Oleh Muhammad AS Hikam
The Gusdurians
Almaghfurlah masih leyeh-leyeh sehabis Subuhan, ketika saya datang di tempat tinggal beliau. Sayup-sayup terdengar gemericik air yang mengaliri sungai di samping rumah. Nyanyian burung-burung menyambut pagi, beristighfar dan bertasbih membuat suasana hening, tentreram, dan damai. Segera sayamendekat dan menyalami Almaghfurlah...
"Assalamu'alaikum, Gus.." salam saya seraya menyalami dan mencium tangan beliau.
"Salaam, Kang, wah kok pagi banget.. Piye waras tah sampean?" Sambut beliau seperti biasa.
"Alhamdulillah, Gus, baik-baik saja. Sengaja agak pagi, Gus." Kata saya sambil memernahkan diri duduk di hadapan beliau.
"Ada apa, memangnya? mBakyu dan anak sampean, baik-baik toh?"
"Alhamdulillah, Wien dan Lily sehat-sehat, Gus. Berkat do'a panjenengan, Lily semesterannya lumayan, dari empat kelas, tiga dapat A, satu B plus, Gus..." jawab saya.
"Ya.. alhamdulillah, alhamdulillah.. isih kurang pirang semester, anak sampean?" Tanya beliau.
"Kalau lancar, Insya Allah, tiga lagi, Gus.."
"Yo wis, Insya Allah lancar.."
"Amin..amin.. Gus. Oh ya sebelum lupa, saya mau matur Gus. Hari ini di rumah saya ada Khaul untuk panjenengan.."
"Maturnuwun, Kang. Kirim salam saya saja kepada semua yang hadir, ya.." Sambut GD.
"Insya Allah, Gus. Di mana-mana seluruh Indonesia, bahkan di luar negeri, orang memperingati Khaul panjenengan, Gus, dengan cara mereka masing-masing. Bahkan ummat non-Muslim juga memperingati. Semua merasa sangat kehilangan panjenengan. Apalagi Republik kita Gus, sepi tanpa panjenengan!."
"Sabar saja dan terus berusaha. Indonesia Insya Allah akan menjadi negara-bangsa yang besar dan diridloi Allah swt, asal dibawa ke arah yang dikehendaki oleh para pendirinya.." Jawab beliau santai.
"Amin, Gus. Namun untuk sementara kok ya mbulet saja ya Gus. Musibah masih sering terjadi, angka kemiskinan masih tetap tinggi, pembangunan stagnan. Miris Gus, apalagi melihat kondisi para pemimpin yang seolah-olah kehilangan arah.." Kata saya mengeluh.
"Lha piye, Kang, wong memang negara itu perlu pemimpin yang bisa mengarahkan dan mengayomi rakyat. Bukan pemimpin yang mementingkan diri sendiri, apalagi pemimpin yang demi mempertahankan kekuasaan lantas tidak berani bersikap tegas..." Jawab GD
"Itulah, Gus, padahal kan perkembangan kondisi global juga menunjukkan bahwa negara-negara adikuasa mulai mengalami krisis sehingga melakukan perubahan fundamental dalam strategi mereka. Kan negara seperti AS saja sekarang tidak mampu lagi mendikte negara-negara Selatan, Gus. Cina sudah sangat mampu menyaingi kekuatan ekonomi AS dan negara-negara EU..." Saya bicara agak panjang.
"Pemimpin Indonesia harus memahami gelagat ini dan merubah strategi politik luar negerinya. Saya kan sudah bilang bahwa Indonesia harus makin dekat dengan kekuatan besar Asia, yaitu India dan China. Tentu AS, EU dan sekutunya seperti Singapura ndak suka dengan geostrategi yang saya buat. Kita juga harus makin dekat dengan Australia dan negara-negara Pasifik Baratdaya seperti Selandia Baru dll itu. Kalau gak ada perubahan seperti negeri kita pasti akan kejepit dan kalah dalam percaturan global itu." GD menjelaskan panjang lebar.
"Benar Gus, kita sekarang semakin tampak tidak mampu menjadi pemimpin bahkan di kawasan ASEAN. Kita memang masih dianggap negara-bangsa terbesar di kawasan, tetapi secara riil politik makin ketinggalan dengan Malaysia dan Singapura. Thailand memang masih ribet dengan poldagrinya, tetapi Vietnam bakal menyusul kita, Gus. Kayaknya kita sama-sama stagnan dengan Filipina saja."
"Begini, Kang. Kedua negara jiran yang sampean sebut itu melesat cepat karena kekliruan kita sendiri. Karena kita terpesona dengan kekayaan alam dan besarnya wilayah, kita lupa membangun kualitas manusianya. Bangsa yang jumlahnya sebesar itu dengan heterogenitas yang sangat tinggi memerlukan pengelolaan SDM yang sangat canggih. Coba sampean lihat dari kualitas pendidikan saja, kita kalah jauh. Apalagi pengembangan sains dan teknologi yang pas dengan kondisi dan konteks Indonesia, misalnya, sebagai negara maritim, ternyata tidak jalan. Industri manufaktur kita jadinya ya cuma seperti asembling saja, karena lemandirian teknologi yang tidak terbangun. UKM dan IKM kita makin tenggelam bersaing dengan China dan Vietnam. Ini yang harus menjadi fokus. Bukan hanya memanjakan sektor korporasi besar yang sebenarnya tidak mengakar di negeri kita."
"Menurut panjenengan, apa masih ada kesempatan mengejar semua itu, Gus?" Tanya saya.
"Kalau Indonesia dipimpin orang yang ngerti geopolitik dan punya komitmen kebangsaan yang tinggi, Insya Allah tidak ada yang tak mungkin. Cobalah kita lihat Vietnam dan Kamboja itu. Mereka mengejar ketertinggalan tanpa banyak omong, karena para elitnya punya komitmen dan trasa kebangsaan sangat tinggi. Sejarah kedua bangsa itu kan selalu bersaing dengan Thailand. Kini mereka juga akan mengejar ketertinggalan setelah stabil dan bebas drai kolonialisme modern." Terang GD.
"Wah, Gus, kalau saya pelajari dari banyaknya skandal korupsi seperti BLBI, Centurygate, pengemplangan pajak, penjualan saham KS dan sebagainya beberapa tahun terakhir, tampaknya masih akan lama kita mendapat kepemimpinan nasional yang begitu. Makanya kita sekarang sedang kena demam rindu Gus Dur, hehehe..."
"Hehehehe.... iya tapi ketika saya memimpin malah dikuyo-kuyo. Semoga jadi pelajaran bagi bangsa kita bahwa pemimpin itu tidak mudah dicari. Mau pemilu tiap hari pun kalau stok pemimpinnya cuma itu-itu saja, ujung-ujungnya ya ruwet. Tapi saya percaya kok, Kang, rakyat kita akan menemukan jalannya. Mereka akhirnya pintar juga memilih siapa yang punya kapasitas dan kualitas memimpin.." Kata GD
"Kalau di akar rumput bagaimana Gus, maksud saya, kepemimpinan para Kyai itu..?" Tanya saya.
"Wah, sama saja Kang, dari dulu saya kan bilang banyak Kyai yang tidak lagi mampu memahami masyarakat, karena sudah keasyikan dengan kepentingan sendiri. Akhirnya malah kehilangan pengaruh. Justru Kyai di level langgar-langgar atau surau-surau kecil itu yang saya anggap masih tetap diikuti orang. Yang pesantren gedhe-gedhe itu banyak yang kena kontaminasi politik, akhirnya malah seperti calo saja. Setiap Pilpres atau Pemilukada difungsikan sebagai pengumpul suara. Padahal rakyat kan sudah bebas dan bisa mendapt informasi siapa calon yang menurut mereka cocok. Ya itulah, akhirnya muncul guyonan bahwa dalil Ushul fiqh "Al hukmu yaduuru ma'a Illatihi wujuudan au 'adaman," hukum itu adanya tergantung karena 'illah (alasan , masalah), lalu sekarang menjadi "Al hukmu yaduuru ma'a Ujrotihi..., alias tergantung pada bayarannya....hehehe...."
"Hehehe....." Kami berdua pun tergelak dengan joke yang sering dipakai GD.
"Makanya enak saja pindah-pindah loyalitas politiknya, tergantung ujroh (bayaran) nya!" Kata beliau melanjutkan.
"Wah..wah.. gak berani, Gus, ngrasani Kyai. Bisa kualat nanti..." Kata saya menimpali.
"Yang malati itu kalau tidak tergantung ujroh, Kang... hehehe...." Jawab GD.
"Injih, Gus, berhubung sudah siang, saya mau pamit dulu ya. Nanti Pak Rizal Ramli dan Sastro yang akan menjadi pembicara dalam Khaul di rumah saya Gus.." Kata saya sambil beranjak untuk pamitan.
"Salam saya saja sama mereka berdua, terus bekerja untuk rakyat.." Kata Gus Dur sambil berdiri.
"Assalamu'alaikum, Gus, pareng.." say pun menyalami dan mencium tangan beliau.
"Salaaam...."
30 December 2010
26 December 2010
NATAL DAN SEMANGAT PEMBAHARUAN DAN PERUBAHAN
Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Natal tahun ini masih belum dirayakan sepenuh hati oleh sebagian saudara-saudara sesama anak bangsa. Suka atau tidak, setelah lebih dari satu dasawarsa Reformasi yang salah satu tujuannya adalah mengembalikan demokrasi sesuai landasan konstitusional, maka dalam bidang jaminan hak asasi manusia kita masih belum bisa terlalu bngga. Khususnya dalam urusan jaminan kebebasan beragama dan melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan warganegara. Kita masih belum jauh dari berbagai peristiwa kekerasan seperti yang kita saksikan di Bekasi dan Rancaekek di mana Jemaah HKBP mengalami halangan dan tindak kekerasan karena masalah pembangunan gereja dan pelaksanaan ibadah. Kita juga masih belum jauh dari peristiwa kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah di Jawa Barat. Dan sebagainya dan seterusnya.
Sebagai anak bangsa, sudah sepatutnya kita ikut khawatir terhadap kesimpulan kajian yang baru-baru ini dilansir oleh The Wahid Institute, bahwa kekerasan berkaitan dengan agama cenderung meningkat pada tahun 2010. Dan menyedihkan juga bahwa daerah yang paling banyak menjadi lokasi nkekerasan beragama adalah di Jawa Barat. Semua orang tahu bahwa Propinsi Jabar adalah salah satu propinsi dengan penduduk Muslim terbesar di negeri ini, sehingga kesimpulan seperti itu memiliki implikasi yang cukup signifikan terhadap potret kehidupan lintas agama di negeri ini, khususnya bagi mayoritas penduduknya, yaitu kaum Muslimin, dalam mempraktekkan toleransi.
Natal adalah sebuah peringatan atas lahirnya Yesus atau Isa, yang dirayakan oleh ummat Kristiani sedunia. Makna Natal salah satunya adalah sebuah pengharapan kehidupan yang baru, perubahan dari sebuah kondisi yang penuh kegelapan menuju kondisi terang. Makna ini juga semestinya menjadi tema Natal tahun ini bagi ummat Kristiani dan anak bangsa Indonesia secara keseluruhan. Karena, bukankah Reformasi sejatinya juga merupakan sebuah perubahan dari sebuah kondisi otoriter menuju demokrasi, dari kehidupan yang terhalang menuju kehidupan yang terjamin dalam pelaksanaan hak-hak asasi. Termasuk dan khusunya, dalam kehidupan beragama. Indonesia adalah sebuah entitas heterogen, majemuk sehingga sudah merupakan sebuah hukum alam bahwa di dalamnya terdapat keberbagaian. Karena itu pemaksaan apalagi kekerasan atas nama agama adalah penghianatan atas jatidiri bangsa itu sendiri.
Kita mesti mengembalikan semangat berjuang yang sering kali mengalami set back, atau minimal rasa kurang yakin. Dengan semangat Natal, yaitu permulaan yang baru dan harapan akan datangnya sebuah perubahan yang baik, maka upaya kita meneruskan proses reformasi di segala bidang akan dapat didorong dan dilanjutkan. Kita masih memiliki begitu banyak pekerjaan rumah secara nasional, seperti pemberantasan korupsi, kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan. Demikian juga kerja mengembalikan gerak reformasi ke relnya yang benar dari upaya distorsi sitematis oleh para elit penguasa, memerlukan stamina dan semangat yang tinggi.
Semoga perayaan Natal tahun ini masih menyisakan optimisme kendati faktanya masih belum sebagaimana yang diharapkan oleh sebagaian anak bangsa. Kita mesti bersama-sama memerangi kegelapan dan mengarahkan bangsa kita kepada sinar terang dan masa depan yang gemilang.
Selamat Natal 2010 dan Tahun Baru 2011
07 December 2010
ICMI PASKA REFORMASI: KEKUATAN CIVIL SOCIETY ATAU INKUBATOR ISLAM POLITIK INDONESIA?
Oleh Muhammad AS Hikam
Presiden University
Ketika catatan ini dibuat, Muktamar Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) yang berlangsung di Bogor, sedang memutuskan susunan Presidium Pengurus Pusat ICMI 2010-2015. Nama-nama mereka yang masuk dalam nominasi antara lain adalah Prof. Dr. Azumardi Azra, MA, Priyo Budi Santoso, Jafar Hafsah, Zulkifli Hassan, Marwah Daud, dan Dr. Ilham Habibie . Selain itu sederet nama beken dari tokoh-tokoh ormas Islam kaliber internasional dan nasional pun tercantum, walaupun nama-nama besar dari KIB II, seperti Hatta Rajasa dan Mohamad Nuh, terpental. Suka atau tidak, kenyataan ini bisa menjadi salah satu indikator bahwa ICMI masih merupakan ormas Islam yang memiliki daya tarik sangat kuat dalam blantika gerakan sosial dan politik di negeri ini.
Para pengamat politik pada umumnya sepakat bahwa ICMI paska Reformasi telah mengalami penurunan pengaruh dan daya tarik, setelah ia mengalami kegagalan dalam upaya menjadi salah satu powerhouse dalam politik nasional menjelang tumbangnya Orde Baru. Sejarah pembentukan dan perkembangan ormas Islam yang satu ini memang tak mungkin lepas dari sebuah rekayasa politik dari gabungan dua kekuatan: sebagian elite rezim Orde Baru (yang direpresentasikan oleh mantan Presiden ke III, Prof. Dr. Ing. BJ Habibie) dan kelompok cendekiawan Muslim (seperti Adi Sasono, Dawam Rahardjo, dan Nurcholish Majid untuk menyebut beberapa nama paling beken di dalamnya). Dalam tempo yang teramat singkat, ICMI telah menjadi salah satu pemain utama dalam perebutan kekuasaan antar faksi-faksi elite Orba pada awal dan pertengahan 1990an, dan menjadi rival paling kuat bagi kelompok militer dan kaum "sekuler" serta non Muslim yang juga saling berebut pengaruh dan beraliansi.
CMI, yang berhasil memperluas pengaruh di Golkar, birokrasi sipil, dan ditopang beberapa pentolan ormas-ormas besar Islam, serta mendapat dukungan diam-diam dari beberapa elite militer, mencapai kemuncaknya ketika berhasil mendorong sang boss, Pak Habibie, menjadi orang kuat kedua setelah Soeharto. Toh kemampuan politik ICMI dkk tak bertahan terlalu lama, karena gelombang reformasi pada akhirnya menumbangkan bukan saja Orde Baru, tetapi juga mengakhiri kekuatan hegemonik ormas ini berikut kekuasaan politik BJ. Habibie dan para sekutunya. Maka wajar jika untuk sementara, sampai beberapa tahun setelah Reformasi, ICMI lebih cenderung tiarap dan kiprahnya terbatas. Lembaga-lembaganya yang dulu sangat moncer seperti MASIKA, CIDES, dan secara tak langsung The Habibie Center, harus melakukan redefinisi peran dalam sebuah lingkungan politik yang berubah. Tokoh-tokoh terasnya pun tidak lagi tampil menggebu-gebu. Bahkan kepemimpinan ICMI pun berubah total menjadi model presidium.
Toh akan sangat keliru jika menganggap ICM sebagi ormas maupun kekuatan politik telah usai perannya. Justru pada era paska reformasi ada perkembangan baru yakni terjadinya kristalisasi dan pemberdayaan organisasi yang bertujuan untuk membuat distingsi antara ICMI lama (yang sarat politik praktis) dengan yang baru yang diwarnai oleh gerakan masyarakat sipil (atau masyarakat madani dalam jargon ICMI). Kelompoik baru ini dimotori generasi muda ICMI yang muncul setelah reformasi mulai yang lebih non-politik praktis. Meski demikian, pada aras pimpinan presidium pusat pengaryh politisi (yang mantan maupun yang masih aktif) masih kuat. Memang tokoh seperti Adi Sasono dan Dawam Rahardjo telah hengkang dari sana, dan tokoh seperti Cak Nur sudah wafat. Namun sampai Muktamar 2010 ini, tokoh-tokoh ICMI jadul masih tetap bercokol: Marwah Daud, Azumardi, Soegiarto, dan Hatta Rajasa.
Pergelutan internal ICMI akan sangat menarik dan memperngaruhi karakternya ke depan: apakah ia akan menjadi bagian kekuatan dalam masyarakat sipil ataukah tetap menjadi bagian integral inkubator kelompok Islam politik di negeri ini. Dinamika internal ICMI di tingkat nasional sudah pasti akan merembet ke daerah-daerah, termasuk juga pengaruhnya akan dirasakan di dalam dinamika ormas-ormas besar Islam. NU paska Gus Dur, mungkin cenderung lebih rentan terhadap pengarah Islam politik, sementara Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Din Syamsuddin memang lebih assertif dalm politik. Sehingga kekuatan kubu "politik praktis" dalam ICMI masih tidak bisa diabaikan.
Lebih mendasar dari itu adalah pertanyaan apakah kelompok baru yang lebih muda usia dan kritis terhadap politik praktis akan merupakan sebuah trend setter bagi masa ICMI yang lebih inklusif dan non-sektarian secara paradigma politiknya? Saya belum melihat itu. Masih belum cukup kuat indikator yang bisa dipakai untuk menyimpulkan bahwa ICMI paska Reformasi akan bermetamorfosa menjadi gerakan Islam yang non-sektarian. Kritik alm GD dkk terhadap ICMI sebagai wahana Islam politik yang dibangun di atas fondasi sektarianisme di awal 1990an, saya kira masih perlu disimak dan dikaji kembali relevansinya. Demikian pula, saya kira terlalu dini untuk mengatakan bahwa godaan kekuasaan politik telah dapat dikendalikan oleh elite ormas ini. Kenyataan bahwa pemilihan presidium pusat yang diwarnai kericuhan, itu saj sudah menjadi bahan pertanyaan: apakah benar syahwat politik ICMI telah tertundukkan.
Selamat dan Sukses Muktamar ICMI 2010.
06 December 2010
KORUPSI BERBASIS PARTAI: CATATAN MENYAMBUT TAHUN BARU 1432 HIJRIYAH
Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Editorial koran Media Indonesia sangat menarik untuk kita cermati. Seorang teman fb memberitahu saya melalui kotak pesan agar memberikan respon dan diposting dalam bentuk catatan. Semula saya rada enggan karena biasanya catatan saya tidak untuk mereaksi kolom editorial dari media apapun. Namun kali ini saya tertarik untuk merespon editorial tersebut karena saya pikir cukup relevan untuk menyambut Tahun Baru Hijriah 1432, yang jatuh pada esok tgl 7 Desember 2010. Saya selalu memaknai Tahun Baru Hijriah sebagi sebuah "signpost" atau penanda perpindahan dari suatu situasi dan kondisi yang gelap dan bodoh (jahiliyah) menuju situasi dan kondisi tercerahkan dan terang benderang; dari suatu yang buruk menjadi baik. Pemberantasan korupsi adalah salah satu dari signpost itu: penanda keinginan untuk hidup yang bersih dan legitimate, baik secara hukum maupun etis.
Saya tertarik untuk merespon editorial yang menggugat sistem rekrutmen Kepala Daerah di negeri ini yang menurut penulisnya lebih banyak menghasilkan sang terpidana ketimbang pemimpin daerah yang berhasil membangun. Hal ini dikarenakan sistem rekruitmen calon Kepala Daerah yang sedemikian rupa oleh partai-partai politik, sehingga politik uang menjadi penentu bagi kemenangan calon, bukan kualitas dan kapasitasnya. Pada gilirannya, karena calon kepala daerah harus menyediakan ratusan miliar untuk Pemilukada, padahal gaji mereka secara resmi di bawah sepuluh juta/bulan, maka tak dapat tidak akan membuka peluang untuk melakukan korupsi kepada para Kepala Daerah tadi untuk dapat mengembalikan "modal" mereka ketika mencalonkan diri.
Implikasinya adalah: 1) pemilukada bukan menjadi sebuah alat demokrasi, dan 2) kegagalan sistem politik karena penyelewengan yang dilakukan parpol. Dalam hal ini, "partai...dengan sadar dan sengaja membunuh kadernya sendiri, dengan cara membuka pintu selebar-lebarnya bagi orang-orang dari luar partai yang ingin berkuasa dengan syarat mereka menyediakan dana. Partai malah sangat kreatif mencari orang-orang berduit untuk dipasang sebagai calon kepala daerah." Dengan kondisi yang seperti itu, menjadi sangat tidak mengherankan manakala Kementerian Dalam Negeri mencatat bahwa sampai bulan Oktober 2010 sekitar "seratus limapuluh (150) wali kota dan bupati menjadi tersangka korupsi."
Kondisi seperti ini, menurut editor Media Inondesia, harus diubah melalui dua cara: 1) kepala daerah cukup dipilih DPRD, dan; 2) partai politik... mengusung kader-kader terbaiknya untuk bertarung menduduki tampuk pimpinan daerah. Berarti bahwa "partai harus mampu mengembangkan modal sosial sehingga anggota dan simpatisannya percaya kepada sang kader dan memilihnya dengan ketulusan hati."
Saya tidak masalah jika pemilihan Kepala Daerah harus ditinjau kembali, dari pemilukada langsung menjadi tak langsung seperti sebelumnya. Namun demikian, sebagaimana yang juga terjadi pada model seperti itu, yang namanya politik uang juga sangat mudah terjadi, hanya dalam hal ini yang menikmati adalah para anggota Dewan yang memilihnya, bukannya para pemilih dan tokoh-tokoh politik, dsb. Bagaimana membuat pemilihan tak langsung itu bersih, itulah sebetulnya persoalan yang selalu muncul jika mekanisme tersebut dipakai kembali.
Tentang alternatif kedua, saya sangat tidak sepakat karena hal itu masih normatif dan secara logika, termasuk tautologis. Bagaimana mungkin parpol akan mampu mengusung kader terbaiknya, jika sistem kepartaian yang berlaku tetap saja menghasilkan organisasi partai yang mirip dengan perusahaan keluarga dan Yayasan? Seluruh parpol di negeri ini mengidap kesalahan sistem yang sama sehingga penyakitnya juga sama: menjadi persemaian para otokrat dan para politisi yang tidak memiliki kemampuan dan keahlian yang mumpuni dan telah dites dengan jam terbang yang tinggi. Mengapa? Karena parpol yang menjadi wadahnya tidak berfungsi sebagai kawah candradimuka bagi penggemblengan para calon negarawan, tetapi hanya sekedar politisi karbitan. Apalagi jika si kader itu kebetulan adalah keluarga para pemimpin parpol, maka dengan sangat cepat si anak/mantu/keponakan/ ipar/ dll akan melesat sebagai "tokoh" dan "kader utama" yang akan menjadi pengganti.
Akibatnya, parpol menjadi pembenihan calon-calon pemimpin karbitan: kalau bukan karena keturunan, ya karena punya kelebihan dana. Soal kemampuan dan pengalaman menjadi tidak relevan, dan si kader yang sudah merasa hebat (karena putra mahkota atau karena membayar banyak) tidk merasa ada perlunya punya kuntabilitas kepada partai, anggota partai, apalagi publik dan bangsa. Maka parpol di republik ini tak lebih hanya merupakan penampungan para Mafia dan para politisi kurang bermutu. Rakyat juga cenderung akan meremehkan politisi demikian dan tidak merasa perlu menghormati politisi. Jeleknya adalah, kalaupun ada politisi serius dan bermutu maka mereka ini mendapatkan diri serba salah: di partai mendapat musuh dari para politisi busuk dan bodoh, di luar partai dicuekin karena hanya dianggap sama saja dengan yang bodoh dan busuk!
Karena itu, solusi yang kedua itu masih kurang fundamental. Ia harus diawali dengan reformasi sistem kepartaian dan reformasi sistem Pemilu yang mampu benar-benar menciptakan perubahan gradual dan sistematis menuju demokratisasi yang benar dan mampu bekerja untuk kepentingan rakyat. UU Kepartaian harus diubah sehingga parpol bisa diawasi publik dan lembaga peradilan. Sistem Pemilu juga harus makin transparan dan dijalankan oleh KPU yang profesional dan independen, bukan KPU yang menjadi alat transaksi politik seperti yang ada saat ini. Upaya memasukkan orang parpol ke dalam KPU adalah resep paling manjur untuk menghancurkan sistem Pemilu demokratis.
Jika reformasi sistem kepartaian dan sistem pemilu tidak dilaksanakan, maka korupsi berbasis partai tidak akan bisa diperkecil, alih-alih dihilangkan. Parpol sebagai lembaga yang akan menjadi pemilik kekuasaan, jelas akan semakin memperkuat diri dengna segala macam sumberdaya, termasuk dan terutama. Ini hanya akan bisa dilakukan dengan semakin membuat sistem yang korup dan rekruitmen yang tidak berdasarkan meritokrasi, tetapi transaksional.
Reformasi akan hancur karena parpol yang memang hampir tak tersentuh selama satu dasawarsa setelah gerakan menumbangkan Orba. Para penumpang gelap, politisi busuk, politisi karbitan dsb telah bersemai dan berkuasa. Korupsi hanyalah puncak sebuah guning es. Yang tidak kelihatan adalah sebuah magma kebejatan yang maha panas dan setiap saat bisa meletup dan menhancur leburkan negara dan bangsa Indonesia.
Selamat Tahun Baru Hijriah 1432.
02 December 2010
KEISTIMEWAAN DIY DAN DEMOKRASI KONSTITUSIONAL RI
Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Kontroversi seputar RUU Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), khususnya mengenai substansi kepemimpinan (Gubernur dan Wakil Gubernur), tampaknya masih akan panjang. Beberapa hari ini media menyuguhi publik, baik di DIY maupun di seluruh Indonesia, wacana mengenai keistimewaan daerah tersebut yang kemudian dikerucutkan hanya kepada pertanyaan apakah Gubernur/Wagub akan ditetapkan atau dipilih melalui Pemilukada. Pengerucutan ini tentu bukannya tanpa alasan. Sekurang-kurangnya, media mencium sebuah bahan berita yang panas dan berpotensi rating yang tinggi, di samping dapat menjadi bahan untuk memperluas rentetan berita sampai ke ranah yang lebih sensitif apabila bisa digarap dengan tepat. Dan memang benar. Ketika Presiden SBY kemudian melontarkan pandangan mengenai masalah kepemimpinan DIY dengan memakai istilah Monarki, semakin menjadi-jadilah kontroversi tersebut. Presiden SBY kemudian mendapatkan dirinya menjadi sasaran kritik dan bahkan hujatan sebagian dari kelompok yang mendukung mekanisme penetapan, bahkan memicu munculnya gagasan Referendum rakyat DIY.
RUU yang sejatinya adalah inisiatif dari Pemerintah dan sudah ngendon cukup lama di Depdagri. Setahu saya, ketika saya masih menjadi ketua Baleg DPR-RI pada 2005, RUU itu sudah dimulai dijadikan salah satu prioritas Prolegnas 2004-1009. Namun dalam perjalanannya, proses drafting berjalan lama dan malah akhirnya muncul berbagai versi, mulai dari yang diusulkan oleh UGM, dari DPRD DIY, dan dari Depdagri yang sekarang menjadi draft yang akan dibahas di DPR. Pada intinya, RUU tentang keistimewaan itu bertujuan untuk menata sistem pemerintahan di DIY yang memiliki keistimewaan sebagaimana disebutkan oleh Konstitusi (UUD RI 1945), khususnya pasal 18 a dan b. Pada prinsipnya masalah keistimewaan DIY telah diterima sebagai sebuah kenyataan sejarah, hanya saja yang menjadikan alot adalah bagaimana kepemimpinan daerah itu harus ditentukan. DIY yang secara tradisional memiliki seorang Sultan dan Pangeran Pakualam, semenjak 1945 selalu diperintah oleh Gubernur dan Wagub dari Kasultanan dan Pakualaman. Kendati demikian, DIY juga memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik Tk I (Propinsi) maupun Tk II (Kota dan Kabupaten) yang anggotanya dipilih rakyat melalui Pemilu. Gubernur dan Wagub pun, kendati dijabat Sultan dan Pakualam, toh bertanggungjawab terhadap DPRD Tk I.
Keunikan seperti inilah yang membuat penamaan monarki menjadi bermasalah. Bahwa keberadaan Sultan dan Pakualam merupakan sebuah fenomena yang dapat disebut monarki, mamang betul, tetapi segera harus dinyatakan bahwa ke "monarkian" model DIY ini hanya dalam adat, bukan dalam sistem pemerintahan. Kemonarkian tersebut hanya efektif secara budaya dan tradisi yang dianut oleh rakyat DIY sebagai sebuah kekhususan, namun tidak berimplikasi terhadap tatanan politik demokratis. Dengan demikian, jika kemudian statemen Presiden SBY ditafsirkan sebagai menyebut sistem pemerintahan di DIY monarki yang berhadapan vis-a-vis dengan sistem pemerintahan demokratis yang dianut oleh Konstitusi, timbullah berbagai kecurigaan dan tuduhan negatif terhadap beliau. Klarifikasi yang cukup lambat diberikan (seperti biasa), telah membuka wacana yang didominasi dengan syak wasangka, bahkan seolah-olah ada konflik antara beliau dan Ngarso Dalem. Masih bagus bahwa pihak yang disebut terakhir itu memilih diam dan menyerahkan masalah itu kepada Pemerintah dan rakyat DIY, sehingga tidak terjadi polemik yang lebih tajam dan tak terkontrol.
Setelah Presiden memberikan klarifikasi hari ini (2 Desember 2010), menurut saya ada titik terang bagi rakyat DIY yang sebagian sudah naik pitam dan mengorganisasi gerakan referendum. Presiden masih tetap konsisten bahwa jabatan Kepala Daerah (gubernur, Bupati, Walikota) dipilih sebagaimana yang diperintahkan UUD, tak terkecuali DIY. Namun Presiden juga memahami bahwa "keistimewaan" DIY adalah sebuah hak yang melekat dan diakui Konstitusi, termasuk Kesultanan dan Sultan sebagai pemimpinnya. Presiden juga menyatakan bahwa sampai saat ini dan ke depan, Sri Sultan Hamengku Buwono X masih yang paling tepat sebagai Gubernur DIY. Juga Pak SBY meminta agar dalam pembahasan RUU Keistimewaan DIY nanti dicari titik temu antara kehendak Konstitusi Pasal 18a dengan pasal 18b dengan formula yang dapat diterima rakyat DIY dan tetap memiliki landasan Konstitusional.
Namun demikian, penjelasan Presiden belum tentu akan cukup dapat memuluskan pembahasan RUU tersebut, karena politisasi masalah "penetapan" vs "pemilihan" Gubernur/Wagub DIY ini tampaknya telah menjadi wacana politik yang distortif. Kecenderungan pemaksaan penafsiran terhadap "keunikan" dan "keistimewaan" DIY telah mersauki relung-relung masyarakat sipil (cendekiawan, LSM, budayawan, mahasiswa) melalui jejaring sosial dan media yang lemudian menciptakan semacam simulakra seolah-olah penafsiran merekalah yang paling otentik dan historis. Dilupakan bahwa demokrasi konstitusional yang menjadi prinsip NKRI menafikan adanya kekuasaan eksekutif yang turun temurun, tetapi mengharuskan akuntabilitas terhadap res-publika. Pada puncak yang paling ekstrim, terjadi tuntutan berpisah dari NKRI yang kendati terdengar aneh dan tidak masuk akal, tetapi telah muncul sebagai sebuah fakta.
Saya melihat bahwa sebagai sebuah proses menjadi Indonesia, wacana dan kiprah politik seputar RUU ini sehat-sehat saja dan akan membuat bangsa dan negara ini menjadi makin dewasa. Hampir semua bangsa dan negara besar dan heterogen seperti RI mengalami hal seperti ini bahkan ada yang tak pernah berhenti. Di AS pun gerakan memisahkan diri seperti kelompok pro independen di Hawaii dan suku asli Indian di beberapa negara bagian, masih ada. Di Kanada, Perancis, Italia, Spanyol, dll. kehendak-kehendak separatis masih ada dan sering menampilkan wajah kekerasan. Di negeri kitapun, baru saja soal Aceh terselesaikan, sementara riak-riak separatis di Papua dan Maluku masih memerlukan penyelesaian. Jika "geger" Yogya ini tidak dipecahkan dengan arif dan hanya menjadi wahana konflik kepentigan elit, maka negeri dan bangsa ini akan menambah beban pada dirinya sendiri. Padahal lagi-lagi rakyat yang sedang menunggu uluran tangan negara akan terabaikan karena energi lalu dialihkan kepada pertikaian yang tidak produktif itu!
Makin cepat para petinggi negeri ini sadar akan dampak negatif perseteruan antar-mereka, akan makin baik. Pemerintah, DPR, Sultan, Pakualam, DPRD DIY dan masyarakat sipil lebih baik segera menghentikan "gegeran" dan mulai bekerja. Presiden SBY sudah memberikan isyarat untuk mencari titik temu. Tinggal dibuktikan saja di dalam perdebatan di Parlemen ketika membahas RUU. Bukan HANYA di jalanan dan media.