13 October 2010

PENGGANTIAN PEMERINTAH SBY: SEBUAH REIFIKASI POLITIK KAUM ELITE?

Oleh Muhammad AS Hikam

President University



Sekali ini saya berbeda pendapat sangat mendasar dengan sahabat saya, Pak Rizal Ramli (RR), kendati barangkali saya bisa memahami apa yang menjadi kegelisahan beliau. Bahwa setahun Pemerintahan Pak SBY untuk periode kedua ini banyak masalah dan kelemahan, saya kira publik sepakat. Bahwa para pembantu Presiden tidak semuanya memiliki kemampuan yang sebagaimana diharapkan publik, kita semua juga tahu dan sepakat. Bahwa Pak SBY sangat perlu melakukan berbagai perubahan, termasuk manajemen pemerintahan dan kalau perlu perobakan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II, saya kira juga valid.


Namun, saya sangat tidak sepakat dengan pandangan Pak RR dan kawan-kawan di GIB bahwa Pemerintahan Pak SBY harus diganti. Walaupun ajakan Pak RR dan saudara Adhie Massardhie (AM) belum sampai secara eksplisit bicara mengenai impeachment (apalagi penurunan dengan paksa), tetapi saya kira ajakan tersebut juga kurang bijaksana dan berdampak sangat negatif terhadap kehidupan demokrasi dan proses reformasi yang sedang berjalan.link


Mungkin saya termasuk apa yang suka disebut sebagai kaum minimalis dalam hal ini. Saya sangat sepakat bahwa Reformasi ini sudah mulai kehilangan elan dan bahkan ada kecenderungan dipakai sebagai kedok untuk menciptakan sebuah sistem politik yang bisa kontraproduktif terhadap demokrasi, yaitu apa yang disebut kartelisasi politik, toh cara memperbaikinya tidaklah dengan mengganti Pak SBY. Saya lebih cenderung menggunakan paradigma gradualis yang sering dipergunakan oleh alm Gus Dur mengingat kondisi reformasi kita memang sejak awal mengikuti paradigma seperti itu. Belum lagi kalau dibayangkan jika terjadi keributan di kalangan elit, belum tentu saat ini akan nyambung dengan publik di grass-roots, karena pihak yang disebut belakangan itu juga semakin kehilangan kepercayaan terhadap pihak yang pertama.



Menurut hemat saya, ajakan GIB menjadi kontraproduktif ketika kelompok yang mengklaim pekerja demokrasi itu ternyata malah tidak sabar dan setia serta konsisten memperkuat sistem. kesan yang bisa muncul di benak publik adalah bahwa teman-teman yang terhormat dari GIB itu mengompori dan memberi legitimasi bagi sebuah upaya anti demokrasi atas nama demokrasi. Saya khawatir bahwa cara membaca kelompok elit ini terlalu jauh dan tidak mengkonsultasikannya dengan rakyat banyak khususnya yang berada di bawah sana. Sehingga apa yang menurut pikiran mereka harus terjadi kemudian dianggap itu pula yang dipikirkan rakyat. Inilah yang sering disebut sebagai sebuah reifikasi dari pikiran elit yang malah merusak. Reifikasi, seperti kita tahu, adalah menganggap sesuatu yang ada dalam pikiran atau konsep seakan-akan ia sudah ada. Dalam filsafat ilmu pengetahuan, reifikasi sangat beresiko membuat seseorang keliru melakukan sesuatu hanya karena menganggap konsep atau teori yang ada dalam pikiran sudah benar-benar terwujud sebagai sesuatu fakta.



Saya berharap bahwa kritik ini dibaca oleh teman-teman di GIB sehingga akan terjadi dialog yang lebih lanjut. Saya sangat mendukung semangat untuk mengembalikan ruh Reformasi dan praktik demokrasi yang saat ini mulai tidak konsisten, namun caranya bukanlah dengan melakukan upaya di luar sistem. Bagaimanapun ada perbedaan kualitatif antara rezim Orba dengan yang sekarang sedang berkuasa. Kalau para elit salah memberi pemahaman kepada rakyat, maka jangan pula menyalahkan rakyat jika mereka kemudian tidak akan mau mempercayai elitnya.

No comments: