit dan kalah dalam percaturan global itu." GD menjelaskan panjang lebar.

"Benar Gus, kita sekarang semakin tampak tidak mampu menjadi pemimpin bahkan di kawasan ASEAN. Kita memang masih dianggap negara-bangsa terbesar di kawasan, tetapi secara riil politik makin ketinggalan dengan Malaysia dan Singapura. Thailand memang masih ribet dengan poldagrinya, tetapi Vietnam bakal menyusul kita, Gus. Kayaknya kita sama-sama stagnan dengan Filipina saja."

"Begini, Kang. Kedua negara jiran yang sampean sebut itu melesat cepat karena kekliruan kita sendiri. Karena kita terpesona dengan kekayaan alam dan besarnya wilayah, kita lupa membangun kualitas manusianya. Bangsa yang jumlahnya sebesar itu dengan heterogenitas yang sangat tinggi memerlukan pengelolaan SDM yang sangat canggih. Coba sampean lihat dari kualitas pendidikan saja, kita kalah jauh. Apalagi pengembangan sains dan teknologi yang pas dengan kondisi dan konteks Indonesia, misalnya, sebagai negara maritim, ternyata tidak jalan. Industri manufaktur kita jadinya ya cuma seperti asembling saja, karena lemandirian teknologi yang tidak terbangun. UKM dan IKM kita makin tenggelam bersaing dengan China dan Vietnam. Ini yang harus menjadi fokus. Bukan hanya memanjakan sektor korporasi besar yang sebenarnya tidak mengakar di negeri kita."

"Menurut panjenengan, apa masih ada kesempatan mengejar semua itu, Gus?" Tanya saya.

"Kalau Indonesia dipimpin orang yang ngerti geopolitik dan punya komitmen kebangsaan yang tinggi, Insya Allah tidak ada yang tak mungkin. Cobalah kita lihat Vietnam dan Kamboja itu. Mereka mengejar ketertinggalan tanpa banyak omong, karena para elitnya punya komitmen dan trasa kebangsaan sangat tinggi. Sejarah kedua bangsa itu kan selalu bersaing dengan Thailand. Kini mereka juga akan mengejar ketertinggalan setelah stabil dan bebas drai kolonialisme modern." Terang GD.

"Wah, Gus, kalau saya pelajari dari banyaknya skandal korupsi seperti BLBI, Centurygate, pengemplangan pajak, penjualan saham KS dan sebagainya beberapa tahun terakhir, tampaknya masih akan lama kita mendapat kepemimpinan nasional yang begitu. Makanya kita sekarang sedang kena demam rindu Gus Dur, hehehe..."

"Hehehehe.... iya tapi ketika saya memimpin malah dikuyo-kuyo. Semoga jadi pelajaran bagi bangsa kita bahwa pemimpin itu tidak mudah dicari. Mau pemilu tiap hari pun kalau stok pemimpinnya cuma itu-itu saja, ujung-ujungnya ya ruwet. Tapi saya percaya kok, Kang, rakyat kita akan menemukan jalannya. Mereka akhirnya pintar juga memilih siapa yang punya kapasitas dan kualitas memimpin.." Kata GD

"Kalau di akar rumput bagaimana Gus, maksud saya, kepemimpinan para Kyai itu..?" Tanya saya.

"Wah, sama saja Kang, dari dulu saya kan bilang banyak Kyai yang tidak lagi mampu memahami masyarakat, karena sudah keasyikan dengan kepentingan sendiri. Akhirnya malah kehilangan pengaruh. Justru Kyai di level langgar-langgar atau surau-surau kecil itu yang saya anggap masih tetap diikuti orang. Yang pesantren gedhe-gedhe itu banyak yang kena kontaminasi politik, akhirnya malah seperti calo saja. Setiap Pilpres atau Pemilukada difungsikan sebagai pengumpul suara. Padahal rakyat kan sudah bebas dan bisa mendapt informasi siapa calon yang menurut mereka cocok. Ya itulah, akhirnya muncul guyonan bahwa dalil Ushul fiqh "Al hukmu yaduuru ma'a Illatihi wujuudan au 'adaman," hukum itu adanya tergantung karena 'illah (alasan , masalah), lalu sekarang menjadi "Al hukmu yaduuru ma'a Ujrotihi..., alias tergantung pada bayarannya....hehehe...."

"Hehehe....." Kami berdua pun tergelak dengan joke yang sering dipakai GD.

"Makanya enak saja pindah-pindah loyalitas politiknya, tergantung ujroh (bayaran) nya!" Kata beliau melanjutkan.

"Wah..wah.. gak berani, Gus, ngrasani Kyai. Bisa kualat nanti..." Kata saya menimpali.

"Yang malati itu kalau tidak tergantung ujroh, Kang... hehehe...." Jawab GD.

"Injih, Gus, berhubung sudah siang, saya mau pamit dulu ya. Nanti Pak Rizal Ramli dan Sastro yang akan menjadi pembicara dalam Khaul di rumah saya Gus.." Kata saya sambil beranjak untuk pamitan.

"Salam saya saja sama mereka berdua, terus bekerja untuk rakyat.." Kata Gus Dur sambil berdiri.

"Assalamu'alaikum, Gus, pareng.." say pun menyalami dan mencium tangan beliau.

"Salaaam...."

selengkapnya >>>

26 December 2010

NATAL DAN SEMANGAT PEMBAHARUAN DAN PERUBAHAN

Oleh Muhammad AS Hikam
President University

Natal tahun ini masih belum dirayakan sepenuh hati oleh sebagian saudara-saudara sesama anak bangsa. Suka atau tidak, setelah lebih dari satu dasawarsa Reformasi yang salah satu tujuannya adalah mengembalikan demokrasi sesuai landasan konstitusional, maka dalam bidang jaminan hak asasi manusia kita masih belum bisa terlalu bngga. Khususnya dalam urusan jaminan kebebasan beragama dan melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan warganegara. Kita masih belum jauh dari berbagai peristiwa kekerasan seperti yang kita saksikan di Bekasi dan Rancaekek di mana Jemaah HKBP mengalami halangan dan tindak kekerasan karena masalah pembangunan gereja dan pelaksanaan ibadah. Kita juga masih belum jauh dari peristiwa kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah di Jawa Barat. Dan sebagainya dan seterusnya.

Sebagai anak bangsa, sudah sepatutnya kita ikut khawatir terhadap kesimpulan kajian yang baru-baru ini dilansir oleh The Wahid Institute, bahwa kekerasan berkaitan dengan agama cenderung meningkat pada tahun 2010. Dan menyedihkan juga bahwa daerah yang paling banyak menjadi lokasi nkekerasan beragama adalah di Jawa Barat. Semua orang tahu bahwa Propinsi Jabar adalah salah satu propinsi dengan penduduk Muslim terbesar di negeri ini, sehingga kesimpulan seperti itu memiliki implikasi yang cukup signifikan terhadap potret kehidupan lintas agama di negeri ini, khususnya bagi mayoritas penduduknya, yaitu kaum Muslimin, dalam mempraktekkan toleransi.
Natal adalah sebuah peringatan atas lahirnya Yesus atau Isa, yang dirayakan oleh ummat Kristiani sedunia. Makna Natal salah satunya adalah sebuah pengharapan kehidupan yang baru, perubahan dari sebuah kondisi yang penuh kegelapan menuju kondisi terang. Makna ini juga semestinya menjadi tema Natal tahun ini bagi ummat Kristiani dan anak bangsa Indonesia secara keseluruhan. Karena, bukankah Reformasi sejatinya juga merupakan sebuah perubahan dari sebuah kondisi otoriter menuju demokrasi, dari kehidupan yang terhalang menuju kehidupan yang terjamin dalam pelaksanaan hak-hak asasi. Termasuk dan khusunya, dalam kehidupan beragama. Indonesia adalah sebuah entitas heterogen, majemuk sehingga sudah merupakan sebuah hukum alam bahwa di dalamnya terdapat keberbagaian. Karena itu pemaksaan apalagi kekerasan atas nama agama adalah penghianatan atas jatidiri bangsa itu sendiri.

Kita mesti mengembalikan semangat berjuang yang sering kali mengalami set back, atau minimal rasa kurang yakin. Dengan semangat Natal, yaitu permulaan yang baru dan harapan akan datangnya sebuah perubahan yang baik, maka upaya kita meneruskan proses reformasi di segala bidang akan dapat didorong dan dilanjutkan. Kita masih memiliki begitu banyak pekerjaan rumah secara nasional, seperti pemberantasan korupsi, kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan. Demikian juga kerja mengembalikan gerak reformasi ke relnya yang benar dari upaya distorsi sitematis oleh para elit penguasa, memerlukan stamina dan semangat yang tinggi.

Semoga perayaan Natal tahun ini masih menyisakan optimisme kendati faktanya masih belum sebagaimana yang diharapkan oleh sebagaian anak bangsa. Kita mesti bersama-sama memerangi kegelapan dan mengarahkan bangsa kita kepada sinar terang dan masa depan yang gemilang.

Selamat Natal 2010 dan Tahun Baru 2011

selengkapnya >>>

07 December 2010

ICMI PASKA REFORMASI: KEKUATAN CIVIL SOCIETY ATAU INKUBATOR ISLAM POLITIK INDONESIA?

Oleh Muhammad AS Hikam

Presiden University

Ketika catatan ini dibuat, Muktamar Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) yang berlangsung di Bogor, sedang memutuskan susunan Presidium Pengurus Pusat ICMI 2010-2015. Nama-nama mereka yang masuk dalam nominasi antara lain adalah Prof. Dr. Azumardi Azra, MA, Priyo Budi Santoso, Jafar Hafsah, Zulkifli Hassan, Marwah Daud, dan Dr. Ilham Habibie . Selain itu sederet nama beken dari tokoh-tokoh ormas Islam kaliber internasional dan nasional pun tercantum, walaupun nama-nama besar dari KIB II, seperti Hatta Rajasa dan Mohamad Nuh, terpental. Suka atau tidak, kenyataan ini bisa menjadi salah satu indikator bahwa ICMI masih merupakan ormas Islam yang memiliki daya tarik sangat kuat dalam blantika gerakan sosial dan politik di negeri ini.

Para pengamat politik pada umumnya sepakat bahwa ICMI paska Reformasi telah mengalami penurunan pengaruh dan daya tarik, setelah ia mengalami kegagalan dalam upaya menjadi salah satu powerhouse dalam politik nasional menjelang tumbangnya Orde Baru. Sejarah pembentukan dan perkembangan ormas Islam yang satu ini memang tak mungkin lepas dari sebuah rekayasa politik dari gabungan dua kekuatan: sebagian elite rezim Orde Baru (yang direpresentasikan oleh mantan Presiden ke III, Prof. Dr. Ing. BJ Habibie) dan kelompok cendekiawan Muslim (seperti Adi Sasono, Dawam Rahardjo, dan Nurcholish Majid untuk menyebut beberapa nama paling beken di dalamnya). Dalam tempo yang teramat singkat, ICMI telah menjadi salah satu pemain utama dalam perebutan kekuasaan antar faksi-faksi elite Orba pada awal dan pertengahan 1990an, dan menjadi rival paling kuat bagi kelompok militer dan kaum "sekuler" serta non Muslim yang juga saling berebut pengaruh dan beraliansi.
CMI, yang berhasil memperluas pengaruh di Golkar, birokrasi sipil, dan ditopang beberapa pentolan ormas-ormas besar Islam, serta mendapat dukungan diam-diam dari beberapa elite militer, mencapai kemuncaknya ketika berhasil mendorong sang boss, Pak Habibie, menjadi orang kuat kedua setelah Soeharto. Toh kemampuan politik ICMI dkk tak bertahan terlalu lama, karena gelombang reformasi pada akhirnya menumbangkan bukan saja Orde Baru, tetapi juga mengakhiri kekuatan hegemonik ormas ini berikut kekuasaan politik BJ. Habibie dan para sekutunya. Maka wajar jika untuk sementara, sampai beberapa tahun setelah Reformasi, ICMI lebih cenderung tiarap dan kiprahnya terbatas. Lembaga-lembaganya yang dulu sangat moncer seperti MASIKA, CIDES, dan secara tak langsung The Habibie Center, harus melakukan redefinisi peran dalam sebuah lingkungan politik yang berubah. Tokoh-tokoh terasnya pun tidak lagi tampil menggebu-gebu. Bahkan kepemimpinan ICMI pun berubah total menjadi model presidium.

Toh akan sangat keliru jika menganggap ICM sebagi ormas maupun kekuatan politik telah usai perannya. Justru pada era paska reformasi ada perkembangan baru yakni terjadinya kristalisasi dan pemberdayaan organisasi yang bertujuan untuk membuat distingsi antara ICMI lama (yang sarat politik praktis) dengan yang baru yang diwarnai oleh gerakan masyarakat sipil (atau masyarakat madani dalam jargon ICMI). Kelompoik baru ini dimotori generasi muda ICMI yang muncul setelah reformasi mulai yang lebih non-politik praktis. Meski demikian, pada aras pimpinan presidium pusat pengaryh politisi (yang mantan maupun yang masih aktif) masih kuat. Memang tokoh seperti Adi Sasono dan Dawam Rahardjo telah hengkang dari sana, dan tokoh seperti Cak Nur sudah wafat. Namun sampai Muktamar 2010 ini, tokoh-tokoh ICMI jadul masih tetap bercokol: Marwah Daud, Azumardi, Soegiarto, dan Hatta Rajasa.

Pergelutan internal ICMI akan sangat menarik dan memperngaruhi karakternya ke depan: apakah ia akan menjadi bagian kekuatan dalam masyarakat sipil ataukah tetap menjadi bagian integral inkubator kelompok Islam politik di negeri ini. Dinamika internal ICMI di tingkat nasional sudah pasti akan merembet ke daerah-daerah, termasuk juga pengaruhnya akan dirasakan di dalam dinamika ormas-ormas besar Islam. NU paska Gus Dur, mungkin cenderung lebih rentan terhadap pengarah Islam politik, sementara Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Din Syamsuddin memang lebih assertif dalm politik. Sehingga kekuatan kubu "politik praktis" dalam ICMI masih tidak bisa diabaikan.

Lebih mendasar dari itu adalah pertanyaan apakah kelompok baru yang lebih muda usia dan kritis terhadap politik praktis akan merupakan sebuah trend setter bagi masa ICMI yang lebih inklusif dan non-sektarian secara paradigma politiknya? Saya belum melihat itu. Masih belum cukup kuat indikator yang bisa dipakai untuk menyimpulkan bahwa ICMI paska Reformasi akan bermetamorfosa menjadi gerakan Islam yang non-sektarian. Kritik alm GD dkk terhadap ICMI sebagai wahana Islam politik yang dibangun di atas fondasi sektarianisme di awal 1990an, saya kira masih perlu disimak dan dikaji kembali relevansinya. Demikian pula, saya kira terlalu dini untuk mengatakan bahwa godaan kekuasaan politik telah dapat dikendalikan oleh elite ormas ini. Kenyataan bahwa pemilihan presidium pusat yang diwarnai kericuhan, itu saj sudah menjadi bahan pertanyaan: apakah benar syahwat politik ICMI telah tertundukkan.


Selamat dan Sukses Muktamar ICMI 2010.

selengkapnya >>>

06 December 2010

KORUPSI BERBASIS PARTAI: CATATAN MENYAMBUT TAHUN BARU 1432 HIJRIYAH

Oleh Muhammad AS Hikam

President University

Editorial koran Media Indonesia sangat menarik untuk kita cermati. Seorang teman fb memberitahu saya melalui kotak pesan agar memberikan respon dan diposting dalam bentuk catatan. Semula saya rada enggan karena biasanya catatan saya tidak untuk mereaksi kolom editorial dari media apapun. Namun kali ini saya tertarik untuk merespon editorial tersebut karena saya pikir cukup relevan untuk menyambut Tahun Baru Hijriah 1432, yang jatuh pada esok tgl 7 Desember 2010. Saya selalu memaknai Tahun Baru Hijriah sebagi sebuah "signpost" atau penanda perpindahan dari suatu situasi dan kondisi yang gelap dan bodoh (jahiliyah) menuju situasi dan kondisi tercerahkan dan terang benderang; dari suatu yang buruk menjadi baik. Pemberantasan korupsi adalah salah satu dari signpost itu: penanda keinginan untuk hidup yang bersih dan legitimate, baik secara hukum maupun etis.

Saya tertarik untuk merespon editorial yang menggugat sistem rekrutmen Kepala Daerah di negeri ini yang menurut penulisnya lebih banyak menghasilkan sang terpidana ketimbang pemimpin daerah yang berhasil membangun. Hal ini dikarenakan sistem rekruitmen calon Kepala Daerah yang sedemikian rupa oleh partai-partai politik, sehingga politik uang menjadi penentu bagi kemenangan calon, bukan kualitas dan kapasitasnya. Pada gilirannya, karena calon kepala daerah harus menyediakan ratusan miliar untuk Pemilukada, padahal gaji mereka secara resmi di bawah sepuluh juta/bulan, maka tak dapat tidak akan membuka peluang untuk melakukan korupsi kepada para Kepala Daerah tadi untuk dapat mengembalikan "modal" mereka ketika mencalonkan diri.
Implikasinya adalah: 1) pemilukada bukan menjadi sebuah alat demokrasi, dan 2) kegagalan sistem politik karena penyelewengan yang dilakukan parpol. Dalam hal ini, "partai...dengan sadar dan sengaja membunuh kadernya sendiri, dengan cara membuka pintu selebar-lebarnya bagi orang-orang dari luar partai yang ingin berkuasa dengan syarat mereka menyediakan dana. Partai malah sangat kreatif mencari orang-orang berduit untuk dipasang sebagai calon kepala daerah." Dengan kondisi yang seperti itu, menjadi sangat tidak mengherankan manakala Kementerian Dalam Negeri mencatat bahwa sampai bulan Oktober 2010 sekitar "seratus limapuluh (150) wali kota dan bupati menjadi tersangka korupsi."

Kondisi seperti ini, menurut editor Media Inondesia, harus diubah melalui dua cara: 1) kepala daerah cukup dipilih DPRD, dan; 2) partai politik... mengusung kader-kader terbaiknya untuk bertarung menduduki tampuk pimpinan daerah. Berarti bahwa "partai harus mampu mengembangkan modal sosial sehingga anggota dan simpatisannya percaya kepada sang kader dan memilihnya dengan ketulusan hati."

Saya tidak masalah jika pemilihan Kepala Daerah harus ditinjau kembali, dari pemilukada langsung menjadi tak langsung seperti sebelumnya. Namun demikian, sebagaimana yang juga terjadi pada model seperti itu, yang namanya politik uang juga sangat mudah terjadi, hanya dalam hal ini yang menikmati adalah para anggota Dewan yang memilihnya, bukannya para pemilih dan tokoh-tokoh politik, dsb. Bagaimana membuat pemilihan tak langsung itu bersih, itulah sebetulnya persoalan yang selalu muncul jika mekanisme tersebut dipakai kembali.

Tentang alternatif kedua, saya sangat tidak sepakat karena hal itu masih normatif dan secara logika, termasuk tautologis. Bagaimana mungkin parpol akan mampu mengusung kader terbaiknya, jika sistem kepartaian yang berlaku tetap saja menghasilkan organisasi partai yang mirip dengan perusahaan keluarga dan Yayasan? Seluruh parpol di negeri ini mengidap kesalahan sistem yang sama sehingga penyakitnya juga sama: menjadi persemaian para otokrat dan para politisi yang tidak memiliki kemampuan dan keahlian yang mumpuni dan telah dites dengan jam terbang yang tinggi. Mengapa? Karena parpol yang menjadi wadahnya tidak berfungsi sebagai kawah candradimuka bagi penggemblengan para calon negarawan, tetapi hanya sekedar politisi karbitan. Apalagi jika si kader itu kebetulan adalah keluarga para pemimpin parpol, maka dengan sangat cepat si anak/mantu/keponakan/ ipar/ dll akan melesat sebagai "tokoh" dan "kader utama" yang akan menjadi pengganti.

Akibatnya, parpol menjadi pembenihan calon-calon pemimpin karbitan: kalau bukan karena keturunan, ya karena punya kelebihan dana. Soal kemampuan dan pengalaman menjadi tidak relevan, dan si kader yang sudah merasa hebat (karena putra mahkota atau karena membayar banyak) tidk merasa ada perlunya punya kuntabilitas kepada partai, anggota partai, apalagi publik dan bangsa. Maka parpol di republik ini tak lebih hanya merupakan penampungan para Mafia dan para politisi kurang bermutu. Rakyat juga cenderung akan meremehkan politisi demikian dan tidak merasa perlu menghormati politisi. Jeleknya adalah, kalaupun ada politisi serius dan bermutu maka mereka ini mendapatkan diri serba salah: di partai mendapat musuh dari para politisi busuk dan bodoh, di luar partai dicuekin karena hanya dianggap sama saja dengan yang bodoh dan busuk!

Karena itu, solusi yang kedua itu masih kurang fundamental. Ia harus diawali dengan reformasi sistem kepartaian dan reformasi sistem Pemilu yang mampu benar-benar menciptakan perubahan gradual dan sistematis menuju demokratisasi yang benar dan mampu bekerja untuk kepentingan rakyat. UU Kepartaian harus diubah sehingga parpol bisa diawasi publik dan lembaga peradilan. Sistem Pemilu juga harus makin transparan dan dijalankan oleh KPU yang profesional dan independen, bukan KPU yang menjadi alat transaksi politik seperti yang ada saat ini. Upaya memasukkan orang parpol ke dalam KPU adalah resep paling manjur untuk menghancurkan sistem Pemilu demokratis.

Jika reformasi sistem kepartaian dan sistem pemilu tidak dilaksanakan, maka korupsi berbasis partai tidak akan bisa diperkecil, alih-alih dihilangkan. Parpol sebagai lembaga yang akan menjadi pemilik kekuasaan, jelas akan semakin memperkuat diri dengna segala macam sumberdaya, termasuk dan terutama. Ini hanya akan bisa dilakukan dengan semakin membuat sistem yang korup dan rekruitmen yang tidak berdasarkan meritokrasi, tetapi transaksional.

Reformasi akan hancur karena parpol yang memang hampir tak tersentuh selama satu dasawarsa setelah gerakan menumbangkan Orba. Para penumpang gelap, politisi busuk, politisi karbitan dsb telah bersemai dan berkuasa. Korupsi hanyalah puncak sebuah guning es. Yang tidak kelihatan adalah sebuah magma kebejatan yang maha panas dan setiap saat bisa meletup dan menhancur leburkan negara dan bangsa Indonesia.

Selamat Tahun Baru Hijriah 1432.

selengkapnya >>>

02 December 2010

KEISTIMEWAAN DIY DAN DEMOKRASI KONSTITUSIONAL RI

Oleh Muhammad AS Hikam

President University

Kontroversi seputar RUU Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), khususnya mengenai substansi kepemimpinan (Gubernur dan Wakil Gubernur), tampaknya masih akan panjang. Beberapa hari ini media menyuguhi publik, baik di DIY maupun di seluruh Indonesia, wacana mengenai keistimewaan daerah tersebut yang kemudian dikerucutkan hanya kepada pertanyaan apakah Gubernur/Wagub akan ditetapkan atau dipilih melalui Pemilukada. Pengerucutan ini tentu bukannya tanpa alasan. Sekurang-kurangnya, media mencium sebuah bahan berita yang panas dan berpotensi rating yang tinggi, di samping dapat menjadi bahan untuk memperluas rentetan berita sampai ke ranah yang lebih sensitif apabila bisa digarap dengan tepat. Dan memang benar. Ketika Presiden SBY kemudian melontarkan pandangan mengenai masalah kepemimpinan DIY dengan memakai istilah Monarki, semakin menjadi-jadilah kontroversi tersebut. Presiden SBY kemudian mendapatkan dirinya menjadi sasaran kritik dan bahkan hujatan sebagian dari kelompok yang mendukung mekanisme penetapan, bahkan memicu munculnya gagasan Referendum rakyat DIY.

RUU yang sejatinya adalah inisiatif dari Pemerintah dan sudah ngendon cukup lama di Depdagri. Setahu saya, ketika saya masih menjadi ketua Baleg DPR-RI pada 2005, RUU itu sudah dimulai dijadikan salah satu prioritas Prolegnas 2004-1009. Namun dalam perjalanannya, proses drafting berjalan lama dan malah akhirnya muncul berbagai versi, mulai dari yang diusulkan oleh UGM, dari DPRD DIY, dan dari Depdagri yang sekarang menjadi draft yang akan dibahas di DPR. Pada intinya, RUU tentang keistimewaan itu bertujuan untuk menata sistem pemerintahan di DIY yang memiliki keistimewaan sebagaimana disebutkan oleh Konstitusi (UUD RI 1945), khususnya pasal 18 a dan b. Pada prinsipnya masalah keistimewaan DIY telah diterima sebagai sebuah kenyataan sejarah, hanya saja yang menjadikan alot adalah bagaimana kepemimpinan daerah itu harus ditentukan. DIY yang secara tradisional memiliki seorang Sultan dan Pangeran Pakualam, semenjak 1945 selalu diperintah oleh Gubernur dan Wagub dari Kasultanan dan Pakualaman. Kendati demikian, DIY juga memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik Tk I (Propinsi) maupun Tk II (Kota dan Kabupaten) yang anggotanya dipilih rakyat melalui Pemilu. Gubernur dan Wagub pun, kendati dijabat Sultan dan Pakualam, toh bertanggungjawab terhadap DPRD Tk I.

Keunikan seperti inilah yang membuat penamaan monarki menjadi bermasalah. Bahwa keberadaan Sultan dan Pakualam merupakan sebuah fenomena yang dapat disebut monarki, mamang betul, tetapi segera harus dinyatakan bahwa ke "monarkian" model DIY ini hanya dalam adat, bukan dalam sistem pemerintahan. Kemonarkian tersebut hanya efektif secara budaya dan tradisi yang dianut oleh rakyat DIY sebagai sebuah kekhususan, namun tidak berimplikasi terhadap tatanan politik demokratis. Dengan demikian, jika kemudian statemen Presiden SBY ditafsirkan sebagai menyebut sistem pemerintahan di DIY monarki yang berhadapan vis-a-vis dengan sistem pemerintahan demokratis yang dianut oleh Konstitusi, timbullah berbagai kecurigaan dan tuduhan negatif terhadap beliau. Klarifikasi yang cukup lambat diberikan (seperti biasa), telah membuka wacana yang didominasi dengan syak wasangka, bahkan seolah-olah ada konflik antara beliau dan Ngarso Dalem. Masih bagus bahwa pihak yang disebut terakhir itu memilih diam dan menyerahkan masalah itu kepada Pemerintah dan rakyat DIY, sehingga tidak terjadi polemik yang lebih tajam dan tak terkontrol.

Setelah Presiden memberikan klarifikasi hari ini (2 Desember 2010), menurut saya ada titik terang bagi rakyat DIY yang sebagian sudah naik pitam dan mengorganisasi gerakan referendum. Presiden masih tetap konsisten bahwa jabatan Kepala Daerah (gubernur, Bupati, Walikota) dipilih sebagaimana yang diperintahkan UUD, tak terkecuali DIY. Namun Presiden juga memahami bahwa "keistimewaan" DIY adalah sebuah hak yang melekat dan diakui Konstitusi, termasuk Kesultanan dan Sultan sebagai pemimpinnya. Presiden juga menyatakan bahwa sampai saat ini dan ke depan, Sri Sultan Hamengku Buwono X masih yang paling tepat sebagai Gubernur DIY. Juga Pak SBY meminta agar dalam pembahasan RUU Keistimewaan DIY nanti dicari titik temu antara kehendak Konstitusi Pasal 18a dengan pasal 18b dengan formula yang dapat diterima rakyat DIY dan tetap memiliki landasan Konstitusional.

Namun demikian, penjelasan Presiden belum tentu akan cukup dapat memuluskan pembahasan RUU tersebut, karena politisasi masalah "penetapan" vs "pemilihan" Gubernur/Wagub DIY ini tampaknya telah menjadi wacana politik yang distortif. Kecenderungan pemaksaan penafsiran terhadap "keunikan" dan "keistimewaan" DIY telah mersauki relung-relung masyarakat sipil (cendekiawan, LSM, budayawan, mahasiswa) melalui jejaring sosial dan media yang lemudian menciptakan semacam simulakra seolah-olah penafsiran merekalah yang paling otentik dan historis. Dilupakan bahwa demokrasi konstitusional yang menjadi prinsip NKRI menafikan adanya kekuasaan eksekutif yang turun temurun, tetapi mengharuskan akuntabilitas terhadap res-publika. Pada puncak yang paling ekstrim, terjadi tuntutan berpisah dari NKRI yang kendati terdengar aneh dan tidak masuk akal, tetapi telah muncul sebagai sebuah fakta.

Saya melihat bahwa sebagai sebuah proses menjadi Indonesia, wacana dan kiprah politik seputar RUU ini sehat-sehat saja dan akan membuat bangsa dan negara ini menjadi makin dewasa. Hampir semua bangsa dan negara besar dan heterogen seperti RI mengalami hal seperti ini bahkan ada yang tak pernah berhenti. Di AS pun gerakan memisahkan diri seperti kelompok pro independen di Hawaii dan suku asli Indian di beberapa negara bagian, masih ada. Di Kanada, Perancis, Italia, Spanyol, dll. kehendak-kehendak separatis masih ada dan sering menampilkan wajah kekerasan. Di negeri kitapun, baru saja soal Aceh terselesaikan, sementara riak-riak separatis di Papua dan Maluku masih memerlukan penyelesaian. Jika "geger" Yogya ini tidak dipecahkan dengan arif dan hanya menjadi wahana konflik kepentigan elit, maka negeri dan bangsa ini akan menambah beban pada dirinya sendiri. Padahal lagi-lagi rakyat yang sedang menunggu uluran tangan negara akan terabaikan karena energi lalu dialihkan kepada pertikaian yang tidak produktif itu!

Makin cepat para petinggi negeri ini sadar akan dampak negatif perseteruan antar-mereka, akan makin baik. Pemerintah, DPR, Sultan, Pakualam, DPRD DIY dan masyarakat sipil lebih baik segera menghentikan "gegeran" dan mulai bekerja. Presiden SBY sudah memberikan isyarat untuk mencari titik temu. Tinggal dibuktikan saja di dalam perdebatan di Parlemen ketika membahas RUU. Bukan HANYA di jalanan dan media.

selengkapnya >>>

13 October 2010

PENGGANTIAN PEMERINTAH SBY: SEBUAH REIFIKASI POLITIK KAUM ELITE?

Oleh Muhammad AS Hikam

President University



Sekali ini saya berbeda pendapat sangat mendasar dengan sahabat saya, Pak Rizal Ramli (RR), kendati barangkali saya bisa memahami apa yang menjadi kegelisahan beliau. Bahwa setahun Pemerintahan Pak SBY untuk periode kedua ini banyak masalah dan kelemahan, saya kira publik sepakat. Bahwa para pembantu Presiden tidak semuanya memiliki kemampuan yang sebagaimana diharapkan publik, kita semua juga tahu dan sepakat. Bahwa Pak SBY sangat perlu melakukan berbagai perubahan, termasuk manajemen pemerintahan dan kalau perlu perobakan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II, saya kira juga valid.


Namun, saya sangat tidak sepakat dengan pandangan Pak RR dan kawan-kawan di GIB bahwa Pemerintahan Pak SBY harus diganti. Walaupun ajakan Pak RR dan saudara Adhie Massardhie (AM) belum sampai secara eksplisit bicara mengenai impeachment (apalagi penurunan dengan paksa), tetapi saya kira ajakan tersebut juga kurang bijaksana dan berdampak sangat negatif terhadap kehidupan demokrasi dan proses reformasi yang sedang berjalan.link


Mungkin saya termasuk apa yang suka disebut sebagai kaum minimalis dalam hal ini. Saya sangat sepakat bahwa Reformasi ini sudah mulai kehilangan elan dan bahkan ada kecenderungan dipakai sebagai kedok untuk menciptakan sebuah sistem politik yang bisa kontraproduktif terhadap demokrasi, yaitu apa yang disebut kartelisasi politik, toh cara memperbaikinya tidaklah dengan mengganti Pak SBY. Saya lebih cenderung menggunakan paradigma gradualis yang sering dipergunakan oleh alm Gus Dur mengingat kondisi reformasi kita memang sejak awal mengikuti paradigma seperti itu. Belum lagi kalau dibayangkan jika terjadi keributan di kalangan elit, belum tentu saat ini akan nyambung dengan publik di grass-roots, karena pihak yang disebut belakangan itu juga semakin kehilangan kepercayaan terhadap pihak yang pertama.



Menurut hemat saya, ajakan GIB menjadi kontraproduktif ketika kelompok yang mengklaim pekerja demokrasi itu ternyata malah tidak sabar dan setia serta konsisten memperkuat sistem. kesan yang bisa muncul di benak publik adalah bahwa teman-teman yang terhormat dari GIB itu mengompori dan memberi legitimasi bagi sebuah upaya anti demokrasi atas nama demokrasi. Saya khawatir bahwa cara membaca kelompok elit ini terlalu jauh dan tidak mengkonsultasikannya dengan rakyat banyak khususnya yang berada di bawah sana. Sehingga apa yang menurut pikiran mereka harus terjadi kemudian dianggap itu pula yang dipikirkan rakyat. Inilah yang sering disebut sebagai sebuah reifikasi dari pikiran elit yang malah merusak. Reifikasi, seperti kita tahu, adalah menganggap sesuatu yang ada dalam pikiran atau konsep seakan-akan ia sudah ada. Dalam filsafat ilmu pengetahuan, reifikasi sangat beresiko membuat seseorang keliru melakukan sesuatu hanya karena menganggap konsep atau teori yang ada dalam pikiran sudah benar-benar terwujud sebagai sesuatu fakta.



Saya berharap bahwa kritik ini dibaca oleh teman-teman di GIB sehingga akan terjadi dialog yang lebih lanjut. Saya sangat mendukung semangat untuk mengembalikan ruh Reformasi dan praktik demokrasi yang saat ini mulai tidak konsisten, namun caranya bukanlah dengan melakukan upaya di luar sistem. Bagaimanapun ada perbedaan kualitatif antara rezim Orba dengan yang sekarang sedang berkuasa. Kalau para elit salah memberi pemahaman kepada rakyat, maka jangan pula menyalahkan rakyat jika mereka kemudian tidak akan mau mempercayai elitnya.

selengkapnya >>>

12 October 2010

WAWANCARA IMAJINER DENGAN GUS DUR (11)

Oleh Muhammad AS Hikam


Agak tak biasanya saya berkunjung dan Gus Dur sedang sare (tidur) sambil dalam posisi sedang berdzikir. Mula-mula saya kira karena saking khusyu'nya, tetapi setelah saya mendekat ternyata memang sedang sare. Mungkin karena beliau merasa ada sesuatu di sekitarnya, maka kemudian bangun dengan sedikit njenggirat (terhenyak). Karenanya, saya buru-buru mendekat dan uluk salam.

"Salam.. Kang, eh.. piye waras tah? wah ngantuk saya...hehehe..." Kata beliau sambil tertawa renyah

"Kebanyakan wiridan apa Gus?"

"Ah enggak, cuma habis ada beberapa tamu tadi, ngobrol sebelum dzuhur... Gimana kabarnya?" Tanya beliau sambil membenahi duduknya.

"Alhamdulillah Gus, dan selamat dulu dong ya.." kata saya

"Selamat opo maneh?" Jawab GD



"

Kan sudah resmi panjenengan dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah RI, Gus.. Kita bahagia dan gembira banget!"

"Alaah, wis ta lah, gitu aja repot. Ya Alhamdulillah dan terimakasih kepada Presiden SBY dan seluruh rakyat Indonesia atas kehormatan yang diberikan kepada saya dan keluarga saya." Gus Dur santai. Tak terlihat ada excitement di wajah beliau

"Lha ya itu Gus, kita semua tahu pengumuman itu hanya soal waktu saja. Cuma bagaimanapun rakyat dan kaum nahdliyyin kan berhak untuk bangga dan bahagia. Apalagi kan keluarga Tebuireng mencetak rekor Pahlawan Nasional terbanyak, hehehe..." sambung saya

"Bisa saja sampean, Kang... Ini kan bukan berkompetisi, hehehe..." canda GD.

"Benar Gus, tapi tetap saja tiga generasi menjadi Pahlawan Nasional dalam salah satu Republik terbesar di dunia, subhanallah.. Kira-kira menurut njenengan itu artinya apa, Gus?" desak saya

"Kalau saya memaknainya kita kaum nahdliyyin membuktikan patriotisme dan loyalitas kepada Republik dengan kerja keras. Jadi harapan saya tak ada lagi yang bilang kaum Muslimin Indonesia khusunya nahdliyyin diragukan nasionalismenya dan segala rupa kecurigaan semacam itu. Padahal yang saya perbuat selama hidup masih kecil lho Kang dibanding dengan para masyayikh dan sesepuh NU yang dulu berjuang melawan penjajah di medan tempur. Mereka sejatinya lebih berhak ketimbang saya..." Kata beliau. Saya haqqul yaqin melihat mata beliau berkaca-kaca ketika menyebut kata "para masyayikh dan sesepuh" itu.

"Untuk generasi yang akan datang juga Gus?"

"Ya pasti. Semoga generasi muda nahdliyyin selain bangga juga meningkatkan kapasitas mereka sebagai putra-putri bangsa terbaik dan bekerjasama dengan yang lain. Jangan ikut-ikutan jadi eksklusif, apalagi sambil pakai klaim mutlak-mutlakan..."

"Sambil menggunakan kekerasan..." sambung saya

"Persis.... jangan menggunakan kekerasan." kata Gus Dur.

"Memang soal kekerasan itu marak lagi Gus setelah panjenengan meninggalkan kita-kita ini.. Ahmadiyah, ummat Kristen, kini mulai diganggu lagi.." keluh saya

"Saya tahu, Kang, dan berharap Pemerintah bersama-sama dengan para pemimpin agama bisa kerjasama dengan baik, bukannya malah membiarkan kelompok-kelompok yang berbeda saling berkonflik apalagi kalau menggunakan kekerasan..." Jawab GD

"Dan terorisme juga Gus, sekarang cenderung makin berani menyerang aparat keamanan kita terutama Polri.." kata saya memotong

"Memang ndak gampang, karena selain kita menghadapi kekuatan fisik juga melawan pemikiran dan gagasan mereka yang banyak menarik perhatian dan dukungan orang-orang yang mengalami ketertindasan.." terang GD

"Sebetulnya karena memang gagasan atau ideologi mereka yang menarik atau kondisi struktural yang membuat kelompok seperti itu mendapat dukungan, Gus? Karena begini, saya lihat seperti di negara-negara Timteng, Asia Selatan, dan Afrika Utara, yang ikut aktif kan bukan orang miskin dan tak terpelajar. Osama bin Laden itu, misalnya, bukan cuma sarjana teknik tapi juga konglomerat properti dsb. Juga orang-orang seperti Dr Azahari, Noordin M Top dan para pengikutnya di Malaysia dan Indonesia.." tanya saya

"Kayaknya ya keduanya, Kang, saling bersinergi. Ideologi Salafi radikal seperti yang dipakai Alqaeda sekarang kan punya genealogi yang jauh sampai zaman Sahabat, seperti pemikiran kelompok Khawarij itu. Namun juga tanpa dibarengi adanya krisis struktural seperti ketimpangan ekonomi nasional dan global, lalu tercerabutnya nilai budaya lokal oleh pengaruh modernitas, kolonisasi nyata atau terselubung oleh negara adidaya terhadap negara berkembang, bercokolnya rezim otoriter sb, maka ideologi mereka juga tidak akan laku." kata GD

"Jadi dialektika ideologi dan struktur serta perkembangan masyarakat ya Gus..?"

"Selalu begitu. Makanya penyelesaian atau upaya menanggulangi radikalisme juga harus dilakukan secara holistik, tidak hanya dengan menggunakan metode perang. Kadang-kadang itu harus juga dilakukan, misalnya menghadapi teroris seperti Noordin M Top yang sudah mengakibatkan korban nyawa manusia tak bersalah dan hancurnya harta benda dan milik orang. Namun yang tak kalah penting adalah menanggulangi dengan dialog dan pendidikan yang intens agar gagasan yang mendukung kekerasan serta eksklusifisme itu makin mengecil dan dapat diawasi. Memang agak akan bisa menghapus sama sekali, karena adanya di pikiran dan hati orang..." GD menjelaskan panjang lebar.

"Kalau di Indonesia Gus, kenapa justru fenomena radikalisme agama malah marak paska Reformasi, selain karena pengaruh geopolitik global dan derasnya arus informasi dari luar?" Tanya saya

"Karena waktu zaman Pak Harto kan ideologi yang dianggap tak sesuai dengan Orba dibabat dan direpressi secara fisik. Juga banyak orang-orang garis keras sisa-sisa DI/TII yang direkrut oleh penguasa melalui militer dan intelijen digunakan untuk mengawasi kelompok Islam lain. Itu pun masih kadang-kadang ada yang mbelot macam Hispran, Imron cs, Abdullah Sungkar dll. Kalau di kalangan komunis lebih mudah dikontrol karena selein efektivitas militer dan intelijen, juga masyarakat Islam dan nasionalis ikut membantu. Nah setelah reformasi, yang begini-begini ini gak ada lagi yang kontrol secara efektif, apalagi kondisi ekonomi mengalami berbagai krisis dan penguasa paska Reformasi tidak memiliki kapasitas melakukan perubahan yang signifikan. Maka jadilah suasana dan lingkungan demokratis didistorsi habis-habisan untuk dipakai sebagai alat mencari keuntungan pribadi dan kelompok seperti parpol.."

"Nah dalam kondisi seperti ini pemunculan kembali ideologi garis keras seperti Salafi radikal sangat mudah, apalagi pengaruh gerakan kebangkitan islam di dunia sangat memikat generasi muda dan kaum terpelajar Muslim kelas menengah. Mula-mula yang tampil kan gerakan-gerakan "pemurnian" Islam, lalu ada usroh di kampus-kampus dan LSM, disusul gerakan semi politik seperti ICMI yang diapropriasi negara sebelum reformasi. Setelah itu ya sempean lihat sendiri gerakan-gerakan Islam macem-macem baik yang lama maupun yang baru, yang anti kekerasan sampai yang menggunakan teror tumplek bleg ada semua."

"Apa perlu, Gus, dilakukan strategi pasifikasi semacam Orba dulu terhadap yang kelompok dan gerakan radikal?"

"Ya tergantung kepada pemahaman terhadap pasifikasi itu sendiri dan kapasitas pemerintah dan masyarakat sipil untuk melakukan hal itu. yang jelas bahaya sekali kalau pemerintah menggebyah-uyah gerakan Islam seperti masa Orba. Bisa saja ada kelompok Islam yang eksklusif tapi tidak politis, ada yang tampaknya non politis tapi kerjaannya pengin merebut kekuasaan politis melalui agitasi agama. Ada yang seperti NU yang sudah melakukan reformasi soal kiprah politik dengan membuat partai non agama seperti PKB. Ada yang seperti Muhammadiyah yang tidak terang-terangan ikut politik, tetapi punya afiliasi tak resmi dengan PAN. Ada yang seperti PKS yang menggunakan paradigma Ikhwanul Muslimin dengan penyesuaian alam konteks Indonesia. Macem-macem... lha wong namanya juga masyarakat majemuk, Kang.."

"Lha terus bagaimana Gus dengan landasan negara Pancasila dan Konstitusi UUD 1945 dihadapkan dengan kompleksitas gerakan dan kelompok Islam serta fenomena radikalisme di Indonesia?" saya mencoba mendesak beliau.

"Bagi orang seperti saya dan ormas Islam seperti NU, Pancasila dan UUD sudah final dan tidak bisa diganggu gugat sebagai landasan bernegara dan berbangsa. Islam sebagai salah satu bagian integral keindonesiaan juga tak bisa diingkari eksistensinya, namun tidak juag menjadi satu-satunya sumber nilai. Islam ya sebagai salah satu dari sekian banyak mozaik yang membentuk keindonesiaan. Makanya NU mengatakan Pancasila sebagai azas tapi Islam sebagai akidah. Keduanya tidak saling bertentangan karena diletakkan pada tempatnya yang tepat. Kalau mau jadi orang Islam di negara Indonesia ya harus menerima Pancasila sebagai landasan berbangsa dan bernegara, selesai. Mempermasalahkan negara-bangsa atau berupaya mengganti Pancasila dan Konstitusi adalah inkonstitusional karena merubah konsensus nasional tentang NKRI."

"Tapi kan tidak semua kelompok Islam dan gerakan Islam mau menerima konsep relasi negara dan islam seperti itu, Gus?" tanya saya

"Selama mereka tidak mendesakkan perbedaan pemikirannya dengan kekerasan dan menyalahkan pihak lain, apalagi mengkafirkan dan menghalalkan darah, ya biarin saja. Kan Indonesia negara hukum dan punya konstitusi. Bila gerakan dan kelompok tersebut memaksakan kehendak dan mencoba melakukan tindakan inkonstitusional ya mesti dihentikan. Pluralisme harus tetap dijaga karena itu adalah jatidiri bangsa. Namun konsensus nasional dan landasan negara seperti Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 tidak dapat diganggu gugat selama masih mau menjadi NKRI. Tetapi bagaimana menjalankan amanat keduanya, nah, jangan juga memonopoli tafsirnya seperti zaman Orba. Itu yang membuat Pancasila lalu malah kehilangan kekuatannya karena ada kelompok-kelompok yang merasa tidak dianggap atau tidak dilibatkan dan diakui eksistensinya."

"Hehehe... kok malah seperti kuliah Pancasila, Gus..." kata saya menggoda beliau

"Jelek-jelek gini dulu juga jadi Manggala P4 lho Kang, tapi gak pernah mengajar, hehehe... soalnya malah bikin pusing yang nyuruh ngajar..."

"Lha lalu soal kekerasan terhadap kelompok-kelompok seperti Ahmadiyah, HKBP segal itu, Gus?"

"Ya ditegasi saja yang bikin onar dan otaknya. Yang repot kan seperti saya dulu katakan, lha otaknya juga pada bercokol di lingkaran penguasa sih...hahahaha... Makanya repot diberantas. Sampean kayak gak tahu saja, kan yang pada bikin aksi pembunuhan Kyai-kyai di Jatim sebelum reformasi ya itu-itu aja masih ada..." GD mulai menyindir. Saatnya pamit..

"Inggih Gus, suwun ya, yang jelas saya sekali lagi matur selamat buat panjenengan, semoga bisa menginspirasi kita-kita melanjutkan perjuangan njenengan Gus.."

"Terimakasih Kang, tapi ya biasa biasa saja. Oh ya itu tulisan soal kuburan saya itu saya suka, Kang, walaupun Solah adik saya salah paham. Memang harus disentil begitu sebagai peringatan supaya Pemerintah tidak semaunya... "

"Assalamu'alaikum, Gus.."

"Salaam.."

selengkapnya >>>

29 September 2010

"IT'S A DEJA VU ALL OVER AGAIN," PAK TIFATUL !

Oleh Muhammad AS Hikam
President University


It's a deja vu all over again! Menteri Kominfo, Tifatul Sembiring (TF) tampaknya mulai berani lagi unjuk muka dan melempar wacana setelah rada tenggelam beberapa waktu terakhir. Kali ini dia mengomentari soal perampokan cum terorisme yang marak dalam beberapa bulan terakhir dan meresahkan publik di tanah air. Pasalnya, aksi-aksi perampokan itu telah melibatkan senjata api (senpi) dan diakukan secara sangat profesional, terorganisasi rapi, dan sasarannya adalah Bank dan ATM. Melalui operasi yang meibatkan Densus 88 Polri, beberapa penggerebekan dan penangkapan terhadap sebagian pelaku berhasil dilakukan. Dan Polri sangat yakin memang ada kaitan antara beberapa aksi perampokan tersebut dengan jaringan terorisme seperti kelompok Al Qaeda Aceh.
Sebagai salah satu aparat Pemerintah, selayaknya Menteri yang membidangi komunikasi dan informasi memberikan statemen yang menjernihkan dan kalau bisa menenteramkan publik, khususnya terkait dengan isu gangguan keamanan dan terorisme. Tapi sayang komentar TF soal ini, sama dengan sebelumnya ketika bicara tentang konten media beberapa waktu lalu, hemat saya malah berpotensi memancing kontroversi. Dia seolah menyangsikan perkaitan antara aksi perampokan dan penangkapan para anggota kelompok dengan jejaring teroris, dengan mengatakan bahwa "kalau semua disebut terorisme bisa repot". Karenanya, TS mengatakan bahwa "perlu penyelidikan terlebih dahulu sebelum menyatakan hal tersebut adalah terorisme."

Saya kira TS harus lebih arif ketika memberikan komentarnya dan bukannya malah cenderng memntahkan sebuah posisi yang sudah menjadi pilihan Pemerintah, khususnya aparat penegak hukum yang berwenang. Bagaimanapun TS adalah bagian integral dari Pemerintah dan dalam posisi petinggi dalam urusan informasi, termasuk informasi publik. Bukankah sudah sangat terang benderang bahwa apa yang terjadi di Medan adalah perampokan yang terkait dengan aksi terorisme? Bukankah pihak Polri, mulai dari jajaran terbawah sampai top pimpinannya, telah memberikan klarifikasi soal itu?. Kalaupun penangkapan para penggarong ATM yang terakhir belum diumumkan motivasinya, saya tidak melihat ada masalah kalau hal itu juga dikaitkan dengan aksi terorisme. Sebab modus operandi kelompok teroris ini sudah diketahui publik yaitu mencari sasaran yang menjadi tempat uang karena mereka mengalami kekeringan sumber pembiayaan. TS tidak perlu membuat statemen yang terdengar "meragukan" atau second guessing Polri yang implikasinya seperti tidak bisa membedakan mana perampokan yang terkait dengan aksi teror dan mana yang tidak. Sama dengan beberapa komentar TS dalam beberap kasusu strategis, yang satu ini juga berpotensi menciptakan kontroversi mengenai startegi pemberantasan terorisme yang telah dipilih dan dilaksanakan Pemerintah, cq Polri.

Hemat saya, TF juga tidak usah kebakaran jenggot kalau kemudian aksi teror dikaitkan dengan Islam, karena faktanya para teroris yang selama ini menciptakan keonaran dan kehancuran di negeri kita dan memakan korban manusia semuanya mengklaim sebagai pejuang Islam. Soal benar dan salah, biarlah hukum di negara yang bicara. Islam sebagai agama terlalu besar dan suci untuk dicemari oleh sekelompok gerakan radikal yang memakai cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Partai Islam seperti PKS justru punya tanggungjawab lebih besar karena para teroris itu secara langsung atau tidak telah menciptakan kesan negatif terhadap Islam dan gerakan serta organisasi (politik, sosial, budaya) Islam. Dan hal yang paling masuk akal untuk dilakukan PKS adalah dengan cara memberikan bantuan semaksimal mungkin kepada aparat penegak hukum termasuk Polri dalam pemberantasan tindak terorisme. Minimum dengan tidak membuat pernyataan yang kontra produktif seperti itu!

Sebagai salah satu partai politik terkemuka di negeri ini PKS tidak usah malah terkesan apologetik alias membela diri kalau memang tidak ada yang menuduh bahwa ia terlibat dalam aksi terorisme dan/atau memiliki gagasan atau ideologi yang mirip dengan mereka. Justru PKS harus menjadi pihak yang berada di barisan paling depan dalam upaya menampilkan sisi yang sering (sengaja atau tidak) dilupakan orang bahwa Islam mengajarkan kedamaian dan anti kekerasan. Sebagai sebuah kekuatan politik Islam yang menjanjikan dan mendapat apresiasi rakyat Indonesia, saya yakin PKS punya daya dan strategi yang baik untuk membantu memperkokoh barisan anti terorisme di masyarakat politik (political society) dan juga masyarakat sipil (civil society). Sebab PKS memiliki basis pendukung dari kalangan kelompok cendekiawan dan masyarakat kelas menengah kota dan saat ini bahkan memiliki asset pejabat di daerah maupun pusat.

Sebagai pentolan partai dan bagian dari elite politik nasional, TS tidak perlu terusik dengan munculnya wacana tentang ancaman terorisme dan fakta bahwa kriminalitas yang muncul akhir-akhir ini memang ada yang terkait dengan tindak terorisme. Mungkin yang dia perlukan adalah lebih banyak belajar dalam membuat statemen yang lebih bermanfaat dan produktif bagi bangsa yang sedang mengalami banyak tantangan dan cobaan ini.

selengkapnya >>>

27 September 2010

WAWANCARA IMAJINER DENGAN GUS DUR (10)

Oleh , Muhammad AS Hikam

Ketika sampai di tempat tinggal Gus Dur, malam masih muda dan purnama memancarkan sinar gemilang. Beliau sedang berada di taman menikmati keindahan sang rembulan ketika saya menghampiri dan mengucapkan salam:

"Assalamu'alaikum, Gus..." Kata saya sembari menyalami beliau dan mencium tangannya.

"Salaam, Kang... piye waras, tah? Kok tumben malam-malam..." Sambut beliau seperti biasa.

"Malem Sabtu, Gus, besuk kan nggak ke kantor, hehehe..." Jawab saya.

"Kita ngobrol di taman ini saja sambil menggadangi rembulan, kayak istilah di buku Silat Cina itu...hehehe..."

"Inggih Gus, indah banget ya suasananya. Itu pohon apel kok bisa bercahaya keemasan kalau malam ya Gus?"


"Ya inilah salah satu kekuasaan Allah swt yang manusia di dunia belum bisa melihatnya.. Subhanallah.." jawab beliau sambil istighfar.

"Subhanallah... sayangnya di negeri kita saat ini manusia malah saling berkonflik dengan alasan agama, Gus." Kata saya membuka topik.

"Persoalan pokoknya ada di pemimpinnya, bukan rakyatnya, apalagi rakyat kecilnya. Mereka ini kan cuma dibawa-bawa untuk dipakai dan dimanipulir oleh para pemimpin..." Kata beliau.

"Maksudnya pemimpin di pemerintahan, Gus?" Sela saya.

"Bukan cuma itu, malah saya pikar-pikir sumbangan terbesar dalam menciptakan konflik yang nggak karu-karuan itu kok para pemipin agama dan masyarakat. Ya para ulama, pendeta, cendekiawan, dan lain lain. Nah lalu ditumpangi kepentingan politik jangka pendek dari politisi dan penguasa. Klop lah. Masyarakat dan komunitas beragama yang dibawah merasa wajib membela para pemimpin dan agamanya atau malah Tuhannya padahal Tuhan tak perlu dibela." Kata beliau

"Mirip judul buku njenengan Gus," celetuk saya..

"Hehehe... tapi bener toh, Kang? Selama ini konflik dan kekerasan atas nama agama di Indonesia kan akarnya ada di pemahaman keagamaan yang kemudian diekspressikan dalam pengalaman beragama di komunitas dan masyarakat, tetapi tidak nyambung, tidak kompatibel. Misalnya pemahaman relasi agama Islam dengan non-Islam. Bagaimana bisa nyambung dengan kenyataan masyarakat majemuk kalau pemahaman keagamaan mengajak untuk bermusuhan, misalnya?" Kata GD

"Contoh konkretnya bagaimana, Gus?" Saya meminta elaborasi beliau.

"Gini ya, kan banyak tuh para ustadz dan aktivis gerakan Islam yang mengutip ayat "waman yabtaghi ghoiral islaaama dinan, falan yuqbala minhu wa huwa fil aakhiroti minal khosiriin," dan juga "waman lam yahkum bimaa anzalallaah fa ulaaika humul kaafirun/ dholimuun/faasiquun." (barangsiapa yang mengikuti din selain Islam maka Allah tidak akan menerimanya, dan ia termasuk dalam kelompok orang-orang yang merugi.... dan barangsiapa tidak menerapkan hukum-hukum yang telah diturunkan Allah maka ia termasuk orang-orang Kafir/ Dzalim/ Fasik). Pemahaman yang kurang tepat terhadap ayat-ayat seperti itulah yang bisa menjadi bibit hubungan yang penuh dengan suasan konflik..." Gus Dur berhenti sejenak, sambil menghela nafas.

" Sebagian para Kyai dan Ustadz dan tokoh pergerakan Islam, terutama yang beraliran fundamentalis, menafsiri ayat-ayat itu seolah-olah ummat Islam memusuhi mereka yang beragama bukan Islam karena toh mereka ini dianggap kafir dan ditolak Allah swt. Demikian juga kalau ada masyarakat atau negara yang tidak menerapkan Hukum Syari'ah, maka lalu dianggap negara atau masyarakat yang Kafir, dzalim atau Fasik. Karenanya harus ditolak dan diperangi, kalau perlu menggunakan kekerasan dan makar. Pandangan saya, ayat-ayat tersebut tidak bisa dijadikan dasar kita memusuhi non Muslim dan memaksakan Hukum Syariah di negeri kita. Ayat pertama kaitannya adalah urusan dalam (self-understanding) kita sendiri tentang amal, yaitu bahwa amal perbuatan yang diberi pahala di sisi Allah swt, hanyalah amal perbuatan orang Islam. Jadi kata "lan yuqbala" itu artinya adalah "lan yutsaabu" (tidak diberi pahala). Konsekuensinya siapa saja bisa beramal dan berbuat termasuk non Muslim dan ummat Islam tak boleh menolak perbuatan-perbuatan orang di luar mereka. Perkara amal itu diberi pahala atau tidak kan prerogatif Allah swt, nanti di akhirat. Bukan urusan manusia di dunia."

" Kalau soal penerapan Syariah, Gus?"

" Yang kedua, ayat tentang penerapan hukum itu, kita harus tahu bahwa hukum itu dinamis, bergerak. Ia sangat terkait dengan sejarah perkembangan masyarakat, bangsa, negara. dsb. Kalau hukum Islam yang dimengerti hanya sempit sebagaiamana dimengerti dan dipahami oleh satu kelompok, pasrti malah membuat Islam tidak "rahmatan lil-'alamin." Hukum Syari'ah tidak harus kaku, tidak harus memakai nama Hukum Islam. Lha kalau dalam prakteknya diskriminatif, kan sama juga bohong. Di negeri yang majemuk seperti Indonesia, Fiqh hanyalah bagian komplementer dari sistem hukum negara. Ia harus dipelihara dan dikembangkan kapasitasnya, tetapi hukum positif harus tetap berupa hukum nasional yang dibuat oleh mereka yang berwenang sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi."

"Lha itu Gus ada penerapan Syariah di Aceh..." Saya mencoba menyela

"Penerapannya seharusnya tidak boleh kontradiksi dengan hukum nasional. Saya tidak setuju ada hukum pidana Islam tersendiri seperti yang berlaku di Aceh, karena itu melanggarhukum nasional KUHP. Otonomi Khusus di Aceh berlaku untuk melindungi budaya termasuk tradisi Islam. Namun demikian dalam soal hukum, seharusnya hanay terbatas pada hukum privat. Kalau dipaksakan seperti sekarang, bisa berdampak negatif bagi kehidupan bernegara secara keseluruhan." Kata GD menjelaskan/

"Memang Gus, keinginan meniru penerapan Syariah seperti di Aceh muncul misalnya di Papua Barat, dengan Perda yang ingin menyatakan daerah itu eksklusif untuk ummat Kristen. Konon ada yang menguslkan Perda Injil atau semacam itu." Kata saya.

"Nah itulah, nanti jangan-jangan Bali, Minahasa, Maluku dll pada ikut-ikutan. Nah ini yang saya maksud Pemerintah dan elit politik akhirnya terpengaruh karena kepentingan sesaat mereka akhirnya tergoda mengikuti tarikan-tarikan partikularisme seperti itu." Kata Gus Dur

"Makanya kata kuncinya mengenai soal konflik yang melibatkan agama adalah soal pemahaman keagamaan yang disesuaikan dengan konteks perkembangan masyarakat dan negara. Indonesia itu walaupun secara jumlah dikatakan mayoritas Muslim, faktanya adalah masyarakat majemuk. Para founding fathers kita, termasuk mBah Hasyim Asy'ari dan Pak Wahid Hasyim, menyadari sepenuhnya kekhasan ummat islam dan warga bangsa kita. Makanya mereka tidak ngotot memaksakan penerapan Syariah Islam. Yang penting semangat dan pesan substantif Islam seperti keadilan, kepastian hukum, perlindungan hak-hak dasar (ushulul khams), dan kepentingan publik (al maslahah al 'ammah) tercakup dalam hukum positif RI, sudah cukup."

"Terus gimana Gus menyelesaikan konflik semacam di Bekasi itu?" tanya saya.

"Ada dua asek yang harus dikerjakan, Kang. Aspek pemahaman tadi yg harus dikerjakan oleh pemimpin agama dan masyarakat Indonesia, bukan saja yang Muslim tetapi semuanya. Kedua ya negara, mesti tegas dan imparsial kalu menghadapi pelanggaran hukum. Imparsialitas atau tidak memihak itu dalam pengertian membuat aturan dan bertindak melaksanakan aturan. Aturan yang diskriminatif semacam Keputusan Bersama Menteri (KBM) tentang pendirian rumah ibadah, ya mesti direvisi. Lalu penegakan hukum terhadap para provokator, inisiator, dan pelaku kekerasan harus diterapkan tanpa memandang bulu. Jangan karena khawatir tidak populer dalam Pemilu dan pilkada, lalu bisa diobok-obok para pembuat onar. kalau ada pejabat negara yang ikut menjadi otak kerusuhan itu ya tangkap saja dan diadili. Gitu aja!"

"Suwun Gus, sudah agak larut ini, walaupun udara kok tidak terasa dingin, ya.. saya pamit dulu, Insya Allah, sowan lagi nanti."

"Iya Kang, mudah-mudahan pemerintah dan pemimpin agama bisa kerjasama dengan baik. Kasihan rakyat yang sudah miskin masih diprovokasi untuk berantem sesama rakyat. Elitnya mah.. enak-enakan ngomong sana sini, ditayangkan tivi, jadi selebriti...hehehe...."

"Assalamu"alaikum, Gus." Saya mengucapkan salam setelah mencium tangan beliau.

"Salam Kang.."

selengkapnya >>>

26 September 2010

KUDOS UNTUK PRESIDEN SBY!

Oleh Muhammad AS Hikam
President University

Akhirnya akal sehat dan kebijaksanaan menang. Barangkali itulah kesimpulan yang bisa kita ambil setelah Presiden SBY menerbitkan Keppres No. 104/2010 yang berisi pemberhentian Hendarman Supandji (HS) dari jabatannya sebagai Jakgung hari ini. Kita ucapkan selamat dan pujian (kudos) untuk Pak SBY yang telah menunjukkan kualitasnya sebagai seorang pemimpin yang memberi contoh kepada rakyat Indonesia agar taat kepada hukum yang berlaku di tanah air ini (the law of the land). Seperti yang sama-sama kita harapkan dalam posting-posting di fb dan blog serta artikel di media yang saya tulis, Presiden SBY mengabaikan kepanikan para punakawann istana dan lebih memperhatikan kepentingan bangsa dan negara. beliau akhirnya memberhentikan Hendarman Supandji dari jabatan Jakgung, ketimbang meriskir negeri ini dilanda oleh krisis hukum dan politik karena kontroversi atas putusan MK mengenai status jabatan Jakgung HS.

Kita sebagai anak bangsa pantas memberikan kudos dan apresiasi terhadap tindakan Pak SBY ini karena dengan demikian negeri ini bisa terus melangkah ke depan dan tak perlu menengok ke belakang terlalu lama, atau membiarkan terhenti karena digangu oleh goro-goro para punakawan yang tidak becus. Biarkan para punakawan itu ditegur dan dinasihati oleh bendoro (majikan) nya sesuai dengan kadar kesalahan mereka. Punakawan seperti Denny Indrayana (DI), menurut saya, sudah jelas gagal memberikan masukan yang benar sesuai tugas dan kepakarannya di bidang hukum sehingga dapat menjaga integritas serta kehormatan Pemerintah dan lembaga Kepresidenan. Oleh sebab itu, jika ia orang yang punya nurani, mestinya mengajukan surat pengunduran diri saja atau oleh Presiden dipindah tugaskan. Kalau menurut hemat saya yang paling elegan adalah kembali ke Kampus Universitas Gadjah Mada Jogjakarta untuk mengajar kepada mahasiswa dan membagi pengalamnnya yang sangat berharga selama bertugas di Istana..


Para punakawan lainnya yang juga seyogyanya mendapat evaluasi adalah Mensesneg Sudi Silalahi (SS) dan Menkumham Patrialis Akbar (PA). Menurut hemat saya, PA lebih punya kans untuk di kocok ulang (reshuffle) ketimbang SS, yang punya riwayat kedekatan pribadi dengan Pak SBY. Lagipula, SS dalam kasus Kejakgung ini memang bukan orang yang punya kepakaran apalagi posisi yang berkaitan dengan hukum. Mungkin Pak SBY cukup memberikan teguran saja agar SS membina kantor kesekretariatan negara secara lebih professional. Tetapi bagi Menkumham, ceritanya berbeda. Seperti DI, sang staf ahli hukum, PA seharusnya mampu memberi input yang tepat serta perlindungan kewibawaan Presiden dan Pemerintah dengan, minimal, suatu damage control management and actions yang cepat dan efektif. PA kalau toh masih akan dipertahankan sebagai anggota Kabinet (karena posisinya sebagai petinggi PAN), mungkin diberikan portfolio kementerian yang lain dan tidak sestrategis Kemenkumham.

Hemat saya, dengan langkah yang diambil ini, Presiden SBY telah bertindak bijaksana dan, saya kira, proses ke arah perbaikan citra dan kinerja lembaga eksekutif akan dapat dilakukan lebih cepat. Misalnya, melalui reshuffle Kabinet dan merenovasi para staf ahli di West Wing Indonesia ini dengan merekrut orang-orang yang lebih mumpuni, baik secara kapasitas keahlian maupun integritas moral. Saya berharap Pak SBY tidak terlalu berlama-lama lagi dalam melakukan streamlining Kabinet dan stafsus beliau, karena sudah terbukti bahwa keluhan publik mengenai kelemahan dan kemampuan mereka memang sangat beralasan.

Untuk calon Jakgung yang baru, saya termasuk mendukung harapan masyarakat agar ia diambil dari kalangan non-karir dan yang memiliki kecakapan, pengalaman, dan, lebih penting lagi, keberanian serta kemandirian untuk melakukan reformasi sektor penegakan hukum yang sudah makin terancam mengalami pembusukan dari dalam itu. Apakah calon itu Bambang Widjojanto (BW), Busyro Muqoddas (BM), atau yang lainnya yang sekarang punya kiprah di luar pemerintahan, tak masalah. Yang penting mereka ini sudah diketahui punya rekam jejak (track reord) yang dinilai baik oleh publik serta reputasinya di bidang hukum benar-benar tak tercela.

Bravo dan kudos buat Presiden SBY dan semoga langkah yang telah menenangkan rakyat ini bisa menjadi pijakan bagi langkah-langkah progresif beliau selanjutnya.

selengkapnya >>>

ALAMAK... MENKUMHAM PUN TERNYATA TIDAK PAHAM

Oleh Muhammad AS Hikam
President University


Seorang sahabat yang mengomentari posting saya kemarin (24/9/2010) dengan nada setengah bertanya dan setengah mengritik menulis: "kemana saja Menkumham Patrialis Akbar (PA) dalam polemik seputar putusan MK?" Bukankah seharusnya sebagai Menteri yang berurusan dengan hukum, PA menjadi penyambung lidah istana yang sedang "dikerjain" oleh banyak pihak usai keluarnya putusan MK itu. Saya pikir benar juga, maka kemudian saya meneruskan pertanyaan itu dalam komentar di posting lain, dan tampaknya tidak terlalu banyak yang punya minat menjawab pertanyaan sahabat tersebut. Ada satu jawaban yang cukup menarik, yaitu barangkali PA tiarap dulu. Saya balik mengomentari dengan mengatakan bahwa jangan-jangan PA sedang siap-siap ngepak barang-barang di kantornya karena sebentar lagi akan kena kosok ulang (reshuffle) KIB ke II.

Ilustrasi
Kendati semalam (24/9/2010) PA sudah muncul di publik dan mengomentari masalah itu, bagi saya telatnya PA cukup menarik untuk dicermati dan dianalisa, atau paling tidak dikomentari. Ihwalnya, sangat tidak biasanya bagi PA, yang dikenal sangat vokal dan gemar memberikan komentar pada hampir setiap perkembangan politik yang terkait Pemerintah, apalagi dalam bidang hukum, untuk berdiam agak lama. Orang Amerika punya istilah yang tepat untuk menggambarkan sikap PA: "his silence is so deafening" (diamnya memekakkan telinga). Sebab memang diamnya tokoh beken dari PAN ini bisa saja dimaknai masih belum jelasnya arah manajemen kontrol kerusakan (damage control management) yang ada di Istana yang dibuat oleh para punakawan untuk membela posisi Pemerintah, khususnya Presiden.

Sama seperti sahabat saya yang menanyakan kenapa PA diam, saya juga menganggap hal ini bukan sesuatu yang biasa-biasa saja. PA mungkin tidak sepakat dengan cara yang dipakai oleh para kolega punakawan yang mencoba menggunakan jurus akrobat dan sulapan kata-kata hukum untuk mengcounter Ketua MK, Mahfud MD. PA mungkin juga jengah dengan sikap Hendarman Supandji (HS) yang keukeuh bahwa posisinya sebagai Jakgung masih tetap. PA, yang sebentar lagi bakal jadi pensiunan menteri kalau memang ada kocok ulang terjadi, lebih jauh mungkin juga sudah ogah ikut campur urusan lembaga yang sebentar lagi toh bakal dia tinggalkan. Ketimbang ikut ribet tapi tidak akan memperoleh imbalan yang memadai, mendingan diam dulu. Siapa tahu akan ada celah yang bisa dia pakai untuk melakukan come back. Namanya juga politik, yang konon adalah "the art of the possible," seni dari segala kemungkinan.

Itu yang saya pikirkan sebelum pada akhirnya PA ikut nimbrung semalam. Bayangan saya, PA sedang menanti arah angin politik dan instrukti boss partainya untuk merespon perkembangn dari kemelut dikalangan elite penguasa. Sebab jika PA dan sang boss bisa bermain cantik, hasil dari kemelut yang masih belum kelihatan arahnya ini bukan tidak mungkin bisa dikapitalisasi untuk kepentingan 2014. Dengan semakin mendekatnya masa kampanye dan belum jelasnya konstelasi kekuatan politik untuk bertarung memperebutkan tiket capres dan cawapres, maka setiap dinamika politik di tingkat elit harus dicermati, diperhitungkan, dan direspon dengan seksama dan akurat. Momen yang sedang berkembang saat ini terkait kecarut-marutan manajemen kontrol masalah Jakgung, sangat penting dan besar potensinya bagi kredibilitas Pemerintah dan parpol yang mendukungnya. Jika PAN salah memilih langkah, maka partai yang sedianya punya kans menjagokan kadernya sebagai orang nomer satu atau dua di negeri ini bisa gigit jari.

Apapun spekulasinya, membisunya Menkumham yang punya tugas pokok mengomandoi bidang hukum dalam pemerintahan seyogyanya tidak boleh terlalu lama. Apalagi buat seorang PA yang sudah malang melintang sebagai tokoh yang dikenal vokal dan selalu berada di barisan depan dalam wacana dan kiprah politik, apakah sebagai petinggi partai, anggota parlemen, atau anggota Kabinet. Kalau PA memiliki keberanian membela kebijakan memberi remisi besar-besaran kepada para koruptor kakap dengan meriskir dirinya tidak populer di mata para aktivis anti korupsi, maka kalau soal putusan MK mestinya hanya soal waktu.

Dan benarlah, karena ternyata PA juga lantas membikin pernyataan pers di kantornya dan malam nya diwawancara di TVOne. Ternyata, persis sama dengan para punakawan istana sebelumnya, pendapat Pak Menkumham yang satu ini juga mencoba mementahkan putusan MK. Hanya sayang karena pendapat yang dikemukakan terlalu klise. orang justru akan bertanya: "Kok Menkumham juga tidak paham?" Bukan itu saja, argumen PA yg kemudian saya baca menunjukkan ketidakmampuannya membedakan antara uji materi hukum dan uji kebijakan publik. Dia juga tidak tahu bahwa MK bisa saja membuat sebuah kebijakan yang didasari penafsiran UU tertentu dinyatakan batal demi hukum. Contoh paling segar adalah Keputusan KPU tentang cara menghitung ulang sisa suara putaran ke tiga, yang dinyatakan keliru oleh MK dan harus diganti.

Orang boleh setuju atau tidak tentang cara kerja MK, atau motif personil Hakim Agung di lembaga itu. tetapi sebagai seorang pemimpin yang menjunjung proinsip dan praksis demokrasi, seharusnya PA menjadi teladan bagi rakyat bahwa ia patuh terhadap keputusan lembaga, buka kepada keputusan pribadi para Hakim Agung MK. Kepercayaan terhadapa lembaga (trust to the institution) adalah salah satu inti nilai yang harus dipegang dalam membangun sistem demokrasi dan pemerintahan yang demokratis.

selengkapnya >>>

24 September 2010

PUTUSAN MK DAN KEPANIKAN PARA PUNAKAWAN ISTANA

Oleh Muhammad AS Hikam
President University

Seperti telah saya tulis sebelumnya, putusan Majelis Konstitusi (MK) mengenai jabatan Jaksa Agung (Jagung) Hendarman Supandji (HS) berpotensi menciptakan ramifikasi hukum dan politik di tingkat elite penguasa dalam skala besar. Belum juga basah kerongkongan Mahfud MD (MMD) setelah membacakan amar putusan sidang Majelis Hakim MK, serta merta pihak istana - yang dalam hal ini diwakili oleh Denny Indrayana (DI) dan Mensesneg Sudi Silalahi (SS) - sudah melakukan konter terhadap Ketua MK tersebut. Pasalnya adalah, apalagi kalau bukan, soal legalitas jabatan HS. Walaupun MMD adalah Ketua MK, toh ucapannya kemudian malah dijadikan titik tolak memukul dirinya. Melalui akrobat dan sulapan kata-kata yang hanya bisa dipahami oleh orang yang memang sudah terbiasa debat kusir tingkat tinggi, diciptakanlah penafsiran baru yang hakekatnya berusaha memburamkan putusan MK yang sudah terang-benderang itu.

presidenri.go.id
DI dan SS mengkonter MMD yang memberikan penjelasan setelah pembacaan putusan MK, bahwa HS efektif paska putusan tersebut tidak lagi sebagai Jagung dan Presiden harus segera mengangkat seorang Jagung baru. Penjelasan inilah yang oleh para punakawan Istana itu yang kemudian dianggap sebagai semacam tafsir putusan MK dan, bahkan, DI mengomentari bahwa MMD hanya ingin meramaikan wacana saja. Bagi para punakawan tadi, kendati ucapan penjelasan itu keluar dari mulut sang Ketua MK sendiri, tetapi bahwa hal itu tidak bisa dipakai sebagai kesimpulan bahwa HS sudah dinyatakan tidak menjabat sebagai Jaksa Agung. Karena amar putusan itu tidak secara eksplisit menyatakan demikian. Bahkan, dan inilah bagian paling liehay dari silat lidah para punakawan, mereka bilang justru MK semakin memperkuat posisi HS sebagai Jagung yang sah dengn amar tersebut!

Saya sama sekali tidak habis pikir, logika yang mana yang bisa membuat dua orang (yang satu Doktor ilmu Hukum dan yang satu pejabat negara sebagai Mensesneg) itu dengan gampang membuat kesimpulan tersebut. Dengan segala hormat saya ingin mengatakan bahwa hanya orang-orang yang memiliki ketebalan muka dan/atau kebebalan yang maha tinggi yang mampu dan tega tak jujur di depan publik serta rakyat negeri ini tanpa rasa bersalah dan rasa malu. Saya bertanya-tanya, apakah para punakawan ini tidak tahu atau tidak merasa bahwa dengan cara akrobat kata-kata seperti itu mereka sedang menggusur kredibilitas dan legitimasi Pemerintah dan Presiden di mata rakyat dan pandangan internasional? Lebih dari itu, bukankah dengan akrobat kata-kata yang kualitasnya kelas kambing itu mereka justru telah memberantakkan citra yang dengan susah payah dan biaya tinggi ini diciptakan, dipelihara dan dikembangkan bahwa Pemerintah ini adalah pendukung sistem demokrasi?

Namun alih-alih para punakawan Presiden itu menampilkan sebuah sikap kesatria dan beranjak dengan strategi penyelamatan dan damage control yang efektif. Malah kini sang Jaksa Agung pun ikut-ikutan mentang-mentang mengklaim dirinya masih sah sebagai pejabat tertinggi di Gedung Bundar itu. Alasan yang dipakai juga setali tiga uang: menunggu Keppres pemberhentian jabatannya! Astaga! Orang yang tidak sekolah hukum pun mesti paham bahwa putusan MK adalah the highest law in the land, hukum tertinggi di negeri ini. Amar putusan MK sudah "cetho welo-welo" menyatakan bahwa dia (HS) tidak lagi memegang jabatan Jagung karena dia sudah harus berhenti sejak bulan Oktober 2009 yang lalu ketika Kabinet Indonesia Bersatu ke II terbentuk. Kalau dia tetap ngeyel dan ngotot, pihak penegak hukum harus melakukan tindakan hukum untuk menghentikannya. Jabatan Jagung semestinya untuk sementara dipegang oleh Wakilnya sambil menunggu boss baru.

Akrobat dan sulapan hukum yang dipertontonkan oleh para punakawan Istana itu memang sangat memuakkan siapapun yang mau memakai common sense di Republik ini. Publik akan muak karena dihadapan mereka telah dan sedang dipertunjukkan sebuah bukti yang mendukung anggapan bahwa sejatinya yang paling tidak taat hukum di negeri ini adalah justru para petingginya, khususnya yang berada di sektor hukum! Demi gengsi dan kekuasaan, mereka akan melakukan apapun (termasuk silat lidah yang menghina kecerdasan) agar tetap bertahan. Sementara rakyat sudah makin paham tentang hukum: bahwa mau diapa-apakan juga kalau sudah putusan MK maka tidak ada lembaga negara yang manapun yang bisa mengabaikan (kecuali mau dengan paksa!).

Jujur saja, saya pun termasuk yang mula-mula mengikuti pendapat bahwa jabatan Jagung memiliki kesamaan dengan jabatan-jabatan setingkat menteri semacam Kapolri, Panglima TNI, dan Ka-BIN. Dengan demikian tak perlu ada pemberhentian Jagung ketika KIB ke II dilantik, sebagaimana dipahami oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH, MSc. Tetapi ketika MK selaku lembaga hukum tertinggi dan penentu terakhir penafsiran UU sudah memberikan putusan, saya dan semua orang yang mengaku dirinya warganegara RI, ya harus mengikuti dan patuh. Pejabat negara seharusnya yang paling awal menunjukkan kepatuhan tersebut, sebagaimana yang sering ditunjukkan oleh Presiden SBY dalam beberapa kasus yang melibatkan perbedaan pendapat hukum antara Pemerintah dan cabang lembaga negara lain.

Jika para punakawan Istana plus HS sekarang ternyata tetap bersikukuh melawan putusan MK, berarti mereka ini sudah tidak layak lagi bicara tentang demokrasi. Rakyat punya hak untuk meninjau kembali legitimasi politik dan moral yang telah diberikan kepada mereka. Kita masih bersyukur bahwa berbeda dengan mereka, kenegarawanan Pak SBY kelihatannya masih tetap utuh dalam menyikapi putusan MK dan beliau telah menyatakan akan mematuhinya. Inilah, saya kira, sikap yang bijaksana dan yang akan bisa memulihkan kepercayaan rakyat terhadap Pemerintah. Saya berharap, para punakawan yang sedang kebingungan memikirkan bagaimana cara menyelamatkan diri masing-masing itu tidak akan dihiraukan oleh Presiden. Karena mengurus kepentingan negara dan rakyat masih jauh lebih penting ketimbang mengurus ulah para punakawan yang sedang panik.

selengkapnya >>>

23 September 2010

SATU KOSONG UNTUK YUSRIL IHZA MAHENDRA VS JAGUNG HENDARMAN SOEPANDJI

Oleh Muhammad AS Hikam

President University

Lagi-lagi, MK membuat sebuah putusan yang setidaknya sangat menarik (kalaupun tidak kontroversial) dan berimplikasi politis dalam skala besar. Hari ini, lembaga yang berwenang menguji Konstitusionalitas semua produk Undang Undang di Indonesia itu memutus bahwa Hendarman Soepandji (HS), Jaksa Agung yang sekarang masih bertugas, sudah berakhir masa jabatannya sejak tgl 9 Oktober 2009 yang lalu. Kendati demikian, Ketua MK, Prof Dr. Mahfud MD, SH, MH, ketika membacakan amar putusan MK tersebut menyatakan bahwa putusan tersebut tidak berlaku surut tetapi ke depan. Artinya kendati HS dianggap telah berhenti hampir setahun lalu, tetapi semua kebijakan dan putusannya masih berlaku (sampai putusan ini berlaku) dan tidak batal demi hukum.


Yang repot sekarang adalah, jika putusan MK itu harus berlaku pada saat ditetapkan, berarti Presiden harus segera mengangkat Jaksa Agung baru. Karena jika tidak, maka akan terjadi kekosongan hukum yang implikasi hukum dan politisnya sangatlah hebat. Apakah Presiden, yang sudah woro-woro beberapa waktu belakangan ini untuk mengganti Jagung, Kapolri dan Panglima TNI itu, akan benar-benar mengangkat Jagung besuk pagi? Ataukah masih adalagi celah-celah hukum (legal loopholes) yang bisa "dimainkan" oleh Pemerintah dan Kejagung agar tidak terjadi kesan bahwa penggantian HS sangat mendadak?. Bukan itu saja. Jika Presiden tidak mengikuti putusan MK maka akan menjadi preseden buruk karena beliau seakan-akan dipermalukan karena kekeliruan beliau dalam prosedur pengangkatan pejabat negara yang semestinya tak perlu (dan memang belum pernah) terjadi itu.

Presiden SBY dan Pemerintahannya benar-benar seperti judul buku roman Balai Pustaka "Tak Putus Dirundung Malang." Belum kelar soal kerusuhan dan kekerasan berbau SARA dan sebelumnya kisruh perbatasan antar RI dan Malaysia, hari ini ada kabar duka dari Hamparan Perak, Sumut, karena Mapolseknya dihantam teroris dan menelan korban tiga aparat Polisi yang sedang bertugas di sana. Sekarang ditambah lagi dengan jatuhnya putusan MK yang kendati secara legal formal nyaris tidak akan berakibat apapun terjadap Pemerintah, tetapi secara politik dan legitimasi akan sangat serius bagi Presiden, Jagung, dan jajarannya.

Presiden SBY yang masih memiliki masa kerja empat tahun, kini seperti yang sering disebut dalam jargon ilmu politik sebagai "the lame duck President" atau Presiden yang mirip bebek lemah sasaran tembak para pemburu. Alih-alih Presiden mampu menegakkan kewibawaan cabang eksekutif dan menjadi sektor utama (leading sector) bagi proses tata pemerintahan, justru kini kondisinya seolah-olah maju kena mundur pun kena. Padahal isu reshuffle atau kocok ulang Kabinet juga sedang bertiup kencang dan tampaknya President telah mengirim sinyal melalui para staff khusus beliau dan para petinggi partai Demokrat bahwa hal itu sangat mungkin terjadi. Saya tidak bisa membayangkan apabila kocok ulang tersebut kemudian direspon negatif baik oleh pasar politik (baca= parpol, dpr, dan sebagainya) maupun pasar ekonomi. Jelas hal itu akan semakin memperbesar beban yang harus ditanggung oleh mesin pemerintah dalam beberapa waktu mendatang. Dalam skenario yang pesimis, bukan tak mungkin Pemerintahan ini benar-benar akan menjadi "a lame duck government", alias pemerintah yang letoy dan tak dapt bekerja.!

Kondisi demikian sangat sudah tentu sangat mengkhawatirkan, apalagi dalam konteks situasi keamanan dan ketertiban masyarakat juga rentan dengan gangguan kaum teroris dan cenderung memanas akibat konflik horizontal yang dibumbui aksi kekerasan. Saya samasekali tidak menyukai atau bahkan tak berharap skenario yang kelam dan kacau (a doom and gloom scenario) akan muncul. Namun ketika berbagai variabel yang bisa memicu krisis sistemik ini bermunculan saling susul menyusul dan seakan tak tertangani oleh pemerintah, tak urung saya pun harus memberikan analisa yang semoga saja tak terjadi!

Dalam konteks putusan MK itu, tentu pihak yang merasa puas adalah Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH, MSc (YIM) karena beliaulah yang meminta MK melakukan uji materil UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI terhadap Pasal 1 ayat 3 dan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Namun dibalik kegembiraan YIM, pastilah terselip juga kemasygulan. Karena bagaikan membuka kotak pandora, bisa saja karena putusan MK ini akan bermunculan pelbagai implikasi (politik, hukum, sosial) yang tak terpikirkan sebelumnya. Saya bukan ahli hukum, namun orang tidak perlu menjadi gurubesar ilmu hukum untuk tahu bahwa putusan MK yang satu ini memiliki dampak yang sangat serius terhadap jalannya pemerintahan.

Dari sisi politik makro, pertikaian antara YIM vs HS tak pelak lagi adalah cerminan masih berlangsungnya konflik antar elit yang belum juga dapat dikontrol oleh pihak yang berkuasa. Perlawanan YIM yang semula cenderung marjinal dalam wacana dan praksis politik elit, makin lama makin menyeruak dan menggelinding bak bola salju. YIM kini menikmati status sebagai pihak yang "di dzolimi" oleh penguasa, sebuah status yang dulu juga pernah disndang Pak SBY. Dalam kultur politik Indonesia, status menjadi sang teraniaya ini, jika diolah dengan baik dan ditopang oleh mesin pencitraan yang efektif akan bisa menciptakan idola baru bagi massa maupun res-publica. Apakah ini memang sebuah bukti bahwa masyarakat kita masih belum selesai mengidap sindroma "orang kalah" ataukah karena memang bangsa kita memnyukai orang-orang yang teraniaya untuk kemudian tampil sebagai sang Pahlawan? Saya tidak tahu. Yang menarik adalah, dengan kemenangan yang sejatinya "cuma" simbolis ini, YIM bakal mendulang siimpati lebih besar dan beliau pun akan memiliki ruang manuver yang lebih luas. Saya yakin, media akan semakin mengarahkan perhatian dan simpatinya kepada YIM. Begitu pula, MK akan semakin mendulang kudos (pujian) karena "keberanian"nya melakukan "terobosan" hukum dan "kemandirian"nya vis-a-vis kekuasaan.

Walhasil, Pemerintah harus bersiap-siap menghadapi perguliran "bola panas" politik dari kemenangan satu kosong YIM vs HS ini, dan juga kenyataan bahwa MK makin memiliki keadrengan dalam politik (political assertiveness) itu. Kalau nanti hasil kocok ulang Kabinet juga tidak mulus diterima oleh parpol (yang menjadi sasaran kocok ulang), bukan tak mungkin Pemerintah juga harus bersiap menghadapi Fraksi-fraksinya di DPR. Semuanya ini bisa berakumulasi kepada sebuah situasi politik elit yang tidak kondusif untuk terciptanya sinergi ntar elit. Akankah bangsa ini menyaksikan situasi penuh ketegangan ini selama empat tahun yang akan datang? Jawabnya terpulang kepada kebijaksanaan para pemimpin kita.

selengkapnya >>>

DENSUS 88 DAN PENANGKAPAN KOMPLOTAN PERAMPOK MEDAN

Oleh Muhammad AS Hikam

President University
Jababeka, Cikarang, Jabar

Di salah satu status facebook saya beberapa waktu lalu, saya menulis bahwa aksi perampokan bersenjata api (senpi) di beberapa daerah kemungkinan dilakukan oleh para teroris yang sedang mengumpulkan dana, karena semakin seretnya sumber-sumber finansial mereka. Saya berargumen demikian karena sebetulnya aksi perampokan merupakan salah satu MO (modus operandi) konvensional dan sering dipilih oleh berbagai organisasi teroris, baik nasional maupun internasional, untuk mendapatkan dana cepat bagi kebutuhan operasi. Karenanya saya samasekali tak kaget ketika Densus 88 yang kemarin (20 September 2010) berhasil meringkus para buronan perampok Medan mengaitkan dengan jejaring teroris Al Qaedah di Aceh. Saya juga tidak heran ketika petinggi Polri mengumumkan bahwa, konon, sebagian dari mereka adalah anggota Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) di bawah pimpinan Abu Bakar Ba'asyir (ABB).

Kelompok JAT sebelumnya juga terindikasi menjadi salah satu penyuplai dana dalam pelatihan teroris di Aceh tampaknya mengalami kemunduran (setback) yang cukup serius akibat penetrasi dan operasi aparat Polri yang cukup efektif bukan saja dalam mengikuti gerak- gerik mereka, tetapi juga melakukan pukulan telak terhadap sebagian dari operasi-operasi dan rencana operasi mereka. Penangkapan ABB dan beberapa tokoh teras JAT beberapa waktu lalu, adalah "the last straw" (tali pegangan terakhir) yang mengharuskan para anggotanya melakukan tindakan kepepet dan kalap (desperate act) seperti perampokan berdarah dengan melibatkan personel yang cukup banyak dan dilaksanakan di siang bolong. Tentu saja aksi kepepet dan kalap semacam ini beresiko tinggi, setidaknya tingkat kerahasiaan mereka makin tak terjaga dan kemungkinan terdeteksi sangat tinggi. Apalagi saat ini publik juga semakin gerah terhadap keganasan dan kebrutalan para teroris itu sehingga informasi mengenai keberadaan mereka makin mudah diperoleh.

Hemat saya, kemungkinan Densus 88 salah identifikasi atau salah tangkap ataupun bahkan dianggap sewenang-wenang melakukan penembakan terhadap kawanan teroris di Medan dan Lampung itu sangat kecil, untuk tidak mengatakan tak mungkin. Sebab pelacakan baik melaui intelijen tertutup maupun terbuka dari informasi publik sudah sangat cukup bagi squad anti teror itu untuk memantau, menentukan titik pusat lokasi, merencanakan aksi pergerakan, dan melakukan penggerebekan serta penangkapan. Saya juga tidak menyangsikan bahwa apa yang dilakukan oleh satuan anti teror tersebut legitimate dan bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, sebab akan riskan sekali apabila ada kemungkinan dari mereka, utamanya para benggolan teroris itu, bisa lepas dari pengepungan tersebut. Demikian juga upaya kelompok teroris untuk semakin membabi buta dalam meneror publik akan semakin besar karena mereka telah kehilangan pemimpin dan merasa makin terdesak posisinya.

Itulah sebabnya, ketimbang mengumbar spekulasi yang tak berdasar terhadap tindakan anggota Densus 88 dalam menangkal aksi teror dan organisasi teroris, saya kira lebih produktif bila para pembela HAM di negeri ini juga ikut memberikan dukungan agar bahaya terorisme semakin cepat dituntaskan sehingga keamanan dan kedamaian pulih kembali di masyarakat. Sikap hati-hati, kritis dan teliti adalah sikap terpuji dan bahkan sebuah keharusan, tetapi bukan spekulasi berlebihan yang nyaris berujung pada tuduhan yang serampangan. Tuduhan tanpa dasar bukti, saya rasa, hanya akan membantu para pendukung terorisme untuk semakin vokal dan mentang-mentang, dengan berlindung di balik perlindungan HAM.

Berulangkali saya mengemukakan pendapat bahwa kaum teroris dan para sponsornya telah kehilangan haknya untuk menuntut perlindungan HAM karena mereka jelas-jelas melakukan pengabaian, pelanggaran, dan kejahatan berat terhadap HAM dan kemanusiaan. Bagi saya para pembela HAM yang sok membela hak asasi para teroris, kalau tidak sedang keblinger pikirannya, mungkin karena mereka sangat takut terhadap reprisal (balasan ) dari kelompok tersebut. Saya berpendapat, terorisme dan HAM tidak akan pernah bisa berdiri berendeng di dunia nyata, karena masing-masing tegak pada dua pandangan, paradigma, prinsip, dan visi yang saling bertentangan, ibarat air dan api. Bisa saja para pendukung terorisme berbaik-baik ketika terpojok dan bahkan pura-pura berlindung di balik demokrasi dan HAM, tetapi ketika ada kesempatan bergerak, hal pertama yang mereka lakukan adalah menghancurkan kedua pilar utama masyarakat beradab tersebut.

Untuk kesekian kalinya, saya mengucapkan selamat dan sukses kepada Polri dan Densus 88 atas kerja keras mereka melindungi masyarakat dan bangsa Indonesia dari kejahatan terorisme yang ingin menghancurkan NKRI. Saya juga berharap seluruh komponen bangsa bersikap tegas dalam menghadapi ancaman dan bahaya yang sangat terang-benderang (clear and present danger) ini. Semoga Allah swt memberikan petunjuk kepada kita dan mereka yang benar-benar mengikuti jalanNya, bukan jalan mereka yang sesat dan yang dimurkai olehNya. Amin..



selengkapnya >>>

MEMBANGUN PUSARA SANG PENAKLUK

Oleh Muhammad AS Hikam
President University

Barangkali karena sedang suntuk menghadapi perkembangan situasi yang serba rumit berkaitan dengan relasi antar-agama dan berbagai implikasinya, Pemerintah kini berusaha memainkan jurus mengambil hati, khususnya hati para nahdliyyin. Tanpa basa-basi, hari ini (20 September 2010) rapat Kabinet mengagendakan sebuah topik baru: renovasi makam Almaghfurlah KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di Jombang. Kendati memang rencana pembangunan itu sempat muncul, dan langsung memicu kontroversi karena akan menelan ratusan miliar rupiah, tetapi kabar itu masih sebatas wacana di tingkat Kabupaten Jombang atau paling jauh Propinsi Jatim. Baru hari ini Presiden secara resmi membawa agenda tersebut sampai ke sidang Kabinet dan langsung menganggap pembangunan makam ini prioritas. Itulah setidaknya yang dikatakan oleh Menko Kesra Agung Laksono kepada para kuli tinta. Tentu tidak ada asap tanpa ada api, kalau soal pembangunan makam - yang menurut keluarga Almaghfurlah sendiri, konon, tak perlu itu - lalu dibawa ke sidang Kabinet dan serta merta disiarkan kepada pers.

Saya bukan penggemar teori konspirasi atau suka dengan istilah "pengalihan isu" yang kerap dialamatkan kepada penguasa yang sedang kebingungan. Namun harus saya ajui rasanya janggal juga kalau Pemerintah kemudian membawa-bawa soal renovasi makam GD yang sepertinya tidak menjadi prioritas bagi kepentingan bangsa atau rakyat itu kemudian menyeruak jadi agenda rapat maha penting itu. Alasan bahwa negara perlu menghormati Sang mantan Presiden ke IV dan Bapak pluralisme Indonesia pun, terdengar kurang pas. pasalnya, sudah jelas bahwa rakyat umumnya dan kaum nahdliyyin khususnya tidak merasa butuh ada renovasi makam beliau. Apalagi tradisi Nu pantang membuat makam yang mewah-mewah macam milik para Sultan atau raja-raja. Yang sangat dibutuhkan, menurut mereka, adalah fasilitas bagi ribuan peziarah yang tiap hari membanjiri makam Abdurrahman Sang Penakluk: pelebaran jalan ke makam, penataan tempat parkir, dan penggeseran gothakan atau asrama para santri di ponpes Tebuireng. Semuanya itu dalam rangka supaya para peziarah merasa lebih nyaman.

Bagi GD dan para anggota keluarga beliau, tak ada terbersit sedikitpun untuk meminta agar makam sang Guru Bangsa itu menyaingi atau sekedar mirip Astana Giribangun atau makam Bung Karno di Blitar atau sebangsanya. sesuai tradisi pesantren NU, maqbaroh (makam) Gus Dur ya seperti makam-makam sang ayah, KH Wahid Hasyim, dan Roisul Akbar NU, mBah Hasyim Asy'ari, sang kakek tercinta. Tradisi pemugaran makam bukannya dilarang, tetapi seperti makam para auliya' (para wali), biasanya lebih mementingkan tempat bagi peziarah, karena merekalah yang benar-benar memerlukan kenyamanan, kekhusyu'an, dan suasana kesyahduan. Jadi kalau soal memugar makam GD sendiri, sejatinya hal itu adalah urusan nomer sekian. Dan terus terang hal itu tidak perlu jadi urusan Pemerintah. Kalau memang keuarga Almaghfurlah mau, tinggal mengajak urunan kepada kaum nahdliyyin, pasti milyaran rupiah dengan cepat akan terkumpul. Dan Insya Allah tidak akan ditilep satu senpun!

Kalau Pemerintah masih ngotot dengan rencana memugar makam GD, ia beresiko mengulangi lagi kesalahan taktis tetapi berdampak strategis. Alih-alih membuat rakyat dan para peziarah senang, ia justru akan menuai kritik dan mungkin penolakan karena tidak sesuai dengan tradisi kaum nahdliyyin yang lebih mengutamakan kesederhanaan. Apalagi jika hasil akhirnya hanya akan membuat kegiatan ziarah makin repot atau membuat kedekatan makam GD dengan rakyat kecil malah terganggu. Sebagai orang yang pernah ikut galang-gulung dengan beliau, saya tahu persis bahwa salah satu hal yang paling beliau hindari dalam hidup adalah menyusahkan orang lain. Saking tidak mau merepotkan orang, saya kadang-kadang sering kebingungan kalau menawari beliau apakah memerlukan ini atau itu ketika bertamu. Beliau pasti bilang: "ndak usah repot, Kang.." atau: "nanti saja kalau sudah semua kebagian.." Kendati sikap itu kadang juga merepotkan beliau, tetapi memang itulah pilihan dan etiket yang beliau pakai.

Jadi, saya berharap bahwa Pemerintah tidak terlalu kemayu ingin menyenangkan ummat Islam atau kaum nahdliyyin tetapi dengan cara yang kurang pas. Kalau Bupati, DPRD, Gubernur, dll maunya mewah-mewahan, ya memang cuma sampai di situ kapasitas konseptual tentang penghormatan yang ada di kepala mereka. Tetapi jangan sampai Pak SBY, yang notabene adalah orang yang dekat dan sangat menghormat GD, tidak tanggap terhadap sasmito dari keluarga GD dan tradisi kaum nahdliyyin. Negara, memang wajib menghormati mantan Presidennya, dan Gus Dur lebih dari layak untuk memperoleh penghormatan tersebut. Namun alangkah baiknya jika penghormatan tersebut sesuai dengan tempatnya atau dalam bahasa pesantren disebut "muqtadzol hal". Artinya disesuaikan dengan sifat beliau yang sangat akrab dengan rakyat dan tradisi kaum nahdliyyin tidak menganggap penting kemewahan sebuah makam. Akan lebih bijaksana dan mengambil hati para nahdliyyin dan rakyat pada umumnya jika yang diprioritaskan adalah pelayanan kepentingan publik, dalam hal ini fasilitas bagi publik umumnya dan peziarah khususnya.Insya Allah jasa Pak SBY akan terpatri dalam sanubari jutaan peziarah yang telah, sedang, dan akan terus datang ke maqbaroh GD sampai hari akhir nanti.

Jazakumullah Khairal Jaza', Pak SBY...

selengkapnya >>>

16 September 2010

SUMBER MALAPETAKA KERUKUNAN UMMAT BERAGAMA

Oleh Habil Saklitinov Alkasfahani

Kerukunan hidup beragama dengan tingkat tolertansi yang tinggi serta jaminan keamanan ketika menjalankan aktifitas keagamaan secara bersama-sama masih menghadapi problematika yang pelik dan akan terus mengalami ujian yang berat.

Intoleransi dalam kerukunan umat beragam ini terganggu sejak lahirnya beberapa aliran atau organisasi garis keras yang terus menyuarakan bahwa dirinyalah yang paling benar dan yang lain salah, kebenaran mutlak seolah berada di dalam genggaman tangan mereka. Sebenarnya golongan garis keras ini bukan hanya menindas kebenaran yang dimiliki oleh golongan diluar keyakinan mereka saja tetapi juga mereka kerap melakukan penindasan secara implicit terhadap kelompok yang berada diluar golongan tetapi menganut Tuhan yang sama (seaqidah)

Gong Perdamaian (google images)
Nenek moyang, para pejuang kemerdekaan, serta penerus perjuangan bangsa ini akan menangis jika saja mereka hadir di tengah kita melihat penerusnya melukai hasil perjuangan mereka dalam membangun bangsa ini di atas fondasi “Bhineka Tunggal Ika”. Semangat perjuangan bersama antar umat beragama, ras, suku, dan bahasa telah datang pada suatu titik ujian yang amat berat dalam beberapa decade ini. Muncul pertanyaan dalam benak kita, apakah kita mampu menghadapi ujian ini, apakah pemerintah mampu memecahkan berbagai keruwetan yang muncul dalam kehidupan beragama di Negara ini.

Kita sudah menyaksikan begitu banyak rentetan kekerasan atas nama agama, baik secara fisik ataupun non fisik. Menurut saya keduanya adalah perbuatan biadab yang harus dihentikan. Dalam hal ini pemerintah melalui SKB 3 mentru telah berupaya melakukan penyelesaian atas berbagai konflik yang berkaitan dengan kerukunan hidup beragama di Negara yang konon berlandaskan Pancasila.

Aturan yang tertuang di dalam SKB 3 mentri ini menjadi acuan bagi gubernur, walikota atau bupati, camat, lurah, ketua RW dan RT dalam menyelesaikan berbagai permasalahan msyarakat yang terkait dengan kerukunan umat beragama, itu adalah nada optimism yang muncul di benak beberapa orang yang menghendaki SKB 3 mentri dikeluarkan. Din Syamsudin pun mengacungi jempol atas dikeluarkannya SKB 3 mentri karena beliau mengatakan bahwa Indonesia memang perlu instrumen hukum bagi upaya membangun kerukunan antarumat beragama yang sejati. Penandatanganan aturan soal rumah ibadah ini, ia anggap sebagai alat untuk menghindari konflik antarumat beragama

Namun demikian menurut beberapa kalangan yang mencoba menganlisa lebih dalam mengenai isi SKB 3 mentri ini, ternyata mereka mendapati bahw SKB 3 mentri menjadi sumber malapetaka bagi kerukunan umat beragama di Indonesia yang berasaskan Pancasila.

Malapetaka atau sumber konflik itu muncul manakala kita membaca dengan arif isi SKB 3 Menteri ini pada Pasal 14 ayat (2) dimana tertulis “Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3); b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota. “

Persyaratan dukungan minimal 60 orang masyarakat setempat, selain 90 orang yang akan menjadi jemaah suatu rumah ibadah, juga akan sangat problematis. Aspek persetujuan 60 orang itu akan sangat rawan manipulasi, politisasi, dan bisa menjadi lahan perseteruan. Bisakah kita membayangkan minoritas Kristen di tengah-tengah mayoritas Islam akan dengan mudah mendapat restu minimal 60 orang masyarakat setempat ketika hendak membangun sebuah gereja? Itulah sumber konflik dari pembangunan tempat ibadah umat Kritiani dengan penduduk setempat yang mayoritas beragama Islam.

selengkapnya >>>