30 March 2010

Gus Dur 'Dibangunkan' Jamaah Sarungan

Sumber : Djoko Suud Sukahar - detikNews

'Jamaah sarungan' menggelar muktamar. Agendanya memilih pengurus. Namun sikap ceplas-ceplos warga nadliyin di antara setumpuk persoalan internal dan eksternal menjamin muktamar di Makassar seru. Bisa saja rekomendasi yang dihasilkan bakal mengubah peta politik negeri ini.

Persoalan pertama yang bakal mengundang komentar adalah sikap Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam kasus Bank Century. 'Kepatuhan' partai bentukan Nahdlatul Ulama (NU) itu dianggap aib, karena 'dikonversikan' dengan jabatan Ketum PKB, Muhaimin Iskandar. Ini yang akan memancing polemik.

Para kiai akan keras bersikap. Mungkin 'meminta' Muhaimin Iskandar untuk lengser. Atau bisa saja terjadi 'kudeta', para kiai pendiri PKB 'memaksa' Sang Ketum 'mengembalikan' partai itu ke tangan para kiai untuk diformat ulang sesuai dengan 'gaya nadliyin'.

Ditambah pasca meninggalnya Gus Dur serta 'surat tugas' terakhir 'Sang Wali' pada Muamir Mu'in Syam, maka rasanya perdebatan ini akan berjalan alot dan keras. Dalam kaitan itu, kedatangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di muktamar yang ke-32 ini ibarat 'dewa penolong' bagi Muhaimin. Itu sedikit meredam 'amarah' para kiai.



Di area ini berlapis-lapis persoalan melejit ke permukaan. Kelompok kultural dan struktural tidak terhindari, head to head berhadapan. Mereka teragitasi untuk berebut posisi. Hanya, semua itu akan bias, karena di balik itu rekam jejak Gus Dur tanpa disadari tampil sebagai patokan. Sebagai ukuran untuk menilai 'baik-buruk' yang kultural maupun struktural.

Untuk urusan ini ditaksir akan berjalan panjang. Tidak hanya diperdebatkan dalam muktamar, tetapi terus berkembang hingga muktamar bubar. Sebab ‘tiga kelompok’ dalam tubuh PKB itu sulit dipertemukan untuk dipersatukan. Dan dalam kasus ini fatwa kiai pun punya kans diulur-ulur melalui negosiasi silaturahmi.

Agenda utama tentunya pemilihan pengurus baru NU. Untuk tanfidz hampir pasti akan dipegang Aqil Siraj. Tokoh ini dianggap sebagai figur yang pas menduduki jabatan itu. Dia tidak se-liberal Gus Sholah adik Gus Dur, tidak se-elitis Ali Maschan Moesa, dan tidak se-ekstrim Ulil Absar Abdala. Aqil tipe 'jamaah sarungan' yang memiliki kecerdasan dan human relation yang baik. Dia representasi tradisionalisme yang modern dan modernisme yang salaf.

Sedang untuk jabatan Syuriah, KH Sahal Mahfud diidolakan. Kiai yang brillian dan 'kultural' itu diasumsikan sebagai penjaga garda terdepan organisasi nadliyin ini dari 'politisasi' pengurus NU. Tidak berlebihan jika masuknya Kiai Sahal ini dianggap sebagai strategi untuk mengganjal langkah Hasyim Muzadi dan simbolisasi kembalinya ‘Gus Dur-isme’ dalam NU.

Perang kepentingan itu yang bakal mendominasi muktamar kali ini. Sebab kendati ketika Gus Dur masih hidup banyak yang kontra, tetapi terjadi perubahan drastis saat tiada. Gerakan mengakomodasi ide dan gagasannya mengental. Dan ekspresi dari gerakan itu adalah dengan 'memperkecil' pihak-pihak yang pernah berseberangan dan menentang Gus Dur masuk dalam kepengurusan NU periode ke depan. Ini arus besar yang berkembang dalam muktamar kali ini.

Agenda-agenda 'rawan' itu tidak tertutup kemungkinan berganti sensitif. Itu karena sikap terbuka dan 'demokratisasi gaya' warga nadliyin. Siapa saja berhak omong dan berkomentar. Ceplas-ceplos itu yang akan mempertajam isu di muktamar, serta menjadi bola liar yang bisa digojek suka-suka oleh para wartawan.

Kelompok manakah yang bakal menang dan kalah dalam pertarungan di wadah 'jamaah sarungan' yang telah jarang pakai sarung itu? Rasa-rasanya, setelah lama menjalani 'profanisme', kerinduan masalalu adalah pilihan.


*Djoko Suud Sukahar: pemerhati budaya, tinggal di Jakarta
(iy/iy)

selengkapnya >>>

WAWANCARA IMAJINER DENGAN GUS DUR (2)

Muhammad A S Hikam

(Sambil leyeh-leyeh, Gus Dur mendengarkan musik Ummi Kultsum yang digemari beliau. Saya pelan-pelan duduk di sebelahnya dan stelah cium tangan ikut menikmati suara merdu penyanyi dari Mesir itu. Lagunya kalau gak salah "al Athlal", yang seperti lagu-lagu Ummi Kultsum yang lain, mendayu-dayu dan panjang. Sambil sesekali menirukan lirik lagu, GD melayani obrol;an dengan saya):

"Waras, Kang?" Sapa Gus Dur seperti biasa

"Alhamdulillah Gus, walaupun rada capek, karena dua hari berturut-turut nongkrongi Muktamar di Makassar." Saya menjawab, sambil pelan-pelan memijat jempol kaki beliau.

"Iya saya lihat sampeyan duduk di depan jejeran sama Slamet Effendi Yusuf dan Kang Said." Kata GD

"Hehehe.. tapi saya bukan tim sukses lho Gus, cuma peninjau biasa saja.." Canda saya

"Biasanya timnya yang sukses, bukan calonnya... hehehe..." Gus Dur menimpali

"Memang Gus, dari dulu juga begitu. Tapi ngomong-ngomong bagaimana pendapat njenengan Gus, tentang hasil Muktamar, terutama terpilihnya mBah Sahal dan Gus Aqil itu?"

"Lha kan sudah saya bilang kemarin, gak ada pengaruhnya yang berarti. Apalagi Kyai Sahal masih tetap menjadi Rois 'Aam. Menurut saya malah sebuah kemunduran, walaupun saya juga tidak setuju Hasyim menjadi Rois 'Aam lho ya.." Kata GD menjelaskan posisinya.



"Tapi, Gus, bukannya artinya NU masih tetap dipegang Ulama yang keilmuan dan keulamaannya sudah tidak diragukan lagi, seperti mBah Sahal itu?" Saya mencoba berargumen.

"Lho iya, kalau dari segi leilmuan dan muru'ah segala macem itu, memang Kyai Sahal bagus. Tapi ini kan soal bagaimana membuat NU menjadi pilar ummat islam di Indonesia yang sedang diurek-urek oleh kelompok gerakan garis keras.. Itu ndak bisa kalau diserahkan kepada orang yang lemah. Sebenarnya NU sangat disayangkan karena gagal memncari alternatif yang lebih pas. Tapi ya saya udah tahu kok Kang, itu memang maunya begitu." Kata GD rada panjang lebar.

"Maunya siapa Gus? Kan itu suara floor dari seluruh cabang dan wilayah." Saya coba membela

"Alaaah.. sampean kayak gak tahu saja. NU memang sengaja dibuat lemah kepemimpinannya, supaya orang-orang fundamentalis bisa seenaknya saja di MUI dan gerakan Islam lain. Kan sudah sepuluh tahun kita melihat itu terjadi. Saya sudah pernah mencoba di Boyolali tahun 2005 kemarin, tapi ya distop oleh yang kuoso. Sebab kalau saya jadi Rois 'Aam gak bakalan saya izinkan NU dan warga Nahdliyyin dikuyo-kuyo dan lemah.."

"Begitu ya Gus.. Tapi bagaimana kalau seandainya Gus Hasyim yang jadi Rois 'Aam? Apakah akan lebih bagus buat NU?" Tanya saya

"Ya ndak gitu, Hasyim kan sudah jelas warnanya politis, dan belum mumpuni dari segi Fiqih dan keulamaan yang memang menjadi trade mark Syuriah, apalgi Rois 'Aam. Maksud saya kan ya ada ulama-ulama lain yang punya kapasitas dan mumpuni dalam menghadapi gerakan radikal Islam.."

"Misalnya, Gus.."

"Ah.. ndak usahlah, tapi sampean kan tahu di sana ada Kyai-kyai sepuh semacam Kyai Tolhah Hasan, ada Bib Lutfi, Kyai Ma'ruf Amin, ada macem-macem. Mungkin belum se senior Kyai Sahal, tapi dari segi kemampuan dan pengalaman sebagai Kyai yang mengelola masalah-masalah kemasyarakatan.."

"Atau Gus Mus ya Gus.."

"Gus Mus biar jadi penyair saja.. hehehe.. belum waktunya, lima tahun lagi mungkin..."

"Jadi njenengan tidak terlalu optimis ya Gus.."

"Lha ngapain optimis pessimis segala Kang, wong saya sudah enak di sini. Cuma saya kasihan saja, makin berat NU menjadi penyangga moderasi dan toleransi di Indonesia kalau Ulamanya kurang tegas. Itu nanti lihat saja, makin nglunjak saja tuntutan kaum garis keras. Nanti setelah UU Porno, menolak peninjauan UU Penodaan Agama, fatwa rokok, dan macem-macem lagi. Tahu-tahu Islam di Indonesia mirip Saudi."

"Tapi kan masih ada Gus Qqil, Gus, beliau orangnya mirip njenengan.." Saya coba ngeyel..

"Kalau cuma Kang Said sendirian ya repot, Kang. Aapalgi dia bukan seorang manajer. Kang Said itu gayanya mirip saya, makanya perlu orang yang bisa ngurusi PB. Sayangnya Rozi (Munir) juga sudah mbarengi saya di sini. Moga-moga saja Kang Said bisa milih orang dan tidak takut sama orang-orang Syuriah yang kalem-kalem itu."

"Kalau soal godaan politik, gimana Gus?"

"Nah itu juga, Kang. Saya dengar Kang Said mau menjadikan Ipul sebagai Sekjen PBNU. Kalau itu terjadi ya selesai saja PBNU, karena pasti akan jadi kendaraan politik yang lebih parah ketimbang zaman Hasyim Muzadi. Ipul kan akan menjadikan PBNU sebagai kendaraan pengganti partai, mau jadi Gubernur kek apa kek. Nah yang begini-begini ini Kang Said gak bisa ngerem, karena Kang Said merasa kurang enak kalau berurusan dengan keluarga saya."

"Nah mungkin beliau akan ajak Gus Sholah, supaya non partisan, di samping juga Masdar Farid dan lain-lain yang masih kenceng tidak mau politik."

"Kalau posisi mereka bukan strategis ya buat apa. Masdar mungkin tetap berjuang karena memang dia orang LSM, jadi apa saja ya tetap akan kerja keras membangun NU. Yang lainnya saya ndak tahu apakah bisa berkiprah. Mestinya orang seperti Sastro, Ali Masykur dan kakaknya, Ali Maskhan bisa dipakai memperkuat PB."

"Ulil juga ya Gus.."

"Wah.. kalau itu mesti diseneni sama Kyai Sahal dan lain-lain. Biar saja Ulil bergerak menjadi pemikir nanti juga ada saatnya muncul. Anak-anak muda umumnya menghendaki Ulil muncul, tapi masih belum kuat menghadapai konservatisme para Kyai, terutama di daerah-daerah luar Jawa."

"Apa yang harus dilakukan GUs Aqil ya Gus, supaya bisa mengimbangi konservatisme dan melanjutkan pemikiran dan kiprah njenengan?"

"Ya terus aja silaturrahim ke para Kyai sepuh di bawah, Kyai-kyai Kampung itu lho. NU itu kekuatannya di sana, bukan di Jakarta. Kalau Kang Said rajin ke bawah sambil menyosialisasikan pemikirannya yang toleran dan inklusif, Insya Allah lama-lama juga masuk. Kang Said itu kan sebenarnya kebanteren dalam membela Syi'ah dan Ahmadiyyah. Gak apa, memang itu resiko. Nah sekarang ada kesempatan menampilkan diri supaya pikiran-pikirannya yang bagus makin dipahami oleh warga NU di bawah. Kalu sudah bisa memegang para Kyai kampung, beres Kang."

"Kalau NU dengan politik di Jakarta gimana Gus?"

"Aah, biarin aja, wong gak mau denger orang yang namanya Pemerintah. Yang didengerin malah cuma orang asing dan konglomerat. Perkara orang Indonesia makin bnayak yang miskin, ekonominya tergantung dengan negara luar, rakyatnya tambah banyak yang nganggur, ya dibiarin aja. Lha wong mereka cuma mau mikir dirinya sendiri. Kalau NU terlalu dekat dengan kekuasaan, ya malah repot nanti, karena dijauhi ummat. lebih baik NU fokus saja ke pendidikan, pemberantasan kemiskinan, anti kekerasan dan mempertahankan kekhasan islam Indonesia yang moderat. Udah, gak usah melok-melok Pemerintah atau parpol...."

"Inggihm Gus, maturnuwun atas pandangan-pandangannya. Nanti kalau saya ketemu Gus Aqil saya beritahu saja beliau."

"Iya wis ya kang, salam-salam saja dan doakan saya semoga makin ayem."

"Saya juga Gus, doakan anak saya sekolahnya jalan dan diberi kemampuan ikut berjuang kalau sudah selesai nanti.."

"Iya.. iya... Insya Allah semua akan baik."

"Assalau'alaikum Gus, nyuwun pamit.."

"Salaam.."

selengkapnya >>>

22 March 2010

NU, TNI, dan Demokrasi

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

DALAM sebuah tulisan, penulis pernah menyatakan bahwa NU (Nahdlatul Ulama) memiliki dasar-dasar demokrasi dalam sejarahnya. Pertama, karena NU mendasarkan diri pada hukum Islam (fiqh), otomatis ia memperlakukan semua orang secara sama di hadapan hukum itu sendiri. Kedua, sejak 1952 dalam Muktamar Palembang para jajaran PBNU dipilih secara terbuka oleh para anggotanya. Bahkan, dalam Muktamar 1968 di Bandung, NU memilih KH M. Bisri Syansuri sebagai Rais Aam PBNU, yang beliau tolak karena penghormatan sangat besar kepada kakak ipar beliau KH A Wahab Hasbullah. Beliau berkeras bahwa selama sang kakak ipar masih hidup, biarlah jabatan orang pertama di lingkungan NU itu dipegang sang kakak ipar dan beliau menjadi wakil Rais Aam.

Pada akhir 1984, penulis terpilih menjadi Ketua Umum PBNU dan segera setelah itu sengaja mengokohkan hal itu dengan ketentuan bahwa pengurus cabang NU
(PCNU) dan pengurus wilayah (PWNU) di tingkat propinsi haruslah dipilih secara terbuka oleh para peserta konferensi. Sekarang hampir dua puluh tahun lamanya, "kebiasaan" ini telah mendarah daging dalam kehidupan NU dan dengan demikian menjadi kokohlah tradisi berdemokrasi dalam kehidupan NU. Namun tradisi demokrasi yang dimiliki NU itu tertunda karena "keharusan" sejarah bangsa kita yang membuat NU berpolitik (1952-1984), hingga organisasi itu kembali kepada Khittah 1926 -yang melepaskanya dari dunia politik-.

Dari dulu hingga kini, dengan sikap NU yang mempertahankan semangat kebangsaan, membuatnya menjadi "mitra" terpercaya bagi TNI—dahulu disebut APRI dan kemudian ABRI. Semangat kebangsaan NU itu diperlihatkan sembilan tahun setelah ia didirikan, dengan memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan pada forum Bahtsul Masail dalam Muktamar Banjarmasin tahun 1935. Dalam tesis gelar MA-nya, Pdt Einar Sitompul (belakangan menjadi Sekjen HKBP dan kini Kepala Badan Litbang PGI), menceritakan bagaimana NU melalui Muktamarnya menjawab pertanyaan; wajibkah kaum muslimin di negeri kita mempertahankan "kawasan Hindia Belanda" (demikian kita di sebut waktu itu) yang diperintah oleh orang-orang Non-Muslim, yaitu para kolonialis Belanda?.

Jawabannya adalah wajib dari sudut hukum agama (fiqh), karena dua buah
alasan: pertama, berdasarkan pertimbangan dari sebuah "kitab lama", karena kawasan Hindia Belanda dahulunya adalah milik kawasan kerajaan-kerajaan Islam, maka haruslah dipertahankan sebagai kewajiban agama bagi setiap muslim. Kedua, di kawasan tersebut kaum muslimin berhak melaksanakan ajaran-ajaran Islam tanpa diganggu. Dengan demikian, dalam pandangan kaum Muslimin Indonesia yang mengikuti NU, tidak ada kewajiban mendirikan sebuah negara Islam.

Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah identitas/wujud yang lahir dari semangat mempertahankan dan melindungi negara kita dari bahaya apa pun yang mengancam. Karenanya secara teoritik ia harus melakukan hal itu secara tuntas, namun dalam kenyataan historis, TNI (semasa masih bernama ABRI) mempunyai juga putra-putra yang memiliki ambisi politik pribadi, dan menguasai jalannya pemerintahan. Bahkan ABRI di masa Panglima Feisal Tanjung pernah "bermimpi" menjadikan hanya orang-orang muslim saja menjadi pejabat-pejabat teras di negeri ini. Dengan sengaja ia menunggangi kebijakan Presiden Soeharto untuk menggunakan Islam sebagai kekuatan politik utama di negeri ini, sehingga akhirnya munculah kelompok hijau dan merah putih, di lingkungan ABRI kita.

Tetapi "penyimpangan-penyimpangan sejarah" itu tidak menjadikan kita harus berpandangan buruk terhadap TNI, apalagi jika mereka telah meninggalkan fungsi sebelumnya —sebagai sebuah kekuatan politik di negeri ini— untuk seterusnya. TNI yang bertugas mempertahankan dan melindungi negara kita, masih dapat diharapkan berperilaku demokratis di masa yang akan datang.
Bahkan penulis berkeyakinan TNI bersama-sama dengan unsur-unsur lain dalam masyarakat dapat "mengamankan" jalannya pemilihan umum yang jujur dan terbuka di negeri kita dalam waktu dekat ini. Caranya adalah dengan mempercayakan kepada mereka dan sejumlah unsur lain dalam masyarakat untuk melaporkan hasil-hasil Pemilu kepada sebuah badan yang bertanggung jawab kepada dunia internasional.

Tentu saja banyak orang yang tidak percaya kepada peranan demokratisasi TNI dan NU yang tentu tidak masuk di akal mereka. Bagaimana bisa sejumlah orang Kiai/ Ulama yang sehari-harinya bertindak otoriter itu dapat menjadi "penjaga demokrasi"? Mereka lupa, akan perjalanan sejarah NU yang telah dipaparkan di atas. Demikian juga, mereka menganggap penyimpangan-penyimpangan ABRI di masa lampau sebagai tanda watak "anti demokratis" dari TNI kita, dengan melupakan asal-usul TNI itu sendiri. Dalam bahasa teori hukum Islam (ushul fi'qh) hal itu dinamai "penyamaan yang khusus dengan yang umum" (Itlaq al-am wa yuradhu bi hi al-khas).

Melihat kepada perilaku partai-partai politik yang menguasai lembaga-lembaga perwakilan rakyat dan badan-badan eksekutif yang kita miliki saat ini, terlihat bahwa mereka hanya mengutamakan kepentingan golongan sendiri, dan melupakan demokrasi. Mereka melihat sebagai keharusan untuk menguasai jalannya pemerintahan, lebih tepatnya menentukan keputusan tanpa mencerminkan kepentingan rakyat banyak. Namun untuk kepentingan golongan sendiri. Tentu ini bertentangan dengan undang-undang dasar kita.

Jelaslah dengan demikian, tinggal NU dan TNI yang secara institusional membela demokrasi di negeri kita. Memang masih ada orang dalam kedua institusi ini yang mengutamakan kepentingan politik pribadi dan "mencuri"
demokrasi dengan menggunakan namanya atau menggunakan kata–kata seperti reformasi dan sebagainya. Tetapi itu hanya secara perorangan atau melalui kelompok kecil yang tidak efektif. Kalau semua bersatu-padu dengan mentaati fungsi masing-masing, tentulah demokrasi akan terwujud di negeri ini tidak lama lagi. Jelas bagi kita, mengatakan adanya demokrasi memang mudah tetapi melaksanakannya sangat sulit, bukan?

Jakarta, 4 November 2003

Penulis adalah Mustasyar PBNU

Share

selengkapnya >>>

21 March 2010

Jika Jadi Kapolri, Susno Bersihkan Polri Dalam 6 Bulan

Muhammad A S Hikam

Mulai jam setengah lima sore sampai malam (19/03/'10)saya memelototi TV gara-gara ulah mantan Bareskrim Jendera (Polisi) Susno Duaji (SD). Saya seperti membaca posting yang saya tulis dua hari sebelumnya: bahwa SD bakal menghadapi seluruh slagorde Polri dan akan dianggap sebagai mencemarkan lembaga penegak hukum dan keamanan negara tersebut. Siaran TV yang saya tonton, khususnya Metro TV dan TV One, masing-masing membeberkan siaran pers Polri yang mengcounter habis pernyataan pers SD sehari sebelumnya yang menyebut beberapa inisal di Mabes Polri sebagai Markus. Bukan saja Polri buka-bukaan dalam menjelaskan kronologi kasus, tetapi juga diakhir siaran pers menyatkan akan menuntut SD secara hukum atas pencemaran dan penghinaan lembaga kepolisian negara tsb!


Harus saya katakan bahwa baik pihak SD maupun Polri memiliki kekuatan dan kelemahan dalam perang argumen tersebut. Namun yang menurut hemat saya paling mengenaskan adalah prospek lembaga kepolisian negara setelah kasus ini dibuka dan dibawa di Pengadilan. Mengenaskan, karena kalau memang konflik para elit Polri ini mau dituntaskan sampai benar-benar tuntas, Polri sebagai lembaga justru akan mengalami moral hazard karena energinya akan dihabiskan untuk perang bintang yang, belum tentu juga, dapat memuaskan si pemenang (apalagi yang kalah). Lebih parah lagi, institusi dan para anggota Polri di bawah akan ikut mengalami krisis kepercayaan publik manakala proses penuntasan tersebut menjadi arena pendiskreditan dalam skala massif. Tak pelak lagi, semakin rentanlah Polri terhadap ancaman dari luar dan makin lemah pula fungsi penegakan hukum yang dijalankannya!

Terus terang saya jadi ikut-2an spekulatif: secara politis siapakah yang paling diuntungkan dengan krisis lembaga penjaga keamanan negara seperti Polri ini? Mungkinkah kasus SD vs Mabes Polri ini hanya sekedar kemarahan pihak pertama karena dicopot dari posisi sebagai Bareskrim, ataukah ada sebuah Grand Scenario (skenario besar) yang lebih sinis yang akan mempengaruhi stabilitas politik dan keamanan negeri ini? Meminjam teori konspirasi, apakah kasus ini sebagai upaya menggeser Centurygate yang punya potensi tergerusnya elite penguasa dan para politisi? Kaget juga saya, karena tahu-tahu sudah masuk ke dalam ranah yang paling tidak saya sukai yaitu teori konspirasi (yang di Republik ini kayaknya sangat subur!)

Sambil menunggu proses pembongkaran kasus "buaya" vs "buaya-buaya" ini, saya hanya bisa berharap dan berdoa semoga para petinggi Polri tidak kebablasan terjebak dalam sebuah pusaran politik yang mereka tidak mempunyai keahlian untuk mengontrolnya. Boleh saja Polri memiliki berbagai macam keahlian dan peralatan canggih, tetapi politik bukanlah salah satunya. Saya tidak sependapat dengan langkah yang ditempuh oleh SD, walaupun saya juga tidak bisa melarang, karena beliau memiliki hak penuh sebagai warganegara dan penegak hukum. Tetapi saya juga tidak setuju dengan cara Mabes Polri menghadapi anak buah yang "bandel" dengan cara yang konfrontatif dan keras, walaupun mungkin secara SOP organisasi memang hal itu diperkenankan.

Sambil meriskir seperti muter kaset rusak, saya berpendapat bahwa persoalan ini bisa dicegah agar tidak semakin out of control apabila atasan tertinggi Polri, yaitu Presiden, ikut campur. Presiden perlu memberikan arahan agar SD dan Mabes Polri melakukan "cooling down" dan menyelesaikan masalah tanpa keributan di ruang publik. Memang publik berhak tahu sampai di mana perkembangan masalah/kasus korupsi Rp 25 milliar yang disangkakan itu dan apa konklusinya. Namun hal itu tidak sama dengan saling melancarkan serangan dan serangan balasan di ruang publik yang ujung-ujungnya hanya membawa kerugian terhadap institusi Polri dan publik secara keseluruhan. Kalau Presiden sebagai atasan Polri secepatnya dapat menghentikan keramaian ini, sambil meminta penyelidikan dilanjutkan secara professional tetapi tenang, terukur, dan akuntabel, maka semua pihak yang bertikai akan mendapatkan solusi dan, yang terpenting, integritas Polri akan tetap terjaga dari ancaman keterpurukan.
Solusi seperti ini sudah pasti tidak akan membuat para konspirator berbahagia, bukan?

Share

selengkapnya >>>

WAWANCARA IMAJINER DENGAN GUS DUR

Muhammad A S Hikam

"Assalamu'alaikum Gus. Ini Hikam," Sambil salaman, cium tangan, saya uluk salam
"Eee.. Salaam, piye Kang, waras..?" Jawab Gus Dur, khas.
"Alhamdulillah, Gus."
"Wis madhang, sampean?" (sudah makan sampean?)
"Suwun Gus, sudah, tadi di rumah."
"Piye, mBakyu, waras?" GD tak pernah lupa menanyakan kabar istri saya setiap ketemu
"Alhamdulillah, masih sibuk di LIPI."
"Alhamdulillah, alhamdulillah..." Kata GD
"Gini Gus, soal Muktamar NU di Makassar... " Saya mulai mancing.
"Ah... gak perlu dipikirin Kang.., paling ya begitu aja dari dulu.." GD memotong
"Lho gimana to Gus, kan ini momen penting untuk memperkuat PBNU supaya gagasan kembali ke Khittoh njenengan dulu bener-bener jalan." Saya ngeyel
"Lha wong dituturi ya gak ngerti-ngerti, termasuk Kyai-Kyai itu banyak yang sudah lupa bagaimana susahnya memperjuangkan supaya kembali ke Khittah. Sekarang karena NU ora karu-karuan, baru berwacana lagi mau balik Khittah. Lha memangnya latihan baris-berbaris, tah?" Gus Dur mulai semangat.

"Ngaten nggih Gus. Kan semua sekarang sepakat NU harus di luar politik praktis...."
"Alaah.. itu kan katanya. Sampean kayak gak tahu saja siapa yang sekarang di PBNu, nanti yang ganti ya orang-orang itu juga. Kalau soal retorika, NU kan gudangnya Kang. Sekarang ini NU sudah kayak pasar malem, isine wong dodolan mbek copet tumplek bleg...hehehehe.." Kata GD sambil tertawa ngakak..
"Hahaha.. Kan Kata Gus Hasyim memang di NU itu spektrum warganya luas, Gus, mulai dari qori' sampai korak (preman).." Saya menimpali sambil tertawa..
"Mending, Kang.. kalau koraknya masih taat kepada Ulama masih bagus... Lha sekarang bagian qori' saja sudah dodolan politik gitu gimaaaana!?"
"Kok GD pesimis ya, biasanya njenengan orang paling optimis di dunia, sampai saya saja rada ngeri dengan optimisme njenengan. Kadang-kadang.." Saya coba komentar
"Ini kenyataan Kang. Setelah saya tidak di PBNU, miris saya melihat perkembangan. NU di Indonesia makin kehilangan kekuatan riilnya karena pimpinan-pimpinannya pada pengen jadi Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota... Untungnya camat itu kok masih diangkat. Kalau dipilih, pasti kroyokan juga. Mending kalau padha punya kemampuan oragisatoris atau teknis sebagai pejabat, lha wong pengalaman nul puthul kok. Karep saya kan NU kalau mau begitu, salurkan ke parpol. Kan ada PKB, kalau gak suka ya Golkar, PDIP, dll. NU ikut menguji kelayakan mereka saja dan mengawasi ketika sudah jadi pejabat. Kalau semua mau nyalon, akhirnya tabrakan dan saingan gak karu-karuan. Hasilnya, malah ora podho dadine."
"Tapi kan masih ada yang bagus to Gus..." Saya coba membela diri
"Kalau ada itu pasti ada. Tapi sekarang NU kan juga sudah kena kontaminasi money politics. Bukan cuma NU, bahkan Fatayat, Muslimat, Ansor, IPNU, IPPNU, semua kalau Kongres gak ada yang terpilih tanpa ngglontorkan uang. Coba saya, tiga kali jadi PBNU tidak sepeserpun pake money politics. Kyai-kyai di Muktamar NU Cipasung dicoba dibayar sama Pak Harto supaya gak milih saya. Pinter-pintere Kyai, duit diterima, saya juga yang dipilih... Hahaha.. sampeyan sendiri di sana toh waktu itu?"
"Inggih.. Gus. Jadi ini rada kurang menarik ya Gus, Muktamar NU di Makassar?"
"Oooo.. menarik, pasti menarik... Banyak tangan, kan pasti ya tarik-tarikan.... hehehe.." GD masih tertawa-tawa
"Tapi saya mau datang Gus, meskipun belum dapat undangan sampai hari ini. Insya Allah nanti dapat juga, paling tidak pas penutupan saja. Doakan ya Gus semoga sukses."
"Saya juga lihat dari Arasy sini, Kang. Saya doakan semoga NU segera ketemu pemimpin yang tidak hanya mementingkan diri sendiri, bersedia berkorban demi NU dan peduli dengan rakyat, gak memandang NU atau bukan, Islam atau bukan. Sudah jadi niat MBah Hasyim dkk membuat NU agar menjadi rahmat bagi semua."
"Suwun Gus, pareng, saya pamit dulu." Setelah salaman dan cium tangan, saya pun undur diri.

Share

selengkapnya >>>

19 March 2010

Sumbangan Kiai Hasyim Asy’ari Pada Muktamar Menes

Sumber : www.nu.or.id

Posisi Menes yang berada di ujung kolon Pulau Jawa yang terpencil itu agak menyulitkan para peserta Muktamar NU ke 13 yang diselenggarakan tahun 1938 itu. Apalagi kendaraan umum waktu itu belum cukup tersedia. Mobil masih bisa dihitung dengan jari. Jaringan kereta api tidak sampai ke sana, maka delman menjadi tansport andalannya. Bahkan ada peserta dari Surabaya yakni Abdullah Ubaid yang nekad naik sepeda motor. Kenyataan ini diadari betul oleh Ketua PBNU KH Machfudz Sidiq, sehingga mengajak Muktamirin untuk menerima fasilitas dan konsumsi apa adanya.Tempat ini dipilih selain perjuangan dari Cabang Menes juga untuk menunjukkan NU peduli dengan masyarakat kota dan rakyat yang ada di pedesaan.
Hal itu pula yang membuat Rois Akbar KH Hasyim Asy’ari berhalangan hadir ke tempat bersejarah itu, karena kesehatannya sedang kurang baik. Padahal sebagai pimpinan tertingi NU tentu saja ingin berangkat ke sana. Tetapi kendali Muktamar diserahkan pada Trio pemimpin NU yakni KH Wahab Chasbullah, KH Machfudz Siddiq (Ketua Tanfidziyah saat itu) dan KH Wahid Hasyim, itupun masih didampingi sesepuh seperti Kiai Asnawi Kudus, ditambah para sesepuh yang ada di seantero Banten, seperti Kiai Muhammad Rois, sehingga Muktamar tetap santer gaungnya. Apalagi Kiai Hasyim tetap juga mengirimkan pidato tertulisnya untuk memberikan arahan pada Muktamirin.

Sebagai komitmen pada jam’iyah itu, maka Hadratus syeikh Hasyim Asy’ari mendermakan uang sebesar 30 rupiah, uang itu semestinya untuk bekal ke sana, suatu jumlah yang amat banyak. Selain itu juga banyak ulama lain yang memberikan sumbangan, seperti Rois Syuriah NU Banten menyumbang sebesar 10 rupiah, lalu KH Ismail Pandeglang menyumbang 120,68 rupiah. Total kontribusi dari wilayah dan cabang mencapai 471 rupiah. Belum lagi ditambah dengan bantuan in natura dari masyarakat berupa beras, gula, minyak goreng, kerbau sapi, sayuran kue dan sebagainya yang ditaksir sekitar 100 rupiah. Dengan demikian Muktamar telah memperoleh dana cukup, yang seluruhnya ditopang warga Nahdliyin sendiri. Tanpa adanya sumbangan dari penjajah Belanda.

Biaya itu selain untuk menjamu para Muktamirin, juga digunakan untuk membangun berbagai gedung dan panggung pelaksanaan Muktamar yang anggun dan megah, sehingga kota kecamatan yang terpencil itu dihadiri oleh umat Islam seluruh Nusantara. Mengingat pentingnya kemandirian dana itu, maka bisa dipahami kalau Muktamar Menes ini paling serius dalam membahas persoalan ekonomi, mulai pertanian, perdagangan hingga perbankan Islam.

Bahkan para pejabat tinggi wilayah itu hadir dalam pembukaan seperti Patih Pandeglang, Wedono Serang, termasuk Wedono Menes. Bahkan banyak di antaranya yang tertarik mengikuti seksi demi seksi persidangan. Muktamar itu juga dipantau oleh seorang orientalis terkenal yaitu Dr. Pijper, yang saat itu menjabat sebagai kepala Adviseur voor Inlandsche Zaaken (Penasehat Urusan rakyat Pribumi) yang menulis banyak tentang perkembangan Islam awal abad ke-19 hingga abad ke -20.

Dengan penyelenggaraan Muktamar di kota terpencil yang sebelumnya tidak cukup dikenal, tiba-tiba kota itu dikenal di seluruh Hindia Belanda sebab kegiatan dan kepuutusan Muktamar itu disiarkan oleh berbagai Koran yang berbahasa melayu dan Belanda. Koran yang terkenal seperti Pemandangan ikut menyiarkan berita Muktamar ini. Belum lagi surat kabar yang diterbitkan NU sendiri seperti Berita Nahdlatoel Oelama dan sebagainya.

Sumber verslaag Muktamar Menes 1938 dan beberapa riwayat yang disampaikan oleh KH Hafid Usman dari Menes.

Share

selengkapnya >>>

Kedigdayaan Kiai Wahab Hasbullah

Sumber :www.nu.or.id
Bagi masyarakat pesantren, Kiai Wahab Hasbullah dikenal luas sebagai figur ulama kontroversial karena ijtihad politiknya yang kerap berseberangan dengan formalisme fikih para ulama NU. Namun hal itu diterima secara luas, mengingat pengetahuan keagamaan kiai itu sangat mendalam dan memiliki instink politik yang tinggi. Tetapi siapa kira Kiai Wahab juga sebenarnya adalah ulama yang digdaya dalam ilmu silat. Tidak hanya silat kanuragan tetapi juga jago dalam silat lidah dalam arti beretorika bahkan ketika menggunakan bahasa Arab, kemampuannnya juga tinggi.

Dalam kesaksian seorang santri yang sempat menimba ilmu di kota suci Mekkah sekitar tahun 1930-an, saat itu kota Hijaz belum stabil akibat revolusi Wahabi dan ulama-ulama Indonesia sendiri sedang sibuk menagkis gerakan puritanisme kaum modernis itu. Dalam situasi begitu Kiai Wahab datang ke kota suci itu, tujuannya adalah untuk memberikan semangat kepada para pelajar Islam Nusantara agar tetap berpegang teguh pada ajaran ahlussunnah wal jama`ah sebagaimana yang diwariskan oleh para ulama sebelumnya.

Ketika tiba di kota Mekkah, beberapa santri Indonesia yang sudah mengenalnya berusaha menemui Kiai kharismatik dari Nusantara itu. Setelah pertemuan tersebut mereka pun segera mengumpulkan para pelajar Nusantara (termasuk pelajar dari negeri jiran seperti pelajar Malaysia, Filipina dan Thailand) khusus untuk memberikan waktu Kiai Wahab menyampaikan maksudnya.
Singkat cerita, para pelajar pun dapat dikumpulkan dalam sebuah majlis. Setelah menunggu beberapa lama Kiai Wahab pun muncul. Akan tetapi ketika Kiai Wahab muncul di tengah-tengah para hadirin, sebagian besar pelajar yang belum mengenal Kiai Wahab tidak menaruh perhatian. Bahkan sebagian ada yang meremehkan. Pasalnya, pakaian Kiai nyentrik ini sangat sederhana, hanya menggunakan setelan kopiah hitam, jas dan sarung sama sekali tidak menunjukkan penampilan seorang ulama, tidak seperti pakaian para syeikh Arab yang menggunakan surban tebal dan jubah keulamaan.

Namun setelah Kiai Wahab membuka pembicaraan, pandangan para pelajar pun kemudian berubah seratus delapanpuluh derajat. Kefasihan lidah, kekuatan hujjah serta keindahan retorika yang disampaikan dalam berbahasa Arab sangat memukau para pelajar yang hadir. Di luar sangkaan mereka, ternyata ulama Indonesia yang berpenampilan sederhana tidak kalah fasih dan canggih dengan para syeikh Arab dalam beretorika. Hal itu bisa dipahami, karena selain belajar dengan para syek di Mekah Kiai Wahab juga belajar ilmu alat, mantiq dan retorika dari para ulama Nusantara terkemuka, Kiai Zainuddin Mojosari, Kiai Cholil Bangkalan dan sebagainya.

Akhirnya, semua pelajar yang semula meremehkan Kiai Wahab kemudian berbalik mengelu-elukan serta memperlakukannya dengan penuh hormat. Mereka juga tak segan-segan bertanya segala hal tentang perkembangan dunia Islam Nusantara yang saat itu masih berada di bawah kendali para penguasa kolonial Hindia-Belanda.(Rifqil Halim Muhammad)

Share

selengkapnya >>>

KENANGANKU DENGAN GUS DUR (20)

Muhammad A S Hikam

Gus Dur adalah orang yang bukan saja suka humor dan menceritakan humor, tetapi juga mendengar humor lalu mengapresiasinya. Apalagi kalau humor itu berkaitan dengan politik. Sebagai seorang figur pro-demokrasi yang sudah malang melintang di dunia persilatan gerakan pro demokrasi, beliau memiliki khazanah humor mengenai kondisi demokrasi atau tokoh-tokoh dan pemimpin negara yang dapat dipakai sebagai contoh, perbandingan dan perbandingan. Anekdote yang paling sering saya dengar adalah yang berkaitan dengan para pemimpin dan negara-negara tetangga di ASEAN. Gus Dur, melalui humornya menunjukkan bagaimana negara-negara dan pemimpin-pemimpinnya di kawasan tersebut berkiprah dalam perubahan menuju demokrasi.

Salah satu humor yang sering dilontarkan Almaghfurlah adalah lomba memancing antara Presiden Indonesia (zaman Orba, Pak Harto) dengan PM Malaysia (Pak Mahathir Mohamad). Kedua pemimpin ASEAN ini, konon, punya hobi memancing dan pada suatu ketika sepakat untuk kompetisi. Lokasi ditetapkan di perbatasan perairan laut antara Indonesia dan Malaysia: Preiden RI di wilayah perairan Indonesia, begitu pula PM Malaysia di perairan laut Malaysia. tentu saja supaya kedua beliau itu bisa saling melihat hasil pancingan mereka, posisi memancing diatur sedemikian rupa sehingga hanya selisih beberapa meter saja dari masing-masing pihak. Presiden Indonesia sangat yakin bahwa beliau akan menag mudah, karena perairan Indonesia sangat kaya ikan di banding Malaysia. Jadi perlombaan memancing yang berdurasi atu jam itu hampir pasi, dalam pikiran beliau, akan dimenangkan dengan mudah.


Belum lagi sepuluh menit perlombaan berlangsung, PM Malaysia sudah berhasil memperoleh beberapa ekor ikan sedangkan Presiden Indonesia belum. Semakin mendekati jam usai, semakin banyak ikan yang kena mata pancing yang dilontarkan oleh Pak Mahathir. Berganti-ganti Pak Harto mengganti mata pancing toh tak satupun ikan yang berseliwran di bawah perahunya dapat di kailnya. Sampai ketika satu jam pun berakhir, Presiden kita masih belum dapat seekor ikan pun sedangkan Pak mahatir sudah berhasil memancing puluhan ikan besar-besar! maka sambil istirahat, Pak Harto pun memberi ucapan selamat kepada kawan dekat beliau dan menobrol..

"Ngomong-ngomong, Datuk, kok sampean mudah banget memancing. Apa kiatnya?"

"Wah, Pak Harto, sebenarnya tidak ada kiat yang istimewa. Keberhasilan saya karena soal ikan yang di perairan Malaysia dan Indonesia sikit beza adanya." Kata sang jiran

"Lho, bedanya apa, kan malah lebih banyak di tempat saya. Tuh lihat, dari perahu saja sudah kelihatan berseliweran. sedangkan ikan di tempat anda memancing tak tampak banyak." Ujar Pak Harto

"Bukan soal itu Bapak. Soalnya adalah walaupun ikan di perairan Malaysia sikit, tapi mereka bisa membuka mulutnya supaya makan umpan, sedangkan ikan-ikan di Indonesia yang banyak tu, tak bisa buka mereka punya mulut." Demikian penjelasan Pak PM Malaysia.

Saat Gus Dur menjabat Presiden, suatu hari beliau menceritakan humor mancing ini juga, tetapi setelah selesai dengan gerrr... , saya nyeletuk:

"Gus, katanya lomba mancing itu diulang setelah Reformasi."

"Hehehe.. diulang bagaimana dan apa hasilnya." Tanya Pak Presiden Indonesia ke IV itu

"Jadi Presiden RI pasca reformasi menantang PM Malaysia untuk lomba memancing, dengan keyakinan bahwa setelah reformasi, ikan-ikan di Indonesia akan bisa buka mulut, gus.." Kata saya

"Ya, terus.." GD pun tertarik.

"Ya terus dilakukanlah lomba di tempat yang sama antara PM Malaysia dan Presiden ke IV Indonesia pasca Reformasi. Seperti sebelumnya, setelah satu jam berlomba, PM Malaysia yang menang dan Presiden RI keranjang ikannya masih kosong melompong. Sambil istirahat, Pak Presiden bertanya 'Datuk, kenapa ikan di tempat saya tetap saya tidak bisa dipancing padahal sekarang mereka bisa buka mulu?' Jawab Pak Mahathir 'O itu karena ikan Indonesia setelah buka mulut tidak bisa menutupnya kembali, Pak Presiden.. Padahal agar bisa dipancing, kan harus buka dan tutup mulut..." Demikian sambung saya..

"Hehehehe....." dan gerrrlah Presiden Gus Dur mendengar cerita sambungan itu.

Demokrasi, tidak hanya sekedar orang boleh dan bebas bicara (membuka mulut), tetapi juga orang mestitahu kapan mendengarkan pihak lain (tutup mulut). Demokrasi menghendaki kemampuan menahan diri dan bukan "everything goes." Etika seperti inilah yang sering dilupakan sehingga terjadi euphoria yang menyebabkan seolah-olah demokrasi kemudian menjadi "kebablasan." Padahal kemampuan menggunakan kedua hal tersebut, yaitu menyatakan pendapat dan mendengarkan pendapat orang lain, adalah dua sisi sebuah mata uang yang sama. Gus Dur sering mengutip Surat Al 'Asr dan menafsirkan, bahwa "tawashou bil haq" bisa dimaknai dengan "memberikan tausiah tentang kebenaran" yang berimplikasi bahwa kita mesti berani menyampaikan dan berhak menyampaikan kebenaran dengan bebas. sedangkan "tawshou bis shobr" bisa dimaknai dengan "memberi tausiah dengan sabar" yang mengandung ajaran etis bahwa penyampaian hak tersebut ditopang oleh kemampuan bersabar, termasuk mendengarkan pihak lain.

Ajaran dan guyon politik sederhana itu sejatinya merupakan pembelajaran bagi kiprah kita berdemokrasi dan perlu senantiasa menjadi bahan pertimbangan dan pengingat.
Share

selengkapnya >>>

KENANGANKU DENGAN GUS DUR (19)

SERENADE

Gerimis salju tak mampu 'nutupi senyum
Awan merah lembayung di atas Lincoln Memorial
Kusandarkan seikat bunga Chrysanthemum
Sang waktu pun berkelebat ke ranah azal

Engkau pernah bercerita tentang suatu hari
Akan mengajakku napak tilas di sini
Menelisik jejak langkah dan jadi saksi
Seorang raksasa pembela hak-hak asasi

Kini tlah kau akhiri perjalanan panjang tanpa istirah
Sebelum kita berdua sempat berziarah
Membasuh luka-luka jiwa dan nurani yang resah
Jiwa-jiwa para penguasa lalim tak bermarwah

Seikat Chrysantemum putih adalah dirimu
Bersamaku senja ini, di bawah gerimis salju
Doa kubisikkan dalam kekhusyukan dan haru
Dan keyakinan, kalian berdua telah bertemu

Bagimu kini tak lagi ada batas jarak dan waktu
Untuk bercengkerama menghapus rindu
Bercerita tentang perjalanan anak-anak manusia
Mencari jatidiri sebagai wakil-wakil Tuhan di dunia

Para Malaikat dan bidadari Surga
Tak putus mengucap salam dan doa
Walau terpisah dinding sejarah dan bangsa
Tetap menyatu dalam cita 'muliakan manusia

Selamat berpisah sahabat dan guruku
Kuantar ziarah dan doa tanpa kehadiranmu
Dua jiwa kini menyatu dalam pelukMu
Membawa kemuliaan dan keharuman AsmaMu

(Samar, kudengar tawa mereka
Ah.. anggunnya sebuah persahabatan
Bertemu dalam angan dan cita
Dalam sosok Abraham dan Abdurrahman)



Washington, DC - State College, Januari 2010

Share

selengkapnya >>>

18 March 2010

KENANGANKU DENGAN GUS DUR (18)

Muhammad A S Hikam

"Kang, kemarin saya mampir ke makam mBah Kerto."

"MBah Kerto yang mana, Gus?"

"Lho, masak sampean ndak tahu..Itu makam yang di Bandungrejo, deket rumah sampean di Plumpang, Tuban."

"Wah, saya malah nggak tahu Gus ada makam mBah Kerto. Lagi pula, beliau itu siapa, Gus?"

"Walaah, sampean ini gimana... Mbah Kertowijoyo itu salah satu Waliyullah yang ada di Tuban. Saya dan mBah Kyai Faqih Langitan sering ke sana. Yang jaga makam kan mBah Noko, dulu santrinya Almaghfurlah ayah sampean, KH. Abd. Fatah..."

*****
Secuil dialog itu saya ingat berlangsung sekitar awal 1990an saat saya masih baru runtang-runtung dengan Gus Dur. Kalau tidak salah, dialog itu berlangsung di kantor PBNU lama yang masih butut, tapi meriah itu. Saya masih kerja di LIPI dan sedang libur kuliah di Hawaii untuk menengok anak. GD yang sangat rutin ziarah kubur dan silaturrahmi ke para Kyai di Jatim, Jateng, dan Jabar, tentu tak lupa "mampir" minum vitamin K di Tuban dan salah satu yang paling sering disinggahi adalah makam mBah Kertowijoyo di desa Bandungrejo, Kecamatan Plumpang, sekitar 3 km dari rumah saya ke selatan.

Bahwa GD penggemar viatmin K sudah saya ceritakan dalam kenangan sebelumnya. Tapi bahwa soal ini merupakan sebagian dari "proyek" Arkeologi Kebudayaan GD, saya kira belum saya tulis. Salah satu kebesaran dan kemampuan GD yang belum ada tandingannya adalah kemampuannya untuk melakukan rekonstruksi atas "tradisi kecil" (little tradition) yang dimiliki oleh warga nahdliyyin di seantero tanah air yang kemudian dapat dipergunakan untuk memperteguh fondasi kultural NU secara massif. Bagaimanapun, NU bukan saja didirikan di atas landasan "great tradition",dan grand narratives, atau narasi-narasi besar yang sudah berabad-abad dan dikenal umum, tetapi juga dengan sandaran ribuan narasi dan tradisi kecil yang dimiliki dan diproteksi secara tradisional dan lokal oleh warga NU. Kebanyakan, tradisi kecil dan lokal ini tidak dipublikasikan secara besar-besaran (apalagi masuk dalam literatur sejarah "resmi"), tetapi dipertahankan dan disosialisasikan melalui peringatan-peringatan, dijaga secara lokal melalui kegiatan-kegiatan seperti Khaul, ziarah, wiridan, dan berbagai laku, para pendukungnya di kampung-kampung dan daerah tertentu. Jarang khazanah tradisi-tradisi kecil ini diketahui publik yang luas, bahkan oleh warga NU yang berbeda daerah dan berbeda kecamatan atau desa sekalipun, seperti yang saya alami dalam diaolg di atas.

Entah berapa banyak makam para waliyullah semacam mBah Kertowijoyo di Bandungrejo itu menjadi semacam "local knowledge and treasure" (pengetahuan dan kekayaan lokal) milik warga Nahdliyyin. Kekayaan budaya inilah yang menjadi salah satu pengikat budaya yang teramat kokoh dalam komunitas NU dan membuat jam'iyyah tersebut sangat resilient (mampu bertahan) terhadap goncangan budaya dan perubahan yang terjadi. Khazanan NU bukan saja berakar pada tradisi besar seperti Madzahibul Arba'ah (Empat mazhab Fiqh) dan para wali yang mu'tabar seperti wali songo, serta ulama-ulama besar seperti Roisul Akbar mBah Hasyim Asy'ari (Karromallahu wajhahu), mBah Kholil Bangkalan (Karromallohu wajhahu), mBah Soleh nDarat (Karromalohu wajhahu), dsb. Tetapi kekuatan budaya NU juga berakar dari tradisi kecil seperti para wali dan pendukungnya yang bertebaran di seluruh tanah air, seperti mBah Kertowijoyo.

Bagai seorang Arkeolong yang melakukan penggalian (excavation) peninggalan purba, Gus Dur juga melakukan eksavasi arkeologis budaya kecil para auliya' atau para ulama lokal yang hanya diketahui oleh komunitas desa. Sebagaimana kita ketahui, dalam kiprah pemberdayaan NU, GD melalukan serangkaian tulisan antropologis mengenai para Kyai NU, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat. Dalam proyek arkeologi kebudayaan lokal GD melalukan rekonstruksi tradisi kecil dan membangunnya menjadi bagian fondasi kultural yang turut memperkokoh NU. NU bukan saja memiliki fondasi "universal", tetapi sekaligus fondasi "lokal". Inilah sebuah proyek kebudayaan yang luar biasa dan dilakukan oleh Almaghfurlah GD nyaris SENDIRIAN, tanpa banyak seremoni, apalagi dengan biaya negara! GD sambil bersilaturrahmi ke seluruh pelosok tanah air kepada para ulama, Kyai khos atau tidak khos, menjalankan tugas sebagai Arkeolog budaya, menggali khazanah tradisi-tradisi kecil yang hampir dilupakan oleh sebagian warga NU di tengah hiruk pikuk modernisasi, pembangunan, dan perubahan budaya dalam skala global! Berbeda dengan khazanah kaum modernis dan fundamentalis Islam di Indonesia, strategi kebudayaan Gus Dur membuat NU menjadi nasional tetapi universal, dan universal dengan tetap punya landasan lokal!

Entah sudah berapa ratus eksavasi arkeologis para wali yang dilakukan GD, beliau tak pernah mencatat. GD hanya suke bercerita tentang para auliyak "tidak resmi" ini dalam ceramah, dalam acara Khaul, dalam obrolan santai. Mungkin karena tradisi NU adalah tradisi praksis dan oral, maka wacana tertulis tidak dianggap penting. Ini sama juga dengan fakta setiap Kamis malam di tanah air ini berlangsung jutaan forum doa seperti tahlil, istighosah, dan manaqib oleh warga Nahdliyyin yang nyaris tanpa publikasi, iklan, pengumuman dan gembar-gembor siaran TV. Hanya sedikit siaran radio FM milik pesantren-pesantren besar atau pemilik swasta yang mencoba menampilkan kegiatan seperti itu. Memang sekarang juga ditambah streaming internet dan fb, dan kadang ada kegiatan seperti itu yang ditampilkan dengan besar-besaran seperti dalam acara Khaul dsb. Yang penting di sini adalah, bahwa Almaghfurlah GD adalah sosok pekerja budaya yang luar niasa dan sangat layak mendapat Nobel Kebudayaan atas jasanya melakukan eksavasi arkeologis tradisi kecil milik NU dan menampilkannya kembali untuk dikenali dan diapresiasi publik secara luas.

Mbah Kertowijoyo, ternyata adalah figur yang bernama asli Sayyid Abdurrahman bin Abu Bakar al Husaini, seorang sayyid yang juga salah satu penasehat perang zaman Amangkurat I dan II. Dalam folklore tentang riwayat hidup mBah Kerto diceritakan bahwa beliau hijrah ke Tuban setelah Amangkurat II berkuasa dan ditopang Belanda. mBah Kerto pun bergabung dengan pasukan Cakraningrat yang melakukan pemberontakan melawan gabungan kekuatan kolonial dan kesultanan Mataram yang anti terhadap para ulama itu. Kekalahan Cakraningrat mengharuskan mBah Kerto hijrah ke Jatim dan bermukim di desa Bandungrejo di tepi Bengawan Solo. Beliau memilih uzlah dan menjadi pengajar agama (Kyai) di sana dan setelah wafat dimakamkan di tempat tersebut dengan nama lokal. mBah Kertowijoyo. Sebagai seorang Sayyid plus ahli strategi perang plus Kyai tentu saja beliau sangat terhormat dan dianggap memiliki kelebihan bukan saja dari segi keagamaan tetapi juga kelebihan sebagai keturunan Nabi Muhammad saw dan ahli perang. Masyarakat mempercayai bahwa mBah Kerto, baik semasa hidup maupun setelah wafat, adalah seorang waliyullah yang memiliki "karomah" tertentu, sehingga makamnya menjadi tempat ziarah masyarakat sekitar. Sayangnya ratusan tahun lewat dan memori kolektif masyarakat tersaput oleh perubahan sosial yang berlangsung sehingga tradisi ziarah mBah kerto pun makin menyusut dan makamnya tak terawat. Memori tersebut hampir lenyap sampai ketika Pak H. Sunoko menjadi juru kunci dan berkat bantuan mBah KH Faqih Langitan serta Gus Dur belakangan, maka makam tersebut menjadi ikon baru masyarakat di Tuban dan sekitarnya. Selain memiliki wali-wali seperti mBah Sunan Bonang, mBah Asmorokondi, mBah Sunan Bejagung, mbah Sunan Drajat, kini ada mBah Kertowijoyo alias Sayyid Abdurrahman bin Abu Bakar al-Husaini. Khaul tahunan mBah Kerto pun kini dihadiri puluhan ribu peziarah dari seantero Jatim dan mungkin daerah-daerah yang lebih jauh lagi. Berkat kerja Arkeologis GD, khazanah lokal yang hampir terlupakan muncul dan bersinar lagi!

Semoga kita dapat meneladani apa yang dilakukan GD dalam hal preservasi dan eksavasi budaya lokal. Beliau adalah seorang yang memiliki talenta yang diakui secara nasional dan internasional, tetapi juga memiliki kapasitas penjaga budaya lokal yang membuat Nu akan tetap berakar di bumi Nusantara ini. Amin ya mujibas sailiin..

Share


selengkapnya >>>

KENANGANKU DENGAN GUS DUR (17)

Muhammad A S Hikam

Pelajaran yang termasuk paling sulit dari Gus Dur kepada saya (mungkin juga bagi seluruh warga NU dan sebagian terbesar bangsa Indonesia) adalah: berteman dengan pihak yang tak sependapat dengan - atau malah memusuhi- kita. Tampaknya hal ini sederhana saja, apalagi kalau cuma diomongkan, diseminarkan, dikhotbahkan, dan ditulis. Yang sulit adalah ketika dipraktikkan. Secara konsisten lagi. Bukan saja mempraktikkan kata "cintailah musuhmu" adalah kerja keras pribadi, tetapi juga punya dampak kepada yang lain. Bahkan bisa jadi gara-gara melaksanakan kata-kata tersebut secara konsisiten, seseorang bisa minimal "dicurigai" dan maksimal berpotensi "dimusuhi" oleh seantero negeri. Apalagi kalau sudah ada sentimen primordial seperti agama, ras, etnik, dan gender serta "dibumbui" politik! Gus Dur adalah contoh sikap mencintai dan menjadikan teman pihak-pihak yang berbeda pendapat par excellent. Sampai saya pun yang sudah mencoba "memahami" kadang-kadang tidak tahan untuk tidak "protes" : "Gus, gus.. wong orang kayak gitu kok masih diakrabi terus..". Begtu omelan saya kalau sudah sendirian bersama beliau. Jawaban GD juga konsisten: "Sampean tenang saja, gak perlu khawatir Kang.."

Saya tidak tahu ada berapa manusia di negeri kita yang kawannya begitu bervariasi seperti almaghfurlah: ada yang non-Muslim (dari segala macam agama dan kepercayaan), ateis, LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender), agnostis, paranormal, pemberontak, komunis, jendral, pokoknya sebut saja, pasti GD punya kenalan di sana. Apalagi kalau cuma kawan yang berbeda aliran politik atau gerakan politik. Meskipun GD bertentangan secara keimanan, ideologis, strategis, atau apapun, beliau bisa saja bersahabat tanpa pura-pura. Bukan berarti beliau tanpa reserve atau menjadi relativis, tetapi memang benar-benar menjadikan mereka kawan setidaknya untuk memperluas cakrawala dan menjadi pengontrol diri dari kecenderungan arogansi dan monopoli kebenaran. Itulah sebabnya GD juga harus menanggung resiko digunjing dan dituduh: sebagai sosialis Ba'athist, antek Yahudi, pengikut Moonisme, pelindung PKI, sampai dengan dianggap Kafir atau mendekati Kafir (na'udzubillah). Padahal, justru dengan perkawanan yang universal ini, ternyata bukan saja GD dikenal di seantero jagad, tetapi lebih mudah memperjuangkan aspirasi ummat, warga nahdliyyin, dan bangsa pada setting apapun!

Salah satu episode yang saya saksikan sendiri dan berbekas mendalam ketika dalam sebuah seminar di Masjid Sunda Kelapa sekitar th 1996, bulan Desember. GD dikritik Pak Yusril Ihza Mahendra (YIM) soal kedekatan beliau dengan kelompok non Muslim, khususnya ummat Kristiani. YIM mengatakan, sambil mengutip ayat Qur'an yang berbunyi "Muhammadun Rasulullah. Walladzina ma'ahu asyiddaa u 'alal kuffaari ruhamaa u bainahum.." (Muhammad adalah Rasul Allah, dan bersama beliau adalah orang yang (bersikap) keras/tegas terhadap orang-orang Kafir, tetapi (bersikap) ramah tamah/ kasih sayang di antara sesama (Muslim)..". Menurut YIM, Gus Dur tidak mengikuti ayat ini karena justru beliau terbalik "ramah tamah dengan orang non Muslim, dan sering mengeritik keras terhadap sesama Muslim.." Gus Dur menjawab dengan santai seperti biasa: "Saudara Yusril perlu mengaji lebih dulu sebelum memberi tafsir Qur'an dengan benar. Tegas di dalam ayat ini berarti tegas dalam soal keimanan, bukan soal pergaulan. Kita sebagai Muslim (apalagi dalam kondisi mayoritas) tentu harus tetap ramah dan melindungi terhadap orang non Muslim yang minoritas. Kalau saya sering bersikap kritis terhadap sesama gerakan Islam di Indonesia, ya karena dalam semangat "tawashou bil haq". Memberikan pembelajaran internal, memang beda dengan pembelajaran keluar. Justru "ruhamaa" atau kasih sayang itu saya ekspressikan dengan cara kritik. Kadang-kadang terdengar keras, tetapi saya tak memonopoli kebenaran seperti kebanyakan ormas atau tokoh-tokoh Islam lainnya.."

Jadi, bagi GD kalau soal iman maka sebagai sorang pemeluk teguh (istilah penyair Chairil Anwar), beliau tidak ada kompromi mengenai kebenaran keyakinannya. Tetapi dalam soal "hablun minannas" atau bergaul dengan sesama manusia, apalagi sesama anak bangsa, para pemilik sah negeri ini, GD tidak mau membedakan antara Muslim dan non-Muslim. Bahkan juga demikian dalam pergaulan antar-bangsa, GD bisa menjalin pertemanan dengan siapapun kendati berlainan keyakina, ras, etnik, bahasa, atau gender. Humanitarianisme GD adalah dalam prilaku konkret dengan segala macam resikonya. Biasanya, orang hanya mau enaknya saja kalau bersikap baik dengan semua orang, pada hal resiko juga bisa sanbgat serius. Ketika GD menjadi salah satu pendiri Yayasan Perdamaian Shimon Peres di Israel, ributlah semua orang dan beliau pun jadi sasaran "hujatan" dari sebagian tokoh dan ummat Islam di negerinya sendiri. GD sadar sepenuhnya akan resiko tersebut. Tetapi kalau tidak ada yang mau mengambil sikap begitu, mana mungkin negeri ini mampu melakukan dialog dengan lawan yaitu Israel. Apakah kemudian kita mau ngotot tidak mau bicara, sementara kondisi riil politik global menunjukkan perjuangan Palestina mentok gara-gara negara Islam seperti Indonesia tidak mampu melakukan terobosan kreatif dan produktif. Orang boleh tak sepakat dengan strategi GD, tetapi negara-negara seperti Mesir, Lebanon, Qatar, dan bahkan Hamas sendiri saat ini mulai melihat pentingnya dialog dengan musuh mereka. Sama juga Israel akan terperangkap dalam lingkaran kekerasan jika keukeuh dengan sikap keras dan kebijakan mirip apartheid itu.

Saya memang belum sampai kepada "maqom" setinggi GD dan sering bertanya kepada beliau soal perkawanan ini. Misalnya, GD kok masih juga berteman dengan mereka yang sudah "haqqul yaqin" ikut rombongan dan bahkan pelopor dalam menjatuhkan beliau sebagai Presiden, misalnya. GD menjawab: "Halah, wong gitu aja kok dipikir. nanti merkea itu kan pada kena sendiri-sendiri. Rakyat dan sejarah ada di pihak saya, Kang.. Mungkin sekarang kelihatanna saya dikalahkan, tapi belum tentu sepuluh tahun, duapuluh tahun, seabad lagi.." Bagi saya yang masih manusia biasa ini, memang ada yang disebut lawan dan kawan yang harus diwaspadai, khususnya dalam politik. Tapi, ya itu tadi.. saya kan manusia "biasa", sementara GD adalah Insya Allah seorang manusia besar dengan karakter dan jiwa "waliyullah."

Yang bisa saya lakukan hanyalah mencoba mengikuti jejak beliau dengan tetap mengontak sebagian sahabat dekat GD yang berbeda pandangan politik, namun bersama dalam persahabatan. Seperti dengan Paul Wolfowitz, mantan Wakil Menhan AS di bawah Presiden Bush Junior dan mantan Dubes AS di Indonesia zaman Orba dulu. Pak Wolfowitz memang dikenal sebagai penganut neoconservatif dan salah satu "arsitek" perang Irak. Saya mungkin punya perbedaan pandangan dengan beliau mengenai masalah strategi politik global AS. Tapi setidaknya kami berdua memiliki kesamaan, yaitu bersahabat dengan GD secara tulus. Paul sering bertemu dan berkunjung ke tempat GD , begitu juga sebaliknya. Mereka memperbincangkan masalah strategis, termasuk kebijakan politik AS di Asia dan dunia, demikian juga tentang Islam. Paul adalah seorang Yahudi dan kini sedang serius melakukan kajian tentang Islam, bukan sebagai kekuatan politik, tetapi sebagai sebuah ajaran. Kedekatannya dengan GD membuatnya lebih paham mengenai kompleksitas Islam dan gerakan Islam di dunia. Beliau juga menulis tentang Gus Dur di Wall Street Journal saat Gd wafat. judulnya "Wahid and the Voice of Moderate Islam." (Wahid dan Suara Islam Moderat), sebuah kenang-kenangan dan pujian terhadap ketokohan GD.

Kendati masih sangat kurang, setidaknya gagasan berteman dengan pihak yang tak sependapat dengan saya, akan terus saya upayakan. Karena inilah pelajaran dari beliau kepada saya yang memang termasuk paling sulit. kalau kita dapat melaksanakan prinsip tolerasnsi yang dipegang teguh oleh GD sampai wafatnya, Insya Allah ummat islam dan warga NU akan menjadi tulang punggung bagi NKRI dan menjadi "uswatun hasanah" bagi negara-negara berpenduduk Muslim lainnya, dan ummat manusia di seluruh dunia.

Share

selengkapnya >>>

17 March 2010

Tuding Sejumlah Jenderal Jadi Markus, Susno Siap Beri Penjelasan Pada Kapolri

Muhammad A S Hikam

Sambil bertarung melawan demam dan batuk-pileg, saya coba mengikuti saga mantan Bareskrim Jendral (bintang tiga) Susno Duaji (SD). Saga adalah semacam hikayat seseorang yang penuh lika-liku yang bisa berakhir happy atau unhappy atau tragis. Kenapa kisah Pak SD menjadi menarik mirip dongeng? Ya karena memang Pak SD sedang memerankan tokoh baik setalah beberapa waktu lalu sempat dicap rame-rame sebagai dalang drama "cicak vs buaya". Dengan "asornya" kubu buaya, maka sang sutradara sekarang harus dijadikan sesajen di pelataran politik intern Polri. Namu, Pak SD tampaknya tidak tertarik untuk "just fading away in the background" alias lenyap di latar belakang, tetapi beliau maunya melakukan perlawanan. Untuk itu sekarang peran yang dimainkan oleh Pak SD bertukar: menjadi seorang tokoh super jujur yang dizolimi oleh para boss. Karenanya, kisah yang dibuat sekarang berbeda total: Dari peran buaya sekarang menjadi peran sang pendekar pembela kebenaran. Pak SD kini sedang menantang kanan kiri mencari musuh yang dulu adalah teman dan boss sendiri. Perkara orang kemudian bertanya "Kok baru sekarang?" itu tidak penting untuk beliau jawab. Yang penting adalah rawe-rawe rantas malang-malang tuntas.


Saga seperti ini biasanya berakhir tragis, karena Pak SD sama juga sedang melawan angin lesus hanya bersenjatakan sebuah payung kertas. Pertama-tama, masa lalu beliau yang kontroversial itu saja sudah membuat orang yang mau support beliau mikir-mikir. Paling-paling media yang mau cari sensasi lalu ngompori Pak SD supaya makin keras bicara dan makin kontroversi, sehingga rating dan oplag makin naik. Soal apakah kalau nanti Pak SD dibenturkan dengan kuasa lalu babak belur, saya berani taruhan TV One, Metro, dll akan "tinggal glanggang, colong playu"! Kedua, Pak SD lupa adagium dalam dunia aparat kepolisian bahwa "they protect their own" alias saling melindungi. Apalagi kalau sudah terkait dengan boss. Sebab hanya dengan l'esprit de corps yang demikianlah Polri dapat bertahan lama dari hantaman luar dan dalam. Kecuali dalam kondisi tertentu yang sudah tidak mungkin diproteksi, seperti pembunuhan atau sejenisnya, para anggota Polri wajib hukumnya melindungi korps dari nama buruk atau pencemaran. Kalau pencemaran itu dilakukan oleh anggota sendiri, hukumannya bisa lebih serius supaya hal ini tidak ditiru oleh anak buah yang lain.

Tentu anda bertanya, kalau begitu Polri melindungi kejahatan dong? Entar dulu! Polri sebagai aparat tentu punya kode etik dan SOP yang mesti dilewati sebalum tuduhan dikontarkan. Kendati Presiden, seumpamanya, mau meladeni keluhan Pak SD, belum tentu juga akan bisa terlaksana karena akan terjadi moral hazard jika hal itu dilaksanakan. Tuduhan Pak SD bahwa beberapa Jenderal Polisi berperan sebagai makelar kasusu (markus), tentu adalah perkara yang sangat serius dan secara ideal memang harus dibuka. Terlepas dari apa yang menjadi motivasi Pak SD, saya kira orang perlu memberikan "the benefit of the doubt" kepada beliau dan melakukan aksi pemeriksaan dalam batang tubuh Polri. Sayangnya hal di atas sangat sulit apalagi dalam kondisi Presiden sedang sangat tergantung pada kemampuan Polri untuk berkiprah: penanggulangan terorisme, narkoba, dsb.

Jadi saya akhirnya hanya bisa bilang "good luck Pak Susno!". Seandainya perjuangan bapak ini didukung oleh para facebookers sebagaimana waktu mereka melawan beliau dalam "cicak vs buaya", maka saga ini bakal menarik. Tapi seperti kata orang, "luck never knocks twice" (nasib baik tidak pernah mengetuk pintu dua kali). Saya hanya ingin melihat bagaimana dan berapa lama saga Pak SD ini berakhir, apakah cukup cepat atau berlama-lama. Bahwa ujungnya sudah dapat diperkirakan - yaitu dengan kekalahan Pak SD - itu tak perlu dipersoalkan lagi...

Share


selengkapnya >>>

16 March 2010

Penyampaian Visi Misi Calon Rektor UIN Sunan Kalijaga Ricuh

detikNews : Penyampaian Visi Misi Calon Rektor UIN Sunan Kalijaga Ricuh
www.detiknews.com
Kericuhan mewarnai penyampaian visi dan misi calon rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penyebabnya, mahasiswa menuntut agar empat calon rektor periode 2010-2014 bersedia melakukan kontrak politik dengan mahasiswa.
Muhammad A S Hikam :
Entah apa yang merasuki para mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, sehingga mereka melakukan amuk dalam forum pemaparan visi dan missi calon Rektormya? Yanbg jelas, kalau menyimak dari berita di bawah ini, para mahasiswa tersebut tidak puas dengan jalannya pemilihan kandidat Rektor yang, konon, tidak melibatkan mereka atau mahasiswa. mereka pun seger menuntut agar para Kandidat membuat "kontrak politik" dengan para mahasiswa tersebut dan, karena ditegur oleh moderator, mereka pun mengamuk!

Apakah memang ada SOP yang mengatakan bahwa dalam pemilihan Rektor di negeri ini, mahasiswa menjadi bagian yang harus selalu dilibatkan? Saya tidak tahu. Tetapi bagi saya adalah absurd apabila mahasiswa menuntut "persamaan hak" dengan cara membuat kontrak politik. Apakah hubungan rektor-mahasiswa adalah hubungan kuasa? barangkali memang ada unsur itu, karena memang Rektor adalah pemegang otoritas eksekutif tertinggi dalam sebuah PT. Toh, saya tidak pernah memahami bahwa reasi kuasa tersebut mirip rakyat-pemerintah, di mand pihak ke dua dipilih oleh yang pertama. Dalam aturan main PT di negeri ini, Rektor dipilih oleh Majelis Senat Universitas yang diserahi melaksanakan tugas sebagai CEO. Rektor, jelas bukan dipilih oleh mahasiswa dan menjadi wakil mahasiswa.

Bagi saya, kasusu keributan mahasiwa UIN ini adalah contoh paling gablang dari proses pendangkalan pemahaman tentang demokrasi dan sekaligus semakin lemahnya sistem pendidikan tinggi (higher education system) di negeri ini. Pendangkalan, karena mahasiswa dengan serampangan dan ngawur menerapkan gagasan relasi kekuasaan dalam konteks yang samasekali keliru, sehingga hasilnya pun menjadi karikatural, untuk mengatakan yang paling minim. Kekacauan berpikir plus arogansi karena menganggap diri sebagai kekuatan moral dan agen prerubahan (konsep yang makin kehilangan arti dan relevansi itu) tlah membuat mahasiswa kehilangan kemampuan nalar dan kapasitas untuk berpikir kontekstual. Oleh sebab itu ketika mereka "ditegur" yang muncul bukanlah sebuah respons untuk berdialog, tetapi amuk massa!

Tetapi yang lebih penting adalah, bahwa kasus ini menampilkan sisi buruk sistem PT di Indonesia yang selalu menghadapi krisis legitimasi dalam hal kepemimpinannya. Hal ini disebabkan PT telah berubah fungsi menjadi semacam "business entity" yang mengejar "profit" dan bukan lagi lembaga pendidikan yang menghasilkan manusia yang produktif, cerdas, dan tercerahkan. Produk PT bukan barisan penunggu kerja yang sangat tergantung pada permintaan pasar. PT bukanlah sekedar "pabrikan" manusia pinter yang akan menjadi sekrup mesin berjalan. Produk PT adalah para manusia tercerahkan dan mampu mandiri dan mneghadapi tantangan zamannya. Ini jelas membutuhkan kepemimpinan (Rektor dst) yang visioner dan menajemen yang mampu mengatasi tantangan perubahan. Kalau pemilihan Rektor hanya sekedar mengisi jabatan lowong dengan kriteria Professor Doktor Master dll., maka seperti sekaranglah hasilnya. Namanya Rektor yang adalah seorang CEO dan figur teladan, tetapi karena sistem manajemen yang jadul, yang diperoleh adalah cuma figur robot.

Namun demikian saya tetap menolak cara yg dipakai sementara mahasiswa UIN yang menggunakan kekerasan dan memaksakan kehendak. Mungkn aspirasi mereka cukup legitimate. Hanya saja mereka telah melupakan prosedur yang ada dan menampilkan prilaku adigang, adigung, adiguna. Kita tak mengharap calon-calon emimpin bangsa yang demikian, bukan?

selengkapnya >>>

15 March 2010

Inilah Empat Dosa Amerika Terhadap Indonesia

rakyatmerdeka.co.id - Inilah Empat Dosa Amerika Terhadap Indonesia
www.rakyatmerdeka.co.id
Jakarta, RMOL. Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), melalui salah satu pendirinya, Salamuddin Daeng, menuntut pertanggungjawaban Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, atas dosa-dosa Amerika terhadap Indonesia.

Muhammad A S Hikam :
Salah satu kenikmatan berdemokrasi yang bisa dirasakan oleh warganegara adalah jaminan terhadap hak-hak asasinya, khususnya hak mengeluarkan pendapat. Karena itu, di semua negara atau masyarakat yang sedang berdemokrasi ria, hak yang satu ini biasanya lantas diejawantahkan dengan maraknya wacana publik bebas di semua spektrum sehingga semua aspirasi, keinginan, harapan, uneg-uneg, kekesalan, dsb. bisa "tumplek bleg" dilontarkan ke luar. Fenomen ini selain berdampak positif, ada juga negatifnya. Umpamanya sering terjadi kebingungan dan "euphoria" publik karena ternyata setelah semuanya terlontar, ternyata persoalan tak kunjung terpecahkan. Lebih-lebih jika hak ini dipakai, sementara rambu-2 etik dan nalar tak diikuti akhirnya kebebasan tersebut malah diselewengkan untuk "membunuh" demokrasi itu sendiri!
Salah satu yang penting yang perlu diperhatikan dalam melaksankan hak kebebasan berbicara tersebut, menurut saya, adalah landasan etis bahwa wacana publik hendaknya memuat kebenaran yang dapat diuji dan diverifikasi secara obyektif. Hal ini agar publik terhindar dari bahaya distorsi informasi, propaganda, dan fitnah yang nanti akan mencemari kualitas wacana dan forum publik. Ujung-ujungnya kualitas demokrasi kita pun bisa tercemar, apalagi jika sumber dan pelaku wacana adalah mereka yang dinilai publik memiliki kepakaran dan posisi elit dalam masyarakat. Bagaimanapun, dalam masyarakat yang sedang berkembang seperti di negeri kita ada tanggungjawab yang dibebankan kepada para elit tersebut untuk mendidik dan memberi pencerahan kepada rakyat agar mereka semakin memiliki kualitas yang lebih baik sebagai pendukung utama sistem demokrasi.

Bertolak dari landasan etik itulah saya menolak baik cara maupun substansi pers release dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), yang menyatakan bahwa AS memiliki "empat dosa terhadap Indonesia" dan karenanya "menuntut pertanggung-jawaban Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, atas dosa-dosa Amerika terhadap Indonesia" tersebut. Keempat dosa tersebut adalah: dosa ideologi, dosa sejarah, dosa ekonomi, dan dosa kemanusiaan. Tanpa mengurangi hak kelompok tersebut untuk menggunakan hak bicara mereka, dan hak mereka mengritisi dan memprotes, bahkan membenci AS, saya menganggap bahwa statemen tersebut telah melanggar etika dalam berdemokrasi. Selain itu substansi pers rilis AEPI, setidaknya bagi saya, sangatlah tidak berbobot dan distortif. Penggunaan bahasa yang berkonotasi hukum agama (dosa), saya anggap tidak etis karena AEPI telah mengapropriasi wacana keagamaan untuk kepentingan politik anti AS nya dan memprovokasi publik yang mayoritas beragama di Republik ini agar mereka percaya kepada statemen tersebut. Padahal, AEPI tidak memiliki kapasitas dalam soal hukum agama, kendati bisa saja mereka akan berdalih bahwa istilah "dosa" di sini bukanlah seperti yang dipakai dalam agama.

Distrosi yang lain adalah, AEPI meninggalkan syarat utama dalam argumennya yaitu pembuktian yang dapat difalsifikasi dan diverifikasi baik secara umum maupun khusus sesuai dengan kaidah keilmuan ataupun kepakaran. Jika AEPI mengeluarkan statemen politik seperti itu sebagai tekanan politik pun ia harus mendasarinya dengan bukti-bukti yang masuk akal, bukan selektif sesuai dengan selera subjektif mereka. Umpamanya, mengatakan bahwa AS telah "memaksakan kapitalisme secara tidak beradab menjadi nilai, hukum dan model kelembagaan ekonomi-politik bangsa Indonesia," bagi saya adalah sebuah statemen politik dan ideologis yang tidak memiliki nilai karena kebohongan total. Kenyataannya, Republik kita tidak pernah berada di bawah paksaan siapapun, termasuk paksaan untuk memakai kapitalisme sebagai sistem nilai. Kalau pun ada sementara pihak menuduh Pemerintah menggunakan paham neoliberal dalam kebijakan ekonominya, itu pun bukan sebuah pemaksaan tetapi pilihan sadar dan bisa dikritik secara bebas oleh kita yang tak sepakat! Demikian juga dengan item-item lain yang bagi saya tidak memiliki kualitas sebagi sebuah produk kepakaran ekonomi-politik dan lebih merupakan sebuah propaganda ideologis dan politik anti-AS mereka.

Tidak semua orang Indonesia setuju atau suka dengan AS dan kebijakan politik dan ekonomi globalnya. Adalah hak kita sebagai bangsa berdaulat untuk menolak kebijakan negeri Paman Sam tersebut manakala memang melanggar kedaulatan, kemerdekaan dan martabat kita sebagai bangsa. Namun menuduh AS sebagi berdosa pada kita dan meminta Presiden AS yang menjadi tamu negara kita untuk menebusnya, saya kira berada di luar nalar sehat komunitas kepakaran atau apapun. Sebagai seorang Muslim pun saya diajari etik untuk selalu berdebat dengan cara-cara yang baik (wjaadilhum billati hiya ahsan). Apalagi dalam bersikap terhadap pihak lain, saya selalu diingatkan oleh Firman Allah "dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kelompok, membuatmu tidak berlaku adil" (QS 5:8). Menuduh suatu kaum secara semena-mena dengan menyatakan mereka berdosa pada kita tanpa pembuktian yang akurat adalah sebuah ketidak adilan, bukan?

selengkapnya >>>

Meski Ditolak, Pemerintah Tetap Ngotot Naikkan TDL

Muhammad A S Hikam :

Saya tidak tahu, apakah Pemerintah semakin pede atau semakin "out of touch" dengan realitas yang dihadapinya. Belum lagi urusan Bank Century kelihatan ujungnya, apakah damai atau kacau, kini sudah ancang-ancang dengan dua front: urusan APBN dan TDL. Bisa saja Pemerintah merasa sangat pede. Pasalnya, soal TDL ini kendati sudah ditolak oleh para korporat, apalagi rakyat kecil, toh Pemerintah tetap bergeming. Alasan yang dipaki Menteri ESDM lagi-lagi "no brainer" alias tidak bermutu, yaitu bahwa "TDL yang diterapkan sekarang terlampau rendah dan jauh dari harga keekonomian." Sang Menteri saya kira belum memahami benar kedudukannya : apakah sebagai pelayan masyarakat atau sebagai pedagang sehingga yang dijadikan alasan adalah faktor"keekonomian" saja. Bahkan, menurut Menteri yang namanya susah diapalkan ini, Darwin Zahedy Saleh (DZS), "rencana kenaikan TDL 15 persen pada bulan Juli bukan semata-mata karena subsidi yang kurang." Nah, belum apa-apa sudah tabrakan dengan Dirut PLN, Dahlan Iskan (DI), yang bilang bahwa alasan TDL naik adalah mengurangi subsidi!

Bagaimana sebuah negara yang begini besar diatur oleh para penyelenggara yang dalam sehari saja sudah berbeda pendapat dalam masalah strategik. Kalau dilihat dari hierarki wewenang, mestinyta DZS lebih "powerful" ketimbang DI. Tapi dari sisi pelaksana kebijakan, tentu DI lah yang akan langsung berhadapan dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) dan konsumen listrik pada umumnya. kalau kedua orang yang membawahi dua institusi strategik ini saja sudah "belepotan" dalam memberi alasan, bagaimana nanti dalam pelaksanaan riilnya? Menteri ESDM, tanpa malu-malu bicara soal jual-beli listrik. Dia bilang, "kita harus melihat kenaikan TDL ini secara profesional. Saat ini kita naikkan TDL agar suatu saat nanti harga jual listrik sampai pada keekonomian.” Jadi dalam benak sang Meneteri, peduli amat soal pelayanan, soal byar pet, soal masyarakat di Luar jawa tiap hari mati lampu. Peduli amat bahwa PLN sekarang, konon, adalah singkatan dari "Perusahaan Lilin Negara." Peduli amat bahwa yang sekarang terjadi di Republik ini bukan "pemadaman" listrik berkala, tapi "penerangan" listrik berkala. Peduli amat! Yang menjadi obsesi DZS adalah apakah listrik ini secara ekonomis dapat diperjual belikan. Dan siapa yang jadi pikiran beliau? Rakyat? Tebak sekali lagi! Investor luar!

Coba anda simak alasan Pak Menteri. Kalau keekonomian (the economy of scale )terpenuhi maka, katanya, "para investor akan tertarik berinvestasi di sektor listrik. Tidak seperti saat ini, banyak investor yang tidak mau menanamkan modalnya dengan alasan bisnis listrik kurang menguntungkan." Skakmat! Dalam pikiran beliau tidak ada urusan sama sekali dengan masalah kemiskinan, ketertinggalan, pelayanan yang amburadul, dst. dsb. yang ada adalah "laba atau rugi". Maka, kalau kemudian pemerintah Pak SBY dituduh banyak pihak sebagai Pemerintahan Neo-lib yang abai terhadap kepentingan rakyat kecil dan memihak investor asing, jangan pula merasa dilecehkan. Lha wong Kementerian yang mestinya tahu betapa vitalnya energi listrik bagi kehidupan rakyat banyak saja begini cara berpikirnya, apalagi Dirut PLN nya yang jelas-jelas punya kaitan dengan bisnis power plant.

Pemerintahan yang makin jauh dengan kepentingan dari rakyat yang mestinya dilayani, pasti akhirnya juga akan ditinggalkan. Saya hanya berdoa, semoga saja ketika rakyat nanti meninggalkan si pemerintah, perpisahan tersebut berlangsung dengan baik-baik saja, dengan mulus dan rapi. Kalau perpisahan itu tak mulus, apalagi rusuh, maka rakyat juga yang akan jadi korbannya. Sebelum itu terjadi, Pak Menteri ESDM, sadarlah...!


selengkapnya >>>

Terorisme Juga Kejahatan Agama

Muhammad A S Hikam :

Statemen Masdar Farid Mas'udi (MFM) bahwa terorisme bukan saja kejahatan terhadap negara, tetapi juga kejahatan terhadap agama, patut dicermati. MFM mengatakan bahwa "umumnya aksi teror dilakukan atas dasar
justifikasi agama. Para pelaku teror berpandangan bahwa yang mereka
lakukan merupakan perintah agama." Khususnya aksi-aksi terorisme yang mengklaim sebagai pejuang Islam, MFM mengatakan mereka "justru memakan banyak korban dari umat Islam sendiri", sehingga menurutnya, "umat Muslim di seluruh dunia berhak mengutuk perilaku
para teroris karena [mereka] telah membajak ajaran agama Islam" dan "mencemarkan nama baik dan kesucian agama Islam." Selain kedua kejahatan tersebut, MFM juga menatakan bahwa terorisme adalah kejatanan terhadap kemanusiaan (crime against humanity), karena "aksi teror mengancam hak hidup siapa pun tanpa memandang status sosial seseorang."

Jadi, dalam pandangan MFD, terorisme mengemban tiga kejahatan besar:1) kejahatan terhadap negara yang sah, 2) kejahatan terhadap agama, dan 3) kejahatan terhadap kemanusiaan. Jika kita komparasikan bahkan dengan kejahatan Hitler, Stalin, Polpot dan para pelaku genosida di dalam sejarah, jelas bahwa kejahatan kaum teroris dalam pandangan MFM jauh lebih besar karena telah menggabungkan tiga faktir tersebut. Jika pandangan MFM ini diikuti, tidak ada lagi ruang terbuka untuk memberikan apologi terhadap aksi-aksi teroris, khususnya yang menggunakan nama agama, termasuk menggunakan nama Islam!.

Bagi saya, pendapat MFM sangat relevan dengan upaya memberikan argumen kontra yang saat ini gencar disebarkan ke seluruh dunia Islam bahwa para teroris semacam Nordin M Top dsb itu adalah "para pejuang" bahkan dalam satu situs diumumkan sebagai para "syahid", alias orang yang mati di jalan Allah atau para pembela Tuhan. Adalah sebuah ironi, bahwa para teroris yang terkena operasi Densus 88 dan tertembak mati, kemudian dikuburkan dengan "upacara" layaknya "pahlawan" dan para syuhada. Publisitas yang dilakukan media dalam rangka mencari sensasi berita (atas nama hak publik untuk mengetahui informasi) juga tidak membantu karena memperluas distorsi pemaknaan publik yang rata-rata masih belum memahami betul apakah para teroris itu "pejuang" atau "penjahat".

Yang lebih mungkin, apabila publisitas media tidak dilakukan secara fair dan mendidik, tetapi lebih kepada perlombaan meraih peringkat rating Nielsen yang tertinggi, niscaya publik dan ummat Islam yang akan dirugikan dan disesatkan. Efek menular atau "band wagon effect" atas pemberitaan yang membesar-besarkan pandangan dan sikap publik yang menganggap para teroris itu syahid, pahlawan, orang yang dizolimi, dll sangat kuat. Sadar atau tidak, media justru telah menjadi corong bagi para teroris untuk mengembangkan ideologi teror atas nama agama dan menjadikan upaya pemberantasan teror berbalik dicurigai publik dan bahkan dianggap "melawan" perjuangan membela agama! Media yang berpretensi memberi informasi "akurat" ternyata sering gagal dalam memahami konteks di mana mereka berada: sebuah negara yang sedang dicoba diacak-acak oleh terorisme internasional yang membahayakan keamanan dan survivalnya. Apakah para pemilik dan pelaku media itu pernah memikirkan bahwa apabila terorisme itu sampai berhasil meraih tujuannya, media lah yang akan termasuk menjadi korban utama!

Apa yg dikatakan oleh MFM haruslah difahami dan disosialisasikan seluas-luasnya kepada warganegara, apapun latarbelakang agama, etnik, budaya, ras, gender dan identitas lainnya. Program pemerintah untuk deradikalisai, misalnya, harus didasari dengan premis yang dilontarkan MFM bahwa terorisme, khususnya yang menggunakan dalih agama, adalah kejahatan tiga lapis: kejahatan terhadap negara, agama, dan kemanusiaan. Terorisme harus dibedakan dengan "jihad fi sabilillah" dan perjuangan membela tanah-air yang terjajah. Mereka yang menjadi pelaku teroris tak layak mendapat penghormatan sebagai pahlawan apalagi syahid, justru karena mereka telah melakukan kejahatan terhadap negara yang berdaulat dan agama. Dan ummat manusia di seluruh penjuru dunia harus bahu membahu dalam upaya menghancurkan terorisme karena ia adalah kejahatan terhadap kemanusiaan itu sendiri.


selengkapnya >>>

14 March 2010

Rencana kenaikan TDL


Muhammad A S Hikam :


Pagi ini, tak seperti biasanya, saya ngantor sambil ngomel di mobil lebih dari setengah jam. Biasanya walaupun macet di tol Cikampek, saya bisa dengan tenang menghadapinya sambil mendengarkan Radio Elshinta. Tapi pagi tadi, saya tidak dapat menahan jengkel gara-gara wawancara radio itu dengan Dirut PLN Dahlan Iskan (DI) mengenai rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 15% bulan Juli yad. Saya betul-betul jengkel, karena merasa "dikibuli" oleh pemilik Jawa Pos Grup. Soalnya saya agak terkesan ketika mendengar dari kawan-kawan betapa hebatnya DI selam berkiprah sebagai CEO dimana-mana. Bukan saja bertangan dingin dan stylenya terbuka, tetapi konon dia juga tidak mau dibayar oleh BUMN kelistrikan itu. Jadi saya sudah berharap cukup banyak bahwa di tangan orang non pemerintah dan non PLN itu, urusan listrik yang merupakan masalah dasar manusia akan menjadi lebih baik, tidak byar pet, dan konsumen tidak harus menanggung biaya terus menerus.

Tidak tahunya, harapan saya buyar. Bukan saja TDL akan naik lagi (padahal Pemerintah janji sendiri tdk akan ada kenaikan TDL beberapa waktu lalu), tapi cara berargumen DI tidak ada bedanya dengan pendahulunya: janji akan memberikan pelayanan lebih baik, alasan karena harus melakukan perbaikan infrastruktur, perubahan dari BBM ke Gas, dll. Yang bikin saya jengkel dan tdk bisa memahami adalah, DI baru sekitar sebulan duduk di kursi BUMN tersebut, dan keputusannya yang paling awal adalah ini. Wah, saya ngomel: "Lha kalau jadi Dirut PLN cuma bisanya menaikkan TDL, ganti saja sama kucing saya." Insya Allah kucing saya juga akan bisa melakukan itu, apalagi kalau argumentasinya juga cuma "carbon copy" argumen jadul sebelumnya!

Jadi saya punya postulat sementara, bahwa salah satu syarat jadi Dirut BUMN Listrik adalah harus bisa membohongi publik, lebih cepat lebih baik! DI saya kira sudah bisa dianggap sebagai Dirut PLN yang layak mendapat award paling cepat membuat pengumuman kenaikan TDL. Bayangkan, belum sebulan dan tanpa merasa malu, mengatakan bahw "ada tidaknya kenaikan tarif listrik tidak berpengaruh bagi PLN, karena
biaya operasi dapat dicukupi sebagian dari pelanggan dan sebagian dari
pemerintah." Tapi kalau begitu, ngapain dia mau saja TDL naik?. Jawabnya "Kalau dari pelanggan tidak naik maka pemerintah yang harus mencukupi.
Kalau dari pelanggan bisa naik dari kenaikan harga listrik itu maka
tambahan dari pemerintah dikurangi." Jadi, walhasil, niat menaikkan TDL adalah agar Pemerintah tidak harus tambah subsidi.

Lho, bukankah pemerintah sendiri yang sudah janji akan menaikkan subsidi itu? Bukankah secara teori ekonomi yang paling liberalpun, adalah urusan pemerintah untuk memback-up infrastruktur dasar seperti listrik. Belum lagi kenyataan bahwa TDL untuk industri masih rendah, kenapa yang diubek-ubek hanya konsumen dan rakyat biasa yang tak punya daya tawar itu? Tetapi yang bikin saya "judheg" adalah sikap DI yang seolah-olah PLN tidak punya kepentingan dengan keinginan Pemerintah. Saya kira DI sangat tidak fair. Jelas PLN mempunyai kepentingan agar ia bisa mendapat dana segar untuk pembangunan infrastrukturnya, dan karena itu setuju dengan usul kenaikan TDL. Kalau memang tidak ada pengaruhnya, mestinya DI meminta jangan naik dulu, karena rakyat masih ruwet dengan ekonomi amburadul saat ini. Mestinya, sebagai Dirut yang bukan dari PLN, dia tahu apa yang menjadi harapan rakyat.

Tapi memang DI juga punya kepentingan pribadi. Saya tidak tahu apakah sekarang ia sudah lepas dari kepemilikan sebuah power plant cukup besar di Kaltim, tetapi dengan kenaikan TDL pastilah ada rebvenue yang akan diperoleh dari perusahaan tersebut. Kalau toh DI sudah lepas dari kepemilikan, pasti masih ada hubungan tertentu yang bisa menguntungkan. Jadi posisi DI sebagai Dirut PLN sangat berbau konflik kepentingan dan salah satu dampaknya adalah bias dalam pengambilan keputusan yang merugikan konsumen kecil dan rakyat umumnya. Inilah bukti bahwa soal memilih kepemimpinan bukanlah soal remeh. Tidak ada jaminan bahwa seorang yang punya kehebatan di sektor swasta, ketika masuk ke sektor publik pasti bisa menjalankan kemudi dengan lebih bagus atau sama bagus. DI hanya memikirkan neraca perolehan revenue yang akan diperoleh PLN dan akan kelihatan bagus di mata Pemerintah. Tapi bagaimana dengan pelayanan PLN yang super amburadul itu? Bagaimana dengan cadangan listrik yang makin mengkhawatirkan itu? Jawab DI, sama dengan Dirut-dirut sebelumnya: akan diperbaiki, akan ditingkatkan, akan diperbaharui, akan, akan, akan...

Saya sangat tidak percaya kepada kemampuan DI mengurusi hajat hidup orang banyak setelah mendengar argumentasinya di Elshinta yang "mbulet" itu. Saya harap publik dan organisasi pembela konsumen menolak rencana kenaikan TDL bulan Juli nanti. Akan lebih bagus lagi kalau bersamaan dengan itu Dahlan iskan diminta kembali mengurus Jawa Pos Grup saja. Lebih cepat, lebih baik.



___________________

selengkapnya >>>

detikNews : Demo Pro Thaksin Berjalan Damai, Thaksin Beri Dukungan lewat Twitter


Hari pertama demonstrasi besar-besaran pendukung mantan PM Thailand Thaksin Shinawatra di Bangkok berjalan lancar. Demonstrasi berlangsung damai di tengah kekhawatiran akan terjadinya kerusuhan.



Muhammad A S Hikam : 


Hari-hari ini, bangsa Thailand sedang menyaksikan "perang tanding" antara pendukung mantan PM Thaksin Sinawatra dengan pendukung penguasa yang ada di bawah PM Abhisit Vejajiva. Setelah pendukung pemerintah beberap bulan yang lalu (dengan simbol warna kuning) melakukan demonstrasi dan pengepungan kantor-kantor pemerintah serta tempat strategis seperti bandara, dsb, kini gantian pendukung Thansin yang berdemo. Dengan simbol warna merah, ratusan ribu pendukung mantan PM yang kini tinggal di Dubai itu menuntut Pemerintah Abhisit turun. Sebelumnya, Pemerintah telah menyita harta benda Thaksin yang berjumlah triliunan Baht karena pihak terakhir itu dinyatakan menjadi buron oleh pengadilan.

Tontonan apakah yang sedang berkembang di tanah Siam itu? Apakah kita sedang menyaksikan sebuah demokrasi yang bekerja dengan baik? Ataukah ini sekedar perkelahian antar kekuatan politik dengan kedok demokrasi? Apa yang akan dihasilkan oleh demo silih berganti terhadap negeri Gajah putih dan rakyatnya? dsb.. dsb. Yang penting untuk kita di indonesia, apakah yang dapat dipelajari oleh reformasi dan demokratisasi kita dari pengalaman Thailand ini?

Saya tidak terlalu yakin bahwa yang terjadi di negeri Raja Bhumipol Adulyadej saat ini adalah demokrasi. Saya lebih cenderung menyebutnya anarki yang masih terkendali. Anarki, karena Pemerintah dan masyarakat sipil tak mampu melakukan proses-proses rsolusi konflik antara Thaksin dan Abhisit dan para sekutunya. Bahkan Raja sendiri yang konon dianggap setengah Dewa dan paling dihormati di tanah Siam, ternyata tak lebih dari kakek pikun yang hanya bisa ikut apa kata para penasehatnya. Sayangnya para penasehat ini juga berkepentingan menghabisi Thaksin yang didukung sebagian besar rakyat di pedesaan. Sedangkan Thaksin sudah menjadi buron dan tidak mungkin memimpin gerakannya di tanah air. Ia adalah pemimpin massa dengan "remote control" a la Khomeini ketika masih dalam pengusiran Shah Reza Pahlevi. Beda besarnya, Imam Khomeini didukung oleh kharisma dan kepatuhan transendental Syi'isme, sementara Thaksin oleh uang yang seolah tanpa batas! Jika Khomeini betul-betul menghendaki Revolusi atas nama Islam, Thaksin hanya ingin kembali dan tinggal di rumah dengan tenang. Bahkan dia tak ingin kembali sebagai PM lagi kalau diizinkan pulang ke tanah airnya.

Jadi tidak ada sesuatu yang baik yang dapat kita tiru dari kekacauan politik di negeri jiran itu. Thailand yang sering menyombongkan diri sebagai negara
yang tak pernah terjajah, kini menyaksikan dirinya dalam kondisi yang lebih memalukan daripada terjajah. Sebab dalam kondisi terjajah, masih ada aksi-aksi kepahlawanan dari para pejuang yang menghasikan Pahlawan-pahlawan kebanggaan anak cucu dan generasi muda. Thailand tak punya kebanggaan macam itu, selain lembaga Kerajaan yang sudah uzur dan gemetar manakala ada masalah. Karena lembaga yang sakral itu ternyata tidak mampu menjadi lembaga netral. Justru ia juga sumber korupsi yang luar biasa dan dilakukan oleh keluarga Raja! Lebih parah lagi, kasus korupsi mereka tak mungkin bisa dibawa ke pengadilan! Kalau pun ada yang berani melontarkan kritik, seperti Ajarn Sulak Shivaraksa, maka ia akan beresiko terpidana "Leste Majeste" (menghina Raja) yang sanksinya hukuman mati. Sistem politik Thailand yang dibalut dengan Parlementarianisme itu, sejatinya tak bisa lepas dari cengkeraman Monarkhi dan militerisme, dua lembaga kekuasaan yang tak tergoyahkan selama ratusan tahun!

Saya hanya berharap, rakyat Thai akhirnya sadar, bahwa Monarkhi harus berakhir menjadi Respublika. Boleh saja Thailand menjadi calon naga ekonomi dll., tetapi pada akhirnya rakyat yang tak punya suara dan hak berpolitik bebas akan tetap resah. Kekayaan tak akan dapat mengekang kehendak merdeka rakyat yang sudah dipenuhi oleh berbagi macam ketertindasan. Semoga pertandingan demonstrasi pendukung Thaksin vs pendukung Abhisit ini adalah bagian dari proses panjang yang akan berujung pada lahirnya sebuah Republik di tanah Siam.






____________________

selengkapnya >>>