30 July 2010

PAPUA DAN GUS DUR: KENISCAYAAN DEKONSTRUKSI WACANA POLITIK

Muhammad AS Hikam


Salah satu persoalan paling strategis di negeri ini adalah pembangunan dan pemberdayaan Papua serta rakyat Papua. Semenjak pulau terbesar di Indonesia ini resmi bergabung sebagai bagian NKRI, cerita yang paling sering terdengar mengenai Tanah dan rakyat Papua lebih banyak menggambarkan penderitaan dan keterbelakangan ketimbang cerita sukses pemberdayaan dan pembangunan. Kalau pun muncul dalam wacana yang positif, umumnya berkisar kekayaan alam, eksotisitas flora dan fauna, serta penduduk dan budaya aslinya. Sedikit sekali warta gembira tentang perkembangan tanah Papua dan rakyatnya sebagai bagian tak terpisahkan dari Republik Indonesia Raya, paling-paling menjadi bagian dari cerita sukses eksplorasi bangsa asing berupa tambang tembaga dan emas Freeport di kawasan Timika.

Dalam wacana dominan mengenai Papua, selalu ditarik bifurkasi atau posisi biner pemerintah pusat dan rakyat Papua yang seolah-olah tak terjembatani karena jarak fisik, jarak politik, dan jarak kultural yang maha jauh. Pusat, dalam wacana ini, adalah apa yang tidak diinginkan oleh Papua dan rakyat Papua (khususnya penduduk asli): dominasi kekuasaan, keserakahan mengeksploitasi kekayaan alam, ketidakpedulian terhadap rakyat yang masih bodoh, miskin, dan terbelakang, serta tidak adanya kemauan politik untuk meyetarakan Papua dan penduduknya dengan penduduk lain di tanah air RI. Daerah, dalam wacana ini, sering muncul dalam gambaran yang tidak nyaman, ramah, dan akrab: separatisme, ketidakmauan untuk maju dari penduduk asli, sikap keras kepala dan tak mau berterimakasih, serta ketergantungan elite Papua dengan pihak-pihak asing yang sejatinya memanfaatkan mereka.

Dengan wacana dominan seperti itu, nyaris mustahil untuk mencari titik temu yang pada ujungnya akan memperkokoh keberadaan Papua dalam bingkai NKRI serta kesadaran akan nasib sebangsa dengan "the rest of us" di bagian-bagian lain negeri ini. Wacana demikian akan terus memperdalam kecurigaan (suspicion) dan melunturkan kepercayaan (trust) atau yang masih tersisa darinya selama lebih dari empatpuluh tahun belakangan yang ada dalam mind set rakyat Papua. SAementara itu, wacana dominan tersebut juga menciptakan sikap rigid dan stereotipikal dari penguasa, khususnya di pusat, yang kemudian di share oleh sebagian rakyat Indonesia yang sejauh ini belum benar-benar memahami dan menganggap Papua sebagai bagian dari tubuh dan nyawa Republik!

Itulah sebabnya, bahkan seorang Rektor Universitas Cendrawasih, Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, pun sengaja atau tidak, sadar atau tidak masih belum mampu bneranjak dari dominasi wacana yang saya kira tidak produktif dan kreatif tersebut. Beliau mengatakan bahwa "jujur, sampai saat ini pemerintah kita di Jakarta masih mencurigai Papua, banyak tidak percayanya pada Papua." (http://www/. rakyatmerdeka.co.id/news/2010/07/29/99698/INDONESIA-DARI-PAPUA). Apakah kriteria yang beliau pakai untuk membuat statemen putatif semacam itu? Apakah penguasa daerah Papua masih di dominasi orang-orang bukan asli Papua? Apakah dana otsus Papua tidak dicairkan selama sepulih tahun terakhir? Apakah lembaga-lembaga adat, agama, dan kaum perempuan tidak masuk dalam Majelis Rakyat Papua? Apakah DPR Papua masih belum terbentuk? Apakah pemekaran provinsi dan kabubaten di papua tidak terjadi? Apakah kerukunan umat beragama dan hubungan antar-etnis sangat buruk selama beberapa tahun terakhir?

Saya berani mengatakan, kalau kriteria itu yang dipakai untuk soal kepercayaan Pusat kepada Papua, saya kira jawabnya tidak benar. Prof Kambuaya, seperti halnya banyak elite Papua termasuk yang berada dalam masyarakat sipilnya, hanya menggunakan wacana dominan itu sebagai mantra yang kalau diulang-ulang dianggap kemudian menjadi kenyataan atau paling tidak menciptakan tenaga "magis." Dengan menyatakan bahwa Pusat masih curiga tersebut, sang Prof telah menghapus dan meniadakan seluruh fakta-fakta yang telah berubah di Papua yang kesemuanya berpotensi memberdayankan tanah Papua dan rakyatnya. Dengan kata lain, elite Papua juga sedang berpartisipasi dalam menciptakan wacana tidak mempercayai (discourse of distrust) apa yang telah dan sedang berproses. Bahwa proses tersebut masih belum memuaskan, semua orang tahu, tetapi menganggap semuanya tidak berarti karena masih ada kecurigaan, saya kira hal itu sangat tidak fair.

Demikian juga jika Pusat masih tetap menganggap Papua sebagai "terra incognita" (ranah tak dapat dipahami) yang selalu harus ditutup dari mata publik, selalu dianggap rawan dan berbahaya (tetapi dibiarkan dieksploitasi sumber alamnya ioleh asing!), senantiasa diselimuti bahaya separatis dan OPM (dalam jenis yang berganti-ganti), dan senantiasa dianggap tidak mampu mengikuti perkembangan yang terjadi di daerah Indonesia yang lain, maka Pusat pun sebenarnya sedang menjalankan missi penghancuran dari dalam. Papua, cepat atau lambat akan mengalami pengasingan eksistensi, alienasi dari batang tubuh RI, dan membeku dalam stagnasi sosial-budaya, politik, dan ekonomi. Pusat dan "the rest of us" harus bertanggungjawab jika kemudian RI teramputasi salah satu oragnnya yang terpenting, karena telah terjebak dan merasa enak dalam wacana dan praksis yang sangat menyesatkan itu.

Sudah saatnya dilakukan dekonstruksi wacana dan praksis mengenai Papua dan rakyat Papua, dan menggantinya dengan wacana dan praksis baru yang lebih produktif, humanis, dan membebaskan atau emansipatoris. Papua sebagai bagian integral NKRI adalah fakta yang tak bisa diubah selama Republik masih ada dan karenanya pemberdayaan kawasan dan rakyat Papua adalah sine qua non atau kemutlakan: infrastruktur, ekonomi, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang terjadi di daerah Indonesia yang lain. Bahkan sebuah Marshall Plan ala Indonesia utk Papua semestinya dibuat semenjak lama untuk membebaskan wilayah itu dari isolasi yang disengaja atau tidak, baik oleh elite Pusat dan Daerah. Pusat tidak boleh hanya memberikan ikan yang kemudian membusuk karena dikorupsi oleh elite Daerah, dan elite Daerah tidak hanya membodohi rakyat dengan mengeksploitasi ketidaktahuan mereka serta ketiadaan akses kepada kekuasaan.

Salah satu pelopor dekosntruksi wacana dan praksis tentang Papua adalah Almaghfurlah Gus Dur. Bagi beliau, Papua terlalu besar dan terlalu kaya serta terlalu penting untuk hanya diserahkan kepada elite Papua dan Pusat belaka. Papua harus tetap menjadi milik bangsa Indonesia yang bermanfaat bagi bangsa dan menjadi pelopor bagi kejayaan bangsa di masa datang. Itulah sebabnya, wacana bifurkatif yang hanya menguntungkan para elite harus dibongkar dan deganti dengan wacana dan kiprah pemberdayaan yang bermanfaat bagi semua. Gus Dur memulai dengan pembongkaran nama yang dianggap tidak memiliki landasan kultural, yaitu Irian Jaya, menjadi Papua. Beliau juga mengakui hak-hak budaya termasuk lambang bintang kejora sebagai identitas lokal, bukan sebagai lambang sebuah entitas negara baru. Beliau pun mempelopori otonomi khusus untuk Papua, kendati tidak sempat mengikuti sampai terwujud hingga saat ini. Itulah sebabnya bagi Papua dan rakyat Papua, Gus Dur adalah pahlawan sejati mereka yang akan menjadi inspirasi dan simbol pemersatu bangsa yang menghargai dan menghormati hak-hak dasar semua warganegara, termasuk Papua.

Jakarta 31 Juli 2010

selengkapnya >>>

29 July 2010

MENELADANI IMAM SYAFI'I DALAM PENGEMBANGAN KEILMUAN FIQIH

Oleh:
Muhammad AS Hikam
Ponpes Salafiah Kholidiah
Plumpang, Tuban, Jawa Timur



Dunia keilmuan Islam, khususnya dalam Fiqh dan Ushul al-Fiqh, tak mungkin dapat dipisahkan dari sosok Imam Syafi’i Radliyallahu ‘Anhu. Beliau adalah salah satu pendiri empat Madzhab Fiqih yang diikuti oleh ummat Islam yang menganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah, yang populer disebut dengan Madzhab Syafi’i. Dallam perkembangannya sampai saat ini, Madzhab Syafi’i adalah madzhab fiqh yang paling banyak diikuti oleh ummat Islam di dunia, khususnya di negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Mesir, Yaman, Syria, Irak, dan masuh banyak lagi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa cara berfiqh yang digali dan dikembangkan oleh Imam Syafi’i dan para penerusnya, memiliki kemampuan untuk tetap relevan dalam perkembangan sepanjang sejarah dan heterogenitas ummat Islam (geografi, demografi, kultur, etnis, ras, bahasa, dan tingkat perkembangan sosialnya).

Di Indonesia, madzhab ini telah menjadi inti dalam membentuk sebuah komunitas Alussunnah wal Jamaah semenjak berabad-abad lamanya, sehingga mustahil untuk ditandingi oleh madzhab lain seperti Hanafi, Hambali, dan Maliki. Lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran Islam semenjak kehadiran agama ini di Nusantara, baik formal maupun non formal, telah mengembangkan madzhab ini mengikuti perkembangan sosial dan budaya serta kebutuhan yang ada. Ibarat pohon makin kuatlah akarnya menancap di bumi Indonesia, makin rimbun pula daunnya menaungi ummat Islam, serta beranak-pinak cabang-cabangnya untuk dimanfaatkan mereka yang memerlukannya. Dengan kata lain, Madzhab Syafi’i adalah sama dan sebangun dengan pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia. Mengembangkan Islam di Indonesia berarti pula melakukan pengembangan madzhab ini sebagai salah satu pijakan utamanya!

Itulah sebabnya menjadi sangat penting bagi para pelajar, mahasiswa, dan santri ponpes yang memiliki keinginan kuat untuk tafaqquh fid dien melalui pendalaman ilmu fiqh, untuk memahami sosok beliau secara komprehensif, sebagai tauladan (uswah) dan referensi utama sehingga dapat mengambil hikmah dari pergumulan intelektual beliau. Dengan mempelajari secara mendalam pribadi dan perjalanan kehidupan kecendekiawanan (intellectual biography) Imam Syafi’i maka akan diperoleh manfaat berupa pemahaman yang lebih mendalam dan kontekstual terhadap pemikiran dan pergumulan beliau dalam ilmu fiqh. Selanjutnya pemahaman tersebut akan bisa menjadi obor penerang bagi perjalanan para santri, pelajar, mahasiswa dan siapapun yang ingin memajukan fiqh dan menjadikannya tetap mampu menjawab berbagai tantangan yang dihadapi oleh masyarakat yang terus menerus berubah.


     Para peserta Bahtsul Masail Diniyyah, dari sekitar 40 Ponpes di wilajah ex Karesidenan Bojonegoro


Imam Syafi’i, ra bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i al-Hasyimi al Muthallibi. Dari nama nenek moyangnya sudah jelas bahwa beliau memiliki hubungan silsilah langsng dengan suku Quraisy, tepatnya bani Abdul Muthalib bin Abdul Manaf, yang notabene adalah kakek buyut dari junjungan kita Nabi Muhammad saw. Imam Syafi’i lahir pada th 150H di wilayah yang sekarang disebut Gaza, Palestina. Ketika beliau berusia 2 tahun, ibundanya membawa kembali ke tanah Hijaz, dan menetap di Makkah al Mukarromah. Karena ayahanda beliau telah wafat ketika masih tinggal di Gaza, maka Imam Syafi’i pun tumbuh dan berkembang sebagai anak yatim yang diasuh oleh ibundanya sendiri sedari kecil.

Perkembangan intelektual Imam Syafi’i semenjak keil memang sangat luar biasa. Usia tujuh tahun beliau telah hafal seluruh Al-Qur’an, dan pada usia sepuluh tahun beliau telah hapal di luar kepala seluruh isi kitab Muwattha’, karya Imam Maliki. Konon, Imam Syafi’i hanya perlu waktu sembilan malam untuk menghafalkan kitab tersebut! Pelajaran fiqh di Masjidil Haram Haram beliau selesaikan dengan cepat sehingga ketika berusia 15 tahun Imam besar Masjid, Muslim bin Khalid as-Zanji, menganjurkan orang untuk mendengarkan pandangan hukum (fatwa) beliau. Selain fiqh, beliau sejak kecil tertarik belajar Bahasa Arab dan Hadits yang membuat beliau kemudian terkenal sebagai seorang yang mempunyai hafalan ribuan Hadits dan memiliki kecakapan bahasa Arab yang luar biasa dan sangat bermanfaat untuk melakukan kajian dan penggalian hukum.

Setelah selesai belajar di Makkah, Imam Sayafi’i melanjutkan belajar ke Madinah pada usia 16 tahun. Di bawah bimbingan Imam Malik, beliau belajar sampai 11 tahun dan baru berakhir setelah sang guru wafat pada 179H. Seusai belajar di Madinah belia menjadi qadli di Najran, wilayah Yaman sampai tahun 184H. Titik balik kehidupan Imam Syafi’i terjadi pada tahun itu ketika beliau dipanggil ke Baghdad oleh Khalifah Harun Al Rasyid karena difitnah melakukan tindak pidana. Tuduhan dan fitnah tersebut tak terbukti dan beliu tinggal di Irak untuk belajar kepada Imam Muhammad bin al Hasan. Smapai usia 34 beliau belajar di sana, dan hasilnya sangat spektakuler: Imam Syafi’I berhasil memadukan paradigma fiqh para ahli Hadits (ahlul hadits) dari Hijaz dan paradigma fiqh rasional (ahlur-ra’yu) dari Irak! Diusia yang sangat muda inilah Imam Syafi’i kemudian ditetapkan sebagai Imam madzhab ketika beliau kembali ke Makkah untuk mengajar di sana.

Di Makkah beliau mulai menciptakan kaidah-kaidah istinbath (cara mengambil dalil), baik mengikuti model para fiqh dari Hijaz maupun Irak. Beliau dengan piawai memberikan penjelasan, kritik, dan metode perbandingan antara keduanya untuk kemudian diambil kaidah-kaidah yang baru. Melalui halaqah-halaqah di Masjidil Haram, Imam Syafi’i menarik banyak murid dan pengikut dan berhasil menulis Kitab Ar-Risalah yang berisi ilmu Ushul al-Fiqh. Penajaman ar Risalah dilakukan terus menerus setelah beliau berpindah ke Baghdad dan tinggal selama 2 tahun di kota tersebut. Ketokohan beliau menjadi semakin diakui sehingga mendapat julukan Imam as Sunnah wa Nashir al-Hadits (Imam as Sunnah dan pembela Hadits). Seluruh periode Makkah dan Baghdad ini, yang kemudian dibukukan dalam Kitab-kitab ar-Risalah dan al-Hujjah kemudian dikenal dalam sejarah Madzhab Syafi;I sebagai periode awal atau Qaul Qadim.

Setelah pindah ke Mesir, Imam Syafi’i makin mengintensifkan kajiannya terhadap fiqh dan ilmu Ushul al Fiqh. Karena konteks yang sangat berbeda antara tanah Hijaz dan Mesir dan juga interaksi dengan para ilmuan yang semakin banyak, maka neliau berkesempatan untuk melakukan revisi-revisi terhadap pandangan lama yang termuat dalam ar-Risalah maupun al Hujjah. Beliau mendiktekan pandangan-pandangan baru, yang kemudian terkenal dengan sebutan “Qaul Jadid” itu, kepada para muridnya yang menjadi Kitam al-Umm. Melalui karya besar dalam ilmu fiqh inilah imam Syafi’i kemudian menjadi dikenal di seluruh dunia dan madzhabnya diikuti oleh mayoritas ummat di berbagai negara. Di samping keahlian dalam fiqh, beliau juga menulis berbagai Kitab dalam bidang lain, seperti bahasa, Hadits, sastra, dan ilmu ma’ani.

Madzhab fiqh Syafi’i dikembangkan oleh murid-murid beliau yangmerupakan ulama-ulama besar seperti al Mawardi, an Nawawi, al Ghazali, as Syairazi, as Syarbini, as Sya’rani, as Suyuthi, Ibn Hajar al Haitami dan al Hisni ad Dimasyqi. Di tangan para ulama Syafi’i itulah pemikiran dan pendapat Imam Syafi’i dikembangkan secara lebih luas, mendalam, dan komprehensif sehingga merupakan sebuah corpus keilmuan fiqh yang menjadi sumber yang tak pernah kering sampai saat ini. An Nawawi misalnya menyusun Majmu’ nya sebanyak 18 jilid, belum lagi kitab-kitab beliau yang lain seperti Minhajut Thalibin yang kemudian disyarahi oleh banyak ulama murid beliau, seperti: Nihayah (ar Ramli); Tuhfah (Ibn Hajar); Mughni Muhtaj (Syarbini), dll.

***

Mengapa madzhab Imam Syafi’i begitu cepat berkembang dan mampu mempertahankan relevansinya samapi sekarang di seluruh dunia?. Menurut Dr Wahbah Zuhaili, dalam bukunya “Fiqih Imam Syafi’i”, ada beberapa cirri khas yang membuat madzhab ini sangat kuat. Antara lain:

1. Madzhab Syafi’i selalu berpedoman pada ilmu Ushul al-Fiqh. Ilmu yang dikembangkan oleh Imam Syafi’i ini dipergunakan untuk menetapkan kaidah-2 dan prinsip-2 dasar serta cara (manhaj) pengambilan dalil untuk menentukan hukum. Melalui penggunaan ilmu ini maka banyak para ulama yang berbeda pendapat banyak yang kemudian tertarik dengan mazhab Syafi’i dan memungkinkan terjadi pengayaan fiqh
2. Madzhab Syafi’i memungkinkan terjadinya perpaduan harmonis antara fiqh, rasio, dan hadits yang berasal dari dua aliran: Hijaz (Makkah dan Madinah) dan Irak. Dari sinilah kemudian ditemukan manhaj taufiq (metode perpaduan) yang memberikan prioritas kepada Hadits, setelah Qur’an, sebagai sumber hujjah disusul dengan Qiyas apabila tidak ditemukan nash.
3. Imam Syafi’i lebih ringan persyaratannya ketimbang misalnya Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dalam hal penggunaan Hadits. Imam Abu Hanifah mensyaratkan hadits Ahad harus memiliki peringkat kemasyhuran tertentu untuk bias diterima sebagai sumber, sedangkan Imam Malik mensyaratkan hadits yang diterima harus sesuai dengan praktik/amalan ahli Madinah. Menurut Imam Syafi’i, sebuah hadits bisa diterima sebagai sumber hujjah apabila ia adalah shahih dan sanadnya bersambung. Namun demikian, beliau menolak hadits Mursal sebagai sumber, kecuali diriwayatkan oleh shahabat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi

Kendati Imam Syafi’i menolak Istihsan dan Masholihul Mursalah sebagai sumber hukum fiqh, namun ulama-ulama madzhab Syafi’i yang sesudahnya menggunakan keduanya, sebagaimana para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah Nahdlatul ‘Ulama melakukan hal yang sama. Apa yang menjadi pendapat awal Imam Syafi’i (aqwal) dikembangkan dalam pendapat ulama-ulama Syafi’i berdasarkan Ushul Fiqh sehingga membentuk berbagai penafsiran pandangan (awjah) dan perbedaan para perawi mazhab (thuruq) yang memungkinkan perkembangan mazhab ini selanjutnya di masa-masa setelah mereka.

Karena adanya ketiga faktor itulah maka madzhab Syafi’i mampu menerobos batas-batas geografis dan juga kondisi perkembangan masyarakat yang berbeda-beda di dunia Islam. Namun demikian hal ini juga dapat menciptakan tantangan serius bagi para ulama fiqh madzhab ini karena mereka diharuskan untuk selalu meningkatkan pemahaman mereka yang terkait bukan saja dasar-dasara keilmuan fiqh tetapi juga perkembangan sosial, politik, ekonomi, dan budaya di masyarakat atau negeri tertentu. Para pengikut madzhab ini selain mempunyai tingkat kelenturan yang tinggi di dalam memahami hukum, tetapi juga dituntut untuk memahami kaidah-kaidah yang benar-benar dapat dipergunakan secara akurat dan tidak sekedar menggunakannya sebagai alat justifikasi.

***

Kegiatan bahtsul masail yang sudah menjadi tradisi di pondok pesantren NU di seluruh pelosok tanah air, tentu saja diharapkan untuk senantiasa mengikuti manhaj yang telah dirintis dibentuk dan dikembangkan oleh Imam Syafi’i dan para ulama madzhab, mulai dari masa yang paling awal sampai para ulama mutaakhkhirin. Untuk itu, pemahaman yang komprehensif mengenai apa itu madzhab Syafi’i menjadi sine qua non (sesuatu yang mutlak) bagi mereka yang aktif dalam kegiatan ini. Apalagi dalam kondisi kemasyarakatan yang berubah dengan sangat cepat karena pengaruh teknologi informasi, transportasi dan ekonomi global, maka kemampuan para ulama dan santrai NU untuk mengembangkan manhaj dalam pengambilan dalil (istinbath) menjadi kunci utama jika ingin tetap relevan dengan tantangan zaman.

Tantangan yang dihadapi oleh ponpes dan para ulama serta santrinya tidaklah kecil. Ketika masyarakat kita sedang berada dalam kondisi krisis dan para pnyelenggara Negara juga tampaknya tidak mampu menyodorkan solusi yang tepat agar perikehidupan berbangsa menjadi lebih baik, maka banyak pihak yang mencoba mencari berbagai alternative, termasuk mencari jawabanap dari khazanah tradisi yang pernah menjadi rujukan. Pesantran merupakan salah satunya sehingga kita saksikan semacam arus kembangkitan pesantren yang luar biasa semenjak akhir abad ke duapuluh yang lalu. Permasalahannya adalah apakah pesantren dan para pengasuhnya memang sudah memiliki kemampuan untuk memberikan solusi tersebut secara tepat atau hanya solusi yang bersifat paliatif, atau malah cuma sekedar solusi semu?

Jawaban atas pertanyaan di atas sangat tergantung kepada lembaga pesantren dan para pemangku kepentingan dan pengasuhnya. Bisa saja pesantren kemudian mengambil manfaat dari kebalauan dan kecarut-marutan masyarakat dengan memberikan jawaban-jawaban paliatif, sambil mengeruk keuntungan secara finansial dan gebyar popularitas publik yang sangat temporer sifatnya. Namun resiko yang harus ditanggung adalah akan hilangnya kredibilitas lembaga yang sudah berabad-abad ikut berperan dalam melindungi dan mendidik masyarakat. Di samping itu dalam jangka panjang, pesantren juga akan kehilangan relevansinya menghadapi realitas di luar yang semakin kompleks karena sibuk dengan dirinya sendiri dan kehilangan semangat untuk melihat kedepan,

Padahal jika kita belajar dari sosok seperti Imam Syafi’i maka yang paling menonjol dari beliau adalah kemampuannya untuk menerima dan mengantisipasi perubahan. Kenyataan bahwa ada yang disebuk qaul qodim dan qaul jaded itu saj sudah menunjukkan bahwa Imam Syafi’i menolak kejumudan atau stagnasi dalam pemikiran dan tindakan. Beliau adalah tipe cendekiawan yang senantiasa mencari tanpa henti. Padahal dengan kapasitas inteleknya yang luar biasa bisa saja beliau menjadi seorang yang berada dekat dengan pusat kekuasaan. Teladan yang harus kita ikuti dari beliau adalah menjadikan tafaqquh fid dien sebagi etos kehidupan pesantren yang akan mampu menjawab tantangan dalam kehidupan dan ikut meningkatkan kualitas manusia di sekitarnya.




*** MASH ***

Disampaikan dalam Pembukaan Bahtsul Masail Diniyyah Waqi'iyyah
Memperingati Khaul Almaghfurlah KH Abd Fatah Al-Manshur Ke XXVII
di Pondok pesantren Salafiah Kholidiyah, Plumpang, Tuban,Jatim
Tgl. 9 Juli 2010.

selengkapnya >>>

detikNews : SBY: Ada Gerakan Politik yang Keliling Kampanyekan Pemerintahan Buruk

Muhammad A S Hikam


Sudah
jamak-lumrahnya kalau dalam berpolitik, senantiasa akan ada perbedaan
pendapat mengenai sukses atau kegagalan seorang yang diberi amanah
sebagai pemimpin. Dalam sistem politik yang demokratis, perbedaan
pendapat itu justru menjadi salah satu alat ukur penting dan juga
dinamisator kemajuannya. Dalam sistem yang tidak
demokratis, perbedaan pendapat dianggap sebagai sebuah tabu dan bahkan
bisa dikenai tuduhan sebagai pemberontak. Jika sistem politik tersebut
totaliter, maka pendapat yang berbeda dengan Sang Pemimpin Besar akan
dicap sebagai penghianatan (act of treason) terhadap negara sehingga
menjadi tindak pidana serius yang bisa dihukum berat. Apakah sebuah
negara dikatakan demokratis atau tidak, salah satu ukurannya adalah
bagaimana sistem politik yang ada mengelola perbedaan pendapat
tersebut: semakin ada keterbukaan untuk berbeda pendapat, biasanya
dianggap semakin demokratis, dan sebaliknya.

Di negeri ini,
sudah jelas perbedaan pendapat sangat diakomodasi dalam Konstitusinya,
bahkan ditahbiskan sebagai salah satu hak asasi warganegara. Karena
itu, jika ada upaya baik sistematis maupun tersembunyi untuk membungkam
hak untuk berbeda pendapat, niscaya bisa langsung disebut sebagai upaya
yang inkonstitusional. Rezin-rezim otoriter yang pernah hadir dan
tumbang di negeri ini, adalah bukti nyata bahwa rakyat memiliki
komitmen untuk mempertahankan hak dasar ini, sehingga wajar sekali
manakala muncul sinyal atau pertanda akan adanya upaya melarang kritik
dan perbedaan pandangan antara penguasa dan rakyat, lalu terjadi reaksi
negatif. Penguasa, yang juga memiliki hak untuk menunjukkan bahwa ia
telah melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, harus berhati-hati
dalam mengelola isu yang satu ini. Kegagalan memberikan jawaban yang
tepat terhadap kritik atas kinerjanya bisa menimbulkan implikasi serius
yang berpotensi meruntuhkan legitimasi dan kesuksesan yang sejatinya
telah, sedang, dan akan diraihnya.

Dalam praktik demokrasi di
negara-negara yang sudah berpengalaman mengelola perbedaan pendapat
itu, biasanya penguasa tidak mudah terprovokasi apalagi sampai dianggap
"berkuping tipis" terhadap kritik. Karena itulah saya sangat apresiasi
ketika Presiden SBY mengingatkan jajaran Polri agar jangan berkuping
tipis dalam merespon kritik seputar gambar karikatur di Majalah Tempo
beberapa waktu lalu. Peringatan Pak SBY ini saya kira juga berlaku
untuk seluruh jajaran elit politik, termasuk yang beliau pimpin juga.
Kalaulah beliau memberi warning kepada pihak yang dianggap
mengampanyekan "keburukan" pemerintahannya, maka perlu pula dilakukan
secara proporsional. Saya kira sah-sah saja beliau mengemukakan
"counter critique" tersebut, karena kalau beliau diam nanti dianggap
publik sebagai pihak yang tidak punya kepekaan juga!

Hemat saya,
kalaupun kelompok Nasdem dianggap melakukan kritik terhadap kinerja
pemerintah maka itu wajar dan harus dianggap sebagai sebuah dinamika
positif dalm kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejauh bahwa
kritik-kritik Nasdem memang suecara substansi memiliki validitas dan
diutarakan melalui argumen yang rasional, maka pemerintah wajib
mendengar dan jika perlu mengoreksi pun harus seimbang. Publik yang
pada umumnya masih belum mampu membedakan antra kritik dan hujatan
harus diajak dan dilatih memahami bagaimana perbedaan paham dikelola
dengan pas sehingga produktif dan tidak destruktif. Si pengritik tidak
sekedar berbeda atau "waton suloyo" dan "pokoke", namun memakai argumen
yang bisa diverifikasi slah dan benarnya secara empiris. Jika pada
akhirnya tidak terjadi kesepahaman, maka jalan yg paling ideal adalah
keduanya sepakat untuk tidak sepakat dan menyerahkan kepada publik mana
yang akan diserahi sebagai pemegang amanah.

Pengelolaan kritik
dalam sistem demokrasi memang tidak seperti dalam sistem lain, dan
karenanya juga memerlukan topangan budaya yang akomodatif thd
perbedaan. Pertanyaannya adalah, apakah budaya seperti itu sudah kita
miliki secara riil ataukah baru pada taraf wacana dan slogan saja? Saya
khawatir justru dalam soal yang satu ini (budaya), bangsa kita paling
lemah. Buktinya adalah mudahnya sekelompok orang melakukan tindak
kekerasan seperti sweeping dan perusakan serta penghilangan harta benda
dan bahkan nyawa sesama anak bangsa, hanya karena perbedaan tafsir atas
agama atau etnisitas, dan ras. Penguasa pun lebih suka memihak kelompok
yang suaranya paling keras dan pendukungnya banyak dengan alasan itulah
demokrasi. Padahal, salah satu nilai budaya demokrasi yang terpenting
adalah: bagi si mayoritas dituntut menghormati hak-hak dasar si
minoritas, dan si minoritas menghormati dan menaati konsensus bersama.
Ujung-ujungnya, demokrasi malah menjadi alat pengabsahan penindasan
karena ia dimengerti dan dipraktikkan di luar etika dan moralitas serta
budaya yang semestinya menjadi penuntunnya.

selengkapnya >>>